Lampu kota menemani duduk keduanya, dipandangnya langit senja yang membentang luas di atas sana, perlahan-lahan mendung mulai hilang menandakan bahwa hujan tidak jadi turun.
Di tengah lamunannya, seseorang datang membawakan dua cup kopi berukuran sedang, asap masih terlihat mengepul di udara. Menandakan itu baru saja diseduh untuknya.
"Kopi susu dengan ekstra susu," katanya. Tertawa kecil. Dia duduk di Lova, ikut memandang ke arah jalanan yang ada di depannya.
"Jakarta kalau senja memang tiada duanya." Tugasnya memuji keindahan yang ada di depannya sekarang, juga yang ada di sampingnya.
Lova menoleh, menatap Karan. Tersenyum, menganggukkan kepalanya. "Apalagi kalau malam lagi hujan," imbuh Lova. "Aku menyukai suasana tenang yang tercipta," imbuh gadis itu.
Karan setuju, itu ditandai dengan anggukan kepala.
"Ngomong-ngomong, kita belum saling mengenal satu sama lain." Karan adalah tipe yang tidak suka berbasa-basi, apalagi kalau sudah menyangkut ketertarikan pada sesuatu. Dia jarang dekat dengan perempuan, selain rekan kerja atau orang yang menjadi teman lamanya. Jadi dia tahu dan paham, bagaimana rasanya sekarang.
Lova membuat gelombang besar di dalam hati Karan. Sepertinya dia mulai mempercayai mitos kalau cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada di era modern yang penuh pertimbangan.
"Nanti lama-lama juga saling kenal kalau saling ketemu," balasnya. Masih dengan senyum yang sama.
"Kamu berharap kita bertemu lagi suatu saat nanti?" tanya Karan.
Lova tak jadi mengangkat cup kopi dari atas meja, melirik ke arah pria tampan di sisinya.
Karan terlihat santai, dia bahkan tidak gugup dengan pertemuan ini. Sepertinya dia buaya, mirip laki-laki tampan yang lainnya.
"Kenapa diam saja? Aku jadi merasa bersalah jika begitu," katanya. Tertawa pada Lova.
"Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kalau memang bisa dekat dan saling bertemu kenapa tidak? Lagian di Jakarta aku tidak punya banyak teman, hanya Nike."
Karan manggut-manggut. Dia menyukai warna suara milik Lova. Itu terdengar begitu lembut dan nyaman, seakan penuh kehangatan di dalamnya.
"Memangnya kamu sudah lama di Jakarta atau baru saja? Bagaimana sama ke sekolah kamu atau kuliah kamu? Kamu terlihat seperti mahasiswa atau sudah lulus tahun ini?"
Lova kembali menyibukkan pandangan matanya untuk menatap jalanan di depannya, sembari menunggu kopi itu sedikit menurunkan suhu panasnya. Toh juga, malam ini angin berhembus akan membantu menghilangkan asapnya.
"Aku nggak kuliah." Pada akhirnya hanya itu yang terucap dari celah bibirnya. "Aku hanya lulusan SMP, SMA saja aku putus di tengah jalan, mungkin kelas dua di pertengahan."
Lova menjatuhkan pandangan matanya, mempunyai kisah yang unik mungkin bisa menjadi motivasi paling baik untuk dirinya berjalan maju tak pernah berhenti. "Hanya Nike yang sempat merasakan bangku kuliah, tetapi aku terkejut saat datang ke sini dan mendapati dia tidak meneruskan kuliahnya. Padahal di kampung dia berbicara pada ibunya kalau kuliahnya sedang sibuk-sibuknya," ujar Lova. Dia malah membicarakan orang lain.
"Kamu iri?" tanya Karan.
Gadis itu tersenyum miring. "Aku cuma memujinya saja, tetapi juga sedikit kecewa dengannya. Padahal tidak semua orang bisa merasakan bahwa perkuliahan, semuanya tidak punya nasib mujur seperti itu."
"Kenapa nggak coba mendaftar sekarang? Berapa usia kamu?"
Sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan pendidikan seorang wanita yang akan didekatinya, hanya melihat kepribadiannya yang baik dan jejaknya yang tidak 'neko-neko' sudah cukup untuk Karan. Namun, dia butuh topik pembicaraan malam ini.
"Baru 22 tahun. Masih panjang untuk menikah," katanya tertawa. "Namun, sudah terlalu lambat jika mau mendaftarkan ke universitas. Lagian biayanya besar, aku datang ke Jakarta untuk mengubah nasib dan mempunyai tabungan besar di masa depan. Singkatnya seperti kata yang mulai kuno dan basi, aku datang ke Jakarta untuk mengubah nasib."
Laki-laki itu tersenyum dengan begitu nyaman. Gadis ini benar-benar sederhana, dia mulai menyukainya semakin dalam lagi.
"Soal mengubah nasib di sini, katanya kamu mencari pekerjaan. Sudah ketemu?"
Lova menggelengkan kepalanya, dia tersenyum miris pada nasibnya sendiri. "Aku adalah tulang punggung keluargaku sekarang setelah abah meninggal. Si mbok yang ada di kampung hanya tinggal sama adikku yang masih kecil, dia sekolah kelas enam sekolah dasar, sebentar lagi dia akan mencari sekolah. Padahal di sini aku tidak punya tabungan banyak untuk dikirim ke sana." Dia menghela nafasnya. Menoleh pada Karan. Baru bersama pria ini dia mau menceritakan keluh kesahnya, padahal mereka baru mengenal kemarin. Rasanya begitu nyaman mengutarakan isi hatinya.
Bukannya Nike tidak mau membantu sahabatnya itu, belakangan ini dia disibukan dengan pekerjaannya. Katanya, sudah hampir mendekati akhir bulan di mana dia harus mengirim uang pada ibunya juga. Dia juga harus menyusun kebohongan yang pas untuk memberitahu bahwa kuliahnya sudah hampir selesai. Padahal jelas-jelas dia bekerja sebagai wanita malam atau apalah itu.
"Mau pinjam uangku dulu?"
Deg! Mungkin pria itu menawarkan bantuan, tetapi rasanya ia sedang dihina di sini. Ingin marah, tetapi dia mengerti mengapa Karan mengatakan itu.
"Gak perlu, aku sudah mendapat tawaran pekerjaan, hanya saja aku belum menerimanya. Masih mikir-mikir, sebab itu sama dengan pekerjaanku yang dulu, menjadi barista."
Pria itu mengembangkan senyum, lagian dia tidak punya kata-kata untuk dikatakan lagi.
"Dari tadi hanya bercerita tentang aku, kalau kamu gimana?" tanya Lova, membalikan keadaan. Dia menatap pria yang duduk di sisinya, lalu menarik cup kopi yang kebetulan sudah dingin. "Sepertinya kamu punya kisah yang lebih menarik dariku, Karan."
Karan menggelengkan kepalanya. Dia menunduk, menyembunyikan senyum di atas pipinya.
"Hanya kisah pria ambisius yang gagal berkali-kali," katanya seraya manggut-manggut. "Jika itu termasuk kisah yang menarik, maka aku akan menjawab iya."
Lova terkekeh-kekeh. "Kamu adalah pria yang hebat jika begitu, tidak semua orang mau bangkit ketika mereka jatuh. Berpikir bahwa dunia meninggalkan mereka lalu berlagak seperti mereka adalah orang yang paling tersakiti."
Keduanya saling menatap satu sama lain. Baru saja Karan tersihir oleh kecantikan dan cara bicara gadis ini. Dia punya pemikiran yang realistis, tetapi itu menarik.
"Kamu benar, semua orang akan melakukannya."
"Kalau ibu tua yang menjual jagung waktu itu, dia adalah ibu kamu?"
Karan menggeleng. "Dia ibu sahabatku di kampung halaman. Kami sudah dekat seperti layaknya anak dan ibu kandung, bahkan bisa dikatakan bahwa dia lebih menyukaiku ketimbang putranya sendiri," ujar Karan.
"Kenapa bisa begitu? Karena kamu adalah pria yang baik sedangkan putarannya tidak?" guraunya.
Karan menggeleng dengan ringan. "Mungkin karena aku sudah tidak punya orang tua?" imbuhnya tiba-tiba. Itu mengubah ekspresi wajah gadis yang ada di sisinya. "Ayah dan ibuku sudah meninggal. Aku sendirian di dunia ini."
Lova mengulum salivanya. "Kamu ... pasti sedih ...."
"Lebih tepatnya kesepian," sahut Karan padanya. "Setiap malam."
... To be continued ....