Chereads / Pendekar Lengan Satu / Chapter 6 - Memulai Perjalanan

Chapter 6 - Memulai Perjalanan

"Raden Mardian itu sebenarnya adalah putra selir raja Sutawijaya menguasai Kabupaten Tanjung Mas, dan ia selalu bertindak sewenang-wenang kepada rakyat dengan meninggikan pajak. Sehingga banyak yang membencinya, terutama kaum pedagang seperti aku," jelas saudagar itu.

"Lalu bagaimana jika ada orang yang tidak membayar pajak?" tanya Brama kepada sang Saudagar.

"Tentunya dia pasti akan dibuat babak belur oleh para pengawal Raden Mardian, dan jika tetap tidak mau membayar pajak. Mungkin saja hukumannya adalah digantung di alun-alun, lalu disaksikan oleh banyak orang," jawab saudagar itu. Ia sebenarnya merasa ngeri dengan tindakan sewenang-wenang Raden Mardian.

"Oleh karena itu, aku berusaha untuk taat membayar pajak. Walaupun keuntunganku berkurang banyak. Tetapi aku tidak mau jika sampai anak dan istriku menjadi korbannya," sambung sang Saudagar.

"Berarti kalian hidup dalam ketakutan karena kebiadaban Raden Mardian?" tanya Brama lagi.

"Tentu saja Brama, sebab Raden Mardian akan menghukum siapa saja yang tidak patuh kepada dirinya," tutur saudagar itu. Brama menghela napasnya. Ia sebenarnya merasa penasaran dengan sosok Raden Mardian.

'Sebenarnya aku tidak akan membiarkan kesewenang-wenangan terjadi dan sampai membuat rakyat menderita. Aku harus bisa bertemu dengan Raden Mardian dan menyadarkannya kalau perbuatannya itu salah,' gumam Brama.

"Ada apa, Brama? Mengapa kamu terdiam seperti itu?" tanya saudagar tersebut.

"Tidak apa-apa, Kisanak. Aku penasaran dengan sosok Raden Mardian itu," jawab Brama.

"Kamu jangan main-main dengan Raden Mardian. Jika kamu tidak patuh dengan dirinya, maka kamu bisa dihukum berat," kata saudagar itu. Namun dalam hati Brama, ia tidak takut sama sekali dengan siapa pu kecuali Hyang Widhi Wasa.

Karena selain menyelidiki pembunuhan orang tuanya, Brama juga ingin menegakkan keadilan. Terutama bagi para bangsawan yang menindas rakyat kecil seperti Raden Mardian.

Bahkan jika Brama bisa bertemu dengan Raden Mardian, ia ingin sekali bisa menyadarkannya. Tetapi jika Raden Mardian tidak terima dengan nasihatnya. Maka dengan sangat terpaksa, Brama akan mengalahkannya. Sebab Brama juga merasa jengkel dengan kaum ningrat yang bertindak seenaknya kepada rakyat kecil.

Brama pun ikut dengan kereta kuda saudagar itu untuk menuju kabupaten Tanjung Mas.

Dalam hatinya, ia berharap bisa menemukan titik terang siapa para pelaku pembunuhan kedua orang tuanya. Namun Brama juga penasaran dengan sosok Raden Mardian yang begitu ditakuti oleh banyak orang.

Tetapi saudagar itu merasa sangat penasaran mengapa kondisi Brama tidak sempurna, yang hanya memiliki lengan satu.

Saudagar itu sebenarnya ingin menanyakannya kepada Brama. Tetapi ia takut jika Brama akan tersinggung nantinya.

"Sayangnya aku tidak tahu siapa kedua orang tuamu, Brama. Kalau saja aku tahu. Aku pasti akan membantu mempertemukanmu dengan mereka," kata saudagar itu, ia mencoba menyelidiki siapa Brama sebenarnya. Brama pun tertunduk sambil tersenyum simpul.

"Kedua orang tuaku sudah tiada. Bahkan saat aku berusia sepuluh tahun, mereka dibantai oleh lima orang jahat yang tidak aku kenal, dan mereka juga menganiaya aku sampai seperti ini," jawab Brama sambil mengelus lengan kirinya. Saudagar itu pun terkejut mendengarnya.

"Astaga! Ternyata tragis sekali nasibmu, Brama. Tetapi aku yakin kamu akan menjadi pendekar pilih tanding karena kehebatanmu bertarung tadi," ujar saudagar itu. Namun Brama menggelengkan kepalanya.

"Tidak, Kisanak. Aku hanya ingin menyelidiki siapa pembunuh orang tuaku dan aku juga ingin bisa membela yang lemah dan menegakkan keadilan seperti apa yang dikatakan oleh Guruku," tutur Brama.

"Memangnya siapa nama gurumu, Brama?" tanya saudagar itu.

"Namanya Ki Paronwaja, mungkin Kisanak pernah dengar?" ujar Brama. Tetapi saudagar itu tidak pernah mendengar nama tersebut.

"Maaf, Brama. Aku tidak mengenalnya. Tetapi gurumu itu sepertinya orang yang sangat baik sehingga bisa mendidikku seperti saat ini," puji saudagar itu. Brama pun tersenyum lagi.

Mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan sampai ke Kabupaten Tanjung Mas.

Tetapi saat sampai di perbatasan, ternyata ada lima orang anak buah Raden Mardian yang sedang menagih pajak kepada para pendatang atau saudagar yang lewat untuk masuk ke kabupaten tersebut.

"Inilah yang aku takutkan, belum saja aku berdagang. Tetapi sudah dipalak oleh mereka," gerutu saudagar itu sambil memasang wajah cemberut.

Kereta kudanya pun kemudian mulai masuk ke perbatasan dan dihampiri oleh lima orang anak buah Raden Mardian.

"Kamu membawa apa, Kisanak?" tanya salah satu dari mereka.

"Seperti biasa, aku membawa barang daganganku. Ada pesanan di tempat ini," jawab saudagar tersebut.

"Kalau begitu, kamu baru bisa masuk setelah membayar pajak. Jadi mana bayaran pajaknya?" tagih salah salah satu anak buah Raden Mardian.

Kemudian saudagar itu pun menyerahkan uang yang diminta oleh mereka, tetapi dicegah oleh Brama.

"Jangan dulu, Kisanak, Sebenarnya aku ingin tahu untuk apa pajak itu sebenarnya," kata Brama.

Saudagar itu terkejut saat Brama menahan uang di tangannya untuk diberikan kepada anak buah Raden Mardian.

"Hei, kenapa kamu tak segera bayarkan pajaknya?" tanya anak buah Raden Madian itu.

"Maaf, Tuan. Kami ingin tahu, sebenarnya untuk apa kami harus membayar pajak kepada kalian?" tanya Brama. Para anak buah Raden Mardian saling pandang, lalu mereka bersungut kesal memandang pada Brama.

"Kamu tak usah pikirkan itu, memang semua orang wajib bayar pajak untuk pimpinan kami," jawab salah satu anak buah Raden Mardian. Brama malah terkekeh mendengarnya.

"Hahaha, kalian itu sepertinya bodoh ya? Apa majikan kalian tidak mengajari kalian cara menjawab pertanyaan semudah ini?" olok Brama. Para anak buah Raden Mardian kaget dan langsung naik pitam.

"Berani kamu mengatai kami bodoh?" amuk perwakilan anak buah Raden Mardian.

"Iya, jika kalian tidak bodoh. Kalian harusnya bisa menjawab pertanyaanku ini," balas Brama.

"Kurang ajar kamu, itu berarti kamu menentang peraturan kabupaten ini. Orang yang melanggar aturan wajib dihukum," seru anak buah Raden Mardian.

"Silakan saja! Aku tidak takut. Pertemukan aku dengan majikanmu itu," tantang Brama yang makin membuat para anak buah Raden Mardian tersulut emosinya.

"Sialan kamu, kamu akan mati di tangan kami! Hyaat!" para anak buah Raden Mardian pun menyerang Brama. Brama segera melompat keluar dari kereta kuda itu untuk menghadapi mereka semua.

Namun saudagar itu kemudian menyuruh kusirnya untuk maju karena mereka tak ingin terganggu dengan perkelahian itu.

"Maafkan aku, Brama. Aku tak ingin membuang waktuku untuk menyaksikan perkelahian ini," ucap saudagar itu saat Brama mulai sibuk menghalau serangan dari anak buah Raden Mardian.

Brama menghadapi kelimanya dengan enteng, sebab ilmu bela diri mereka tak ada seujung kukunya dibandingkan oleh Brama.

Dua lawan satu saja, Brama siap mengalahkan mereka dengans sekali libas. Walau mereka menggunakan senjata pedang untuk bisa mengalahkan Brama. Tetapi Brama mampu menghindari sabetan pedang itu.

'Gawat! Sepertinya dia orang hebat. Aku harus lapor pada Gusti Raden Mardian,' pikir salah satu dari mereka.