Tiara mengunjungi kamar hotel yang menjadi tempat penginapan Kinara belakangan ini. Kedatangannya disambut dengan seduhan kopi hitam, yang ia ketahui selalu menjadi minuman kesukaan Kinara nyaris di setiap harinya. Sementara sang calon pemilik kamar sekaligus seluruh bagian gedung hotel itu, masih terlihat muram dan tertekan. Keadaan itu membuat Tiara menyadari tentang kesalahannya yang sempat ikut campur.
"Bagaimana kabarmu, Kinara?" tanya Tiara sembari mengambil sikap duduk di salah satu kursi kayu di balkon tempat tersebut. Ia bergabung dengan Kinara yang sudah duduk di sana, setelah membukakan pintu untuknya. "Ah, maaf, seharusnya aku tidak bertanya tentang hal itu. Sudah pasti kau tak baik-baik saja. Sekali lagi aku minta maaf, karena sudah terlalu tidak peka."
Wajah Tiara berubah kebas ketika menyadari jika dirinya telah mengatakan hal yang terbilang kurang pantas. Tak baik mempertanyakan kondisi orang yang baru bercerai, bukan? Terlebih sudah jelas, orang itu pastinya tidak baik-baik saja. Kalau saja waktu dapat diputar kembali, Tiara akan memilih diam dan menunggu sampai Kinara ambil suara, atau bahkan jika waktu bisa diputar lebih mundur lagi, ia tidak akan pernah melaporkan tentang perselingkuhan Abimana. Sayang sekali, Tiara baru sadar setelah keadaan semakin runyam.
Terdengar hela napas berat dari diri Kinara, yang membuat Tiara harus menelan saliva. Tak berselang lama, tatapan mata Kinara tertuju pada temannya itu secara sempurna.
"Kau benar aku tidak baik-baik saja. Sudah beberapa kali aku nyaris kehilangan kendali atas diriku sendiri, Tiara," ucap Kinara lalu tersenyum masygul. "Berulang kali aku ingin menahan diri untuk tidak mengatakan kekacauan diriku pada siapa pun. Tapi, sepertinya aku tetap membutuhkan dirimu sebagai pendengarku. Inilah alasan mengapa aku mengundangmu untuk datang di malam yang sedang hujan deras ini."
Lega. Setidaknya perasaan itu yang menyapa hati Tiara. Baik, memang tidak pantas. Tak baik jika dirinya merasa lega atau sedikit senang, ketika salah satu teman berharganya itu sedang terluka. Namun, Tiara tidak bisa menyembunyikan kelegaan tersebut ketika Kinara tampak ingin membuka diri. Kinara sudah terlalu lama bertahan untuk menyimpan segala penderitaan sendirian.
"Kau bicara saja, Kinara." Tiara meraih jemari Kinara yang tergeletak di atas meja bundar yang membatasi dirinya dengan Nyonya CEO tersebut. "Aku pasti akan mendengarkan semua keluhanmu, tanpa menyela atau menyalahkan dirimu."
Kinara kembali tersenyum. "Aku merasa lega bisa terlepas dari Abimana yang ternyata memiliki segudang sifat buruk."
"Kau benar-benar telah merasa lega, Kinara?"
Kinara masih memilih diam, memutuskan meraih cangkir kopinya. Ia hirup aroma minuman yang mengandung kafein tersebut. Aroma menggelitik yang menggugah selera, tetapi siapa sangka rasanya tak semanis aroma. Asam dan pahit jika tanpa gula. Seperti halnya pernikahan. Akan terasa asam dan pahit, bahkan akan hambar ketika tak ada sedikit pun keromantisan. Padahal romantisme selalu menjadi pemanis di dalam bahtera bernama pernikahan.
"Tidak," ucap Kinara sesaat setelah meletakkan kembali cangkir berisi kopi tersebut ke atas meja dengan posisi yang nyaris sama seperti sebelumnya. Detik berikutnya, ia lantas menatap Tiara. "Sejak awal pun aku selalu tidak lega. Aku selalu merasa buruk."
Tiara tertunduk lesu. Kedua jemari sibuk mencengkeram bagian bawah gaun merah yang ia kenakan. "Maafkan aku, Kinara. Karena aku ... karena aku, kau harus—"
"Aku justru sangat berterima kasih padamu, Tiara. Berkat kau, aku bisa menyadari bahwa pria yang aku nikahi selama satu tahun ini ternyata bukanlah pria yang baik. Abimana begitu kasar. Dia egois, dan merasa setiap kesalahan yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran. Dia bukan orang yang mampu menyadari kerusakan di dalam dirinya sendiri, Tiara. Dia bukan orang baik."
"Tapi ... terlepas dari pernikahan kalian yang merupakan hasil perjodohan dan seberapa buruk sosok Abimana, kau ... kau mencintainya, bukan?"
Kinara kembali terdiam. Jemari kirinya mengusap gaun hitam yang membalut tubuhnya itu. Ada gengsi yang besar, yang membuatnya tidak ingin mengakui hal tersebut. Cinta? Rasanya sudah sangat asing bagi Kinara sejak Abimana mencurangi dirinya serta janji suci pernikahan. Namun, bukankah tidak akan ada rasa sakit, jika sebelumnya tidak ada rasa cinta? Kinara menyadari dan juga harus mengakui bahwa ada cinta serta harapan tinggi yang pernah ia taruh pada diri sang mantan suami.
Tegukan kedua Kinara lakukan untuk mengurangi porsi kopi hitam di cangkir itu, ketika dirinya belum juga mendapatkan jawaban terbaik yang bisa menjawab pertanyaan Tiara. Di sisi lain, Tiara pastinya juga tahu seberapa besar kecintaan Kinara pada Abimana. Sayangnya, Abimana justru merusak perasaan Kinara dan Tiara menjadi sarana untuk menghancurkan pernikahan mereka. Entah berapa kali lagi, Tiara harus menyesali keputusannya sendiri. Ia kerap mengeluh tentang tindakannya pada saat itu. Ia benar-benar tidak pernah merasa lega setelah Kinara terlepas dari Abimana.
"Aku mencintainya. Itu pasti." Pada akhirnya, Kinara memutuskan untuk membuat pengakuan. Ia teringat akan rencana awalnya untuk mengundang Tiara pada malam hari ini. Mengeluarkan semua perasaan buruk yang terus-terusan menghantuinya. Ia harus sedikit melegakan perasaannya, sebelum peperangan sebenarnya dimulai.
Tiara menelan saliva. Agak gugup setelah Kinara membenarkan pertanyaannya. Oh, rasanya benar-benar tidak nyaman. Rasa bersalah itu semakin membuatnya tak karuan. Seteguk saja ia menyantap kopi hitam yang Kinara hidangkan, bahkan sebelum dirinya duduk di kursi di balkon kamar hotel tersebut. Kinara selalu tahu jika dirinya tidak menyukai makanan ataupun minuman yang panas, tetapi juga tidak menyukai rasa dingin dari es di malam yang sedang hujan.
Menyadari kegugupan yang menangkup diri Tiara, Kinara langsung berkata, "Bukan salahmu. Kau jangan berpikir bahwa perceraianku dengan Abimana adalah salahmu, Tiara. Kau tak harus terus-terusan merasa bersalah. Ini adalah keputusanku. Aku memilih pisah, daripada memperbaiki semuanya. Dan aku sudah katakan sejak awal, jika ini adalah yang terbaik. Meski ... aku tetap masih memiliki tekad lain setelah semua ini."
"Tekad lain?" Mata Tiara lurus ke depan, menatap Kinara kembali dengan pandangan yang lebih tajam. "Kau masih bertekad ingin menghancurkan Abimana?"
Kinara menganggukkan kepala. "Itu ... benar."
"Kinara?!" Tiara menggenggam jemari Kinara dengan erat. "Kau tidak harus melakukan hal seperti itu. Bukalah lembaran baru dan berbahagialah. Agar setidaknya aku pun tidak akan merasa bersalah lagi, setelah melihat kau tersenyum tanpa beban lagi!"
"Kebahagiaanku adalah kehancuran pria itu, Tiara. Dan ... sebenarnya, aku tak hanya ingin mencurahkan isi hatiku padamu. Aku ... aku membutuhkan bantuanmu."
"Bantuan? Untuk apa?"
"Bianca Roseli." Kinara menghela napas panjang, menegakkan badan, dan menatap sangat tajam sekaligus serius. "Cari dia. Dekati dia. Jadilah mataku untuk melihat apa saja yang dia lakukan, kehidupannya, dan sejauh mana hubungannya dengan Abimana. Hanya kau yang bisa melakukannya untukku. Aku ... aku tidak ingin orang lain mengetahui penderitaanku yang sampai harus menyelidiki mantan suamiku dan kekasihnya secara diam-diam. Aku terlalu malu untuk meminta bantuan orang lain soal ini. Bantu aku ...."
"Tapi, untuk apa, Kinara? Bianca atau siapa pun itu, kau ingin aku mengusiknya?"
"Bukan mengusik, hanya mencari tahu saja. Setidaknya, kau harus melakukan itu semua, lalu aku akan menyusun rencana selanjutnya ketika aku sudah mendapatkan banyak informasi tentangnya. Aku ... tidak akan rela jika mereka bahagia, Tiara, aku ... tidak akan membiarkan Abimana bahagia. Bahkan meski aku harus mengorbankan harga diriku untuk ini."
Wajah dan mata yang memerah. Urat-urat hijau yang bermunculan. Ekspresi yang marah. Ekspresi itu ... Kinara tidak hanya bicara omong kosong belaka. Meski tidak ada setitik air mata, Tiara tetap tahu saat ini Kinara sedang tertekan dengan kenangan buruk yang belum lama ini telah menimpa.
Sedalam itukah Kinara menyimpan luka setelah pengkhianatan Abimana? Mengapa semua ini harus berlanjut pada sesi pembalasan dendam? Lantas, haruskah Tiara ikut membantu serta menyetujui permintaan Kinara yang sebenarnya tidak harus dilakukan tersebut?
***