Brama sebenarnya merasa sangat trauma dengan sabetan pedang, karena ia teringat saat ia kehilangan lengan kirinya oleh pedang penjahat yang sudah membuatnya cacat seperti sekarang.
Namun Brama berusaha mengendalikan rasa emosi dan perasaan traumanya untuk bisa menghadapi Raden Mardian. Brama berupaya mengelak serangan pedang Raden Mardian.
Dan ia berhasil menggenggam tangan Raden Mardian dan memelintirnya dengan keras, sehingga membuat Raden Mardian mengerang kesakitan dan menjatuhkan pedang yang digenggamnya.
Lalu Brama menekuk tangan kanan Raden Mardian ke belakang, sehingga Raden Mardian kembali meraung kesakitan karena aksi Brama.
"Kurang ajar kamu, pria buntung! Kamu bermain licik," seru Raden Mardian. Tetapi Brama malah tersenyum kepada Raden Mardian.
"Aku tidak pernah berbuat licik, Raden. Kamu yang sudah menyakiti hati para rakyatmu sendiri," tegur Brama.
Duag!
Kemudian Brama menendang punggung Raden Mardian sampai jatuh tersungkur dan kembali meringis kesakitan.
Walau begitu, Raden Mardian tidak menyerah. Ia kemudian berusaha kembali mengambil pedang itu.
Trang!
Dengan sigap, Brama menjauhkan pedang itu dari Raden Mardian sehingga pedang itu terlempar jauh karena ditendang oleh kaki Brahma.
Duag!
Brama juga menendang dagu Raden Mardian, sehingga ada gigi geraham bawah Raden Mardian yang tanggal karena tendangan Brama yang begitu kuat.
Cuh!
Raden Mardian pun memuntahkan gigi gerahamnya yang tanggal dengan darah merah, sorot matanya kembali menajam, meski mulutnya mengalir darah segar,
"Benar-benar pria buntung sialan! Kamu sudah membuat gigiku patah!" amuk Raden Mardian. Ia berusaha bangkit lagi untuk bisa mengalahkan Brama.
Walaupun sebenarnya Raden Mardian sangat kewalahan. Namun bagi Brama, ternyata kekuatan Raden Mardian tidak sekuat apa yang ia pikirkan.
Bahkan Brama berhasil membuat Raden Mardian babak belur dan beberapa kali jatuh terjerembap.
"Ternyata hanya sebegitu saja kemampuanmu? Kamu meninggikan kedudukanmu sebagai anak Raja, tetapi kamu tidak memanfaatkan jabatanmu itu sebagai Adipati di kabupaten ini dengan baik," ujar Brama.
"Kamu malah membuat rakyat sengsara dan berbuat seenaknya. Jadi aku yang akan menghukummu," kata Brama.
Raden Mardian pun sangat ketakutan saat mendengar apa yang dikatakan Brama. Karena ia kini sudah terluka cukup parah akibat dihajar habis-habisan oleh Brama.
"Aku ini anak raja! Kamu jangan berani-beraninya terhadap diriku, kalau tidak maka aku akan melaporkanmu kepada Ayahku. Lalu kamu akan dihukum mati, karena kamu sudah menghajar anaknya," ancam Raden Mardian. Tetapi Brama terkekeh lagi.
"Aku tahu kalau Ayahmu adalah orang baik, dan sang Raja juga tak akan menghukum aku begitu saja. Sebab kamu sendiri yang sudah bertindak sewenang-wenang kepada rakyatmu," balas Brama. Namun Raden Mardian masih tetap tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh Brama.
"Itu hak aku sebagai pemimpin di kabupaten ini. Dan tak ada seorang pun yang bisa melawan kebijakanku sebagai pimpinan di sini," tandas Raden Mardian.
"Tetapi apakah kamu tidak tahu jika rakyatmu sengsara dengan pajak yang kamu terapkan sampai setinggi langit?" tanya Brama.
"Aku tidak peduli dengan hal itu. Mau rakyatku miskin dan sengsara, itu bukan urusanku. Yang terpenting adalah mereka harus patuh terhadap aturanku. Jika tidak maka mereka yang akan kuhukum mati," celoteh Raden Mardian. Brama merasa geram terhadap tingkah Raden Mardian yang begitu keras kepala dan tidak peduli kepada rakyat kecil.
"Aku sebenarnya bisa saja membunuhmu saat ini juga, Raden Mardian. Tetapi aku ingin menunjukkan sesuatu padamu," kata Brama. Ia segera menyeret badan Raden Mardian dan memaksanya untuk bangun.
Brama juga menodongkan pedang yang tadi ditendangnya pada Raden Mardian dan diarahkan ke leher Raden Mardian, agar ia tidak berusaha kabur.
Kemudian Brama menyuruh Raden Mardian keluar dari rumahnya untuk menuju ke suatu tempat. Brama menuju ke sebuah rumah penduduk yang terbuat dari gubuk yang begitu sederhana.
"Sekarang kamu lihat bagaimana nasib rakyatmu!" perintah Brama. Ia menunjukkan tiga orang anak kecil yang sedang menangis kepada ibunya.
"Aku lapar, Ibu. Apa tak ada makanan yang bisa kami makan?" tangis anak perempuan berambut panjang yang berkulit kecoklatan.
"Iya, Bu! Aku juga lapar, perutku sudah perih," timpal bocah laki-laki yang berada di samping anak perempuan itu. dan ada anak laki-laki lain yang berusia empat tahun sedang menangis. Tampak pula wanita bertubuh kurus sedang menenangkan ketiga anaknya.
"Sabar ya, anak-anakku! Ibu belum memiliki uang untuk bisa membeli beras. Sebentar lagi ayah kalian pulang dan kita bisa makan enak," hibur wanita bertubuh kurus itu.
"Tetapi Ayah sudah tujuh hari tidak pulang, Ibu. Dan kita hanya makan kiriman nasi dari tetangga. Itupun sisa nasi kemarin," ujar anak perempuan yang paling besar. Wanita bertubuh kurus itu hanya terdiam.
"Yang penting kita bisa makan, Nak. Jangan pikirkan dari mana makanan itu berasal. Makanan itu sudah cukup menghilangkan rasa lapar di perut kita," nasihat wanita bertubuh kurus itu.
Namun ketiga anak itu malah menangis keras, karena mereka tidak tahan menahan perih di perut mereka karena saking laparnya.
"Lebih baik kalian tidur saja ya? Siapa tahu saat kalian terbangun nanti, Ayah kalian sudah pulang dan membawa uang banyak untuk kita," hibur wanita kurus itu sambil memeluk ketiga anaknya, dan mereka berempat saling bertangisan satu sama lain dalam keadaan perut yang lapar.
"Kamu lihat sendiri Raden Mardian? Ini baru salah satu contoh bahwa rakyatmu itu sangat menderita. Apakah kamu masih tidak peduli dengan nasib mereka?" tanya Brama. Raden Mardian begitu terpana melihat pemandangan menyedihkan itu.
"Kalau kamu masih saja tidak peduli dengan rakyatmu, kamu tidak pantas menjadi pemimpin. Lebih baik kamu pulang saja dan menyusu pada ibumu. Daripada kamu mengemban tugas, tetapi tidak bisa melaksanakannya," kata Brama.
Raden Mardian mendelik sebentar ke arah Brama, ia nampak tersinggung. Namun ia ikut larut dalam perasaan iba saat menyaksikan pemandangan ibu dan ketiga anaknya.
'Astaga aku terlalu larut dalam harta kekayaan yang aku miliki, sehingga aku lupa dengan mereka,' pikir Raden Mardian.
"Kamu harus ingat, Raden Mardian. Harta yang kamu miliki itu tidak akan dibawa mati, tetapi amal perbuatanmu lah yang akan membawamu ke surgaloka. Tentu kamu tidak akan mau jika berada di dalam neraka yang begitu pedih," ujar Brama sambil terus memberikan nasihat kepada Raden Mardian agar dia bisa sadar akan kesalahannya.
Raden Mardian masih terdiam. Namun matanya sudah berkaca-kaca karena melihat pemandangan menyedihkan yang tertangkap oleh kedua matanya.
"Kalau ayahmu mendengar kebijakanmu yang semena-mena ini. Mungkin saja dia akan kecewa. Jadi buatlah ayahmu bangga dengan menjadi pimpinan yang baik di kabupaten ini," ujar Brama masih terus menasihati Raden Mardian.
Tetapi ketika wanita itu mengalihkan pandangannya, ia begitu merasa terkejut saat melihat Raden Mardian tengah memperhatikan dia dan ketiga anaknya.
"Astaga, maafkan kami, Gusti! Kami tidak tahu kehadiran Gusti di rumah kami," kata wanita itu sambil bersimpuh dengan hormat di hadapan Raden Mardian.
Ketiga anaknya pun berada di belakang ibunya sambil gemetar ketakutan saat tahu Raden Mardian datang ke rumah mereka.