Ditelan buaya raksasa sudah cukup buruk untuk Lova Tilotama Surandra. Namun, bukan buaya dalam arti yang sesungguhnya. Dia akan bersyukur jika buaya bertaring yang memakannya.
Bukan itu maksudnya! Hampir saja Lova kehilangan keperawanannya senja tadi, tak sengaja ganti baju, tetapi lupa menutup pintu kamar mandi. Pria itu datang, memaksanya memberikan pelayanan lebih dari seorang barista.
Hingga pada akhirnya, Lova mengundurkan dirinya secara langsung. Dia bekerja menjual jasa, bukan harga dirinya.
"Kapan nikah?" Kalimat itulah yang membawa Lova Tilotama Surandra datang ke sebuah kota besar yang menawarkan segudang kemudahan bagi para penduduknya, yang mampu. Jakarta!
Katanya, ingin mengubah nasib. Dia merantau ke sebuah kota besar yang konon katanya begitu ramah untuk mereka yang berduit, tetapi tidak untuk kalangan menengah bawah yang hanya datang bermodalkan nekat dan niat. Jakarta akan menelanmu! Itulah semboyan mengerikan yang dielu-elukan.
"Setidaknya punya wajah yang cantik, tubuh jenjang melenggang tinggi, kulit putih dan seksi. Maka, Jakarta akan menghidupi dirimu sesuai dengan apa yang kamu berikan!" sindir seseorang padanya. Melirik Lova yang berdiri di ujung balkon.
Lova Tilotama Surandra. Kini dia belajar banyak hal. Jakarta benar-benar menelannya habis-habisan. Ingin kembali ke kampung halaman, tetapi dia malu dicibir banyak orang. Tinggal di desa bukan hal yang mudah kalau sudah menyangkut pasal uang. Semuanya berekspektasi tinggi pada Lova Tilotama Surandra.
"Gak mau pulang aja?" tanyanya. Asap rokok mengepul setelah dia menghembuskan nafasnya. Disusul dengan asap tipis yang datang dari ujung gulungan tembakau. "Masih ada waktu, katakan kamu kecopetan." Dia tertawa, mendukung nada bicaranya yang menyebalkan. "Si mbok gak akan curiga. Dia bodoh," katanya lagi.
Lova menoleh. Meskipun dia tidak akur dengan wanita tua bertubuh gempal yang diceritakan pada temannya ini dengan sebutan 'si mbok', tetapi cukup menusuk ketika ibu kandungnya dibilang bodoh oleh gadis liar sepertinya itu.
"Aku bakalan cari kerja lagi," ujar Lova. Memandang jauh di depannya. Tentu bukan pemandangan atap gedung pecakar langit dan jalanan kota dengan lampu malam yang indah. Lova tidak tinggal di pusat kota. Harga sewanya tentu mahal, dia hanya pelayan bar dengan gaji sedikit, tetapi terpaksa hidup dengan cara yang mencekik.
Rusunawa adalah tempatnya tinggal selama berbulan-bulan menetap di Jakarta. Tidak ada sanak saudara, Lova datang bermodalkan informasi dari teman. Katanya, dia bisa mengubah nasib di sini.
"Pakde punya pekerjaan, kamu mau?" Gadis sebaya dengan Lova menawarkan. Menjatuhkan rokoknya yang sudah tidak layak dihisap lagi.
Lova seakan didiamkan paksa oleh keadaan. Awalnya dia tidak mengira bahwa temannya hidup seperti ini Jakarta. Sejak kecil Nike adalah gadis kecil yang penurut, diam dan apa adanya. Namun, setelah kuliah di Jakarta dan tidak pernah kembali ke kampung dia berubah menjadi wanita yang super power. Dalam artian yang negatif.
"Gak ah, Pakde kerjanya gila!" Lova menolak mentah-mentah. Dia masih pada pendiriannya. Dia tidak akan menyentuh barang haram!
"Gila apanya! Pakde punya perusahaan yang besar. Produknya sudah merajalela di Jakarta. Kamu akan hidup mapan. Apalagi kamu cantik," katanya. Menyenggol bahu Lova. Membujuk. "Pakde baru cari orang baru. Dua putrinya keluar dari perusahaan karena kontraknya sudah habis. Duanya lagi keluar karena pulang kampung. Kamu bisa mengambil pekerjaan itu." Dia menyakinkan. Lova pasti mau, dia butuh uang. Bukan untuk biaya sewa rusunawa, tetapi juga perawatan diri dan makan sehari-hari. Belum lagi ditambah biaya harian yang tiada habisnya. Kalau tak begitu, dia bisa mati ditelan Jakarta.
"Kalau mau, aku bawa kamu ketemu Pakde besok siang. Dia ada di barber shop milik Sio." Nike masih kokoh. Sedang Lova memilih diam.
Gadis itu teringat akan apa yang dikatakan oleh si mbok dulu sebelum berangkat ke Jakarta. "Kamu harus bisa jaga diri, kalau ada apa-apa langsung bilang sama keluarga yang ada di kampung. Lagian kenapa harus cari kerja dan cari jodoh di Jakarta? Di desa juga banyak."
"Gimana?" Nike mendesak. "Mau atau tidak? Pakde orang baik, kok."
Lova menatap Nike. Entah, pekerjaan apa yang sebenarnya sedang ditawarkan. Kalau status yang ia katakan waktu itu, Nike bekerja sebagai SPG di sebuah perusahaan makanan asing. Pemimpinnya bernama Mr. Rex Samuel, atau kerap disapa dengan sebutan Pakde oleh orang-orang terdekatnya. Dia bukan orang asing, dia mirip dengan dirinya dan Nike. Hanya orang kampung yang merantau ke Jakarta dulunya. Bedanya, Mr. Rex sukses menaklukkan kota ini. Sedangkan Lova, sudah payah di awal langkah.
"Aku gak mau urusan sama Pakde. Jatuhnya nanti ribet kalau udah ketangkap polisi." Lova menyahut. Mencoba untuk menolak dengan caranya. Tak mau menyakiti hati teman lamanya ini. Nike sudah banyak membantu dirinya. Membuat Lova tetap bertahan meksipun Jakarta benar-benar menelannya.
"Terus? Mau jadi pengangguran?" Nike menoleh. Ditatapnya Lova dalam diam. "Lebih baik jadi jalang, tapi punya duit. Ketimbang sok suci, tapi mau makan nasi saja kudu ngemis di jalanan." Nike memutar tubuhnya. Merogoh satu bungkus rokok dalam saku celana panjang yang ia kenakan. Tak lupa dengan pemantiknya.
"Lova ..." Dia menepuk ringan pundak Lova. "Cari cewek suci di Jakarta itu hampir tidak ada. Semuanya diperas habis oleh keadaan. Apalagi orang seperti kita. Jakarta benar-benar tidak ramah bukan?" Dia terkekeh. Mencoba membuat keadaan sedikit lucu, meksipun nyatanya hanya ada ketegangan di dalam hati.
"Status cewek suci tidak bisa memberi kamu makan dan kehidupan di Jakarta. Kita bukan gadis yang terlahir dari keluarga kaya. Hidup berlimpah ruah duit dan fasilitas yang gila. Kita harus pintar melawan semuanya, Lova." Nike menjeda sejenak. Mengambil satu rokok, menawarkan untuk Lova. Padahal dia tahu, Lova tak merokok. Basa-basi saja, siapa tahu Lova berubah pikiran.
Dia menyalakan pemantik dan membakar ujung tembakaunya. "Jakarta keras, Lova. Jangan pilih-pilih kerjaan. Asalkan bisa menghasilkan duit, kenapa tidak? Lagian jangan pusing mikirin polisi yang mungkin menangkap kita nanti. Pakde punya relasi yang besar. Polisi tidak mudah menangkapnya."
Lova menghela nafasnya panjang. Sekuat apapun Lova mencoba, nyata dia tidak bisa keluar dari zona nyamannya. Kerja di bar saja terkadang membuat hatinya was-was. Takut jika dia tidak hanya kehilangan tenaga, tetapi juga keperawanannya.
Lova bisa dibilang cantik. Jika hanya mencari buaya darat untuk membayar tubuhnya, Lova tak perlu bersusah-susah. Laki-laki macam itu sudah mengantri panjang.
"Kalau gak mau sama Pakde, gimana sama Madam?" Nike mengimbuhkan. Masih kokoh menawarkan pekerjaan untuk Lova.
"Dia punya bioskop. Kamu bisa datang ke sana," imbuhnya lagi.
"Bioskop? Kerja jadi tukang tiket?"
Nike menaikkan kedua bahunya. "Coba saja datang. Aku akan kasih alamat besok. Kamu bisa bicara dengannya langsung. Kalau cocok, ambil pekerjaannya."
... Bersambung ....