Sebenarnya semua orang lahir dengan kemampuan untuk mengendalikan dan menyucikan iblis. Hanya saja, tidak semua orang lahir dengan kemampuan yang mencolok. Kemampuan itu sendiri, tidak akan berguna jika tidak pernah dipelajari. Sayangnya, hanya beberapa orang yang mampu dan mau mengasah kemampuan tersebut.
Dalam kasus Axelle sendiri, sebagai pangeran kedua, tidak memiliki ambisi untuk berkuasa. Sejak kecil dia tahu dia akan menjadi penopang kakaknya, sehingga kemudian dia berniat untuk masuk ke akademi kuil dan mendukung kakaknya sebagai Pendeta Besar.
Yang kemudian hal tersebut tidak terjadi. Meski demikian, atas kebaikan hati Raja Rexton V, saat berusia 15 tahun Axelle dikirim jauh ke luar pulau untuk mendapat pendidikan di akademi kuil kerajaan lain. Dari pendidikan tersebutlah kemudian Axelle mengembangkan bakat menyucikannya; sesuatu yang disamarkannya dengan "bakat biasa-biasa saja" dari semua orang.
Nah, sementara itu para darah Whitley sudah pasti memiliki kemampuan mengendalikan iblis yang hebat. Para keturunan Whitley konon katanya sudah dilatih sejak kecil.
Semoga satu di antaranya adalah Rheannon Whitley.
Atau, paling tidak, itulah harapan Axelle jika memang benar anak perempuan tersebut memang dikurung di menara selatan hutan istana.
"Tapi lebih baik mati sekalian daripada dikurung bersama iblis," gumam Axelle sendiri sambil berusaha menjaga nyala lampu apinya dari angin malam yang berembus janggal.
Saat ini, Axelle tengah menyusup ke selatan hutan istana. Dia hendak ke menara tersebut, mencari Rheannon.
"Ukh…" Axelle jatuh berlutut.
Dan ini bukanlah penyusupan yang mudah.
Jika iblis menguasai suatu tempat, niscaya tempat tersebut akan dipenuhi dengan bencana. Entah itu berupa kesedihan, amarah, penderitaan, atau sekadar dipenuhi serangga dan hewan buas. Axelle sendiri saat ini mulai dikuasai dengan ketakutan.
Dadanya berdebar tak keruan. Keringat dingin menetes dari pelipisnya. Napasnya putus-putus.
Berbagai macam pikiran buruk menguasainya.
[Bagaimana kalau apa yang kucari tidak ada dan aku malah terjebak di sini? Bagaimana kalau ini sia-sia belaka? Bagaimana kalau aku kembali dengan tidak utuh? Bagaimana kalau aku ketahuan—hukuman apa yang akan aku dan para penghuni kastil dapatkan?]
Dalam satu tarikan napas yang menyakitkan, Axelle mengepalakan tangannya.
"Tidak," ucapnya tegas, lalu berusaha berdiri. "Aku ke sini untuk mencari Rheannon."
Seketika jalan terbuka untuknya. Dengan begitu saja, menara yang selama ini hanya berupa bayangan, muncul secara nyata di depannya.
Axelle menelan ludah, lalu memejamkan matanya. Sekali lagi dia berkata, "Aku ke sini untuk mencari Rheannon Whitley. Tunjukkan jalan jika dia ada di sini. Biarkan aku pergi jika dia tidak ada di sini." Dia mulai bisa melihat bayangan para iblis tersenyum licik padanya. "Aku tidak punya urusan dengan para iblis di sini."
Para iblis pun membiarkan Axelle lewat. Tawa mereka masih terdengar bahkan setelah Axelle masuk ke dalam menara.
"Rheannon?" Axelle memulai pencariannya dengan ragu.
Menara itu persis dengan bayangannya.
Suram, tinggi menjulang, atap runcing, jendela-jendela kecil. Tidak ada yang bagus atau membuat nyaman di menara itu.
"Rheannon?" panggil Axelle lagi, berusaha meningkahi suara tawa para iblis dan derik serangga. Suara mereka bahkan mampu meredam gema langkah kakinya.
Tapi dipanggil berapa kali pun, tidak ada yang menyahut.
Tidak ada siapa-siapa di sana.
"Rheannon?"
Axelle yakin saat ini dirinya sudah sampai di puncak menara. Sama seperti ruangan lainnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
"Si…apa?"
Namun, di sanalah dia.
Axelle hanya sempat bertemu dengannya beberapa kali. Itu pun sudah dulu sekali. Hanya saja…
Rambut merah. Mata keemasan…
Sudah pasti itu milik Rheannon Whitley.
"Putri Rheannon!"
Akhirnya Axelle menemukan Rheannon dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
***
Untuk ukuran seorang gadis dewasa, Rheannon terlampau ringan.
Axelle setengah berlari saat ini, pergi meninggalkan menara yang ternyata bukan hanya bayangan saja tersebut, menara yang ternyata sebuah penjara penuh dengan iblis. Kakinya bergerak secepat dan sehati-hati yang dia bisa menuju kastil kecilnya dengan Rheannon di gendongannya.
"Pangeran Axelle!" Salah seorang kesatria menyambutnya dengan ekspresi khawatir. "Anda dari mana saja? Elias panik mendapati Pangeran tidak ada di—itu siapa?"
"Tolong panggil Elias," potong Axelle. Dia dan si kesatria buru-buru masuk ke dalam kastil. kesatria lain dan beberapa pelayan menyambutnya dengan sama khawatirnya—sebelum mata mereka akhirnya tertuju pada seseorang di gendongan Axelle.
"Pangeran," seorang kesatria lain maju ke hadapannya. "Saya bisa menggantikan Anda menggendongnya."
"Tolong hati-hati," kata Axelle sambil menyerahkan Rheannon. "Bawa saja ke kamarku. Para pelayan, tolong siapkan air hangat untuk mandi dan baju nyaman untuk wanita."
"Baik, Pangeran."
"Pangeran… Ini…" kesatria yang kini menggendong Rheannon terbelalak menyadari siapa yang baru saja tuan kastilnya bawa tengah malam begini.
"Rheannon," jawab Axelle. Melihat keterkejutan di mata yang lain, dia mengangguk membenarkan, "Whitley."
Kastil kecil itu menjadi tegang dan riuh seketika. Seorang pangeran terbuang baru saja membawa kabur seorang tahanan istana ke dalam kediaman pribadinya. Apalagi kondisi tahanan yang dibawanya kabur itu…
"Tubuh Putri Rheannon terlalu kecil dan kurus untuk seorang wanita 19 tahun," lapor Elias yang sempat memeriksa keadaannya semampunya. "Penampilan beliau juga sangat tidak terawat. Para pelayan terpaksa memotong rambutnya karena sudah terlalu kusut."
"Tidak apa-apa," kata Axelle lemah, kemudian mengembuskan napas panjang. "Nanti bisa panjang lagi."
Elias mengangguk setuju. "Lebih dari itu, kita perlu dokter untuk untuk melakukan pemeriksaan keseluruhan. Ini lebih dari soal berat badan Putri Rheannon saja."
"Iya, aku tahu itu."
Kulit Rheannon dingin dan pucat. Matanya cekung dan sekitarannya menghitam. Bibir dan jemarinya kering, mengelupas sampai terluka dan berdarah-darah. Yang paling parah, dan paling membuat hati Axelle tersayat, tubuhnya kaku dan dia tidak bisa bicara.
"Itu adalah sesuatu yang akan terjadi pada seseorang setelah dikurung selama sepuluh tahun tanpa sinar matahari dan teman bicara," kata Elias prihatin. "Maaf jika saya berkata begini, tapi Putri Rheannon masih hidup saja sudah merupakan sebuah keajaiban."
"Sepuluh tahun dibiarkan sampai jadi seperti itu." Axelle menggigit bibirnya. "Bagaimana Raja bisa tega melakukannya?"
Wajah Elias berubah menjadi kaku. "Anda menyebut beliau dengan sebutan yang terlalu bagus."
Axelle tersenyum maklum. "Raja sudah cukup berbaik hati pada kita, Elias," katanya tak yakin. Dia pun berdiri dan tempatnya dan pamit, "Aku akan menengok Putri Rheannon dulu."
Karena kastil kecilnya tidak pernah kedatangan tamu, tidak pernah ada kamar khusus yang disiapkan untuk tamu. Jadi entah sampai kapan, sementara ini Rheannon akan memakai kamar Axelle. Dan Axelle sendiri, nah, dia bisa menempati ruangan mana pun dan tidur di mana pun. Yang terpenting saat ini adalah kenyamanan Rheannon.
"Pangeran," sambut seorang pelayan, "kami tidak berani membiarkan Putri langsung berendam atau terkena air. Jadi tadi kami hanya mengelap tubuhnya saja."
"Ya, terima kasih."
Axelle menghampiri Rheannon yang dibaringkan di kasurnya. Bahkan untuk duduk saja susah, pikirnya sedih. Rambut Rheannon kini tinggal sebahu dan wajahnya tampak jauh lebih bersih dan bisa dikenali kembali.
"Putri Rheannon?" Perlahan Axelle menyentuh tangan dingin nan kurus gadis itu. "Bisakah kau mendengarku? Jawab saja dengan anggukan atau gelengan."
Mata itu perlahan terbuka, memantulkan cahaya keemasan yang lemah. Mata keemasan, identitas dari keturunan Colton yang Rheannon dapat dari mendiang ibunya. Kemudian, anggukan lemah itu pun datang.
"Saat ini Putri berada di salah satu kastil kecil di istana. Aku… tidak akan membiarkanmu kembali ke sana lagi." Cara bicara Axelle sangat pelan, tapi tegas dan penuh tekad. "Besok pagi, aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu. Lalu, entah bagaimana caranya, aku akan menghubungi Duke Colton—beliau selalu mencemaskanmu. Apa kau keberatan?"
Rheannon menggeleng.
"Baguslah," kata Axelle sambil tersenyum. "Sekarang beristirahatlah dengan nyaman dan tenang dulu. Semoga Putri mimpi indah.
Rheannon tersenyum dengan susah payah. Axelle mengelus puncak kepalanya, berterima kasih sekaligus meminta maaf untuk banyak hal.
***
Kasur yang empuk, selimut yang hangat dan tebal, ruangan yang bersih.
Rheannon menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Udara yang sudah lama tidak dihirupnya.
[Akhirnya!] Sebuah suara mendengus di kepalanya. [Inilah kebebasan! Inilah waktunya, gadis kecil!]
Rheannon memejamkan matanya, berusaha bermimpi indah seperti apa kata Axelle barusan.