Pimpinan pasukan itu langsung ambruk dengan darah yang mengalir deras dari bagian perutnya. Raden Mardian terpana melihat pemandangan mengerikan itu.
Brama pun merasa puas dengan tewasnya pimpinan pasukan itu di tangannya. Ia lalu bergabung bersama anak buah Raden Mardian untuk menghabisi pasukan musuh.
Raden Mardian melihat sekali libas, Brama sudah bisa menumbangkan dua sampai tiga orang pasukan musuh dari kerajaan Singaparna.
'Hebat betul ilmu kanuragan Brama, walau ia hanya memiliki satu tangan tetapi bisa merobohkan banyak pasukan musuh,' gumam Raden Mardian. Ia melihat kini pasukan musuh sudah semakin sedikit.
Brama memerintahkan untuk menghalau siapapun pasukan musuh yang mencoba melarikan diri pada anak buah Raden Mardian. Sebab mereka pastinya akan memberi tahukan atasan mereka dan mungkin akan menghimpun kekuatan baru.
Akhirnya pasukan musuh berhasil ditumpas habis oleh Brama dan anak buah Raden Mardian. Rumah itu penuh dengan mayat yang bergelimpangan. Raden Mardian sampai terpaku dengan kondisi halaman depan rumahnya yang banyak mayat dan juga darah.
Namun ia tak punya banyak waktu agar bisa bertemu dengan ayahnya di Gua hutan Majasem. Raden Mardian segera memerintahkan semuanya untuk pergi meninggalkan kediamannya.
Mereka segera berangkat menuju Gua hutan Majasem dengan mengendarai kuda agar bisa segera sampai. Raden Mardian merasa salut dengan Brama, berkat Brama ia bisa selamat dari serangan musuk kerajaan Singaparna.
'Terima kasih, Brama. Aku sangat berutang budi padamu, kalau kamu tak ada mungkin kepalaku sudah diboyong ke kerajaan Singaparna,' ucap Raden Mardian. Brama pun tersenyum sejenak.
"Sama-sama, Raden. Aku pasti akan membela yang lemah untuk menegakkan keadilan," ujar Brama. Walau dalam hati Brama, ia harus menunda untuk mencari keterangan tentang musuh ayahnya. Tetapi Brama yakin, kalau Raja Sutawijaya akan memberikan informasi kepada Brama siapa saja yang membenci ayahnya sampai merencanakan pembantaian itu.
Namun Brama akan siap jika tenaganya dibutuhkan untuk menyerang balik kerajaan Singaparna. Sebab Brama tahu, kalau dulu ayahnya adalah pengikut setia Raja Sutawijaya hingga memperoleh kedudukan sebagai adipati di Kabupaten Tanjung Mas.
Setelah menempuh perjalanan jauh, malam itu akhirnya sampai juga mereka di Gua hutan Majasem. Namun Gua itu dari luar tampak sangat lengang, tetapi saat masuk ke dalam banyak sekali orang meliputi prajurit kerajaan, para patih, dan keluarga Raja Sutawijaya.
Raden Mardian pun segera bertemu dengan Ayahnya diantar salah satu pengawal kerajaan. Namun ia merasa heran karena tak menemukan ibunya.
Brama juga merasa takjub dengan kondisi gua yang banyak orang. Tadinya Brama tidak ingin ikut dengan Raden Mardian, sebab ia segan untuk bertemu Raja Sutawijaya. Tetapi Raden Mardian memaksanya untuk bisa bertemu dengan ayahnya.
Ternyata Raja Sutawijaya terluka cukup parah karena sabetan pedang di bagian perutnya. Beruntung ia masih bisa diselamatkan oleh patihnya dan melarikan diri ke hutan Majasem.
Brama dan Raden Mardian terkejut melihat Raja Sutawijaya terbaring di salah satu bebatuan hanya beralaskan kain saja didampingi permaisuri dan selirnya yang lain. Namun lagi-lagi Raden Mardian tak melihat sosok ibunya.
Raj Sutawijaya terkejut saat melihat kedatangan Raden Mardian dan menyuruh mereka yang menemai Raja Sutawijaya keluar untuk meninggalkan dirinya dengan Raden Mardian.
"Aku tunggu di luar saja, Raden," kata Brama. Ia tak enak hati jika ikut menghadap Raja Sutawijaya.
"Jangan, Brama, kamu akan kuperkenalkan dengan ayahku. Mungkin saja kita bisa mendapat keterangan dari ayahku siapa saja musuh Paman Turangga," jawab Raden Mardian.
"Tetapi ini bukan waktu yang tepat, Raden," tandas Brama.
"Lebih cepat lebih baik, Brama. Ayo kita temui ayahku," pungkas Raden Mardian.
Keduanya pun menghadap Raja Sutawijaya. Raja Sutawijaya pun berupaya untuk bangun dan memeluk Raden Mardian, tangis raja itu malah pecah. Raden Mardian pun heran dengan sikap ayahnya itu.
Namun ia juga ingin menanyakan di mana keberadaan ibunya.
"Ada apa Ayahanda? Mengapa Ayahanda menangis?" tanya Raden Mardian. Brama juga ikut heran melihatnya.
"Maafkan Ayahanda, Mardian. Ayahanda tak bisa menyelamatkan ibumu," jawab Raja Surawijaya di sela isaknya. Raden Mardian dan Brama pun kaget.
"Ada apa dengan Ibunda, Ayahanda? Mengapa aku tak melihat Ibunda?" cecar Raden Mardian.
'Apakah terjadi sesuatu pada ibu Raden Mardian?' gumam Brama. Raja Sutawijaya pun menangis lagi.
"Ibumu tewas karena menyelamatkan Ayahanda, Nak. Maaf kami tak bisa menyelamatkan ibumu. Marwati tewas seketika karena menjadi tameng bagi Ayahanda," Ungkapan Raja Sutawijaya membuat Raden Mardian terkejut setengah mati.
"Ibuuuu!" Raden Mardian pun langsung meraung, ia kehilangan ibunya untuk selamanya. Bahkan Raden Mardian tak bersama Marwati saat terakhir kali.
Brama pun ikut kaget dan turut merasa berduka mendengar kabar buruk itu. Namun ia segera menenangkan Raden Mardian.
"Jangan menangis, Raden. Ibumu kini sudah bahagia di surgaloka. Dia pasti sudah menjadi bidadari di sana," Brama berupaya menghibur Raden Mardian. Namun Raden Mardian terus menangis karena merasa terpukul.
Raja Sutawijaya pun terkesiap, ia baru menyadari ada orang lain selain Raden Mardian. Raja Sutawijaya mengurai pelukannya dan menatap Brama dengan matanya yang basah.
"Siapa dia, Mardian?" tanya Raja Sutawijaya. Raden Mardian pun berusaha menguatkan hatinya dengan menghapus air matanya.
"Dia adalah Brama, Ayahanda. Brama ini adalah anak mendiang Paman Turangga," jawab Raden Mardian menahan isaknya. Mata Raja Sutawijaya terbelalak.
"Benarkah? Berarti anak Turangga sebenarnya masih hidup?" tanya Raja Sutawijaya lagi. Brama menganggukkan kepalanya.
"Benar, Gusti. Aku dibuang para pelaku pembantaian keluargaku ke jurang namun aku masih bisa selamat. Tetapi aku kehilangan salah satu tanganku karena kebiadaban mereka," jawab Brama. Raja Sutawijaya terpaku mendengarnya.
'Padahal selama ini Turangga tidak memiliki musuh. Aku merasa heran mengapa ada orang yang tega membantai Turangga dan keluarganya," Perkataan Raja Sutawijaya membuat Brama terperanjat. Hatinya merasa kecewa sebab ia tak bisa mengetahui siapa orang yang membunuh kedua orang tuanya.
'Kalau orang tuaku tak memiliki musuh, lalu siapa yang membantai mereka? Apa alasan mereka membunuh ayah dan ibuku?' pikir Brama.
"Brama menyelamatkan aku dari serangan musuh kerajaan Singaparna yang menyerang kediamanku, Ayahanda. Namun dia juga ingin menyelidiki siapa pelaku yang membunuh kedua orang tuanya," jelas Raden Mardian.
"Terima kasih, Brama. Tetapi sangat sulit untuk menemukan siapa pelakunya. Karena yang aku tahu, orang tuamu tak memiliki musuh sama sekali," Penuturan Raja Sutawijaya kembali membuat Brama kecewa.
'Sepertinya memang aku harus mencari lima orang pendekar yang membantai orang tuaku. Mereka pasti disuruh sesorang,' gumam Brama. Tetapi Brama bingung, apakah ia harus mencari pelaku pembunuhan orang tuanya atau membela kerajaan Gilang Gilang.
Tiba-tiba ada seseorang yang masuk untuk menemui Raden Mardian. Ia lalu mendekap Raden Mardian sambil menangis, sehingga membuat Brama heran siapa seseorang itu.