'Ini saatnya,' batin Jay.
Benar saja tebakan Jay. Desahan panjang dari mulut seorang wanita di bawah kungkungan tangannya menutup kegiatan panas malam ini. Setelah berhasil membuat wanita sexy di bawahnya "terpuaskan" Jay bangkit dan melepaskan diri dari penyatuan tubuhnya. Ia menggulingkan diri di sebelah wanita yang sejak satu jam lalu menjerit-jerit karena ulah Jay.
Servis yang Jay lakukan di atas ranjang tak pernah mengecewakan wanita manapun.
"Kamu menang, sayang … kamu memang luar biasa! Lihatlah, betapa ia belum tidur setelah membuatku kewalahan," ujar wanita di samping Jay sambil menggoda milik Jay yang masih berdiri tegak dengan mengesek-gesekkan permukaan kulit miliknya.
Jay tersenyum hambar. "Senang bisa memuaskanmu, Angel."
Wanita itu tersenyum menggoda lalu membisikkan sesuatu di telinga Jay.
"Besok pagi akan ku transfer uang sesuai perjanjian kita."
Jay tersenyum miris. Ia lantas bangkit dan beringsut dari ranjang.
"Kamu mau ke mana?" tanya Angel. Ada kekecewaan dalam nadanya saat Jay turun dari ranjang.
Jay tak menjawab. Sikapnya berubah menjadi dingin. Masih dalam keadaan telanjang bulat, ia berjalan menjauhi ranjang menuju kamar mandi. Terpaksa Jay harus mandi air dingin lagi untuk menetralkan situasi tubuhnya.
Anugerah bagi wanita itu tapi kutukan bagi Jay!
***
"Lagi-lagi kamu berhasil! Kali ini kamu berhasil menjual apartemen milik tuan Wiliam. Terkadang saya berpikir, apakah kamu mempunyai kemampuan membaca pikiran sehingga apa yang diinginkan klien dan pemilik apartemen bisa kamu mengerti begitu saja. Kamu memang patut mendapatkan bonus kali ini," ujar seorang laki-laki berjas rapi sambil menepuk-nepuk bahu Jay.
Dan sekali lagi kalimat yang sama terlontar dari tuan Richard –bosnya di kantor itu. Jay hanya bisa menampilkan deretan giginya yang rapi saat mendengar pujian dari bosnya itu.
"Bos terlalu memuji. Aku hanya manusia biasa, bukan paranormal."
Jay berusaha menyembunyikan hatinya yang tengah merasa bangga karena sekali lagi ia bisa memenangkan misi menjual property. Tentu saja dengan keberhasilannya yang menonjol itu, tak heran jika ada beberapa rekan sesama profesi merasa iri dan kesal dengan pencapaian yang didapatkan Jay.
"Kalau begitu, untuk merayakan keberhasilanmu ini, saya akan mengajak kamu makan malam di restaurant bintang lima. Kebetulan, malam ini saya tidak ada acara. Bagaimana Jay?"
Lelaki berwajah oriental itu menanyakan kesiapan Jay.
Jay kikuk. Ia tak tahu apakah baik jika ia menerima ajakan makan malam dari bosnya itu. Tentu saja, itu akan menambah deretan cacian dan cibiran dari rekan kerjanya di dalam pikiran mereka –yang tentu saja Jay bisa membacanya.
"Saya … "
"Ah, iya, maafkan saya! Kamu pasti mau menolak ajakan saya karena nanti malam adalah malam minggu. Tentu saja kamu ada janji dengan pacarmu. Baiklah, kalau begitu, lain waktu saja."
Tuan Wiliam menafsirkan sendiri sikap kikuk Jay. Meski bukan itu yang menjadi keraguan Jay. Jay menyetujui ide tuan Richard tersebut.
Setelah menyelesaikan laporan perihal penjualan apartemen milik tuan Wiliam –yang belum ia selesaikan karena dipotong ucapan selamat dan bangga tuan Richard—ia memutuskan untuk kembali ke ruangannya.
Langkahnya terhenti karena sebuah tepukan di bahu kirinya.
"Wah, artis kita lagi-lagi memenangkan projek penjualan kelas kakap. Selamat, ya bro!"
Suara cempreng khas milik Boy memeka telinga Jay. Rekan kerja sekaligus teman ngobrolnya kala sedang suntuk.
Jay melirik sekilas ke arah lirikan mata Boy. Ia lantas mengerti.
Suara Boy sengaja dibuat lantang tentu saja dengan tujuan untuk memanas-manasi teman lainnya yang memiliki perasaan iri pada setiap keberhasilan Jay.
"Bolehlah traktir aku makan malam!" ucapnya lagi. Suaranya kini lebih tinggi dari sebelumnya.
Jay terkekeh melihat tingkah sahabatnya itu. Jay menepuk pundak sahabatnya seraya berkata, "kutunggu di café seperti biasa."
***
Sesuai janji Jay, ia mentraktir Boy makan di café. Sesungguhnya, Boy tak serius mengatakan demikian. Ia hanya ingin memanas-manasi teman kantor yang membenci Jay. Tapi, siapa sangka Jay malah memenuhi permintaannya.
"Jadi, kamu sekarang sedang berpacaran dengan Angel?"
Boy melirik sekilas nama yang tertera di layar ponsel Jay saat benda pipih itu bergetar.
Jay meggeleng cepat. "Tidak!"
Ia membiarkan ponselnya hingga dering itu berhenti dengan sendirinya.
"Haish … lagi-lagi kamu mencampakkannya. Bukankah dia sangat sexy dan menggiurkan. Kulihat kamu sangat cocok dengannya."
"Yep! She is very hot! Aku tidak menyangkalnya."
"Lalu, kenapa kamu tidak mengangkat ponselmu?"
"Aku bosan dengannya," sahut Jay santai.
Boy mengulas senyum miring. "Lagi-lagi alasan bosan. Hemm … terkadang aku heran denganmu. Sebenarnya, wanita seperti apa yang kamu cari? Semua wanita yang dekat denganmu, selalu kamu katakan membosankan."
Boy menyesap cangkir kopinya lalu melanjutkan perkataannya.
"Aku rasa tidak ada yang salah darimu. Lihat dirimu! Wajahmu tampan dan dompetmu tebal. Mereka semua tergila-gila padamu. Apa yang kamu tunggu?"
Jay terdiam. Ia mengepulkan asap rokok ke atas langit-langit cafe. Sesaat ingatannya berlari pada sosok Angel. Wanita "berisik" yang Jay jelajahi tubuhnya semalam.
Jay tidak bisa menjelaskan pada Boy tentang kutukan dirinya. Ia paham betul dengan kekuatan sekaligus kutukan yang ia miliki. Ia selalu saja tak bisa merasa "terpuaskan" oleh para wanita yang ia tiduri sebab masa depan ranjangnya sudah tergambar jelas saat pertama kali ia menyentuh kulit wanita tersebut. Membosankan!
Dengan alasan itulah, Jay selalu mengatakan tidak punya pacar. Kriteria pacar menurutnya adalah jika ia bertahan beraktifitas bersama dimulai dari bangun tidur hingga bertemu malam hari untuk tidur bersama lagi. Dan ia belum sekalipun melakukan hal itu dengan wanita manapun. Hubungan percintaannya selalu berakhir setelah kegiatan bercintanya usai. Anti klimaks!
Kekuatannya adalah anugerah sekaligus kutukan baginya jika berurusan dengan ranjang. 'SIAL!'
"Kuharap kamu bisa menemukan wanita yang bisa membuang sifat bosanmu itu!" ujar Boy tulus.
"Jay, sepertinya aku harus pulang sekarang," sambungnya.
Jay menoleh. Ia melihat Boy sedang bersiap untuk pergi setelah melihat arlojinya. Ya! Boy harus menjemput keponakannya. Malam ini adalah jadwal keponakannya menginap di rumah. Sebab Rani –kakak Boy—harus bekerja shift malam di bar sebagai pelayan setiap akhir pekan. Sebuah pekerjaan yang terpaksa ia lakukan demi menghidupi anak semata wayangnya.
"Baiklah. Sampaikan salamku untuk Deby!"
"Oke!"
Selepas Boy pergi, Jay masih bergeming di kursinya. Ia mengambil satu batang rokok lagi dari kotak rokok di atas meja. Sepertinya ia tak ada niatan untuk beranjak dari kursinya. Malam masih sangat panjang. Dan ia tak punya rencana pergi ke manapun.
Sungguh miris sekali, bukan?! Seorang laki-laki tampan dengan dompet tebal tidak mempunyai teman kencan di malam minggu. So, pathetic!
Boy benar tentang dirinya yang berdompet tebal. Pagi-pagi sekali saat ia terbangun, ponselnya berbunyi. Sebuah pemberitahuan uang masuk ke dalam rekeningnya terpampang jelas di layar ponselnya. Jay terkekeh menertawai diri.
"Jay … Jay … kamu ahli mendapatkan uang, tapi bodoh dalam urusan kepuasan diri sendiri. Bodoh!"
Tiap kali Jay hendak melakukan hubungan intim ia selalu membuat taruhan. Jika sang wanita terpuaskan maka Jay akan menerima kiriman sejumlah uang. Begitupun sebaliknya, jika Jay mencapai klimaks yang diidamkannya, maka ia rela menggelontorkan uang sebanyak yang wanita mau. Namun sayangnya, tak pernah terjadi sepanjang sejarah dirinya menjajahi tubuh para wanita.
"Aku harus berburu," desis Jay frustrasi.
Ia mematikan batang rokoknya yang masih panjang dan bergegas menyambar ponselnya. Ia melangkah keluar cafe menuju bar. Berharap kali ini ada wanita yang bisa membuatnya PUAS!