Wajahnya mengatakan bahwa dia duduk dalam sebuah kecemasan. Mengusir segala pikiran bodoh, berandai-andai yang tak pasti. Lambat laun itu mencuri kewarasannya.
"Lova ...." Namanya disebut di tengah hening yang ada. Tidak ada yang berbicara, selepas masuk ke dalam taksi, dia hanya duduk diam memandangi jalanan yang tak asing. Di depan sana, berbelok, lalu mereka akan sampai tujuannya.
"Lova?" Dia memanggil lagi.
Sempurna senyum diberikan, tanda bahwa dia sedang memberi respon yang baik sekarang. Berusaha semaksimal mungkin agar itu terlihat lebih natural lagi.
"Benar ini jalannya kan?" Karan yang duduk di atas kursi penumpang, sisi pak sopir memastikan. Memang, ini adalah arahan rusunawa tempat Lova tinggal. Menurutnya, ini adalah jalan yang tepat.
"Dipertigaan besar belok kanan, nanti mengikuti jalan sudah sampai ke rusunawa." Dia menjawab, seadanya. "Kamu yakin gak papa menghantar kita sampai ke depan rusunawa?" Lova memastikan lagi. "Kalau tidak, kita bisa turun di depan sana. Jalan kaki kemudian."
Karan menggelengkan kepalanya. "Kebetulan aku juga pulang lewat depan rusunawa kamu, jadi jangan khawatir." Dia memastikan agar gadis yang duduk di jok belakang nyaman dengan ini.
"Oh, ya ... katanya tadi kamu mencari pekerjaan." Karan kembali membuka celah bibirnya, ke arah belakang lewat pantulan kaca kecil yang menggantung di depannya. "Pekerjaan apa yang kamu inginkan? Siapa tahu kalau aku kembali ke kantor besok pagi, ada lowongan pekerjaan yang cocok buat kamu. Nanti aku bisa merekomendasikan sama bosku," ucap Karan.
Sebenarnya begitu membosankan, memulai percakapan di pertemuan pertama mereka dengan membahas pekerjaan. Akan tetapi, inilah usaha maksimal yang bisa dia lakukan. Karan bukan tipe pria yang pandai menggombal, kata-kata cinta tidak mudah lolos dari celah bibirnya.
Bukan pria yang kaku, bukan juga pria yang polos. Iya sama seperti pria yang lainnya di luar sana. Namun, dia hanya tidak terbiasa saja. Selama ini hidupnya ditempuh dengan cara yang formal dan itu itu saja. Bangun pagi hanya untuk bekerja, pulang senja ke rumah melepas penatnya.
"Apapun yang nggak perlu pakai ijazah tinggi. Aku cuma lulusan SMA saja."
Karan diam sejenak. Sayang sekali, padahal Lova terlihat begitu cantik dan sempurna secara fisik. Namun, pendidikannya jauh dari kata cukup untuk menerjang kerasnya kota ini.
"Baiklah kalau begitu, nanti kalau ada pekerjaan aku langsung kabari kamu." Karan merogoh masuk ke dalam tas jinjing yang ada di atas pangkuan. Dia mengeluarkan secarik kertas dan pena, menyodorkan itu pada Lova.
"Coba tulis nomor telepon kamu di sini, biar aku bisa mengabari kalau dapat lowongan pekerjaan."
Lova menerimanya sedikit ragu, sekali menatap ke arah pria itu.
"Meskipun aku tahu di mana kamu tinggal, rusunawa itu besar dan banyak kamarnya. Kita juga tidak tahu satu sama lain kapan waktu longgar untuk bertemu. Jadi saling mengabari lewat ponsel adalah hal yang lumrah bukan?"
Gadis itu tersenyum manis. Mangkut-manggut dan menerima pemberian darinya.
Lova mulai menuliskan deret angka yang menjadi nomor identitas ponselnya. Kembali menyerahkan itu kepada Karan.
"Ngomong-ngomong, kamu memangnya kerja apa?"
"Aku karyawan di sebuah perusahaan percetakan buku. Itu memang bukan pekerjaan yang wah, tetapi setidaknya bisa memberi makan aku setiap bulannya," ujar Karan seraya tertawa kecil.
"Dulu aku punya satu perusahaan meskipun itu tidak besar, karena aku hanya punya teori tidak punya cara untuk mempraktekkan dengan benar ... singkat cerita aku mengalami kebangkrutan. Tidak bisa mengembalikan modal dan akhirnya aku menjual semua yang aku punya."
Sekarang dia menemukan ketertarikan dalam pembicaraan mereka.
"Wah, itu pasti menyakitkan." Lova tersenyum miring. Ternyata yang digiling habis oleh keadaan di kota metropolitan bukan hanya dirinya saja. Pria yang terlihat baik dan pandai seperti Karan saja, kalah oleh keadaan.
"Kamu kehilangan semuanya, jadi kamu pasti sedikit trauma untuk memulainya lagi," tukasnya. Menebak secara asal.
Karan tertawa kecil, tawanya hilang bersama dengan mobil taksi yang menepi, sesuatu dengan interuksi yang di dapat. Berhenti di depan taman kecil seberang jalan, ada lampu besar di sana sebagai pertanda.
"Untungnya aku bukan tipe orang yang mudah trauma, jadi aku bekerja lagi untuk menabung dan memulai dari awal." Karan menjawab dengan begitu antusias.
Sekarang pandangan matanya menuju ke sekitarnya. Suasana yang tak asing, Dia pernah datang kemari sesekali dua kali. Atau juga ini tidak terlalu jauh dari kediamannya.
"Kita sudah sampai," ucap Lova dari jok belakang. Mengemasi barang-barangnya yang tidak seberapa.
Karan ikut keluar, membantu membukakan pintu mobil.
Gadis itu keluar dengan hati-hati, menuntun si nenek.
"Terima kasih banyak atas tumpangannya," ucap Lova kala keduanya sama-sama berada di sisi kiri mobil, pinggir jalan. "Aku jadi merepotkan kamu malam ini, seharusnya kita tidak bertemu dalam keadaan seperti ini." Gadis itu tersenyum canggung, melirik ke arah nenek yang mulai kedinginan dengan udara malam padahal Lova sudah meminjamkan jaketnya.
"Ah, nggak perlu sungkan begitu," timpal pria itu. "Lagian ini satu arah dengan aku pulang. Jadi aku gak repot sama sekali," jawabnya kemudian.
Karan menatap jauh ke sana. Bangunan rusunawa terlihat begitu agung, sedikit kumuh. Lagian itu kawasan murah bukan kawasan elit. Kawasan elit ada di baliknya. Tempat mereka bertemu tadi.
"Kamu bisa menyerang sendiri?" tanya Karan. "Mau aku bantu menyebrangkan?"
Lova lekas menolak. Bukannya apa, dia sudah terlalu banyak merepotkan pria asing ini, padahal mereka bukan teman akrab.
"Nggak perlu, aku bisa jalan sendiri bareng nenek," jawab Lova, merangkul wanita yang ada di sisinya. "Sekali lagi, terimakasih atas bantuannya. Aku janji, lain kali akan membalasnya jika bisa."
Karan tersenyum manis. "Tentu, aku menunggu itu." Dia menjawab dengan ramah. "Kalau begitu aku pulang dulu, kamu hati-hati menyebrangnya."
Lova manggut-manggut. Melambai ringan, membiarkan Karan masuk ke dalam mobil kembali.
Setelahnya mobil itu kembali berjalan. Lova memandang kepergiannya.
"Dia itu anak yang baik," kata nenek menyela diamnya. Akhirnya wanita tua ini mau berbicara juga.
Lova tersenyum. Menuntunnya untuk menyebrang, mumpung jalanan sudah sepi.
"Kamu harus cari suami seperti dia." Nenek menyela lagi, suaranya sedikit parau, mungkin sebab kedinginan. "Dia itu anaknya baik, sopan, murah senyum, dan apa adanya ...." Wanita tua itu mulai memuji. "Dia juga tampan, tubuhnya bagus, ditambah dia adalah orang yang pekerja keras dari ceritanya." Dia sepertinya yang mengagumi Karan, bukan Lova.
"Jadi ... kalau cari suami harus kayak dia. Nanti anak-anakmu juga jadi anak yang baik dan pintar, Lova."
Lova terkekeh ringan. "Nenek ini ngomong apa, malah bahas soal anak. Lova saja masih umur 20an tahun. Belum mikirin soal nikah. Lagian siapa juga yang mau sama gadis bodoh tanpa keahlian kayak aku begini?" sahutnya. Mulai merendahkan diri sendiri.
"Karan itu pria baik dan pintar, jadi dia juga pasti mencari wanita yang seperti itu."
... To be continued ...