Ki Paronwaja sangat terkejut saat melihat Brama merintih kesakitan, karena banyak sekali luka di tubuhnya termasuk di lengan kirinya itu.
Ia segera memberikan ramuan tradisional yang ia buat untuk di banyak luka bocah itu.
Kemudian Ki Parowaja juga mengganti kain yang digunakan untuk menutup sisa lengan kiri Brama.
Brama masih menangis keras karena ia begitu menderita karena luka-luka di sekujur tubuhnya termasuk pada sisa lengan kirinya yang sudah dibebat kain.
Ki Paronwaja wajah sebenarnya merasa cemas dengan kondisi anak itu. Tetapi ia berusaha menenangkan tangisan Brama.
Bahkan Ki Paronwaja menggendong Brama seperti anaknya sendiri.
"Jangan menangis lagi, Nak! Ayah yakin kalau perlu kamu pasti segera sembuh. Tidurlah di gendongan Ayah," tutur Ki Paronwaja dengan kasih sayangnya.
Setelah lama menenangkan Brama yang kesakitan, akhirnya Brama lelah dan akhirnya Brama tertidur juga dalam gendongan Ki Paronwaja.
Pria itu merasa sangat lega saat anak itu tertidur. Ia kemudian membaringkan bersama Brama ke tempat tidurnya lagi dan memberikan kain untuk menyelimuti tubuh bocah itu.
Ki Paronwaja merasa sangat iba dengan apa yang terjadi pada drama sebab anak sekecil itu sudah sangat menderita.
Selain kehilangan seorang keluarganya. Ia juga menderita parah sampai kehilangan lengan kirinya.
Ki Paronwaja berjanji kepada dirinya sendiri akan merawat Brama dengan baik. Bhkan akan mengajarkannya ilmu kanuragan agar bisa membela diri. Walaupun Brama kini hanya memiliki satu tangan.
"Jangan takut, Nak! Ayah akan mengajarimu ilmu kanuragan agar kamu bisa membalaskan dendam kepada penjahat yang menghabisi keluargamu sehingga membuatmu seperti ini," kata Ki Paronwaja.
"Aku juga akan menjadikanmu sebagai pendekar yang berbudi luhur dan membela kebenaran," imbuh Ki Paronwaja sambil mengelus rambut anak itu.
Setelah berbulan-bulan lamanya, Ki Paronwaja merawat Brama. Brama pun berangsur pulih dari luka-luka di tubuhnya yang parah.
Namun dibenak Brama, masih sangat jelas kejadian tragis itu sehingga membuat Ki Paronwaja juga harus bersusah payah mengobati luka batin Brama dengan berbagai macam hiburan dan nasihat.
Setelah Brama sembuh, ia mulai dilatih oleh Ki Paronwaja. Awalnya Brama kesulitan untuk bisa mengikuti apa yang diajarkan oleh Ki Paronwaja.
Sebab ia hanya bisa menggunakan satu tangannya untuk berlatih bela diri dan menjalankan kesehariannya.
Tetapi dengan usaha yang keras, Brama bisa mempelajari ilmu bela diri yang diturunkan oleh Ki Paronwaja, dan Ki Paron wajah mendidik Brama dengan penuh dengan kasih sayang dan juga tegas, sebagaimana seorang ayah kepada anaknya.
Waktu berputar sampai Brama beranjak remaja. Brama sudah mahir menguasai ilmu kanuragan dari Ki Paronwaja untuk bisa membela dirinya sendiri.
Namun ia belum bisa melupakan kejadian tragis yang menimpa keluarganya dan dirinya sendiri.
Pada suatu malam, Brama termenung di depan teras gubuk itu. Ki Paronwaja pun menghampirinya.
"Ada apa, Nak? Mengapa kamu melamun malam-malam begini?" tanya Ki Baronwaja menghela napasnya.
"Aku masih belum bisa melupakan peristiwa pembunuhan kedua orang tuaku, Ayah. Bahkan perlakuan biadab mereka kepadaku masih terngiang jelas di pikiranku," jawab Brama.
"Lalu apakah kamu tahu siapa yang melakukan semua itu, Nak?" tanya Ki Paronwaja. Tetapi Brama menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Ayah. Aku tidak mengenal mereka. Bahkan aku baru pertama kali melihat mereka saat itu, ketika mereka sudah berhasil membunuh orang tuaku," tutur Brama sambil menitikkan air mata.
"Apakah kamu tahu ciri-ciri yang jelas di wajah mereka? Atau suatu tanda di tubuh mereka?" tanya Ki Paronwaja. Brama terdiam sejenak.
Ia mengingat kembali peristiwa yang buruk itu. Namun kemudian ia menangis, sehingga Ki Paronwaja terkejut dan merangkul bahu Brama.
"Maafkan Ayah, Brama. Seharusnya aku tidak menanyakannya," kata Ki Paronwaja.
"Tidak apa-apa, Ayah. Aku hanya merasa sedih dan masih trauma dengan kejadian itu," jawab Brama.
"Namun yang terlintas di wajahku adalah ada tanda hitam di leher sebelah kiri dari salah satu penjahat itu," ungkap Brama.
"Apakah kamu akan membalas dendam untuk kematian keluargaku, Brama?" tanya Ki Paronwaja lagi.
"Tentu saja, Ayah. Aku ingin bisa mengetahui siapa yang membantai keluargaku dan membuatku jadi begini. Aku ingin bisa membuat jiwa orang tuaku tenang di alam sana dengan menghukum pelakunya," terang Brama.
Sebenarnya Ki Paronwaja mendukung hal itu. Namun ia merasa cemas kepada Brama. Sebab sepertinya Brama belum siap untuk bisa menghadapi dunia luar.
"Sebenarnya Ayah tidak keberatan, jika kamu ingin menyelidiki siapa pelaku pembunuhan Ayah dan Ibumu. Tetapi tunggulah sampai waktunya siap karena ilmu bela dirimu belum cukup tinggi," kata Ki Paronwaja.
"Sebaiknya tunggulah dua atau tiga tahun lagi sampai kamu bisa menguasai ilmu kanuraganmu. Bahkan aku belum menurunkan beberapa ajian kepadamu," sambung Ki Paronwaja. Brama pun menatap kedua manik Ayah angkatnya dengan lekat.
"Apakah Ayah merasa ragu untuk mengandalkan kekuatanku yang hanya dengan satu tangan?" tanya Brama. Namun Ki Paronwaja menggelengkan kepalanya.
"Tidak, Nak. Ayah sama sekali tidak meragukanmu. Tetapi Ayah akan memberikanmu beberapa ajian untuk bisa mengalahkan lawanmu. Walaupun kamu hidup dengan kondisi seperti ini," jawab Ki Paronwaja.
"Ajian apa itu, Ayah?" tanya Brama lagi.
"Aku akan mengajarkanmu ajaran Segara Gunung, di mana kamu bisa memiliki kekuatan luar biasa untuk memberikan pukulan mematikan kepada lawanmu," jelas Ki Paronwaja.
"Sehingga saat kamu memukul dadanya, pukulanmu itu bisa langsung menghancurkan jantung musuhmu itu," imbuh ki Paronwaha. Brama pun terhenyak saat mendengarnya.
Ia bahkan takjub mendengar ajian Segara Gunung yang akan diajarkan oleh ayah angkatnya.
"Benarkah itu, Ayah? Apakah Ayah mau mengajarkannya kepadaku? tanya Brama. Ki Paronwaja pun tersenyum.
"Tentu saja anakku, sebab aku tidak akan membiarkanmu dianggap lemah oleh lawan, karena kondisimu ini. Kamu harus menjadi pendekar yang pilih tanding. Tetapi kamu harus ingat kalau kamu harus membela kebenaran dan keadilan," pesan Ki Paronwaja.
"Tentu saja, Ayah. Aku akan mengingat pesan Ayah. Aku juga tidak mau menjadi orang jahat seperti para pembunuh kedua orang tuaku itu," tutur Brama.
"Bagus kalau begitu, Nak. Jadi aku berharap kamu bersabar dulu, agar kamu bisa menguasai ajian Segara Gunung yang akan aku ajarkan," kata Ki Paronwaja. Brama pun menganggukkan kepalanya, ia menuruti apa yang dikatakan oleh ayah angkatnya itu.
Namun sejauh ini Brama penasaran sebenarnya siapa Ki Paronwaja, mengapa dia hidup sendirian di dasar jurang dan sebenarnya apakah Ki Paronwaja memiliki keluarga.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu, Ayah?" tanya Brama.
"Tentu saja, Brama. Apa yang ingin kamu tanyakan kepada Ayah?" ujar Ki Paronwaja.
"Sebenarnya Ayah ini siapa dan berasal dari mana? Mengapa Ayah tinggal di sini. Apakah ayah mempunyai keluarga?" Brama mengutarakan beberapa pertanyaan kepada Ki Paronwaja.
Ki Paronwaja malah terdiam malah matanya berkaca-kaca, sehingga membuat Brama merasa heran.