Chereads / Marriage Obsession / Chapter 10 - 10| Malam Pertemuan

Chapter 10 - 10| Malam Pertemuan

"Kamu mau jadi istirnya?"

Lova diam, bungkam seribu bahasa. Jujur saja, dia tak tahu mengapa wanita di depannya itu berkata demikian. Gurauan? Entahlah. Padahal mereka tidak saling mengenal satu sama lain sebelumnya.

"Mbok!" Karan menyenggol tubuh wanita gempal itu. "Jangan gitu! Nanti dia gak mau beli di tempatmu lagi." Dia menggerutu di tempatnya. "Kamu gak ramah."

Tawa kecil muncul dari celah bibir wanita tua itu, kepalanya manggut-manggut, mengiyakan.

Dia menyerahkan dua jantung bakar yang sudah dibungkus dengan kertas dan di masukkan ke dalam kantung plastik. "Jadinya 18 ribu," katanya pada Lova.

Dia mengulurkan satu lembar uang dua puluhan. Memberikannya pada wanita tua itu.

Hampir Si Mbok mengambil uang kembalian untuk Lova. Namun, dengan gesit dia menolaknya begitu sopan. "Gak usah, buat ibu saja." Dia tersenyum manis. Mengakhiri kalimatnya. Lova membungkuk ringan, tersenyum lagi. Mangut sekali pada Karan yang membalas dengan hal yang sama.

Lova beranjak pergi setelahnya. Tujuannya adalah restoran mewah yang kebetulan sejalan dengan sisi alun-alun kota. Dia hanya tinggal naik bus sekali dari halte yang ada di depan sana, turun 15 menit kemudian kiranya dan dia berhenti tepat di sisi restoran mewah yang akan mempertemukan dirinya dengan seorang laki-laki. Namanya adalah ....

Pritam!

"Gak mbok kejar?" tanyanya pada Karan. Menatap wajah anak dan resminya itu. Menyenggolnya bahunya juga. "Kamu sepertinya jatuh cinta."

Karan menoleh pada wanita yang ada di depannya itu. "Cinta pertama apanya." Karan bangkit dari posisinya. "Aku mau balik dulu, ada kerjaan yang harus aku selesaikan."

Si Mbok terkekeh-kekeh. "Kenapa tumben balik cepet? Karena mau ngejar dia?" Wanita tua itu meledek. Sedangkan Karan hanya menggelengkan kepalanya. Mengambil satu jagung bakar pesanannya.

"Terserah Mbok saja. Aku mau pulang."

Karan beranjak pergi setelah. Meninggalkan wanita itu di tempatnya.

Bukannya mau ambil kesempatan, kebetulan saja jalur mereka sama. Karan juga akan baik bus kota dari halte yang di sana. Juga, kebetulan saja, langkah kakinya tergolong cepat. Jadi dia bisa menyusul gadis itu.

"Sendirian, Mbak?" Karan membuka percakapan.

Tak disangka, responnya baik.

"Hm, sendirian."

Buta! Memangnya Lova sedang berjalan sama siapa sekarang?

"Mbak mau pulang atau baru mau pergi?" tanya Karan, berbasa-basi. Sedikit mencairkan suasana. Di samping itu, halte bus semakin terlihat dekat. Hanya beberapa langkah lagi mereka akan sampai ke tujuan mereka.

"Mau pergi menemui seseorang."

"Pacarnya?" Karan seakan terus mendesak, sedangkan Lova masih berusaha untuk ramah pada orang baru ini.

Setidaknya dari penampilannya, Lova bisa tahu bahwa, dia bukan sembarang pria yang suka menggoda wanita. Dari pakaian yang dia kenakan, setidaknya Lova tahu apa pekerjannya.

Monoton memang, caranya berpakaian terlalu formal dan tidak menarik. Dia menyianyiakan ketampanan di wajahnya. Jika saja dia pandai berpakaian, maka aura tampan dan manly miliknya akan terpancar dengan sempurna.

"Hanya teman," jawab Lova canggung. Seharusnya dia tidak perlu menjawab sejauh ini.

Mereka sampai di bawah atap halte bus. Kursi panjang yang kosong menjadi tempat duduk yang paling sempurna.

Lova duduk di ujung, Karan berselang beberapa jengkal darinya. Menjaga jarak agar Lova tidak risih dengan dirinya.

"Nama kamu siapa?" tanya Lova. Tumben, dia yang memulai. Mungkin untuk mengusir sepi.

"Karan." Dia menyahut seadanya. Lova juga tak butuh nama panjangnya. Mungkin dia butuh identitas dasar, jika bertemu di jalan, maka dia bisa memanggilnya.

Itu formalitas yang bagus.

"Namamu unik." Lova menyahut lagi. Tersenyum manis.

"Asli orang sini, Mbak?" Karan membuka suaranya. Sekarang terdengar jauh lebih lembut, caranya berbicara dengan gadis muda memang harus pengertian begini.

Lova menggelengkan kepalanya. "Aku dari solo, Jawa Tengah. Merantau ke sini. Awalnya ikut teman, tetapi akhirnya aku hidup sendiri." Lova meringkas. Itulah kisahnya dari awal hingga titik ini. Tak ada yang bermakna.

"Kerja di mana, Mbak?" Karan tidak pernah bosan. Selalu ada saja yang ditanyakan olehnya untuk gadis yang ada di sisinya itu.

Lova menggelengkan kepalanya. "Baru cari. Aku gak punya ijazah kuliah, jadi agak susah." Lova tersenyum kuda, dipaksakan. Tak mau terlihat menyedihkan di depan pria ini.

"Ya, beginilah Jakarta." Karan menghela nafasnya panjang. "Harus pintar curi kepandaian. Kepiawaian satu saja terkadang tidak cukup untuk menghidupi kita di sini, Mbak."

Lova tersenyum miring. Yang dikatakan oleh pria di sisinya itu benar sekali. 100 persen itu setuju. Lova tahu sekali bagaimana hidup sekarang. Tidak semua yang dia bayangkan.

"Aku doain cepet punya jodoh yang mapan, Mbak. Biar gak perlu cari kerja lagi. Perempuan wajar bergantung pada suaminya."

Ah, membahas pasal pernikahan lagi. Lova tak siap untuk itu. Rasanya menikah adalah hal yang momok paling menakutkan untuk dirinya.

"Mbaknya usia berapa?"

Belum sempat Lova menjawab, Bus kota datang menjemput keduanya. Lova memberi kode, berpamitan. Karan berada di halte yang sama, tetapi untuk bus berikutnya.

"Kalau begitu aku duluan, Mas." Lova membungkuk, masuk ke dalam bus kota. Langkahnya hati-hati seperti tidak pandai mengenakan gaun seperti itu. Seperti gaun pesta yang mahal, Karan hampir saja mengira Lova adalah anak orang kaya yang bosan naik mobil pribadi.

••• Marriage Obsession •••

"Dia belum datang?" Pritam mulai resah, janjinya tepat pukul setengah tujuh. Namun, ini hampir pukul tujuh. Jujur, dia benci pada sebuah keterlambatan. Waktunya terbuang sia-sia hanya sebab menunggu seorang gadis yang asing.

"Sudah mencoba menghubungi dia?"

Anak buahnya menggelengkan kepalanya. "Kita tidak punya nomer ponsel pribadinya, Pak. Jadi hanya bisa menghubungi Mr. Rex. Katanya dia sudah berangkat sejak pukul setengah enam tadi."

"Dia berangkat dari luar kota?" Pritam marah, tentu saja. Helaan nafasnya menandakan kesabarannya mulai tipis. "Tidak ada macet lalu lintas di jalur yang dia lalui. Jadi ...." Pritam menghentikan kalimatnya. Mengangguk pada dirinya sendiri. "Sudahlah. Ini tidak berguna."

Pria itu bangkit dari tempat duduknya. "Katakan pada Mr. Rex aku minta uang mukanya di kembalikan. Dia tidak becus memilih orang."

Baru saja Pritam ingin beranjak. Seorang gadis terlihat tergesa-gesa masuk ke dalam restoran. Itu mencuri perhatian milik Pritam. Gayanya, mirip dengan yang katakan oleh Mr. Rex padanya.

"Dia adalah gadis bergaun merah pekat dengan rambut panjang bergelombang. Membawa tas hitam, senada dengan sepatu peep-teo yang dia kenakan." Pritam mengerutkan keningnya.

"Dia .... orangnya?" tanyanya. Mencocokkan wajah gadis yang berjalan ke arahnya dengan apa yang ada di dalam layar ponselnya.

"Benar ... dia orangnya. Pritam menelisik penampilan gadis itu, terlihat sedikit kacau dan ceroboh. Di tambah lagi, dia membawa kantung plastik hitam di dalam genggamannya. Itu benar-benar merusak penampilannya malam ini.

"Mr. Pritam?"

"Lova?"

Akhirnya mereka bertemu. Inilah awal takdir buruk itu.

... To be continued ..