Chereads / Pendekar Lengan Satu / Chapter 4 - Saatnya Mengembara

Chapter 4 - Saatnya Mengembara

"Jangan jadikan dirimu sebagai ksatria yang kejam dan berdarah dingin. Jika musuhmu itu sudah lemah. Maka berilah kesempatan ia hidup. Barangkali dia ingin bertaubat," pesan Ki Paronwaja. Brama membisu saat mendengar mendengar pesan ayah angkatnya itu.

Ia sebenarnya tidak rela, jika musuhnya itu sampai dibiarkan hidup karena sudah berlaku biadab padanya dan kedua orang tuanya.

Tetapi ia harus mematuhi apa yang dikatakan oleh gurunya itu. Sebab Ki Paronwaja sangat berjasa pada hidup Brama.

"Baik, Ayah. Aku akan menuruti apa yang Ayah pesankan terhadapku," ujar Brama. Ki Paronwaja mengangguk sambil tersenyum.

"Baiklah, sekarang beristirahatlah, Nak. Besok kamu harus memulai perjalananmu," tandas Ki Paronwaja.

Brama pun segera masuk ke kamarnya dan berbaring di tempat tidurnya. Namun ia belum bisa tertidur. Brama membayangkan apa yang akan ia temukan di luar sana.

'Apakah di luar sana aku akan bertemu dengan orang jahat? Akankah ada orang baik yang bisa menjadi temanku?' gumam Brama.

Namun ia memutuskan untuk menyerahkan hidupnya pada takdir. Tetapi ia juga ingin bisa menemukan segera para pembunuh kedua orang tuanya lalu membuat perhitungan dengan mereka.

Brama pun segera tertidur untuk terbangun di esok hari dan memulai pengembaraannya untuk menghadapi dunia luar yang begitu menantang.

Keesokan paginya, Brama bangun. Ia lalu membersihkan diri dan mengemasi beberapa pakaiannya yang dimasukkan dalam kain lurik yang lebar.

Ki Paronwaja saat itu sudah memasak pagi-pagi sekali. Ia membuatkan ayam goreng beserta sambal dan lalapannya.

Brama merasa sangat heran, mengapa gurunya itu begitu rajin memasak di pagi buta.

"Ayah, ada apa ini? Mengapa pagi-pagi sekali Ayah sudah memasak?" tanya Brama yang merasa heran.

"Anakku akan pergi mengembara, tentunya aku harus memberikan restu. Dan restuku ini adalah dengan memasakkan kamu makanan yang enak," jawab Ki Paronwaja.

"Tetapi aku takut jika aku tak bisa bertemu dengan Ayah lagi," kata Brama dengan nada cemas dan raut wajah yang mendung. Ki Paronwaja lalu menepuk lembut bahu Brama.

"Kalau kamu rindu pada Ayah, kamu bisa pulang ke gubuk ini, Brama. Ini adalah rumahmu," kata Ki Paronwaja.

"Bagaimana jika aku gugur, Ayah? Aku takut," ungkap Brama. Ki Paronwaja malah terkekeh.

"Kesatria itu tak boleh takut mati, Brama. Bagi kesatria, mati adalah jalan kematian menuju surgaloka," papar Ki Paronwaja. Brama hanya menundukkan kepalanya.

"Bagaimana jika Ayah yang pergi meninggalkan aku lebih dulu?" sambung Brama dengan nada lirih. Sebab ia tak mau berpisah dari ayah angkatnya itu.

"Lalu kenapa jika aku yang mati duluan jika Sang Hyang Widhi memutuskan seperti itu?' ujar Ki Paronwaja.

"Aku takut kehilangan Ayah. Sudah cukup bagiku kehilangam kedua orang tuaku. Aku tak mau berpisah dengan siapa pun lagi," jawab Brama. Ki Paronwaja tertawa kecil lagi.

"Jangan bersikap seperti anak kecil, Brama. Kematian itu sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa, kamu tak boleh bicara seperti itu," kata Ki Paronwaja.

"Yang terpenting bagimu sekarang adalah mencari jati dirimu yang sebenarnya. Carilah keadilan bagimu dan keluargamu dan berbaktilah pada kebenaran," pesan Ki Paronwaja. Brama menganggukkan kepalanya.

"Baik Ayah," jawab Brama singkat.

"Ya sudah, ayo kita nikmati masakan Ayah sebelum kamu berangkat," tandas Ki Paronwaja mempersilakan Brama untuk sarapan pagi.

Setelah sarapan pagi, sudah waktunya bagi Brama untuk berangkat meninggalkan Ki Paronwaja.

"Aku pamit, Ayah. Jika urusanku sudah selesai. Aku akan kembali ke sini lagi," tutur Brama sambil mencium punggung tangan Ki Paronwaja.

Ki Paronwaja lalu memeluk Brama dengan perasaan haru. Ia juga merasa sebenarnya berat hati melepaskan muridnya itu.

Namun Brama juga harus mencari jati dirinya setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dalam kejadian mengerikan itu.

"Pergilah, Brama! Restu dan doa Ayah selalu menyertaimu. Semoga kita bisa bertemu lagi," balas Ki Paronwaja sambil membelai kepala Brama.

Brama lalu memeluk tubuh Ki Paronwaja dengan kasih sayang. Ada air mata menitik di kedua maniknya.

"Terima kasih atas semua yang sudah Ayah berikan padaku. Ayah sudah memberikan aku kehidupan yang kedua," ucap Brama.

"Bukan Ayah, Nak. Tetapi Yang Maha Kuasa yang sudah mempertemukan kita," balas Ki Paronwaja.

Setelah lama berpelukan, Brama kemudian mengurai dekapannya dan menghapus air matanya yang berlinang.

"Aku pamit, Ayah! Sampai ketemu lagi," pungkas Brama. Ki Paronwaja hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum dan melambaikan tangannya melepas kepergian Brama.

Brama lalu melangkahkan kakinya untuk meninggalkan gubuk itu. Namun dalam hatinya ia berdoa agar Yang Maha Kuasa memberi kesehatan dan panjang umur pada gurunya agar mereka bisa kelak bertemu lagi.

Brama lalu menyusuri hutan dan mencari jalan yang aman untuk bisa keluar dari jurang itu.

Dengan mengandalkan satu tangan yang memegang buntalan pakaiannya. Brama tetap bisa menanjak dengan satu tangan dan kakinya.

Brama sebenarnya hafal jalan menuju keluar dari jurang itu. Hanya saja baru kali ini Brama bisa keluar dari jurang tersebut untuk mengembara.

Brama akan menuju ke daerah tempat orang tuanya dulu pernah tinggal. Brama akan menyelidiki kejadian nahas itu berawal dari rumahnya.

Brama yakin ia akan menemukan petunjuk siapa yang sudah membunuh kedua orang tuanya dan menganiaya Brama dengan aksi yang biadab.

Namun saat Brama sudah menemukan jalan besar yang membelah hutan itu. Brama mendengar suara minta tolong.

"TOLOOONG TOLOOONG!" pekik seseorang. Brama pun terkejut dan segera mencari sumber suara tersebut.

Ia berlari menuju suara minta tolong itu. Dan Brama melihat ada sebuah kereta kuda dikelilingi sembilan orang berwajah sangar.

Brama sudah menduga jika ada saudagar yang sedang dirampok oleh sembilan orang itu.

"HEI KALAU KAMU BERTERIAK LAGI AKAN KUTEBAS LEHERMU!" ancam salah satu perampok berbadan gemuk dan meletakkan senjatanya di leher korbannya.

"HEI, LEPASKAN DIA! DASAR PERAMPOK JAHANAM!" seru Brama segera menghampiri mereka semua.

Semua mata pun mengalihkan pandangannya kepada Brama. Namun setelah melihat kondisi Brama yang tak sempurna. Kesembilan perampok itu tertawa terbahak-bahak seolah meremehkan Brama.

"Hahaha, lihatlah dia. Sudah tidak sempurna, berani melawan kita dengan satu tangannya," ejek perampok gemuk itu diiringi tawa para perampok lainnya.

Saudagar itu semakin gemetar ketakutan, ia merasa sia-sia saja Brama menolong dirinya dengan kondisi yang demikian.

"Tolong lepaskan kami, dan aku akan memberikan semua hartaku," pinta saudagar itu. Ia sepertinya enggan dibantu oleh Brama karena kondisi fisiknya itu.

"Jangan, Kisanak! Biarkan aku yang menghadapi mereka," seru Brama. Namun para perampok itu kemudian tertawa lagi karena mereka merasa Brama adalah orang lemah yang berusaha menjadi pahlawan.

"Hahaha, minggir kamu! Dengan kondisi tangan satu mau melawan kami? Itu tak akan mungkin," olok perampok bernadan kurus. Brama pun mendengus kesal.

Buag!

Brama memukul perut perampok gemuk itu sampai ia jatuh tersungkur.