Chereads / Jadi Pengacau Dunia Gadis Penyihir / Chapter 55 - Bab 16. Harapan dan Kehancuran

Chapter 55 - Bab 16. Harapan dan Kehancuran

Keadaan semakin tegang, entah itu ke arah yang baik atau ke arah yang buruk. Namun, secercah harapan akan muncul jika Randy menggunakan kesempatan tambahan ini.

"Jadi, apa maksudmu mengatakan itu... Kau tidak mungkin tiba-tiba mengocehkan sesuatu yang tidak berguna kan, Ira..." Celicia mengerutkan dahinya dan menatapi gadis yang ada di seberangnya dengan mata yang tipis.

"Apakah ketua masih tidak mau mempercayainya, atau ada masalah lain yang membuat ketua sulit menerimanya? Bukankah ketua sendiri yang merasakan betapa bebasnya sekarang diri-"

"Ira, sudah cukup! Jangan memperdaya ketuamu lebih jauh!" Geni yang masih berdiri berteriak ke Ira yang membela musuhnya.

Makian gadis itu sekali lagi membuat orang-orang memasang mata pada mereka.

"Anu... Geni, apakah kamu tidak bisa untuk tidak menarik perhatian publik?"

Randy merasa sangat tidak nyaman saat hal ini terjadi, bukan hanya karena malu, tapi mata-mata yang mengunci ke arahnya sungguh membuat Randy merasa tidak nyaman.

"Ha?! Kenapa aku harus..."

"Geni, cukup!"

"Baik Nona..." ucap Geni sambil duduk ke samping orang yang dia sebut nona.

Untuk sekali lagi, Celicia membuat gadis itu menurut layaknya anjing.

'Sebenarnya bagaimana cara membaca kedudukan para valkyrie?'

Randy bingung bukan main...

"Baiklah, aku akan mencoba untuk memikirkan perkataanmu tadi, namun untuk sekarang..."

Grak!

Celicia berdiri dari mejanya tanpa memandang kedua pasangan itu. "Kita akan berpisah, aku tidak mau terus-terusan dilihat oleh publik di sini."

Setelah mengatakan itu, Celicia pergi tanpa mengatakan sepatah kata dan tanpa salam.

"Nona Celicia, tunggu!" Geni yang baru saja duduk langsung berdiri kembali dan mengejar nonanya.

Kini hanya ada Ira dan Randy yang tinggal di restoran cepat saji ini.

Mereka cuman bisa memandang tempat terakhir mereka bisa melihat Celicia dari balik meja yang mereka gunakan.

"Pada akhirnya, kita gagal..." Randy menghela nafasnya, tubuhnya yang menegang mulai sedikit mengendur dan menjadi lebih santai. "... Lagipula itu memang sulit, tidak mungkin aku tiba-tiba membebaskan orang dengan pengaruh tinggi dan langsung berharap akan mendapat bantuan darinya."

Randy merasa down dan kehilangan kepercayaannya, dia menganggap apa yang dia harapkan saat ini tidaklah mungkin, bahkan mustahil.

Namun secercah harapan akan ada pada laki-laki itu bila dia kesusahan.

Sebuah tangan yang lembut dan halus memegang erat sela-sela jarinya, kedua tangan yang berbeda itu saling menyatu dan mengunci.

"Ira?"

Randy menoleh ke arah cahaya.

Cahaya itu memberikan senyuman bak mentari pagi yang siap menyapanya dengan hangat. Dengan hanya melihat itu, Randy menyadari kalau Ira sekarang sudah menjadi sebuah sumber kekuatan dan keoptimisan pada laki-laki itu.

"Tenang saja, semua pasti akan baik-baik saja..." Dia mengeratkan pegangan tangannya dan terus memborbardir laki-laki itu dengan senyuman. "Aku tahu bagaimana Celicia itu. Bagaimanapun juga, dia adalah ketuaku."

'Senyuman itu, harus kujaga!' Sesuatu dalam diri Randy bangkit, bukan sebuah kepahlawanan, namun sebuah perasaan ingin melindungi segenap hati.

Tapi...

"Tunggu, kau bilang kau tahu bagaimana Celicia itu? Apa maksudnya?"

Ucapan tadi membuat Randy kepo.

Ira melepas pegangan tangannya dan menekan ujung bibirnya dengan telunjuk itu. "Rahasia..." sambil memasang sebuah senyuman.

"Ah, bwa(memasang wajah datar yang bodoh)..."

"Ahahhahah."

Suasana yang tadi tegang kini kembali menjadi tenang, mata-mata yang tadi mengunci ke arah mereka kini sudah kembali hilang untuk sekali lagi.

Sekarang hanya ada mereka berdua, dan itu artinya mereka bebas melakukan apa saja di sini asalkan tidak menganggu pengujung lain.

Mereka berada di restoran cepat saji itu kurang lebih selama 2 jam dan sampai lupa sesuatu yang penting.

Mereka ke sini bersama mobilnya Celicia, dan berhubung Celicia sudah meninggalkan mereka berdua. Jadinya mereka saat ini terlantar dan tak ada uang untuk kembali.

Tapi dengan ajaib, mereka bisa kembali ke desa hanya dengan berolahraga kaki sampai rumah masing-masing.

***

Di sisi lain, di sebuah rumah yang megah bak istana. Ada sebuah kamar yang indah dipenuhi dengan gemerlap lampu-lampu warna-warni. Lampu-lampu itu dihidupkan untuk menerangi kamar yang gelap itu, padahal ini pagi hari. Di kamar itu, jendela yang menjadi sumber cahaya alam ditutup untuk mentupi mata tetangga yang rempong dan serba ingin tahu.

Apa yang sebenarnya di sembunyikan di dalam sana?

Itu akan terjawab dengan cepat, karena pemilik rumah itu adalah...

"Farida, kenapa kamu ada dihadapanku? Bukankah kamu seharusnya sudah membuat kepalaku tergeletak dan menggelinding di tanah?"

Rena, wanita yang dibebaskan oleh Randy dan diselamatkan oleh Farida itu kini terbaring lemah di atas ranjang Farida yang merupakan orang yang sangat ingin menghabisinya saat itu.

Farida memberi tatapan lemas, kedua kantung matanya memperlihatkan garis hitam yang menandakan gadis itu kurang tidur. Tapi meskipun begitu, dia tetap mencoba tetap stay cool walaupun kondisi wajahnya saat ini tidak mendukung.

"Kau pasti sudah tahu alasannya, bukan?"

"Alasan?" Tidak perlu waktu lama buat dia sadar maksudnya. "Oh, apakah kau butuh sesuatu yang disebut informasi?"

"Tepat sasaran."

"Tanyakanlah apapun padaku, aku tidak akan menjawab dengan pasti." Rena menjawab dengan senyuman sarkas.

"Sebagai justiciar, kau seharusnya punya yang namanya hutang budi." Kesabaran Farida mulai berkurang, senyumannya yang tadi dia pasang dimukanya seketika memudar.

"Hutang budi? Itukan cuman cara justiciar di sisimu saja!"

Rena kembali menjawab dengan jawaban yang menghina, bahkan tanpa rasa hormat sedikitpun pada orang yang sudah merawatnya selama semalam itu.

"Aku bertanya sekali lagi, apakah kau bersedia menjawab pertanyaanku?" Cahaya di mata Farida memudar dan kini dia menggunakan suara yang agar datar.

Jika seseorang sudah kehilangan cahaya di mata mereka, itu artinya hal yang sangat menakutkan akan terjadi pada mereka yang sudah berani membuat orang itu jadi seperti itu.

Namun Rena yang sudah tak berdaya masih bisa memberikan senyuman sinis dan menyeringai. Dia menatapi Farida yang ada di depannya dengan sangat rendah, bahkan lebih rendah dari makhluk yang berharga lainnya.

"Hahahahahahahaha..." Suara tawanya terdengar layaknya seorang nenek sihir yang jahat. "... Tidak!"

Dengan memberikan jawaban seperti itu, itu artinya Rena benar-benar akan melindungi informasi yang dia ketahui dan sudah siap menerima segala hukuman yang akan datang dari Farida.

Tanpa perlu segan-segan lagi, Farida mengeluarkan sihirnya dan membuat sebuah rantai melesat ke arah kepala orang yang sudah tidak waras itu.

SRAT!

SRAT!

Rena seharusnya sudah tiada hanya dengan tusukan rantai itu.

Namun sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Sebuah lubang hitam seperti kolam yang terkontaminasi limbah muncul di bawah Rena dan menyerapnya masuk ke dalamnya.

"Hey, kemana kau pergi?!" Farida mencoba naik ke atas ranjangnya, namun tak ada yang terjadi.

Dalam seketika, ranjang Farida yang baru saja digunakan penghianat itu kembali seperti semula tanpa adanya jejak dari sihir itu.

Bingung, keringat dingin, dan ketakutan bercampur menjadi satu dalam suasana ini.

"Apa yang baru saja terjadi?"

Farida mencoba melihat-lihat sekitar kamarnya, namun hasilnya hanyalah kegelapan kamar yang hanya diterangi oleh lampu kelap-kelip.

"Elueh, elueh, kasar sekali kamu mainnya..."

Namun sebuah suara tiba-tiba berdengung dan berbicara dengan pemimpin justiciar itu di dalam kamarnya.

"Siapa kau?!"

Untuk sekali lagi dan memastikan, Farida melihat seisi kamarnya, namun hasilnya tetaplah nihil.

"Siapa aku?" Suara itu membuat suara seperti orang meringis hina. "Aku adalah orang yang seharusnya kau /@6@!8."

Tepat saat mengatakan itu, sebuah kata seperti tersensor dari kuping Farida.

"Hah?! Apa?!" Gadis itu jelas tidak paham apa yang dibicarakan suara itu.

"Hehehe, bukan... Bukan apa-apa, selagi dewi itu masih menganggu jalanku, maka aku akan menunggu waktu yang tepat saja."

"Dewi? Maksutmu De-"

"Berikan salam padaku padanya, katakan padanya, 'bersembunyi terus tidak akan membuatmu selamat.'"

Suara itu tidak tertarik dengan namau dewi itu, dia bahkan sudah tahu siapa dia. Sampai-sampai mendengar namanya saja dia sudah enek.

Suara itu mengecil dan sampai tidak dapat terdeteksi oleh indra pendengaran.

"Farida?! Suara keras apa tadi?!" Ibunya datang dengan berlari terbirit-birit ke kamar.

Nafasnya yang ngos-ngosan bisa dilihat dari mukanya meskipun dalam kamar yang gelap sekalipun.

"Leh, mana temanmu?"