Aku tidak tahu sejak kapan, dan dari mana Zainal tiba-tiba ada di belakangku, memakaikan kemejanya kepadaku. Aku langsung mengambil kemeja itu, tanpa menyentuhnya, kemudian aku udurkan tubuhku agar menjauh darinya. Sungguhh ini bukanlah hal yang mudah, bagiku seorang perempuan baik-baik, yang bisa disentuh oleh pemuda bahkan kami tidak memiliki ikatan apa-apa, meski pada dasarnya cinta adalah hal yang telah kurasakan untuknya secara nyata.
"Maaf, tapi ndhak pantas bagi seorang pemuda untuk sedekat ini dengan seorang wanita. Apalagi aku adalah Ndoro di kampung ini," kubilang.
Mendengar penuturanku itu, Zainal lantas menjauh, sambil mengikat kedua tangannya, dia pun membungkuk, seolah sedang memberi hormat, dan aku mengabaikan ucapan dari Zainal, memutuskan untuk melangkah masuk pada sebuah gubug tua yang tak berpenghuni untuk menyembunyikan tubuhku. Tunggu saja sampai Paklik Junet datang, aku akan memintanya mengambilkan pakaian untukku bisa pulang.
Dan yang paling aneh dari semua itu, aku melihat dari ujung mataku, Zainal tampak mendekati tiga pemuda yang tidak tahu diri itu. Dia bukan hanya berdebat, melainkan melakukan adu fisik hingga Zainal terjatuh berkali-kali. Kawan-kawanku yang masih di telaga, agaknya mereka menjerit histeris, hingga akhirnya Zainal berhasil mengambil pakaian kami, kemudian Zainal membagi pakaian kawan-kawanku, lalu dia memandangku yang tengah memandangnya di dalam jendela gubug itu, kemudian dia mendekat.
Hatiku ... aku tidak tahu kenapa, rasanya berdebar dengan sangat kencang. Jantungku berdetak dengan tak karuan. Hatiku terus menjeritkan nama Zainal, jantungku terus bedegub memanggil nama Zainal, dan entah sampai kapan aku merasa jika hal ini mungkin akan berlangsung lama. Lama sampai aku tidak tahu apa yang telah kurasakan ini, tapi sepertinya cinta telah datang menghampiriku dengan tidak tahu diri.
"Rianti ..." suara itu terhenti, aku terbelalak melihat Zainal memanggilku seperti itu. Mata bulatnya memandangku, sehingga mata kami bertemu. Aku diam, Zainal pun diam. Kuperhatikan lagi dengan teliti, bagaimana hidung bangir Zainal tampak sangat nyata, bagaimana bibir penuhnya yang ranum itu begitu menggoda, bibir dengan belah tengah yang begitu indah dan nyata. Aku nyaris tanpa kedip, memandang sosok yang ada di depanku saat ini, untuk kemudian aku terkesiap, saat tangan Zainal tak sengaja menyentuh tanganku secara nyata. "Maaf, Ndoro, ini pakaianmu," dia bilang. Aku pun menundukkan pandanganku, wajahku entah mengapa terasa panas. Mungkin kali ini aku sedang malu, karena terperangkap dalam tatapan liar dengan penuh hasrat seperti itu. Apa aku ini lancang? Apa aku ini tidak tahu diri? Sehingga memiliki hasrat liar seperti itu dengan Zainal. Gusti, maafkan aku karena telah selancang itu kepada Zainal.
"Terimakasih," kubilang. Aku langsung memunggunginya, melepaskan kemejanya, tapi Zainal masih menatapku dengan malu-malu.
"Surat itu ...," kata Zainal terhenti, dia memandangku dengan mimik wajah yang sama sekali aku tak bisa mengartikannya. Tapi aku paham akan satu hal, jika mungkin rasaku telah terpenjara di dalam hatinya dengan sangat nyata. "Terimakasih, aku telah membaca surat itu sampai habis, Ndoro," lanjutnya.
Nyaliku menciut, tentang kata-kataku yang ada di dalam surat itu, tentang goresan penaku, yang kutulis diam-diam mewakili perasaan hati yang mendalam. Aku tidak akan pernah bisa memaafkan diriku, karena telah lancang mengiriminya surat dengan cara seperti ini.
"Apakah kamu tahu isi dari surat itu?" kutanya pada akhirnya, Zainal pun mengangguk. Dia masih menundukkan pandangannya, membuatku dengan cepat mengenakan kebayaku, kemudian kusodorkan kemejanya, Zainal pun menerimanya dengan senang hati.
"Coretan pena yang sangat indah, bukan hanya isinya saja yang sangat indah. Bahkan aku merasa jika aku ndhak sanggup untuk menerima semua itu,"
"Aku mencintaimu," kubilang dengan lantang. Mulutku bergetar, dan jantungku berhenti berdetak dengan spontan. Zainal mendongakkan wajahnya, aku memandangya dengan begitu tajam dan penuh makna. "Aku mencintaimu," kuulang untuk kedua kalinya. Tapi, Zainal masih diam, aku sama sekali tidak mengerti dan tidak paham, kenapa Zainal diam membisu seperti itu. Apakah dia tidak mengerti dengan maksudku? Ataukah dia tidak paham dengan apa yang aku ucapkan?
"Aku mencintaimu, apakah kamu ndhak paham dengan ucapanku? Kenapa kau hanya diam seperti itu tanpa mengatakan apa pun juga. Ataukah surat itu ndhak begitu membuatmu mengerti? Dan malah ucapanku sekarang ini ndhak cukup membuatmu paham juga?" kesalku pada akhirnya.
Kini Zainal tampak tersenyum, dia masih menundukkan kepalanya, seolah apa yang telah aku ucapkan adalah sesuatu yang sangat lucu. Padahal jelas, aku sedang tidak melucu. Ataukah dia pikir, hal aneh baginya karena ucapanku itu?
"Maafkan aku, Ndoro. Sepertinya Ndoro sedang ingin bermain-main, atau kalau endhak Ndoro ini sedang merasa bosan. Sehingga aku telah Ndoro jadikan pelampiasan," kata Zainal. Kukerutkan keningku tidak paham, aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan. Dari mana ucapanku yang mengandung sebuah main-main dan tidak sungguh-sungguh? Padahal jelas apa yang kuucapkan kepadanya adalah satu hal yang sangat serius.
"Apa maksudmu? Apakah kamu berpikir jika aku ini sedang bercanda? Lalu kamu mengatakan jika ucapanku hanyalah bualan semata?" kesalku. Zainal kembali tersenyum.
"Maafkan aku, Ndoro. Bukan maksudku seperti itu. Akan tetapi, bukankah sangat ndhak mungkin kalau Ndoro benar-benar jatuh hati denganku?" dia bilang, aku terbelalak kaget mendengar ucapannya. "Aku ini siapa, dan Ndoro ini siapa. Bukankah dengan latar belakang kita saja semua orang sudah paham arah dari pembicaraan kita? Ndoro adalah seorang Ndoro Putri dari keluarga Juragan yang sangat mampu, dari keturunan darah biru yang hartanya ndhak akan pernah habis bahkan tujuh keturunan sekalipun. Sementara aku? Aku ini siapa, Ndoro? Aku adalah warga kampung yang paling miskin, anak dari seorang janda paling miskin di kampung. Jangankan sepetak sawah atau kebun, hutang pun bertumpuk-tumpuk sampai rimbun. Lantas apakah hal ini merupakan suatu pelecehan? Karena Ndoro Rianti ingin mengejekku karena aku adalah pemuda miskin, itu sebabnya Ndoro ingin mempermaikanku? Jika benar seperti itu, maka maafkan aku, Ndoro. Ini hati, bukan tempat untuk bermain-main atau tempat untuk uji nyali."
Kukatupkan mulutku rapat-rapat mendengar ucapan dari Zainal kepadaku. Apakah aku sedang ditolak sekarang? Ataukah aku sedang dihina sekarang? Aku sama sekali tidak tahu dan tidak menyangka jika aku, Rianti Hendarmoko ditolak mentah-mentah oleh pemuda dengan cara menyakitkan sekali.
"Aku mencintaimu," kubilang, masih berharap jika dia percaya. Namun Zainal seolah tidak peduli, dia malah berjalan pergi meninggalkanku begitu saja. "Aku mencintaimu!" teriakku kemudian. Rasanya aku mulai merasa khawatir dan takut, jika Zainal akau menjauhiku, dan aku akan kehilangannya selamanya. "Aku mencintaimu, Zainal!" teriakku kesekian kalinya. Bahkan sekarang, rasa Maluku rasanya sudah putus, aku seolah tidak peduli jika kawan-kawanku mendengar teriakan bodohku ini, teriakan pengakuan cinta yang benar-benar gila, dariku seorang Rianti Hendarmoko.
Aku bisa melihat jika Zainal menghentikan langkahnya, senyumku tersungging, tapi ketika aku hendak melangkah maju, Zainal lantas menjauh dariku begitu saja. Mataku nanar, air mataku mengalir dengan sempurna. Aku tidak pernah menyangka jika aku dipermainkan seperti ini oleh Zainal. Dan ternyata benar, untuk pertama dan terakhir kali aku jatuh hati, aku ditolak dengan cara yang tidak manusiawi seperti ini.
Zainal ... kenapa kamu tega menolak cintaku dengan cara yang kejam seperti ini?