Ini adalah hari sabtunya Time Fracture dan juga hari kelima ujian berlangsung.
Seperti biasa, Randy, Ilham, dan Farida menatap papan pengumuman untuk melihat siapa yang menjadi pengawas ujian kali ini.
Namun kali ini agak berbeda. Kesunyian mengelilingi mereka bertiga. Tak ada satupun suara yang berdengengung di udara sekitaran mereka. Yang ada sekarang hanyalah terpaan angin musim panas.
"..." (Randy)
"..." (Ilham)
"..." (Farida)
Randy merasa canggung saat berdiri di antara mereka berdua. Sekarang ini seperti ada sebuah tembok di antara mereka berdua.
'Meskioun cuman merasa saja, tapi aku seperti dijadikan tembok tebal oleh mereka.' Randy menggerumun di tengah-tengah mereka berduam
Ini adalah suasana yang canggung. Bahkan Randy pun mulai tidak tahan dengan ini.
'Ingin sekali aku segera membuat mereka berbaikan, tapi bagaimana?'
'Ahhhh! Aku bingung?'
'Bodoh amatlah, ini masalah mereka berdua. Jadi yang harus menyelesaikannya adalah mereka berdua!' Randy menyerah dengan mereka berdua.
Pilihan yang dipilih anak itu adalah pilihan terburuk saat ini. Sebuah masalah tidak akan hilang begitu saja bila ditinggalkan. Seseorang harus menjadi penengah mereka.
Randy tahu apa yang seharusnya dia lakukan saat ini. Tapi dia tidak tahu bagaimana menjalankannya.
Jika dia minta bantuan Dalor ataupun menggunakan Will of Justice mungkin akan selesai dalam sekejab. Tapi itu bukanlah pilihan yang baik. Pertemanan yang baik itu berasal dari kejujuran dan keterusterangan antar teman.
Dari depan papan pengumuman sampai ruang kelas. Randy selalu menjadi yang berada di tengah mereka. Dia bahkan sampai harus terlihat seperti tidak ada yang terjadi sampai sekarang.
Ujian sekolah berlangsung....
2 jam 30 menit kemudian.
Hasil Ujian:
Nilai Ekonomi (KKM: 70):
Randy Aditya: 53 (gagal)
Farida Ayu Putri: 68 (gagal)
Ilham Darmono: 32 (gagal)
Hannah Kumila Dzakri: 70 (lolos)
Ira Mana Sari: 72 (lolos)
Celicia Ambarwati: 98 (lolos)
Windy Renata Maulydia: 100 (lolos)
Naura Batu Langit Tak Mungkin Itu: 86 (lolos)
Dian Pitaloka Mandasari: - (absen)
Nilai Prakarya (KKM: 75):
Randy Aditya: 76 (lolos)
Farida Ayu Putri: 72 (gagal)
Ilham Darmono: 74 (gagal)
Hannah Kumila Dzakri: 100 (lolos)
Ira Mana Sari: 83 (lolos)
Celicia Ambarwati: 100 (lolos)
Windy Renata Maulydia: 100 (lolos)
Naura Batu Langit Tak Mungkin Itu: 100 (lolos)
Dian Pitaloka Mandasari: - (absen)
Ujian berakhir.
Randy merentangkan tangannya untuk membuat suarak 'KLEK!' dari punggungnya. Ujian hari ini cukup mudah, tapi karena hawa yang berat dari mereka. Randy jadi ikut terbawa ke arus dan membuatnya hilang pikiran di tengah jalan.
"Ha(menghela nafas)... Bisa-bisanya aku gagal di Ekonomi. Dan untuk mata pelajaran Prakarya, aku bahkan hampir gagal..." Randy berkeluh kesah dengan lirih.
Dia tidak tahu kalau suasana berat di sekitarnya ternyata bisa mempengaruhi konsentrasinya.
"Ngomong-ngomong soal konsentrasi..." Randy menatap layar monitor miliknya.
Dia membuka daftar nilai yang direkam secara online di program CBT itu. Jika dia benar, maka seharusnya. "Nilai mereka..."
Apa yang Randy lihat adalah kenyataan yang tak terpikirkan. Ilham mendapat nilai merah itu adalah hal yang wajar, namun untuk Farida. Gagal dua kali berturut-turut dalam ujian adalah sebuah keajaiban dunia. Bahkan saat ini adalah waktu pelajaran yang bisa dibilang adalah yang paling mudah.
Layar di monitor menampilkan banyak nama-nama yanh diberi warna hijau yang menandakan mereka lolos, sedangkan merah mereka gagal. Biasanya dalam ujian di mata pelajaran kompetisi dan nalar. Nama yang bercap merah akan lebih banyak ketimbang hijau.
Namun untuk sekarang, mata pelajaran yang mereka hadapi adalah umum. Nama yang dicap hijau lebih banyak ketimbang merah.
POK!
Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahu pemuda yang sedang mengintip aib nilai itu.
Kepala Randy berbalik dan menatap ke atas wajah orang itu.
"Ilham?"
Ilham memasang wajah yang serius. Apakah dia mau memarahi Randy karena melihat aib nilanya?
Pikiran Randy sudah dipenuhi dengan pemikiran itu. Badannya langsung mengeluarkan keringat dingin, pernapasannya jadi terengah-engah.
"Bisa bicara sebentar? Di tempat yang agak sepi," tapi apa yang ingin Ilham katakan berbeda dari apa yang pemuda itu pikirkan.
Tapi tetap saja, Randy tidak boleh menurunkan waspadanya dan harus siap siaga kapanpun dan dimanapun.
Randy mengangguk setuju tanpa membuka mulutnya.
Di belakang kelas, tempat di mana pohon-pohon buah di tanam untuk menghiasi pagar-pagar sekolah.
Ilham berdiri senden di pohon mangga itu.
"Apa yang inginkau bicarakan?" Randy menanyakan sesuatu yang tidak perlu.
Dia sebenarnya tahu apa yang ingin dikatakan temannya itu, tapi seperti biasa. Randy bukanlah orang yang suka berbicara sembarangan bila dalam keadaan yang dingin seperti ini.
"Lucu sekali... Cara bicaramu." Ilham meringis. "Kau pasti ketakutan karena kejadian ini, 'kan?" Ilham menyadari perilaku Randy yang saat ini.
Layaknya Ilham, sebenarnya Randy juga tahu perilaki mereka berdua.
"Aku katakan saja langsung! Aku benci situasi saat ini!" Dia menghardik tepat ke arah muka Randy. "Apa-apaan dia?! Dia memulai masalah, lalu kabur begitu saja!"
"Dia bikin situasi ini makin canggung di antara kita! Dan dia tidak memperlihatkan tanda-tanda kalau dia mau meminta maaf pada kita berdua!" (Ilham)
Mendengar protes pemuda itu, Randy sedikit menyengir tipis. Untungnya karena terlalu sibuk mengoceh, Ilham tidak melihat senyuman itu.
Dalam pikiran Randy, dia berpikir betapa bodohnya Ilham untuk berharap kalau ada seorang cewek yang mau minta maaf duluan.
Sambil terus mendengar celotehan itu. Randy menatapi sekitaran tempat itu. Buah-buah di pohon mangga sudah telrihat besar dan kuning. Seandainya diambil, mungkin rasanya akan manis.
Pikiran Randy pindah ke tempat lain. Saat ini Dia malah memikirkan rasa buah-buah yang ada di pinggir pagar itu. Celotehan Ilham sudah terasa bagaikan radio rusak yang sudah tak terdengar.
Namun itu tidak berlangsunh lama. "Randy?! Apa kau mendengarku?!" Kedua bahu pemuda itu dicengkram dengan kuat.
"Eh? Maaf, aku tidak bisa fokus..." Randy memasang senyum masam ke arah belakang Ilham.
Matanya seperti menatap seseorang yang berdiri jauh di belakang Ilham.
"Kau bisa-bisanya tidak fokus soal masalah ini?!" Ucap Ilham yang kesal sambil menggeleng-gelengkan tubuh pemuda itu.
Saat melihat tatapan mata Randy, Ilham menyadari maksud dari tatapan itu. Dia menghentikan tindakannya dan menoleh kebelakang.
Di sana, Farida berdiri dengan tangan yang bersilang dan kakinyang dihentak-hentakkan.
Perang besar antara dua sahabat itu akan berlangsung.
Tanpa membuang-buang waktunya, Farida berjalan pelan ke arah mereka berdua.
Dia menatap kedua temannya itu dengan tatapan serius.
Kepalanya tertunduk, dan dia mengatakan: "Maaf!"
Bukan sebuah perang dunia yang akan terjadi, melainkan sebuah keajaiban dunia ke 8.
Apa yang ada di pikiran Farida? Kenapa dia bisa berpikir seperti ini?