Namun melihat Brama yang masih belum cukup umur Ki Paronwaja memutuskan untuk tidak menceritakan masa lalunya kepada Brama.
"Nanti saja Ayah ceritakan kepadamu tentang masa lalu Ayah, Brama. Kini belum waktunya kamu untuk pendengarnya," jawab Ki Paronwaja.
Sebenarnya Brama merasa kecewa sebab ia sangat penasaran mengapa Ki Paronwaja hidup terasing di dasar jurang itu.
Tetapi Brama bersyukur jika ia bisa diselamatkan oleh Ki Paronwaja, walaupun kini kondisinya tidak sempurna seperti dulu lagi.
Brama pun menuruti perkataan Ayah angkatnya. ia kemudian menjalani hari-harinya dengan didikan dan asuhan dari Ki Paronwaja sampai Brama berusia 20 tahun.
Ki Paron wajah juga sudah mulai berubah penampilannya, ada beberapa helai uban di rambut panjang dan janggutnya.
Nmun ia senang sudah bisa membimbing Brama untuk bisa menguasai ilmu kanuragan.
Bahkan Brama juga bisa menguasai ilmu Segara Gunung yang diturunkan Ki Paronwaja kepada dirinya. Walau Brama merasa sangat berat saat dirinya harus menguasai ilmu Segara Gunung itu.
Karena Brama harus berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam dengan bersemedi di sebuah air terjun yang berada di dekatku rumah Ki Paronwaja.
Namun dengan keteguhan hatinya Brama berhasil menguasai ilmu Segara Gunung itu.
Tetapi berat juga bagi Brama untuk bisa menguasai ilmu kanuragan setingkat ajian Segara Gunung.
Karena ia hanya memanfaatkan kedua kaki dan satu tangannya saja. Tetapi Brama tidak menyerah karena Ki Paronwaja selalu mendukungnya.
Kini Brama sudah berhasil menguasai ilmu segaragunung itu. Bahkan ia pernah menghancurkan sebongkah batu besar dengan tangan kanannya menggunakan ajian Segara Hunung dan Hal itu membuat Ki Paronwaja merasa sangat puas setelah mendidik anak angkat yang juga muridnya.
Tetapi pada suatu hari Brama penasaran dengan masa lalu Ki Paronwaja yang tak pernah diungkap oleh ayah angkatnya. itu.
Brama pun memberanikan lagi dirinya untuk bertanya tentang kehidupan Ki Paronwaja di masa lalu.
"Maaf Ayah, sekarang aku sudah dewasa. Bolehkah aku tahu masa lalu Ayah? Mengapa Ayah mengasingkan diri di tempat ini?" tanya Brama. Ki Paronwaja pun tersenyum kepada muridnya itu.
"Sepertinya kamu sangat penasaran dengan masa lalu Ayah ya?" tukas Ki Paronwaja. Rangga pun membalas senyum Ayah angkatnya itu yang begitu menyejukkan.
"Iya, Ayah. Aku harap Ayah berkenan menceritakannya," jawab Brama. Ki Paronwaja pun menghela napasnya.
"Ketahuilah, Brama! Dulu Ayah adalah seorang perampok yang sering menguras harta milik para bangsawan untuk bisa dibagikan kepada rakyat kecil. Tetapi Ayah kemudian bertaubat dan berhenti menjadi perampok," papar Ki Paronwaja.
"Lalu Ayah menikah dan memiliki seorang istri yang cantik. Tetapi ada yang mengetahui kalau Ayah adalah bekas perampok, sehingga mereka kemudian membalas dendam kepada Ayah dengan membunuh istri dan bayi di dalam kandungannya," sambung Ki Paronwaja.
"Ayah merasa kalau Ayah mendapatkan sebuah karma. Kemudian Atah mengasingkan diri di sini, karena aku tidak lagi mau berhubungan dengan dunia luar," jelas Ki Paronwaja. Brama pun merasa terkejut mendengar masa lalu gurunya itu.
"Lalu mengapa Ayah tidak membalas dendam saja kepada orang-orang yang telah membunuh istri Ayah?" tanya Brama.
Ia sebenarnya merasa heran mengapa Ki Paronwaja sendiri mengizinkan Brama membalas dendam, tetapi pria itu malah membiarkan orang-orang yang sudah membantah istrinya hidup bebas.
"Ayah sudah bersumpah untuk tidak membunuh mengotori tangan ayah dengan darah, sejak Ayah berhenti menjadi perampok. Jadi Ayah tidak mau mengingkari sumpahku itu," jelas Ki Paronwaja. Brama pun terpekur mendengarnya.
"Berarti selama ini Ayah tidak mau membalas dendam karena sumpah itu?" tanya Brama.
Ki Paronwaja menganggukan kepalanya, walau hatinya merasa hancur ketika mengingat istrinya telah tewas di gubuk mereka dengan bayi yang sudah meninggal dalam kandungannya.
Brama merasa iba dengan Ki Paronwaja, karena sumpah yang sudah diucapkannya.
"Bagaimana jika aku yang mencari para pelaku pembunuhan itu, Ayah? Sebab aku juga tidak mau jika penghancur keluarga Ayah masih hidup bebas tanpanrasa berdosa?" saran Brama. Namun Ki Paronwaja malah tersenyum.
"Tidak usah, Brama. Aku ikhlas dengan kepergian istri dan calon anakku, karena aku merasa semua itu adalah salahku. Dan kini aku harus menerima karmanya," jawab Ki Paronwaja.
Brama masih merasa heran dengan keputusan Ki Paronwaja. Namun Paron wajah menatap Brama dengan lekat.
"Aku merestuimu untuk mencari para pembunuh orang tuamu lalu membuatmu jadi begini, Brama. Usiamu sudah dewasa dan kamu bisa keluar dari tempat ini untuk mengembara," titaj Ki Paronwaja.
Brama sebenarnya juga ingin bisa menyelidiki pembunuhan orang tuanya. Tetapi ia merasa ragu dengan kekuatannya.
"Entah mengapa, aku meragukan kekuatanku sendiri untuk bisa keluar dari tempat ini, Ayah. Sebab aku merasa takut jika kekuatanku melemah saat berhadapan dengan para orang jahat itu," ungkap Brama.
"Jangan bicara seperti itu, Brama. Kamu harus memantapkan hatimu untuk bisa mencari pelaku pembunuhan kedua orang tuamu," ujar Ki Paronwaja.
"Kamu juga harus bisa membela kebenaran dan menumpas kejahatan. Berilah perlindungan kepada rakyat kecil yang membutuhkan bantuanmu," Ki Paronwaja membesarkan hati Brama untuk bisa pergi mengembara.
Brama pun terdiam Ia berpikir sejenak dan kemudian mengelus lengan kirinya yang kini sudah tiada.
"Aku merasa kondisiku ini tidak sempurna, Ayah dan apakah aku bisa menemukan pelaku pembantaian orang tuaku dan juga menumpas kejahatan seperti yang Ayah harapkan?" ujar Brama. Nyalinya masih ciut untuk bisa menghadapi dunia luar.
Tetapi Ki Paronwaja menepuk bahu Brama dengan lembut.
"Jangan rendah diri seperti itu, Nak! Kmu sudah kubekali dengan ilmu Segara Gunung yang cukup mumpuni, dan ilmu bela dirimu juga sudah cukup tinggi. Bagiku kamu sudah siap untuk bisa menjelajah ke dunia luar dengan bekal yang aku berikan padamu," papar Ki Paronwaja. Brama pun menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, Ayah. Aku siap untuk mengembara dan mencari para pelaku pembunuhan Ayah dan ibuku," jawab Brama. Ki Paronwaja pun merasa senang mendengarnya.
"Ttu baru anakku yang paling hebat," puji Ki Paronwaja.
"Lalu kapan waktu yang tepat untuk aku bisa mengembara, Ayah?" tanya Brama lagi.
"Lebih cepat lebih baik, Brama. Lalau bisa, besok kamu sudah harus meninggalkan gubum ini dan mencari jati dirimu," jawab Ki Paronwaja. Brama terdiam membisu.
Ia sebenarnya masih ragu untuk bisa keluar dari tempat itu. Namun kejadian pembantaian kedua orang tuanya membuat semangat Brama berkobar.
Ia harus bisa mengetahui siapa yang tega membunuh kedua orang tuanya dan membuatnya seperti sekarang ini lalu membalaskan dendamnya, agar jiwa kedua orang tuanya tenang di alam sana.
"Baiklah, Ayah. Aku siap untuk menghadapi dunia luar," jawab Rangga dengan nada tegas.
"Ada lagi yang akan kusampaikan kepadamu, Brama," ujar Ki Paronwaja.
"Apa itu, Ayah?" tanya Brama.