"Rianti, apa yang sebenarnya kau tunggu ini? mobil sudah ada di depanmu, Sobirin sudah duduk manis di balik kemudi. Tapi kamu masih berdiri dengan bodoh di tepi jalan sambil menoleh ke kiri dan ke kanan. Apakah kau merasa jika semua ini akan menjadi baik? kamu sedang menunggu Mbah Pasri minta susur apa gimana, toh?"
Romo tampak berkomentar, membuatku terdiam. Bagaimana tidak, sedari lima belas menit yang lalu Romo dan Biung sudah menyuruhku untuk masuk ke dalam mobil. Tapi dari lima belas menit yang lalu juga aku pun mengatakan untuk tunggu sebentar.
Aku yakin, dia akan datang ....
Ya, setidaknya itulah pikiranku, aku mencoba yakin jika Zainal akan datang. Entah itu hanya sekadar lewat, atau pun dengan alasan lain. aku yakin hal itu akan terjadi, tapi lima belas menit ini?
Aku melihat Romo dan Biung, Biung yang masih tampak mencoba menenangkan Romo yang tampak kesal, dan Kangmas Arjuna yang tampak menjahili Manis. Sebuah hal yang membuatku agaknya bingung.
Aku tidak punya alasan ....
Alasan apa lagi sekarang yang harus aku ucapkan kepada keluargaku? Berdiri di sini bersama dengan orang sebanyak ini juga bukanlah hal yang baik sama sekali. Aku seperti seorang wanita yang bodoh sama sekali, dan tidak bisa berbuat apa pun lagi.
Aku sudah tidak bisa berkelit lagi ....
"Manis ada, Asih ikut bersamamu ke Jakarta, kangmasmu ada, biungmu ada, aku romomu pun ada, bahkan semua abdi dalem yang ada di rumah telah keluar semua untuk menunggu kamu berangkat pun sudah berada di sini semua, Simbah Romelah pun ada. Lantas siapa lagi yang sedang kamu tunggu itu, Rianti? Apakah kamu ingin menunggu sampai romomu ini berubah dan mati dikuburkan kamu baru mau berangkat ke Jakarta? Ingat lho ya, memilih kuliah di sana dan mengambil jurusan kedokteran adalah keputusanmu sendiri, ndhak ada yang memaksamu sama sekali, jangan sampai kamu membuat Romo naik darah karena kamu telah berubah pikiran dan ndhak mau untuk pergi ke Jakarta,"
"Romo, bukan seperti itu," kubilang pada akhirnya. Aku sama sekali tidak mau kalau sampai Romo salah paham, sebab aku pun tidak ingin mengatakannya secara jujur kenapa aku dengan bodoh masih menunggu di sini. Tunggu ... itulah setidaknya yang ingin aku yakini sekarang. Tunggu sampai Zainal datang, tunggu sampai Zainal berani keluar dari zona ketakutannya dan melangkah maju untuk menggenggam tanganku. Dan hingga saat itu tiba, aku akan mengaku semuanya kepada Romo. Meski aku sendiri tidak yakin sama sekali apakah Zainal mencintaiku. Tapi entah kenapa, hati kecilku seolah berteriak untuk tetap menunggu Zainal, sebab mungkin Zainal akan datang sekarang.
"Lekas berangkat!" bentak Romo. Aku pun menundukkan kepalaku kemudian kucium punggung tangan kedua orangtuaku dengan khidmat.
"Aku berangkat dulu, Romo, Biung," kubilang, kini aku mencium punggung tangan Kangmas Arjuna dengan malas. "Aku pergi dulu, Kangmas,"
Kangmas Arjuna tampak mengacak rambutku yang telah kukepang dua dan itu berhasil membuatku kesal bukan main.
"Kalau pergi yang jauh, ndhak usah bali-bali lagi. Mataku biar ndhak sepet, lihat wajah jelekmu riwa-riwi di depan mataku," ucap Kangmas Arjuna. Memang, manusia satu itu selalu seperti itu, kalau bersamaku sepertinya nyaris tidak ada kata-kata manis sekali. padahal dulu ketika aku masih kecil, dia adalah sosok yang paling menyayangiku setelah semuanya.
"Arjuna, ndhak boleh bilang seperti itu kepada adikmu sendiri! Minta maaf!" tegur Biung, aku pun tampak mengulum senyum.
"Nah, sekarang minta maaf, dasar Kangmas ndhak berguna!" kesalku.
"Adik jelek!"
"Kangmas mata keranjang!"
"Adik ndhak laku-laku!"
"Kangmas!"
Romo dan Biung pun tertawa, membuatku dan Kangmas langsung melotot memandang mereka. kenapa dengan mereka ini? sepertinya bahagia sekali melihat anak mereka bertengkar seperti tikus dan kucing seperti ini. lucu benar mereka tertawa bahkan sampai terpingkal-pingkal seperti itu. padahal, seharusnya untuk menjadi seorang Juragan dan Ndoro Putri mereka harus menjaga tertawa mereka untuk menjadi tertawa yang sopan dan santun. Dasar, Romo dan Biung ini bagaimana, toh.
"Kenapa kalian malah bahagia seperti itu melihat Kangmas dan adiknya sedang bertengkar hebat seperti ini? sepertinya, pertengkaran kami adalah hal yang menyenangkan untuk kalian!" protesku.
Romo langsung memeluk tubuhku, kemudian dia mencium hidungku. Membuatku tidak jadi marah karena tingkah laku dari Romo tersebut.
"Ndhak apa-apa, Sayang. hanya saja melihat kalian berdua ini bertengkar malah membuatku ingat tentang masa lalu."
"Masa lalu bagaimana? Romo dulu juga pernah bertengkar seperti itu dengan saudara Romo? Oh ya, Pakdhe Adrian, toh, ya? Aku ndhak sempat melihat wajahnya, karena telah wafat tatkala lama itu, pasti Romo dan Pakdhe Adrian adalah sepasang saudara yang saling bertengkar seperti ini, jadi ya nurun sama aku dan Kangmas,"
Entah kenapa Biung tampak aneh, mendengar nama Pakdhe Adrian disebut. Entahlah, aku tidak mau ambil pusing dan memikirkan hal yang lain lagi. Sebab bagiku adalah yang membuatku bahagia bisa bersama dengan keluargaku.
"Bukan, bukan dengan Kangmas Adrian. Kangmas Adrian itu adalah sosok Kangmas yang benar-benar seperti Kangmas, mengayomi, selalu melindungiku sebagai adhimasnya, dan selalu ada juga melakukan semuanya yang terbaik untukku. Namun, apa yang kalian pedebatkan, apa yang selalu kalian lakukan yaitu bertengkar terus setiap waktu itu, mengingatkan Romo tentang seseorang yang begitu Romo cinta. Sebab dulu, karena Romo begitu ingin selalu dekat dengannya dan mendapatkan perhatiannya, Romo selalu bertingkah seperti itu, menghinanya dan mengajak bertengkar dia, sampai-sampai dia sepertinya kesal setengah mati dengan Romo dan begitu membenci Romo."
"Lantas, lantas bagaimana terusannya, Romo? Aku sama sekali ndhak tahu kalau Romo punya kisah cinta seperti itu? cinta pertama Romo? Dengan siapa? Apakah Biung tahu tengang semua ini?" tanyaku penasaran.
Gusti, betapa sangat indah jika memang benar Romo memiliki kisah cinta yang selucu itu. hanya karena menginginkan perhatian dan bisa terus bersama dengan wanita yang dia cintai, Romo sampai rela terus bertengkar dengan wanita tersebut. Sungguh, Romo memang unik memiliki caranya sendiri untuk berdekatan dengan wanita. Namun, mataku tampak melirik pada semua abdi dalem yang ada di sana. Bagaimana tidak, mereka itu malah tampak menahan senyum, seolah semua yang telah dikatakan oleh Romo adalah hal yang sangat lucu, sebuah nostalgia dari memori lama yang sangat menyenangkan sekali untuk mereka. apakah benar jika masa muda Romo dan kisah cintanya sangat semenyangkan dan semanis itu? aku tersenyum lagi, rasanya aku benar-benar iri. Melihat Zainal sekarang yang tidak pernah memperjuangkanku membuatku merasa aku adalah wanita paling buruk di dunia. Lantas, apakah aku akan bisa merasakan seperti kisah cinta Romo? Bisa dicintai dengan begitu indah dan manis seperti itu. tidak peduli jika awalnya mereka membenci, mungkin saja pada akhirnya mereka saling mencintai.
"Iya, dia adalah cinta pertamaku, sekaligus cinta terakhirku. Dia adalah biungmu, Larasati," jawab Romo mantab.