"Ssshh ... " Jay mendesis kecil. Ia tengah membersihkan luka dari sudut bibirnya. Darah yang mengalir beberapa waktu yang lalu pun sudah mengering.
Jay mematut diri di depan cermin kamar mandi. Setelah menyatakan diri menyerah dalam perkelahian di klub, ia memutuskan untuk pulang ke apartemen. Moodnya tidak bisa ia ajak kompromi hanya sekedar untuk melanjutkan kegiatannya berburu.
"Sial sekali, aku malam ini!" rutuk Jay.
Niat hati ingin menambah koleksi teman tidur, wajah Jay malah mendapatkan bogem mentah dari laki-laki yang tidak ia kenal.
"Sial! Untung saja memar di wajahku tidak banyak," rutuknya sambil mengecek sekali lagi tiap inci wajahnya.
Jay membuang semua kapas yang telah ia pakai untuk mengobati luka sobekan akibat hantaman tangan di ujung bibirnya ke tempat sampah lalu keluar dari kamar mandi.
Saat dirinya baru saja keluar dari kamar mandi, ponselnya berdering. Ia lantas menyambar benda pipih tersebut dan melihat nama si pemanggil pada layar ponsel.
"Vicky?" gumamnya.
"Halo?"
Jay menekan tombol terima panggilan dan mendengarkan maksud dari si penelepon.
"Mm ... sure! Kamu boleh datang, aku tunggu. See you soon, sweety."
Klik! Jay mematikan ponselnya.
"Lebih baik berdua daripada sendiri, bukan?" gumam Jay.
Ternyata Vicky! Wanita cantik yang berprofesi sebagai model di sebuah majalah dewasa itu menelepon Jay karena rindu pada sentuhan Jay, dan kebetulan malam ini ia baru saja selesai melakukan pemotretan di dekat area apartemen Jay.
Jay menyambut dengan senang hati niatan wanita sexy itu menginap di apartemennya. Wanita yang sebulan lalu menghangatkan ranjang milik Jay. Sejarah percintaan Jay selalu mencatat bahwa ia tak pernah menerima wanita yang sama untuk kedua kali, tapi malam ini ia terpaksa menerima Vicky. Pikir Jay, kehadiran Vicky dapat membantunya merawat luka memar di wajahnya. Meski hasratnya tetap tak bisa terpuaskan oleh Vicky.
***
Kriiing!!!
"Halo?"
" ... "
"Baik tuan, saya akan segera ke ruangan tuan sekarang."
Telepon jadul berwarna hitam dengan putaran angka di atasnya itu berdering. Jay mengangkatnya dan langsung saja sebuah perintah telah terlontar agar Jay mendatangi ruangan bosnya.
Jay tahu, jika bosnya memanggil melalui telepon kantor, pastilah sesuatu yang berurusan dengan projek yang penting, dan hanya dirinyalah yang bisa menyelesaikannya. Jika bukan hal tersebut, tuan Richard selalu mengutarakan tugas atau ide-idenya pada semua agen properti melalui acara rapat mingguan.
Jay bergegas berjalan menuju ruangan tuan Richard. Beruntung pagi ini suasana kantor tidak terlalu berisik. Mungkin karena senior Max belum datang.
Tok ... tok ... tok ...
"Permisi, tuan."
Jay mengetuk pintu ruangan tuan Richard yang sedikit terbuka.
"Masuk, Jay!"
Jay memasuki ruangan tak ber-AC itu. Tuan Richard alergi dengan suhu dingin dari AC. Karena itu, tak ada AC di ruangannya. Lalu apakah ia tidak merasa kepanasan dalam ruangan tersebut. Tentu saja tidak, jawabannya.
Tuan Richard paling ahli dalam mencari bangunan untuk ia jadikan kantor bagi agensinya. Ya! Bangunan berlantai tiga itu terletak di kota Annecy. Kota yang dikenal dengan julukan "Venesia mini" karena sering dianggap sebagai tempat yang ideal untuk pergi dengan pasangan.
Bangunan yang disebut kantor itu tak ubahnya seperti bangunan rumah biasa yang memiliki tiga lantai dengan lantai dasar disulap menjadi sebuah kedai kopi. Dan di kedai kopi tersebut biasa menjadi tempat pertemuan para klien yang ingin menjual properti mereka.
Jay sendiri tak mengerti dengan jalan pikiran bosnya itu. Mengapa tak menyewa ataupun membeli gedung perkantoran di pusat kota sehingga mudah mendapatkan klien dan akses mobilitas kendaraan maupun percepatan uang yang mudah di pusat kota. Hingga detik ini, Jay tak bisa menebak pikiran maupun masa depan bosnya itu. Satu hal yang pasti karena Jay tidak pernah bersentuhan langsung dengan kulit bosnya itu.
Tuan Richard selalu memakai sarung tangan lateks berwarna putih ke manapun ia pergi. Alasan klise, dia tidak ingin tangannya terkena bakteri saat dirinya berjabat tangan dengan orang lain. Terserahlah, Jay tidak peduli dengan itu!
Jay berdiri di depan meja bosnya itu. Matanya menoleh ke arah samping kanan. Pemandangan luar bangunan langsung terpampang jelas melalui jendela ruangan tersebut. Sungai dengan aliran air yang tenang dan lalu lalang manusia beraktifitas di tepi sungai tersebut menjadi pemandangan yang tak membosankan baginya. Ruangan tuan Richard berda di lantai paling atas. Karena itulah pemandangan tersebut bisa membuatnya betah berlama-lama duduk di dalam ruangan meski tak memiliki AC, sebab udara sejuk langsung ia dapati dari jendela yang terbuka lebar.
Jay selalu menyukai ruangan ini.
"Ehem!"
Jay tersentak dari lamunan. Ia menoleh ke depan dan mendapati bosnya tengah menatapnya intens.
"Apa yang terjadi semalam?" tanya tuan Richard tiba-tiba.
Netra Jay membulat. Dalam hati ia terkejut. 'Bagaimana dia bisa tahu kejadian semalam?'
"Saya merasa senang dengan yang kamu lakukan semalam. Dengan begitu, memudahkan salah satu pekerjaan saya."
Jay mengerutkan dahi. Ia tak mengerti ucapan laki-laki berdasi di depannya itu.
"Jay, pelajari ini!"
Tuan Richard menyodorkan sebuah map berwarna biru ke atas meja.
"Di dalamnya terdapat informasi untuk tugasmu kali ini," sambungnya.
Jay mengambil map tersebut dan membukanya. Netranya memindai cepat data-data yang terlampir di halaman depan berkas tersebut.
"Apakah benar mansion ini akan dijual?" tukas Jay sangsi.
"Yes! Ada apa? Apa kamu keberatan?"
Jay mendongak. Ia buru-buru menepis keraguan dalam nada bicara bosnya itu.
"Ah, tidak! Saya hanya sedikit terkejut. Sangat disayangkan jika bangunan semewah ini harus dijual. Apakah tidak sebaiknya disewakan saja?" ujar Jay masih membaca lembar demi lembar berkas tersebut.
"Pemilik asli dari mansion itu sudah meninggal. Ia memberikan kuasa atas mansion tersebut pada cucu kesayangannya. Nona Wilona Agatha Dinan. Lihat profilnya!" titah tuan Richard.
Jay membuka lembaran berikutnya sesuai perintah tuan Richard. Lembaran tersebut berisikan data diri dari gadis yang menghuni mansion tersebut.
"Tertulis di sini, bahwa nona Wilona tinggal di dalam mansion tersebut hanya dengan dua asisten rumah tangga dan satu tukang kebun. Mm ... tuan, apakah orang tua nona Wilona tidak tinggal bersamanya?" tanya Jay sambil mendongak ke arah bosnya.
Tuan Richard mengedikkan bahu ringan. Ia lalu mencondongkan tubuh dari posisi sebelumnya yang bersandar pada kursi empuk dan menyatukan kesepuluh jemarinya di atas meja.
"Biar kukatakan satu hal sebagai bekalmu melaksanakan tugas ini."
Jay mendengarkan seksama. Ia tahu, tugas kali ini pastilah tidak mudah. Terlihat dari raut wajah tuan Richard yang nampak serius mengatakan kalimat terakhirnya.
"Tersiar kabar bahwa nona Wilona sangat misterius sehingga terkesan sulit didekati. Langkah pertamamu adalah membujuk nona Wilona agar mau menjual mansion itu bagaimanapun caranya."
"Bagaimanapun caranya?!" Jay menegaskan kalimat bosnya.
"Yes! It's all in your hands. Go ahead!"
Entah kenapa, saat mendengar kalimat perintah dari tuan Richard, seketika bulu kuduknya meremang.
"Baik tuan Richard. Saya tidak akan mengecewakan anda," sahut Jay singkat.