"Dari mana jam segini baru pulang?" Sebenarnya Karan bukan tipe pria yang suka mencampuri urusan orang lain, meskipun itu urusan gadis cantik yang keluar dini hari seperti ini.
"Rusunawa tempat kamu tinggal juga lumayan jauh dari sini, kamu mampir ke rumah teman atau bagaimana?" tanyanya lagi, dia menoleh ke arah gadis yang ada di sisinya kemudian menatap lingkar jam tangan yang menunjukkan pukul dua dini hari.
Lova tersenyum tipis. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku sekarang kerja di bar sebagai pelayan. Ini adalah hari pertamaku," katanya. Menjelaskan seadanya sesuai dengan kondisinya sekarang. Tentu bukan hal yang mudah untuk membicarakan pekerjaan yang tidak begitu pantas jika dilihat dari kondisinya sekarang.
"Ah, begitu." Karan hanya tersenyum. Rupanya inilah jalan dan keputusan yang dipilih oleh Lova.
Memang dunia seperti itu identik dengan orang-orang yang terkesan nakal dalam tanda kutip, tetapi menurut pandangan matanya Lova tidak begitu. Dia terlihat seperti gadis biasa. Dia adalah gadis yang baik, itulah kesimpulan dari setiap pertemuannya dengan Nova secara tidak terduga.
"Semoga pekerjaanmu lancar sampai nanti." Pada akhirnya kalimat itulah yang terlontar keluar dari celah bibirnya, juga hanya mendapat anggukan kepala dari gadis yang berjalan di sisinya.
"Ngomong-ngomong gimana sama usaha kamu?" Lova sedikit berbasa-basi. Setidaknya itu bisa memecah keheningan di antara mereka berdua. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dia akan sampai di kawasan rusunawa tempatnya tinggal. Dengan hati yang begitu tulus dan pertolongan yang datang dari hatinya yang paling dalam, pria ini mau menghantarkan Lova sampai ke rumah. Padahal gadis itu berkali-kali sudah mengatakan padanya kalau dirinya bisa pulang sendiri. Dia sudah terbiasa dengan pekerjaan ini mengingat sebelumnya dia juga bekerja di tempat yang identik jam kerjanya.
Dengan keras kepala juga, pria itu terus mengikutinya dan pada akhirnya dia menghantarkan Lova. Memastikan gadis itu pulang dengan aman tanpa ada orang jahat yang mengikutinya atau bahkan sampai menyentuhnya.
"Lumayan. Cari investor setelah bangkrut itu bukan hal yang mudah, Jadi wajar saja kalau susah berkembang."
Basa-basi yang membosankan, setidaknya itu berakhir dengan anggukan kepala dari keduanya. Siapa juga yang mau membahas masalah pekerjaan pukul 2 dini hari seperti ini?
Lova menghentikan langkah kaki. Dia menatap Karan, lalu tersenyum manis padanya. "Menghantarkannya sampai sini saja, kamu bisa lurus dan pulang ke rumah. Kalau nanti kamu menghantarkan sampai rusunawa, itu artinya kamu harus putar balik."
"Ada bus malam yang beroperasi jam segini, jadi jangan khawatir," sambung Karan. "Lagian jarak ke rumahku dengan tempat ini tidak terlalu jauh."
Lova tersenyum lagi. "Sekali lagi terima kasih atas kebaikanmu. Mungkin aja tadi kalau kita nggak bertemu, Aku nggak tahu harus minta tolong sama siapa dan aku juga nggak tahu gimana nasibku tadi."
"Tidak masalah," ucapnya. Menyahut.
"Kalau begitu aku pergi dulu ..." Lova mengimbuhkan. Menyela hening di antara keduanya.
Karan hanya bisa menyetujui kepergian gadis itu, meskipun sebenarnya dia masih ingin mengobrol banyak dengannya. Namun, ini bukan waktu yang tepat untuk berbasa-basi.
"Lova!" Karan memanggilnya lagi dan membuat gadis itu terhenti. Lova menoleh ke arahnya dan dalam diam dia memandang Karan.
"Besok kamu akan berangkat kerja lagi?"
Lova diam sejenak. Di dalam benaknya sekarang dia sedang bertanya-tanya memangnya apa urusannya dengan Karan? Namun, pada akhirnya dia menjawab dengan anggukan kepala.
"Kamu juga akan pulang seperti hari ini?"
Dia menganggukkan kepalanya lagi. Masih belum tahu alasan pria itu menanyakan hal ini.
"Baiklah."
Hanya itu? Itulah arti perubahan ekspresi wajah Lova sekarang.
"Kalau begitu aku pergi dulu!" Karan melambaikan tangannya pada Lova seraya tersenyum manis mengiringi perpisahan mereka. Lova membalas itu dengan cara yang sama. Pada akhirnya mereka sama-sama kembali menempuh kehidupannya masing-masing, kenyataan yang mereka punya jalan yang berbeda.
"Mbak Lova!"
Gadis itu terkejut bukan main tatkala tiba-tiba saja seseorang muncul di hadapannya. Bukannya apa, tapi ini dini hari. Bisa saja yang muncul di depannya bukan manusia.
Dani, syukurlah itulah nama gadis yang sedang berdiri di depannya sekarang secara tiba-tiba.
"Siapa tadi?" godanya pada Lova.
Lova diam, menoleh ke arah Karan pergi.
"Bukan siapa-siapa," sahut Lova. Dia menjawab seadanya dan tidak mau berbicara ini dan itu, satu alasannya adalah dia terlalu lelah.
"Kenapa jam segini keluar rumah?" tanya Lova. Dia melanjutkan langkah kakinya untuk segera masuk kawasan rusunawa.
"Nenek badannya panas, jadi aku mau cari obat di apotik." Dani menjelaskan singkat. Kalimatnya cukup untuk membuat Lova terdiam sejenak.
"Aku bisa beli sendiri. Apotek yang ada di persimpangan sana buka 24 jam, jadi jangan khawatir." Seakan bisa membaca isi kepala Lova, dia langsung memotong gerak bibir Lova.
"Mbak Lova pasti lelah bekerja. Jadi istirahat saja," ucapnya. Menepuk pundak Lova.
"Kamu yakin bisa beli sendiri? Ini jam dua pagi." Lova melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Aku temani belinya."
"Gak usah!" Dani menegaskan. "Aku bisa beli sendiri."
"Kamu yakin?" Lova kembali mengulang. Membuat gadis yang ada di depannya berdecak ringan. Mengangguk dengan mantap.
"Ya sudah kalau begitu. Kalau ada apa-apa di jalan langsung hubungi aku, oke?" titahnya.
Dani hanya mengangguk. Tersenyum kecut. Lantas kembali berjalan. Dia butuh obat segera untuk neneknya.
"Ah, Mbak Lova!" Namun, tiba-tiba saja dia teringat akan sesuatu yang membuat langkah kakinya juga berhenti.
Lova menoleh lagi. Menatapnya.
"Tadi malam, saat aku datang ke rusunawa, untuk meminta obat sama Mbak Lova, tetapi Mbak Lova gak ada ... aku ketemu orang kaya ...."
Lova diam sembari mengerutkan keningnya heran, membayangkan apa kiranya yang dikatakan oleh gadis yang ada di depannya itu.
"Seorang pria tampan, mungkin usianya sudah 25 tahun ke atas." Dani menjeda sejenak kalimatnya sembari mengingat-ingat. "Entahlah. Wajahnya nggak asing untuk aku, tetapi aku gak tau siapa dia ...."
Lova masih diam, dia juga berusaha untuk memahami.
"Intinya ... dia bilang sama aku untuk menyampaikan pesan sama Mbak Lova. Katanya dia minta ketemu lagi," ucap Dani pada akhirnya. Setelah kalimat itu terlontar dari celah bibirnya, kini Lova bisa bernafas lega setelah tahu siapa yang datang.
Pritam, emangnya siapa lagi yang meminta bertemu dengannya untuk yang kesekian kalinya selain pria itu?
"Padahal dia bisa mengatakannya di bar setelah tahu aku bekerja di sana ...." Lova melirih. Menjatuhkan pandangan matanya, entah untuk apa dia tersenyum.
"Mbak Lova kenal?" tanya Dani memastikan. "Kalau dilihat-lihat temannya mbak Nova itu cowok ganteng semua, tapi Mbak Lova masih memilih jomblo saja." Dani mengejek. Tertawa kemudian.
"Hush! Apaan sih!" Lova tersipu-sipu. "Katanya mau beli obat, buruan sana!" Dia mengalihkan pembicaraan. Buru-buru pergi sebelum Dani mengejeknya lagi.