Chereads / Pendekar Lengan Satu / Chapter 9 - Melihat Rakyat Jelata

Chapter 9 - Melihat Rakyat Jelata

"Tidak, kalian tidak perlu untuk bersimpuh kepadaku," kata Raden Mardian.

Brama sebenarnya kaget mendengar apa yang dikatakan oleh pemimpin kabupaten itu.

Raden Mardian pun kemudian mengeluarkan beberapa keping emas dari kantongnya.

Lalu diberikannya kepingan emas itu kepada wanita bertubuh kurus tersebut.

"Silakan berilah beras dan kebutuhan rumahmu dengan pemberianku ini," ujar Raden Mardian. Wanita itu terkejut bukan main.

Ia kemudian menerima pemberian Raden Mardian dan ia begitu takjub ada beberapa keping emas di tangannya saat ini.

"Terima kasih, Gusti. Semoga Gusti selalu sehat sentosa," ucap wanita itu. Ia merasa terharu akhirnya ia menerima bantuan langsung dari pimpinan kabupaten itu secara langsung.

Wanita itu bersama ketiga anaknya berpekukan sambil bersimpuh dan mengucapkan terima kasih di hadapan Raden Mardian.

"Pergilah dan segera belanjakan emas itu untuk kebutuhan rumah dan ketiga anakmu itu. Kasihan mereka sudah sangat kelaparan," ujar Raden Mardian.

Memudian wanita bertubuh kurus itu dan ketiga anaknya mohon diri dari hadapan Raden Mardian.

Raden Mardian juga pamit kepada mereka untuk bisa kembali ke rumahnya. Tetapi Brama belum puas karena Raden Mardian belum mengetahui kondisi penduduk di sekitarnya.

"Kamu mau ke mana, Raden Mardian?" tanya Brama.

"Tentu saja aku pulang ke rumahku," jawab Raden Mardian dengan nada lesu.

"Tunggu sebentar, aku ingin menunjukkan sesuatu pada dirimu lagi," ajak Brama.

"Kamu membawaku ke mana lagi?" tanya Raden Mardian. Brama hanya tersenyum dan kemudian merangkul Raden Mardian untuk bisa pergi ke rumah penduduknya yang lain.

Mereka kemudian menemukan sebuah rumah gubuk yang sudah miring ke depan. Bahkan rumah itu sebenarnya hampir roboh dan hanya disangga beberapa bambu saja.

Di gubuk itu, Raden Mardian dan Rangga melihat ada seorang wanita tua yang tengah memasak sesuatu.

Mereka terus memperhatikan dari kejauhan melalu jendela yang terbuka. Wanita tua itu lalu menuangkan sebuah ramuan pada gelas yang terbuat dari bambu dan diminumkan pada anaknya yang sedang sakit keras.

"Maafkan Ibu ya? Ibu belum bisa membawamu ke tabib. Sebab ibu tak punya uang untuk mengobatimu," kata wanita tua itu sambil menangis melihat kondisi anaknya yang tampak lemah.

"Sudahlah, Bu. Jangan pikirkan aku, mungkin sebentar lagi juga akan menghadap Sang Hyang Widi," ujar anak laki-lakinya yang mungkin usianya di atas Brama.

"Jangan bicara begitu, Nak. Kalau kamu pergi, ibu dengan siapa?" tangis wanita tua itu.

Brama dan Raden Mardian merasa kasihan kepada wanita tua dan anaknya yang sakit keras itu.

"Kamu lihat Raden Mardian? Rakyatmu banyak sekali membutuhkan bantuanmu sebagai pemimpin. Dan kamu malah sibuk dengan kesenanganmu sendiri," papar Brama.

Raut wajah Raden Mardian seketika merasa sedih dan bersalah dengan kondisi nasibnya.

"Tunggu di sini," pinta Raden Mardian pada Brama. Brama heran apa yang dilakukan Raden Mardian.

Lalu Raden Mardian berkunjung ke rumah wanira tua itu dan kembali memberikan beberapa keping emas pada wanita tua itu.

Tentu saja wanita tua itu merasa kaget melihat kedatangan Raden Mardian yang memberikan kepingan emas untuk mengobati anak laki-lakinya yang sakit keras.

Wanita tua itu merasa sangat terharu dengan pemberian Raden Mardian. Tak hanya bersimpuh dan mengucapkan terima kasih.

Wanita tua itu kemudian memeluk Raden Mardian karena merasa sangat terbantu dengan pemberian Raden Mardian yang begitu berarti pada dirinya dan anaknya.

'Sepertinya Raden Mardian sudah memahami bagaimana menjadi pemimpin yang baik,' ujar Brama.

Kemudian Raden Mardian segera pamit dari rumah wanita tua itu. Ia kemudian menghampiri Brama lagi .

"Terima kasih Kisakak, kamu sudah menyadarkanku dengan kondisi rakyat saat ini. Aku memang tidak boleh bersenang-senang di atas penderitaan mereka," ucap Raden Mardian kepada Brama.

Brama pun menyunggingkan senyumnya, karena jika sudah berhasil menyadarkan Raden Mardian.

"Sudahlah Raden. Sudah tugasku untuk memperingatkan sesama," balas Brama. Raden Marduan pun mengajak Brama untuk singgah ke rumahnya sebagai tamu kehormatan.

Dan Brama dengan senang hati menerima tawaran itu. Sebab Ia juga ingin mendapat informasi tentang kematian kedua orang tuanya yang mungkin saja bisa didapatkan dari Raden Mardian sebagai Adipati di Kabupaten itu.

"Kamu tahu, Brama? Aku sebenarnya belum lama menjabat sebagai adipati di kabupaten ini," ungkap Raden Mardian.

"Sebab ibuku meminta Ayahku agar aku diberi daerah kekuasaan. Tetapi pamanku yang mengajariku untuk bisa hidup mewah dengan pajak yang ditanggung oleh rakyatku sendiri," sambung Raden Mardian.

Brama pun terkejut mendengarnya, Brana merasa kalau Raden Mardian mudah untuk dipengaruhi.

Sehingga dia bisa berbuat seenaknya dengan jabatan yang dimilikinya sekarang.

"Tetapi aku sadar saat melihat kondisi rakyatku yang sebenarnya. Terima kasih telah menyadarkanku," imbuh Raden Mardian.

"Itu karena kamu mendengarkan hati sanubarimua yang bicara, Raden Mardian. Sehingga kamu bisa berubah pikiran," tandas Brama.

"Jika kamu masih saja bersikap serakah Mungkin kamu tidak akan mempedulikan nasib mereka," imbuh Brama. Raden Mardian pun menganggukkan kepalanya.

"Lalu sebenarnya apa tujuanmu datang ke Kabupaten ini, Brama." tanya Raden Mardian. Ia sebenarnya malah penasaran dengan Brama.

Bahkan Raden Mardian begitu merasa nyaman bersama Brama sehingga ia memilih Brama sebagai sahabatnya. Brama pun menghela napasnya dengan pelan.

"Aku ke kabupaten Tanjung Mas ini untuk mencari para pelaku pembunuh orang tuaku," jawab Brama. Sontak Raden Mardian pun kaget mendengarnya.

"Memangnya apa yang terjadi dengan orang tuamu, Brama?" tanya Raden Mardian.

"Kedua orang tuaku dibantai oleh lima orang penjahat saat aku baru pulang bermain. Dan aku juga kehilangan salah satu tanganku karena ulah mereka," cerita Brama.

"Beruntung aku masih selamat walau aku dibuang ke jurang sampai aku ditemukan oleh guruku yang bernama Ki Paronwaja," papar Brama.

Raden Mardian begitu terenyuh mendengar cerita masa lalu Brama.

"Kejam sekali lima penjahat itu sampai membuatmu jadi begini, Brama. Lalu di mana sebenarnya orang tuamu tinggal?" tanya Raden Mardian."Orang tuaku tinggal di Kabupaten Tanjung Mas ini, tepatnya di desa Karang Menjangan. Tetapi aku tidak tahu di mana letak desa itu," kata Brama. Raden Mardian pun tersenyum mendengarnya.

"Desa itu masih di bawah kekuasaanku, Brama dan aku bisa mengantar untuk bisa ke desa itu," Raden Mardian menawarkan bantuannya. Namun Brama menggelengkan kepalanya.

"Tidak perlu, Raden. Aku hanya ingin minta ditunjukkan ke mana arah desa itu berada . Aku ingin segera menyelidiki kematian orang tuaku dimulai dari rumahku," tolak Brama.

Raden Mardian merasa sangat penasaran dengan siapa nama orang tua Brama.

"Bolehkah aku tahu siapa nama kedua orang tuamu, Brama?" tanya Raden Mardian.

"Nama ayahku adalah Raden Turangga dan nama ibuku adalah Lastri," jawab bersama Raden Mardian membelalakkan matanya. Ia memang sangat hafal dengan kedua nama itu.