Chereads / Marriage Obsession / Chapter 4 - 4| Bisik Malam

Chapter 4 - 4| Bisik Malam

"Gimana, ada yang cocok?" Nike bersuara dari sudut ruang dapur, diselingi dengan suara gemercik air yang menyela. Dia pasti sedang menyiapkan minuman untuk menu makan malam kali ini. Memang tak mewah, sederhana dan tak 'wah' seperti yang lainnya.

Bisa saja, Nike punya gaji yang lumayan besar. Namun, dia tergolong orang yang pelit kalau sudah masalah makan. Alasannya dia tidak boleh terlalu banyak memasukkan makanan ke dalam tubuhnya, lemak yang menumpuk akan menjadi hambatan terbesar untuk Nike mendapatkan bonus di akhir tahun nanti.

"Cocok apanya!" Lova menyeru. Jengkel, tentu saja. Dia kembali tadi. Menghampiri Madam dengan harapan baru, meksipun beberapa detik sebelumnya harapan Lova sudah dipatahkan oleh wanita itu. Dia masih mau berpikiran baik, meksipun pada akhirnya, Lova memutuskan pergi dengan amarah yang menggebu.

"Madam bilang kamu marah-marah sama dia." Nike berjalan keluar dari dapur. Tertawa menyelingi. "Untung kamu gak mengumpat padanya," katanya lagi. Menatap Lova dengan geli.

Nike meletakkan menu makanan di atas meja bersama dengan nampannya. Seperti biasa, mie instan sebab ini adalah akhir bulan. Kali ini Nike menambahkan sosis dan cabe segar di atasnya.

"Madam itu mantan istrinya Pakde. Jadi mereka punya pekerjaan yang hampir sama," tutur Nike, sekarang baru mau berterus-terang.

Lova menatapnya dengan malas. Sembari mengaduk mie di dalam mangkok, dia kembali membuka celah bibirnya. "Kenapa gak ngomong itu dari tadi?" protesnya pada Nike. "Kalau tahu begitu, aku gak akan datang tadi. Aku bisa cari pekerjaan di tempat yang lain!"

"Itu sebabnya aku gak bilang dari awal," sahut Nike padanya. Lagi-lagi dia tertawa ringan. Sebelum akhirnya, Nike membuka celah bibirnya. "Sekarang mau kemana? Maksudku mau cari kerja apa?" Dia menatap Lova. Perempuan muda itu terkesan tak acuh sekarang, yang penting salah masalah perutnya yang kosong sejak senja dia pulang ke rusunawa.

"Aku akan cari kerja yang lain. Yang bisa menghidupi selama beberapa bulan ke depan, sembari cari kerja yang lebih mapan."

Nike mendekatkan wajahnya. "Lova, kita hanya lulus SMP dari desa. Gak ada ijasah yang bagus, gak asa nilai yang menjamin apalagi pengalaman yang pas. Jakarta tidak menyambut orang seperti kita." Nike menatap sekelilingnya. "Lihat!" Dia tiba-tiba saja meninggikan nada bicaranya. "Bahkan tempat tinggal kita tidak bisa disebut rumah. Kamu gak pengen rumah yang mewah, mobil yang bagus atau semacamnya?"

Lova tak acuh, kembali meneruskan makannya sembari menggelengkan kepalanya. Jelas-jelas pemikiran Lova dan Nike jauh berbeda. Nike gila akan harta dan kehidupan yang mewah secara instan. Namun, tidak untuknya, Lova masih percaya dengan semboyan bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil.

Meksipun nyatanya dia berkali-kali dikhianati oleh usahanya sendiri.

"Hei!" Lova menarik garpu milik Lova, agar gadis itu mau mendengarkannya sejenak saja. "Aku lagi bicara sama kamu. Jadi dengarkan," tukasnya dengan penuh keyakinan. Menatap Lova, memaksanya untuk ikut menatapnya juga.

"Pakde ngasih kerjaan lagi. Kencan buta dengan seorang anak konglomerat. Hanya dua jam, katanya untuk mengelabuhi orang tuanya agar dia tidak dijodohkan."

"Jadi?" tanya Lova, polos.

"Aku merekomendasi kamu."

"Kamu sudah gila rupanya!" Lova menyahut. Aneh, dia marah hanya sebab itu. Trauma dengan kencan buat yang dulu. Dia hampir saja mati malam itu. "Aku bilang kemarin kalau aku gak akan mau kencan buta palsu lagi!"

"Hanya kencan!" Dia menegaskan. Mencoba untuk meredam amarah Lova. "Begini alurnya!" Nike kembali menjelaskan. "Pertama kamu datang dan memperkenalkan diri, duduk dan melakukan apa yang dia minta. Dia orang yang sopan katanya. Manis juga, jadi tidak akan macam-macam." Nike memindah posisi duduknya. "Akan ada yang memotret kalian, tetapi wajah kamu gak boleh kelihatan. Ingat misinya, hanya untuk mengelabuhi saja. Urusan selanjutnya kita lepas tangan!"

Lova mendengarkan dengan saksama. Tak berkomentar apapun.

"Aku serius, Lova. Itu sangat mudah!" Dia kembali menegaskan. Kali ini dengan harapan penuh. "Kalau kamu tertarik dan mau melanjutkan ke pekerjaan yang lain, Pakde siap mencarikan posisi untuk kami. Jadi coba dulu saja. Itu gak ada salahnya."

"Bagaimana jika dia macam-macam? Aku masih trauma yang ada di dalam bar." Lova merengek. "Kalau aku mati gimana?"

Nike berdecak. "Itulah enaknya kerja sama Pakde, ada kontrak yang menjamin. Kalau kamu berhasil, kamu juga akan dapat bonus. Lumayan gede. Cukup untuk membayar sewa rusunawa hingga satu tahun ke depan."

Lova membisu. Berpikir. Kalimat teman lamanya itu seakan menjadi cahaya yang luar biasa terangnya untuk Lova sekarang.

"Gimana? Kalau mau, aku pinjami bajuku. Acaranya dua hari lagi." Nike menarik tubuhnya, bersandar ke kursi. "Kalau gak mau, aku tawarkan ke yang lain." Dia mengancam dengan caranya. "Itu misi yang paling mudah. Jadi gak akan ada yang menolak. Baru kali ini Pakde dapat klien yang gak perlu adegan seks."

Lova mengembuskan nafasnya panjang. Dia mulai bimbang.

"Gimana?" desaknya lagi.

"Siapa namanya?" tanya Lova pada akhirnya. "Nama pria itu. Pria yang mau aku temui dua hari lagi."

Nike tersenyum sumringah. Mengangguk. Akhirnya dia kena sasaran! "Namanya Pritam Rasendriya Alexandro. Orang biasa memanggilnya Mr. Pritam."

••• Marriage Obsession •••

Gudang pusat, Perusahaan Manufaktur Tekstil dan Kain, PT. Klandestin Alexandro.

"Poin pertama! Dia adalah orang yang gantengnya luar biasa!" Bisikan itu membatasi pekerjaannya. Ini bukan kali pertama dia mendengar kata itu.

"Poin kedua! Dia baik hati dan ramah. Juga sopan santun," imbuhnya. Semakin gila, kegirangan.

"Poin ketiga! Dia adalah ...."

"Hush!" Sekarang gadis muda itu menyela. Menempelkan jari telunjuk di atas bibir rekan kerjanya. "Fokus saja kerjaan kamu! Jangan ngawur," imbuhnya. "Mana bisa bos besar datang ke pabrik begini!" Dia mengimbuhkan. "Jadi berhenti berkhayal, selesaikan itu supaya kita gak lembur lagi malam ini."

Kalimat itu jelas-jelas menyanggah kabar burung yang menyatakan bahwa bos mereka akan datang malam ini. Nyatanya, tak semua orang bisa percaya itu. Tempat kumuh dan panah seperti ini, hanya akan didatangi oleh buruh lepas seperti dia.

Namun, Tuhan sepertinya sedang menunjukkan kekuasaannya. Di balik pintu utama gudang, beberapa rombongan orang datang. Mengiringi seorang pria muda yang masuk ke dalam gudang dengan setelan jas yang khas. Dia adalah bosnya!

"Selamat datang, Mr. Pritam!" Seseorang menyapa. Dia adalah mandor di sini. "Senang melihat Anda datang, Pak." Ia menambahkan. Kembali membungkukkan badannya.

"Aku datang hanya untuk melihat-lihat. Sepertinya ada masalah di gudang," kata Pritam kemudian. Tersenyum pada si mandor yang bekerja mengkoordinasikan semua yang ada di dalam gudang.

"Masalah?" tanyanya. Menatap semua orang yang mengentikan aktivitas mereka tatkala mendapati bos besar datang. "Tidak ada masalah ...."

"Aku akan memeriksanya sendiri," tukas Pritam. Memotong kalimat pria itu. "Itulah sebabnya aku kemari."

... To be continued ...