Chereads / Menikahi Barista Ganteng / Chapter 14 - 14. Justin Berengsek

Chapter 14 - 14. Justin Berengsek

"Justin! Lepaskan aku! Justin!" teriak Cielo.

"Kamu … kamu adalah wanita yang sangat cantik dan sangat aku cintai," racau Justin sambil bersendawa. Mulutnya bau sekali hingga membuat Cielo ingin muntah. "tapi kenapa kamu selalu jual mahal padaku? Ada banyak wanita yang rela menyerahkan tubuhnya tanpa aku minta, kecuali kamu. Betapa aku meminta pun, kamu selalu mengalihkan pembicaraan."

"Justin! Sadarlah! Kamu ini sedang mabuk!" ucap Cielo sambil meringis.

"Aku bosan sekali padamu. Kamu itu wanita yang manja dan menyebalkan." Justin menunjuk Cielo dengan wajah yang teler.

Kata-kata Justin telah membuat Cielo sakit hati. Betapa teganya Justin berkata seperti itu padanya. Ingin sekali Cielo menangis.

"Kamu harus jadi milikku malam ini juga!"

Justin mencium Cielo dengan paksa sambil menarik kimono Cielo ke samping hingga tali bra-nya terlihat. Tangannya begitu kuat dan kasar. Sebagaimana keras usaha Cielo untuk menolak, Justin terus menekannya.

"Tolong!" teriak Cielo sambil setengah menangis.

Justin pun berhasil membuka kimononya sepenuhnya hingga dadanya tersingkap di hadapan Justin. Untung saja ia masih mengenakan pakaian dalam.

"Ah, Cielo … kamu seksi sekali dan putih," ujar Justin sambil menjilat bibirnya.

"Aku mohon! Jangan, Justin!"

Pria itu menjadi semakin liar dan gila. Justin mendorong Cielo menuju ke kasur hingga membuat Cielo menjerit-jerit dan memberontak.

"Diam kamu! Selama ini kamu selalu menolakku, tapi tidak kali ini!"

Sementara itu, Cielo hanya bisa menatap pasrah saat tidak ada yang menolongnya.

"Lepaskan aku …," ucap Cielo sambil menangis.

Pintu mulai tertutup perlahan, tapi sampai tertutup sepenuhnya. Bunyi bip bip dari mesin otomatis menandakan jika pintu itu belum tertutup dengan sempurna.

Cielo menangis sambil terus berusaha mendorong Justin yang sedang menciuminya dengan kasar. Kakinya menendang-nendang, tapi percuma saja karena ia hanya menendang angin. Justin telah menindih tubuhnya.

Tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka dan seseorang menarik Justin dengan sekuat tenaga hingga Justin pun terlepas dari atas tubuh Cielo. Dengan napas terengah-engah, Cielo duduk dan kemudian memperbaiki kimononya.

Pria itu mendorong Justin ke tembok hingga terdengar bunyi berdebum yang keras. Justin terhuyung dengan wajah yang teler. Lalu ia menunjuk pria itu sambil menyipitkan matanya.

"Siapa kamu?! Berani-beraninya kamu menarikku?!" seru Justin yang terdengar mengantuk dan lemah, padahal kekuatannya besar sekali saat mendorong dan menindih Cielo.

Tanpa banyak bicara, pria itu pun meninju wajah Justin dengan keras beberapa kali.

"Dasar berengsek!" umpat pria itu kasar.

Cielo hanya bisa menjerit-jerit. Tangan dan kakinya gemetaran. Saat itu, ia benar-benar takut sekali.

Lalu ia teringat untuk menelepon petugas keamanan. Tangannya meraba-raba interkom dan kemudian segera menghubungi nomor ekstension yang sudah ia hafal sekali.

"Pak, cepat kemari ke kamar saya! Cepat!" teriak Cielo.

Pria itu terus memukuli Justin hingga terjatuh di lantai. Cielo melihat hidung dan pelipis Justin berdarah. Pria yang memukul Justin itu mengibas-ngibaskan tangannya seperti yang kesakitan.

Lalu mereka saling menatap selama beberapa detik. Mata Cielo pun langsung membelalak.

"Kamu! Si kopi itu kan!" tunjuk Cielo pada pria itu.

Ia yakin sekali seratus persen jika pria yang baru saja meninju Justin adalah pria yang sama yang telah menumpahkan kopi ke pakaiannya.

Pria itu mengangguk dan kemudian berkata, "Apa Ibu baik-baik saja?"

"A-aku … aku baik-baik saja," ucap Cielo sambil merapatkan kimono dan mengusap air matanya.

Cielo memperhatikan pria itu dari atas ke bawah. Pria itu mengenakan seragam Poseidon.

"Apa kamu kerja di sini?" tanya Cielo. Ia mengernyitkan wajahnya masih sambil menatap pria itu heran.

Pria itu mengangguk. "Iya, Bu. Saya bekerja di sini."

Cielo melihat keadaan Justin yang sedang meringkuk di lantai. Ia tidak bergerak sama sekali.

"Apa dia mati?" tanya Cielo.

Pria itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Bu. Dia masih hidup."

Ia menarik Justin hingga badannya terlentang. Dadanya tampak naik turun, tapi matanya terpejam. Justin tampak seperti yang damai tidur di lantai.

"Kenapa kamu memukulnya dengan sangat keras?" tanya Cielo.

Pria itu menautkan alisnya sambil mengernyit. "Tentu saja untuk menolongmu, Bu! Bukankah tadi Ibu teriak minta tolong?"

"Ya … ta-tapi … kamu telah memukulnya dan membuatnya pingsan," ujar Cielo.

Ia merasa ucapannya itu sangat bodoh, tapi ia sungguh penasaran mengapa pria itu langsung memukul Justin dan bukannya membawanya keluar dari sini? Cielo sama sekali tidak menyukai kekerasan.

"Jadi, apa yang harus saya lakukan jika melihat pria yang hampir memperkosamu?" tanya pria itu dengan wajah ketus.

Lagi-lagi, Cielo teringat raut wajahnya yang tampak tidak suka saat mengepel lantai yang terkena kopi.

"Kamu tidak perlu berkata kasar seperti itu padaku! Aku ini direktur di tempat ini! Omong-omong, bagaimana kamu bisa bekerja di tempat ini?! Hmmm, satu lagi, siapa namamu?"

Pria itu tidak mau menjawab. Cielo melongok ke arah papan nama yang terselip di saku dadanya. Lalu ia pun menarik papan nama itu.

Matanya melebar seketika. "Graciello Andreas?"

Lalu sang petugas keamanan pun segera tiba di kamar Cielo. Pria bernama Graciello itu yang membukakan pintu.

Tidak hanya petugas keamanan, tapi sang manager pun ikut masuk ke dalam kamar. Cielo malu sekali kedapatan dirinya hanya berbalut kimono dan dilihat oleh para pria.

Graciello tampaknya menyadari hal tersebut. Lalu ia pun mengambil sebuah handuk dari kamar mandi dan menutupi dada Cielo sambil memalingkan wajahnya. Cielo malu sekali. Ia langsung membungkus tubuhnya rapat-rapat.

Para petugas keamanan, membantu mengangkut Justin. Cielo meringis melihat wajah Justin yang bengkak dan bersimbah darah.

"Apa yang sebenarnya terjadi?!" seru manager hotel, Pak Abi.

"Saya hanya membela Ibu Cielo, Pak," jawab Graciello sambil menunduk.

"Jadi, kamu yang sudah memukul Pak Justin? Keterlaluan kamu!" Pak Abi menoyor kepala Graciello dengan kasar. "Kamu tahu tidak, siapa pria itu? Itu adalah calon suaminya Ibu Cielo! Berani sekali kamu masuk ke kamar ini tanpa izin dan bahkan sampai memukulnya! Urusannya panjang ini! Kamu bisa dilaporkan ke polisi!"

"Sudah, sudah!" seru Cielo. "Kalian semua keluar!"

"Baik, Bu," ucap Pak Abi sambil mengangguk hormat. "Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian ini, Bu. Saya akan mengurus semuanya sampai tuntas."

Cielo diam saja sambil merapatkan handuk di tubuhnya. Lalu mereka semua membubarkan diri.

"Hei!" seru Cielo pada Graciello. "Kamu! Jangan pergi dulu!"

Semua orang menoleh dan kemudian menatap Cielo dan Graciello secara bergantian. Graciello pun menghentikan langkahnya, sementara yang lain keluar dan menutup pintu dengan pelan.

"Ya. Ada apa, Bu?" tanya Graciello sambil menunduk. Tak sedikit pun ia berani menatap mata Cielo.

"Terima kasih ya karena sudah menolongku," kata Cielo tulus.

Graciello mendesah. "Seharusnya, sejak tadi kamu katakan itu pada mereka."