Saat perampok gemuk itu jatuh tersungkur karena pukulan Brama, semua orang terkejut melihat aksi Brama.
"Wah, ternyata kamu juga memiliki ilmu bela diri pemuda berlengan satu! Tetapi kamu tidak akan bisa melawan kami semua," ujar perampok bertubuh kurus saat melihat temannya merintih kesakitan.
Namun Brama hanya tersenyum tipis. Ia sebenarnya merasa tersinggung karena sudah direndahkan oleh para perampok itu.
Tetapi Brama akan menunjukkan kemampuannya untuk bisa melawan para perampok yang ada di hadapannya sekarang.
"Kalian terlalu meremehkanku, walaupun kalian berjumlah seribu orang pun. Aku tetap akan bisa melawan kalian," tantang Brama. Kesembilan perampok itu terkesiap saat mendengar tantangan dari Brama.
"Sudah, jangan banyak mulut kamu! Pergi dari sini atau kamu akan kami habisi," seru salah satu perampok lainnya. Brama tersenyum sambil memicingkan matanya.
"Silakan saja! Kalau kalian bisa mengalahkanku, kalian bisa bawa semua harta benda dari kereta kuda milik saudagar ini," jawab Brama.
"Toh bagiku kalian ini hanya perampok kelas kecoak," ejek Brama agar bisa memancing emosi semua perampok itu. Sontak amarah mereka langsung tersulut saat mendengar olokkan Brama.
"KURANG AJAR KAMU, BUNTUNG!" amuk salah satu perampok yang berambut keriting.
"Kami akan menghabisimu lalu mencincang tubuhmu!" timpal perampok berkepala gundul.
Kemudian para perampok itu menyerang Brama, sehingga Brama melemparkan buntalan kain yang berisi pakaiannya kepada kusir kereta kuda itu.
Lalu Brama pun segera menghadapi dan membalas serangan para perampok tersebut. Namun sebelumnya ia menghampiri saudagar yang masih gemetar ketakutan karena akan menyaksikan pertarungan satu orang lawan sembilan perampok.
"Sebaiknya Kisanak minggir dulu!" pinta Brama kepada saudagar tersebut. Sang saudagar hanya menganggukkan kepalanya. Ia kemudian bersembunyi di balik pepohonan.
Lalu kusir kereta kudanya juga menyusul sambil membawa titipan dari Brama. Mereka melihat Brama bertarung dengan cukup lincah dan tangguh walau ia hanya memiliki lengan satu.
Brama bisa menghindar, mengelak, dan menyerang balik para perampok itu dengan hanya satu tangan dan dua kakinya.
Para perampok itu pun tumbang satu-persatu saat menerima serangan dari Brama. Walau Brama baru pertama kali menghadapi lawan yang nyata.
Namun ia bisa melawan mereka dengan sebagian kecil kekuatan yang dimilikinya. Bagi Brama, kesembilan perampok itu bukanlah lawan yang sepadan,
"Ternyata pemuda itu hebat sekali," puji saudagar tersebut.
"Benar, Tuan. Sepertinya dia adalah seorang pendekar walau dia hanya memiliki satu tangan," timpal kusirnya.
Mereka asyik menyaksikan pertarungan Brama melawan kesembilan perampok tersebut. Saudagar dan kusirnya itu yakin jika Brama yang akan memenangkan perkelahian yang tidak seimbang itu.
Benar saja perkiraan mereka. Dalam waktu yang tidak lama, Brama berhasil melumpuhkan kesembilan perampok itu, sampai mereka babak belur.
Semua perampok itu berupaya mundur saat mereka tersungkur dan merintih kesakitan karena menahan sakit akibat serangan Brama di tubuh dan wajah mereka.
"Kalau kalian berani merampok di tempat ini lagi, aku pastikan kepala kalian akan kugantung di pepohonan itu!" ancam Brama kepada kesembilan perampok itu.
"Ampun, Kisanak! Kami menyerah," ujar salah satu perampok tersebut. Mereka semua pun berusaha bangkit dan lari tunggang langgang agar bisa melarikan diri dari Brama.
Sebenarnya mudah saja Brama membinasakan mereka semua dengan menggunakan Ajian Segara Gunung yang Brama miliki. Tetapi Brama belum berani menggunakan ajian itu.
Setelah para perampok itu melarikan diri dan menjauh dari Brama. Saudagar dan kusir itu menghela napas lega karena mereka sudah selamat dari perampokan yang bisa saja membuat nyawa mereka melayang.
"Terima kasih, Kisanak! Kalau tidak ada Kisanak, mungkin saya tinggal nama dan harta saya sudah terkuras habis oleh mereka," ucap saudagar itu.
"Benar Kisanak, mereka itu kesembilan perampok yang kejam. Beruntung ada Kisanak yang menyelamatkan kami," sambung kusir itu sambil menyerahkan milik Brama.
"Sama-sama, Kisanak. Aku yakin mereka tak akan lagi berkeliaran di tempat ini. Tetapi jika aku melihat mereka merampok lagi. Maka aku akan membantai mereka semua," ujar Brama. Saudagar itu tersenyum dan kemudian mengambil sesuatu dari kantung yang dibawanya.
"Terimalah ini sebagai ucapan terima kasih dariku, Kisanak," kata saudagar itu sambil memberikan sebongkah emas ke tangan kanan Brama. Namun Brama terkejut dan langsung menolak pemberian saudagar itu.
"Tidak, Kisanak. Aku tulus membantu kalian," jawab Brama berusaha mengembalikan emas itu lagi ke tangan saudagar itu.
"Tidak apa-apa, Kisanak. Ini sebagai ucapan terima kasih karena sudah membantuku," tutur saudagar itu. Tetapi Brama hanya terdiam sambil menyunggingkan senyumnya.
"Tidak perlu, Kisanak. Kalau Kisanak mau, jadikan emas ini sebagai uang lalu bagikan kepada anak yatim piatu dan juga pengemis. Mereka lebih membutuhkannya daripada aku," Brama kembali menolak dengan halus dan meletakkan emas itu lagi ke tangan saudagar itu. Saudagar itu hanya terdiam, ia tak sangka jika Brama adalah kesatria yang berbudi luhur.
'Baiklah kalau begitu, Kisanak. Aku akan memenuhi permintaanmu," tandas saudagar itu. Tetapi ia merasa penasaran dengan sosok penolongnya itu.
"Kalau boleh tahu, Kisanak ini siapa, berasal dari mana, dan mau ke mana?" tanya sang saudagar.
"Namaku Brama, Kisanak. Aku ingin ke -- ," Perkataan Brama terhenti. Ia lupa di mana daerah orang tuanya dulu tinggal.
"Den Brama mau ke mana?" tanya sang kusir yang ikut penasaran.
"Aku mau ke daerah di mana orang tuaku tinggal, tetapi aku lupa nama tempatnya," jawab Brama.
"Memangnya siapa nama orang tua Den Brama?" tanya kusir itu lagi. Brama kembali mengingat nama kedua orang tuanya, sebab saat mereka meninggal Brama memang masih kecil.
"Nama ayahku adalah Raden Turangga dan ibuku bernama Lastri," jawab Brama. Kusir dan saudagar itu terdiam. Mereka sama sekali tak mengenal nama itu.
"Maaf Brama, kami sama sekali tak mengenal nama kedua orang tuamu. Tetapi jika nama daerahnya mungkin kami akan memberi tahukan padamu. Sebab aku banyak berniaga ke banyak daerah," jawab saudagar itu. Brama berpikir sejenak.
"Kalau tidak salah, kedua orang tuaku tinggal di Desa Karang Menjangan Kabupaten Tanjung Mas," kata Brama. Kusir dan saudagar itu tersenyum lebar.
"Wah, kami juga mau ke sana, Den. Kebetulan sekali," ujar kusir itu.
"Benar, kalau kamu mau kami bisa mengantarmu ke sana, Brama. Sebab kami ingin mengirim barang ke kabupaten itu," timpal sang saudagar. Brama pun berpikir lagi.
'Ada baiknya juga aku ikut dengan mereka,' gumam Brama.
"Apa kalian tidak keberatan jika aku menumpang?" tanya Brama. Saudagar dan kusirnya menggelengkan kepala mereka.
"Tentu tidak, Brama. Mungkin perjalananku akan semakin aman jika kamu ikut dengan kami," jawab saudagar itu dengan nada semringah.
"Apalagi jika kami harus berhadapan dengan anak buah Raden Mardian," Wajah saudagar itu beringsut ketakutan.
"Memangnya siapa dia?" tanya Brama dengan wajah penasaran.