Masa depan. Di tangan Jay, masa depan bisa berubah. Jay bukan Dewa atau manusia super yang mempunyai kekuasaan bisa mengubah takdir bumi. Ia hanya manusia yang bisa mengambil antisipasi sebelum masa depan itu datang.
Jay melepas pagutannya. Ia terpaksa menghentikan aksinya melahap bibir mungil milik Maria. Tangan yang berkelana menjelajahi lekuk tubuh Maria pun terpaksa ia lepas dari lekuk pinggang Maria. Mundur satu langkah demi menjauhi Maria adalah keputusan terbaiknya.
"Ada apa?" lirih Maria di tengah napas yang tersengal.
Matanya masih berkabut. Hasratnya masih memuncak di atas ubun-ubun. Ia ingin meneruskan apa yang sudah ia mulai setengah jam yang lalu.
Jay beranjak ke tepi ranjang dan duduk di sana dengan sikap diam seribu bahasa.
Maria bingung. Ia mengingat-ingat semua aksinya sejak pertama kali memasuki kamar hotel ini. Ia menelusuri ingatannya dan berusaha menemukan apakah ada gerakan ataupun ucapan yang membuat laki-laki yang menciumnya itu tersinggung.
Seingatnya, ia tak melakukan kesalahan. Dari gerakan Jay yang menyambut baik semua perlakuannya, ia meyakini bahwa ia mampu memuaskan Jay.
Jay mendongak. Ia menatap nanar sosok di depannya itu.
Kemeja yang sudah tak rapi lagi dengan dua kancing di bagian atas terlepas secara mengenaskan. Bahu mulus itu kini terekspose dengan satu utas tali bra yang tersampir di atasnya. Pemandangan indah bagi kaum Adam!
Jay mengusap wajahnya gusar. Seolah menyesali perbuatannya.
"Sial!" rutuk Jay.
Maria mendekat lalu duduk di samping Jay.
"Ada apa? Apakah aku mengecewakanmu? Maafkan aku." Maria tertunduk lesu.
Jay menoleh. Ia melihat wajah sedih Maria. Hati Jay semakin tersayat mendengar penuturannya.
"Maafkan aku, Maria. Aku tidak bisa meneruskan ini. Aku minta maaf," lirih Jay menyesal.
***
3 jam sebelumnya...
"Sepertinya, kamu baru makan di restoran ini?"
Jay menyela kegiatan Maria yang tengah mengagumi keindahan interior dari restoran yang ia datangi. Jay memilih tempat duduk di sebelah kanan restoran dengan tembok yang disulap menjadi rak buku. Banyak buku-buku berjejer rapi di dalamnya, layaknya sebuah perpustakaan. Dan Maria sangat menyukai itu!
Jujur saja, ini adalah kali pertama bagi Maria masuk ke dalam restoran itu sepanjang hidupnya tinggal di kota Lyon.
Sebuah gedung hotel yang terletak berseberangan dengan gedung berwarna hijau --Euronews-- di pinggiran sungai Saone menjadi pilihan Jay untuk mengajak Maria menyantap makan malam.
Meski pada rencana awal, Maria ingin mengajak Jay menginap di rumahnya, tapi Jay meminta agar Maria tak memaksakan keinginannya yang satu ini. Jay ingin tidur di hotel bersama Maria. Ia tak ingin ada gangguan dari siapapun.
Maria menyetujuinya dengan satu syarat yakni, ia sendiri yang memilihkan hotel untuk Jay. Jay tak keberatan.
Maria akhirnya membawa Jay pada hotel bintang tiga itu. Sebuah bangunan yang selalu ia lihat tatkala melintasi jalan tersebut. Hotel yang sangat ingin ia kunjungi dan sekarang impiannya terwujud.
"Yup! Aku selalu memimpikan masuk ke dalam bangunan ini."
Jay tersenyum lembut. Ia masih penasaran dengan sosok Maria. Jay sengaja menyentuhkan kembali tangannya, meraih tangan kanan Maria yang tergeletak di atas meja lalu mengusapnya lembut. So Romantic, menurut Maria.
"Jadi? Siapa namamu, sayang?"
Maria tertegun. Haruskah ia memberitahu nama aslinya? Tapi, bukankah ia sudah berjanji untuk memberitahu Jay seusai tour siang tadi?
Maria menghela napas.
"Baiklah ... rupanya kamu bersikeras ingin mengetahui nama asliku."
Maria akhirnya memulai kisah kehidupannya.
Brielle, adalah nama asli Maria yang artinya salah satu jenis dari keju. Dia tidak suka dengan nama itu karena mengingatkannya pada masa kecilnya di panti asuhan. Dia adalah gadis desa dari suatu desa kecil di pinggiran sungai Rhone. Keluarga angkatnya adalah petani anggur di desa tersebut.
Bukan keluarga seutuhnya. Maria hanya tinggal bersama seorang laki-laki dewasa yang ia panggil paman. Sehari-hari, Maria membantu pamannya di kebun Anggur. Saat bertemu dengan Jay siang tadi --di restoran pinggir jalan itu, ia baru saja selesai mengantar pesanan di sekitar jalan tersebut. Tanpa sengaja, saat dirinya tengah membelikan makan siang untuknya, ia melihat sosok yang sangat menarik perhatiannya. Jay!
Jay mendengarkan cerita Maria dengan seksama. Berbeda dengan wanita yang sering Jay sentuh. Jay bisa melihat masa depan mereka 5 jam ke depan. Tapi terhadap Maria, ia merasakan hal lain. Ia tak bisa melihat masa depan Maria. Aneh, bukan? Karena itulah, Jay terus menerus menyentuh kulit Maria. Mulai bersentuhan tangan, pipi, hingga mengusap lembut rambut ikal Maria.
'Siapa kamu sebenarnya?' batin Jay resah.
Tatkala Jay menyentuh kulit Maria, sekelebat memori masa lalu Maria nampak jelas di pelupuk mata Jay.
Maria bercerita sambil menikmati makanan yang tersaji oleh pramusaji di restoran itu. Matanya berbinar saat makanan mewah itu menyentuh lidahnya.
"Ini enak sekali! Aku tak pernah merasakan makanan seenak ini. Boleh ku tahu apa nama makanan ini?"
Restoran yang disambangi Jay menyediakan makanan Perancis dan Mediterania. Jay tidak terlalu terkesan dengan makanan tersebut. Baginya, yang sudah sering keluar masuk hotel dan restoran mewah, makanan tersebut terasa wajar meski memang enak di lidah. Terlebih lagi ekspresi Maria saat meminum Margarita yang disajikan, menambah kesan imut di mata Jay.
"Boleh aku meminta minuman ini lagi? Rasanya enak meskipun sedikit asam," ujarnya setelah menenggak habis gelasnya.
Jay terkekeh. Ia mengusap pucuk kepala Maria dengan penuh kasih. Tak pernah sebelumnya ia merasakan perasaan seperti ini pada wanita manapun.
"Malam ini, kamu tidur di hotel bersamaku, mau 'kan?" ajak Jay.
Jay benar-benar belum bisa melihat masa depan Maria. Tiap kali sentuhan itu, selalu saja menampilkan masa lalu Maria.
Maria, gadis pedesaan yang ternodai oleh keyakinan hatinya. Ia terlalu percaya bahwa orang yang selama ini melindunginya, malah merusaknya. Miris sekali!
Maria bergeming. Ia menghentikan kunyahan mulutnya.
"Ada apa, sweety? Apa kamu tidak mau menemaniku malam ini?" goda Jay.
"Aku ingin sekali ... tapi, aku belum meminta ijin pada paman. Aku takut paman marah padaku karena tidak pulang malam ini."
"Baiklah ... aku tidak akan memaksamu. Setelah menyelesaikan makan malammu, aku akan mengantarmu pulang," ujar Jay.
Entah apa yang membuat Jay ingin melindungi gadis itu. Ia bahkan tak merayunya kembali agar mau tidur dengannya.
"Mm ... baiklah. Aku akan pulang bersamamu ke hotel. Besok pagi-pagi sekali aku akan segera pulang." Maria berubah pikiran.
"Good! Kalau begitu, bisakah kita beranjak dari sini. Kamu bisa menceritakan semua hal tentangmu di kamar nanti," ujar Jay sambil mengerlingkan matanya.
Jantung Maria berdegup semakin kencang.
Jay menggandeng tangan Maria keluar dari restoran. Mereka berjalan menuju pintu lift yang akan membawa mereka menuju kamar yang telah Jay pesan sebelumnya.
Jay masih memegang tangan Maria. Ia benar-benar dibuat bingung dengan penglihatannya. Ia sama sekali tak menemukan masa depan dengan Maria di atas ranjang.
'Apakah dia adalah wanita yang bisa menghilangkan kuukanku?' tanya Jay membatin.