Jay mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru area lantai dansa. Ia mencari wanita yang akan menghangatkan ranjangnya malam ini.
"Ck!" Ia berdecak pesimis.
Sepertinya, tak ada satupun wanita yang menarik hatinya. Wanita dengan pakaian serba minim, memamerkan lekuk tubuh mereka tengah meliuk-liukkan badan mengikuti dentuman musik di lantai dansa. Semuanya nampak sama di mata Jay. Membosankan! Lalu sebenarnya wanita seperti apa yang berbeda di matanya?
"Jay! Tak kusangka kita bertemu di sini!"
Sebuah sapaan mengecoh pindaian matanya. Ia menoleh ke arah samping. Seorang laki-laki yang tengah merangkul pinggang wanita sexy mendekati Jay.
"Hai, senior Max! Sungguh kebetulan yang menyenangkan. Minum bersamaku di sini!" ajak Jay berbasa basi.
Ia berusaha bersikap menghormati laki-laki itu meski dalam hati ia sangat tak menyukai perangainya. Ia adalah senior Jay di kantor.
Laki-laki itu mengibaskan telapak tangannya ke udara.
"Ah, tidak! Aku akan minum bersama para kesayanganku di sana," ujarnya angkuh sembari menunjuk ke arah sofa panjang di sudut klub malam tersebut.
"Kamu ikutlah denganku. Di sana banyak teman-temanku yang tak punya pasangan malam ini. Bersenang-senanglah dengan kami," sambungnya.
Jay menoleh ke arah yang ditunjukkan tangan seniornya itu. Nampak dari kejauhan beberapa orang duduk mengobrol sambil menenggak minuman yang sama seperti dirinya.
"Kulihat di sana sangat ramai. Apakah senior sedang mengadakan pesta?" tanya Jay mengudarakan rasa penasarannya.
"Bukan pesta. Itu hanya perkumpulan reuni kecil sekolah kami dulu. Ikutlah denganku. Biar kukenalkan kamu dengan primadona sekolah kami!"
Jay tersenyum tipis. "Terima kasih atas tawarannya. Tapi, aku masih menikmati minumanku di sini," tolak Jay sambil mengacungkan gelas alkohol ke arahnya.
Max menarik ujung bibirnya sinis. "Baiklah, kamu yang rugi!" ucapnya seraya pergi meninggalkan Jay.
Jay tak merespon. Ia sedang malas berurusan dengan Max. Saat ini, otaknya sedang sangat sibuk mencari wanita yang bisa "mengobati" dirinya.
"Mau kutambah minumanmu, tuan?"
Jay mengangguk tanpa menoleh.
Bartender melakukan tugasnya dengan sangat baik. Mencampur beberapa komposisi minuman hingga terhidang satu lagi minuman yang mampu membakar kegelisahan Jay malam ini.
Ia mengambil ponsel dan mengecek kontaknya. Jay menggulirkan ibu jarinya dengan sangat lincah di atas layar ponsel. Ia berharap ada satu atau dua nama wanita yang bisa menemaninya malam ini.
Namun sayangnya, nihil! Tak ada dari sekian nama yang tertera di kontaknya yang membuat semangat malam ini bertambah panas.
"Sial! Aku kehabisan stok!" umpatnya.
Jay bukan seorang laki-laki yang "asal comot" dalam hal teman ranjang. Ia menilai mereka terlebih dahulu saat pertama kali berkenalan.
Jangan salah, semua wanita yang tidur dengan Jay bukanlah wanita sembarangan. Kebanyakan dari mereka memiliki latar belakang yang hebat. Bagaimana bisa begitu, sedangkan Jay hanya agen properti biasa?
Tentu saja itulah keahlian Jay. Ia mendapatkan wanita-wanita berkelas tersebut hasil dari memanipulasi pikiran. Ada diantara mereka adalah "hadiah" dari pemilik properti yang berhasil Jay jual. Dan tak sedikit juga, pemilik properti sendirilah yang menawarkan kehangatan pada Jay. Jay sangat beruntung!
Jay menenggak tetesan terakhir minumannya. Otaknya buntu dan moodnya sedang tidak baik. Ia akhirnya memutuskan untuk pulang ke apartemen.
Detik di arlojinya masih menunjukkan waktu masih "sore" untuk standar Jay bermain di malam akhir pekan.
Kesadarannya masih cukup bagus untuk mengendarai mobil, sehingga ia tak harus memanggil supir pengganti untuk mengantarnya pulang. Tapi, entah apa yang membuatnya langkahnya terhuyung ketika Jay menjejaki turun anak tangga hingga hampir saja terjungkal.
"Ough, shit!"
Jay menoleh ke arah belakang. Ia mengecek apa yang mengganggu langkahnya. Dari posisi tempat ia berdiri dengan pencahayaan yang remang, Jay tak bisa melihat dengan jelas. Tapi satu hal yang pasti, sesuatu yang menghalangi langkahnya adalah sesosok wanita dengan rambut panjang terurai ke depan.
Seketika bulu kuduk Jay meremang. Perlahan ia mendekat. Setelah cukup dekat, ia dapat melihat ada seorang wanita tengah duduk sambil menangis.
Jay mengucek matanya sekali lagi, memastikan bahwa ia tak sedang dalam keadaan mabuk berat hingga melihat penampakan hantu yang sedang menangis.
"Siapa di situ?"
Dengan setengah ragu, Jay terus mendekat dan kini suara tangis wanita itu semakin jelas terdengar.
"Kamu tidak apa-apa, sweety?" tanya Jay lembut.
Jay mengulurkan tangan dan berusaha mengerahkan sisa-sisa kesadaran untuk mengetahui siapa wanita itu melalui sentuhannya. Ia ingin tahu apa yang menyebabkan wanita itu menangis sendirian di klub malam seperti ini.
Jay hampir mengenai permukaan kulit tangan wanita itu saat dirinya terhempas ke belakang karena sebuah dorongan kasar seseorang dari arah belakang. Beruntung pijakan kakinya stabil sehingga ia tak serta merta terjatuh ke lantai.
"Minggir! Jangan halangi jalanku!" maki suara itu.
"Shit!" Amarah Jay meledak. Ia benar-benar kesal dengan ulah laki-laki itu.
"Di sini rupaya kamu bersembunyi, jalang! Ayo cepat ikut aku! Aku sudah membayar mahal untuk tubuhmu!"
Wanita itu meronta, meminta untuk dilepaskan. Tapi sang laki-laki sudah sangat murka sehingga tak ada ampun bagi lengan sang wanita. Ia terus saja menarik tangan wanita itu.
Amarah Jay tak tertahan lagi. Terlebih lagi ia melihat perlakuan kasar sang laki-laki pada wanita yang sedang menangis itu. Ia menyeret kasar tangan sang wanita tanpa ampun.
"Hei bangsat! Lepaskan tangan kotormu itu! Bersikaplah selayaknya lelaki sejati!"
Laki-laki tersebut sontak menoleh ke arah Jay. Ia berang mendengar Jay menghardiknya.
"Siapa kamu? Jangan ikut campur urusanku!"
Laki-laki itu mendorong tubuh wanita itu hingga tersungkur di sudut tembok. Ia lalu mendekati Jay dan mencengkeram kerah baju Jay.
Tanpa disadari Jay, sebuah hantaman keras mendarat di pipinya. Ia bahkan belum siap untuk hal itu. Jay terjungkal ke belakang. Darah segar mengalir di sudut bibirnya.
"Damn it!"
Belum siap ia bangkit. Laki-laki itu kembali mencengkeram kerah Jay. Saat itu Jay mencekal kedua tangan lak-laki itu guna menghindari pukulan susulan juga untuk mengetahui masa depan dari perkelahian itu.
"Baiklah, aku menyerah! Tolong lepaskan aku!"
Jay memilih untuk menyerah. Sesaat tadi ia melihat masa depan perkelahiannya. Jika ia tetap meneruskan perkelahian, ia tak akan menang. Sebab laki-laki itu akan memanggil komplotannya dan Jay akan berakhir dengan babak belur. Sudah cukup dengan bogeman di wajahnya. Ia tak ingin menambah luka lagi di wajah tampannya.
Laki-laki itu mengendurkan cengkeramannya dan mendorong kasar tubuh Jay.
"Kamu beruntung tak kuhabisi malam ini. Jangan ikut campur urusan orang lain!"
Jay mengangkat tangan tanda menyerah. Ia diam saat laki-laki itu kembali menyeret sang wanita masuk ke dalam klub.
"Wanita yang pemberani," desis Jay.
Saat melihat masa depan perkelahiannya dengan laki-laki itu, sekilas Jay melihat masa depan wanita itu. Jay melihat wanita itu tak tinggal diam diperlakukan kasar oleh sang laki-laki. Ia melawan dengan menghantamkan kepala sang lelaki menggunakan botol minuman beralkohol lalu melarikan diri.
Karena itulah, Jay memutuskan untuk tidak membantu wanita itu. Sebab ia tahu, wanita itu akan selamat oleh kekuatannya sendiri.