Bioskop tepi kota.
Lova menatap jajaran kursi yang ada di depannya. Ramai orang? Tentu saja tidak, tetapi tidak bisa dikatakan sepi sebab beberapa kursi sudah penuh sejak dia datang beberapa detik yang lalu.
Janjinya ada di tempat ini, lebih tepatnya Nike mengabarkan padanya bahwa Pritam minta bertemu di tempat ini. Katanya ada yang ingin dia bicarakan, begitu juga dengan Lova. Itu sebabnya dia menerima panggilan darinya. Sekalian, tidak harus berjalan jauh untuk menemuinya.
"Kursi 26 ...." Lova menghitung jumlah kursi yang ada di depannya, lampu bioskop yang remang-remang membuatnya sedikit asing dan kesulitan.
"Ah, itu dia!" Lova mendapati seorang pria dengan jas rapi duduk di sana, memandang ke arah layar besar yang ada di depannya sekarang. Tentu saja, dia mengamati film yang sedang diputar.
"Pritam?" Lova memanggilnya.
Disambut dengan baik, senyum manis sembari menepuk sisi kursi yang kosong.
Lova duduk di atas sana. "Maaf karena terlambat," imbuhnya meletakkan tas murahan di atas pangkuannya.
Pritam manggut-manggut. "Tidak masalah, aku juga baru saja datang." --dia berbohong! Pritam datang 30 menit sebelum janji mereka. Takutnya kalau Lova lah yang menunggu.
"Ngomong-ngomong, Nike bilang kalau kamu mau bicara, boleh aku tanya bicara soal apa?" Nike langsung pada topik pembicaraan mereka sekarang. Menatap sepasang mata Pritam, pria itu hanya diam kemudian mengambil pop corn yang dibelinya. Seharga dengan tiket bioskop yang murah, harga dan rasa makanan itu pun murahan.
"Aku akan membuangnya jika kamu gak suka, cobalah dulu." Dia berbasa-basi. "Rasanya tidak sesuai dengan lidahku."
Lova menerima itu dengan ragu, dia datang sudah tidak membayar sebab katanya atas namanya hanya tinggal masuk saja.
Sekarang dia juga dapat makanan gratis.
"Aku akan memakannya. Makasih," jawab Lova. Menerima itu dan tersenyum. Melekatkan pop corn di atas pangkuannya. "Ngomong-ngomong, ada apa?"
Pritam kembali menatap layar bioskop tua di depannya.
Sebenarnya sedikit aneh untuk Lova, masalahnya pria ini bisa saja menyewa tempat yang jauh lebih mahal dan pantas, sesuai dengan selera lidahnya. Tempat ini jelas-jelas tidak se-level dengannya.
"Hanya ingin bertemu saja, butuh teman nongkrong di tempat seperti ini." Pritam akhirnya menjawab. Tanpa mau menoleh pada Lova.
Gadis itu kecewa? Sedikit. Padahal dia berharap ada kabar baik.
"Ah, begitu rupanya," jawabnya kemudian. "Ngomong-ngomong soal pekerjaan yang kamu tawarkan malam itu ... aku sudah memikirkannya," turur Lova lagi, membuat topik pembicaraan yang baru. Yang diajak berbicara hanya diam sejenak kemudian kembali menatap Lova.
"Soal tawaran untuk menjadi barista ...."
Pritam manggut-manggut. "Lalu?"
"Kapan aku bisa bekerja di sana?" tanyanya. "Maksudku, apa persyaratan untuk ...."
"Kamu diterima." Pritam langsung menyahut begitu saja. Padahal gadis yang ada di depannya belum melanjutkan kalimatnya.
"Kenapa?" Dia gagap sendiri. Caranya melamar pekerjaan benar-benar aneh. "Maksudku adalah ... kamu belum tahu seperti apa dan bagaimana kerjaku, gimana bisa menerima begitu saja."
Pritam tertawa. "Kamu memenuhi kriteria," sahutnya. "Cantik, berpengalaman, pandia berbicara, dan menarik. Itu syarat bekerja di Black Mouse."
Gadis itu manggut-manggut ragu. Tersenyum kaku kemudian.
"Kamu bisa datang besok. Katakan jika aku yang merekrut mu. Aku akan menghubungi manager di sana."
Lova tersenyum lagi. "Terimakasih."
Yang dia lihat dari Pritam adalah pria yang baik. Dia seperti semua yang dirumorkan mengatasnamakan dirinya. Pria sukses, mapan, mandiri, dan baik hati. Mengerti dan pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Lova menyandarkan tubuhnya ke kursi bioskop kemudian. Dia Bernai menyombongkan dirinya sendiri sekarang bahwa mencari pekerjaan semudah ini!
"Ngomong-ngomong, jujur saja kalau aku terkejut kamu bisa datang ke tempat ini dan mengajakku bertemu di tempat ini. Seperti ini," katanya menegaskan di bagian akhir kalimatnya.
Pritam tertawa dengan penegasan kalimat itu. Setidaknya dia mendapat kesan aneh di sini.
"Memangnya ada apa dengan tempat seperti ini?" tanyanya di sela tawa. "Ini cukup nyaman, meskipun sedikit pengap."
Lova menoleh. Tak sengaja keduanya saling bertatapan satu sama lain. Dari jarak yang amat dekat, gadis itu bisa menatap seluruh wajah tampan milik Pritam yang selama ini tidak berani dia tatap dari dekat, dengan fokus yang sama cukup lama seperti ini. Namun, hari ini, dia melakukannya. Seluruh pandangan matanya dia kuasai sekarang.
"Aromanya rokok dan tidak sehat," kata Lova mengalihkan pandangannya. Takut dia semakin candu dengan cara pria ini menatap.
Pritam kembali menatap. "Jadi? Kamu berpikir kalau aku ada tipe pria manja yang tidak bisa berada di tempat seperti ini?"
Lova lekas menggoyangkan tangannya. "Bukan, bukan begitu!" Dia menyanggah. "Maksudku adalah ... ini bukan lingkunganmu."
"Sama saja," sahut Pritam. "Itu perumpamaan untuk kalimatku tadi."
Lova serba salah! Namun, pria yang ada di sisinya menanggapi semuanya dengan candaan dan tawa ringan. Itulah caranya akrab dengan Lova, meksipun Lova tidak bisa menerima itu dengan baik. Canggung luar biasa dengan atmosfer yang aneh. Dipaksakan untuk nyaman.
Jika menyebut mereka berkencan, sama sekali tidak. Dia hanga datang untuk melegakan hatinya. Juga dia butuh berbicara dengan Pritam tadi.
"Aku dulu suka berada di tempat ini," sambung Pritam tiba-tiba. Sembari menyandarkan tubuhnya ke belakang, bersantai menikmati film bajakan.
Lova menoleh. Menatapnya dengan iba.
"Benarkah?" tanyanya dengan lirih.
"Aku juga pernah mengalami masa SMP dan SMA. Aku pernah membolos dan sebagainya. Ini tempat yang paling enak buat bolos," katanya. Menjelaskan singkat.
Lova terkejut, tentu saja. Pritam berasal dari keluarga kaya. Membolosnya sama dengan yang lain, kelas menengah bawah.
"Tempat ini sudah ada sejak dulu, dulunya ramai. Namun, sekarang hanya didatangi orang-orang dari kalangan tertentu saja."
Keduanya saling menatap.
"Termasuk yang sedang punya beban." Dia tersenyum di bagian akhir kalimatnya.
"Kamu ...." Lova meneruskan kalimatnya dengan ragu. "Sedang punya masalah?" tanyanya pada akhirnya, setelah singkat waktu mengumpulkan keberanian.
Pritam manggut-manggut. "Jika dipaksa menikah adalah beban dan masalah, maka jawabannya adalah iya." Pria itu memberi penekanan. "Apa yang kita lakukan malam itu, tidak bisa meyakinkan keluargaku. Mereka masih memaksakan kehendak agar aku menikah akhir tahun ini maksimal."
Lova kembali diam. Dia tidak pernah diajak berdiskusi pasal masalah orang lain, apalagi tentang pernikahan.
"Aku harus menikah dengan perempuan asing yang tidak aku sukai, itu merepotkan." Dia menambahkan.
Lova menghela nafas hati-hati. "Memangnya berapa usiamu? Kenapa dipaksa menikah?"
"25 tahun ini, jika berkahir dan berganti, akan menjadi 26. Katanya aku segera memberikan pewaris untuk perusahaan dan sahamku. Itu benar-benar merepotkan dan menyebalkan," tukasnya mengeluh.
"Bagaimana bisa aku menikah dengan orang yang tidak aku kenal? Itu bukan hanya tentang pernikahan bisnis, tetapi sehidup semati." Setelah menyelesaikan kalimatnya, dia mengimbuhkan itu dengan helaan nafas yang berat.
Gadis yang ada di sisinya tertawa kecil.
"Ada yang lucu?"
Lova menggelengkan kepalanya. "Tidak, hanya saja ... ternyata menjadi orang kaya itu bebannya banyak."
Pritam menoleh padanya. Ditatapnya gadis yang tertawa cekikikan di sisinya.
Senyum dan tawa Lova, sungguh mempesona!
Dia jatuh cinta.
... To be continued ...