Dia berdiri di sana. Sepertinya sedang menunggu seseorang untuk datang. Bersandar pada sisi pembatas tangga paling atas. Ujung kakinya bermain dengan membentuk bulatan abstrak tak terlihat. Mengusir bosan barang kali.
Awalnya dia berniat untuk tidak lewat di depannya, tetapi dia tak tahu jalan mana selain tangga ini yang bisa menghantarkan dirinya sampai ke lantai atas? Tidak ada. Sepertinya ini adalah akses utama dan satu-satunya.
Langkah kaki Mayya menyita fokus Lova, dia menarik pandangan matanya dari fokus awal, menyambut kedatangan perempuan itu.
"Hai ...." Lova menyapa, dengan canggung. Tersenyum dipaksakan. "Mayya ..."
"Mbak Lova ngapain di sini?" tanyanya pada Lova. Berdiri tegap menatap ke arahnya. Sekuat tenaga tidak sempoyongan. Jujur saja kalau kepalanya sekarang ini terasa begitu berat, rasa-rasanya dia yang segera tidur di atas ranjang dan memejamkan matanya lagi.
"Aku nunggu kamu," jawab Lova. Berterus terang. Ini adalah momen yang paling canggung sebab dia tidak pernah melakukan ini pada orang lain, bahkan Nike sekalipun. "Tadi aku melihat kamu di depan dan wajah kamu pucat banget, tetapi kamu memaksakan untuk keluar dari rumah. Jadi, aku ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja," ucapnya lagi. Tersenyum untuk yang kesekian kalinya. Senyum itu tidak beda dari yang pertama. Canggung dan kikuk.
Mayya tersenyum tipis. Dari atas bibir pucatnya itu dia seakan mengisyaratkan bahwa dia tidak nyaman dengan pembicaraan mereka. Lova pun bisa merasakan hal itu hanya dari perubahan ekspresi wajahnya saja.
"Terima kasih atas kepedulianmu, Mbak. Tapi, kamu tidak perlu melakukan hal seperti ini. Kamu tidak perlu peduli padaku," jawabnya. Meskipun dia tahu bahwa sehati-hati apapun dia berbicara dan dengan nada selembut apapun, kalimat seperti itu tentunya menyakiti hati lawan bicaranya ini. Lova sudah berusaha maksimal untuk menunggunya datang dan memastikan bahwa dia baik-baik saja.
"Mbak Lova kamar, Mbak. Aku juga akan beristirahat di kamarku. Sekali lagi terima kasih sudah mau menungguku," ucapnya. Dia tersenyum manis mengakhiri kalimatnya, membungkukkan badannya ringan lalu kembali menaiki anak tangga untuk sampai di puncak dan pergi ke kamarnya.
"Kamu yakin kamu nggak apa-apa?" tanya Lova. Dia menyela langkah kakinya untuk yang kedua kalinya. Masih belum percaya kalau gadis yang ada di depannya itu benar-benar tidak apa-apa.
Mayya menghela nafasnya kasar. Memejamkan sejenak kedua matanya, mencoba untuk tetap tenang dan menguasai keadaan.
Dia memutar tubuhnya untuk menatap ke arah Lova. Menganggukkan kepala. "Nggak papa, Mbak. Aku hanya masuk angin saja karena kecapean, besok juga paling reda kalau aku banyak beristirahat."
Lova memandang ke arahnya dengan penuh kekhawatiran, meskipun berkali-kali sudah dijawab dengan tegas kalau gadis muda itu tidak apa-apa. Namun, dia belum bisa percaya sepenuhnya.
"Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa ...."
"Aku bisa melakukannya sendiri. Seperti biasa." Mayya menyahut. Pandangan matanya tegas tertuju ke arahnya, dia benar-benar terlihat kesal dengan Lova. Padahal kalau dipikir-pikir sejak awal, mereka tidak punya masalah apapun dan hubungan mereka baik-baik saja.
Namun, hari ini, Mayya kesal dengan semuanya. Termasuk dia!
Melihat perubahan ekspresi lawan bicaranya yang tidak bersahabat, Lova kini manggut-manggut. Dia pasrah dengan senyum yang apa adanya. "Maaf kalau aku terlalu cerewet," ucapnya. Menggigit bibir bawahnya meredakan canggung. "Kalau begitu selamat beristirahat dan semoga cepat sembuh."
Tanpa memberi jawaban apapun, dia memutar tubuhnya dan melenggang pergi begitu saja. Naik ke lantai atas, menghilang setelah belokan di sana. Meninggalkan Lova yang hanya diam penuh dengan tanda tanya, setidaknya dia bisa menyimpulkan kalau gadis muda itu sedang berada dalam masalah. Mungkin juga kesehatannya terganggu karena hal itu.
...
Mayya tidak tahu mengapa hidupnya semakin hari semakin kacau begini, semakin hari dirinya semakin digiling habis oleh keadaan yang ada di sekitarnya.
Mayya mencintai Pritam dengan hatinya sejak kali pertama mereka menjalin hubungan gelap ini. Namun, pria itu tidak pernah mengerti bagaimana caranya memberikan ketulusan.
--dan hari ini, dia ditampar oleh fakta yang membuat hatinya benar-benar terluka. Ada satu kalimat yang diucapkan oleh Pritam sebagai bentuk respon dari pertanyaan yang diajukan. Pria itu memang benar-benar pria brengsek yang kalau berbicara begitu jujur dan apa adanya. Namun setidaknya, dia lega sebab pria itu mau jujur padanya.
••• Marriage Obsession •••
"Kamu menyukai Mbak Lova?"
Pria muda itu mengernyitkan dahi. "Lalu kamu menjawab apa?" Dia penasaran dengan kisah cinta teman lamanya ini. Banyak gadis yang dia temui dari berbagai kalangan usia dan pekerjaan. Mulai yang ditemuinya dari sebuah klub malam, atau yang ditemuinya sebagai teman lama dari universitas yang sama di masa lalu. Semuanya diajak berkencan, meskipun durasinya tidak lama. Paling lama hanya bertahan satu bulan, hanya dengan Mayya dia bisa menjalin hubungan gelap selama itu.
Pritam meletakkan segelas bir lokal di atas meja. Mengabaikan dentuman musik yang menyala pembicaraan mereka sesekali. Dia sudah terbiasa dengan suasana seperti ini kalau senja datang dan malam menyapa.
"Tentu saja aku menjawab dengan jujur," jawab Pritam. Dia tertawa kecil seperti orang gila. Menoleh ke arah teman lamanya yang jelas-jelas menunggu jawaban darinya. "Lagian dia memintaku untuk menjawab jujur. Katanya kebohongan macam apapun dia pasti akan menciumnya. Jadi dia bilang, kalau apapun itu aku harus mengatakannya dengan jujur."
"Kamu benar-benar mengatakannya dengan jujur?" tanyanya.
Pritam manggut-manggut lagi. "Aku bilang kalau aku menyukai Lova. Aku bilang aku terpikat dari semua yang ada dalam dirinya. Tadi aku mengajaknya jalan-jalan dan berkencan di akhir pekan," ucapnya. "Aku juga bercerita kalau ...."
"Kamu gitu benar-benar bajingan ...." Pria muda itu tertawa cekikikan sendiri. Sedangkan yang baru saja dilempari umpatan hanya dia menatapnya. "Gimana bisa kamu sejujur itu pada seorang gadis yang sudah sabar padamu selama bertahun-tahun?" tanyanya. "Dia juga melayani dirimu dengan baik, seks kalian luar biasa!"
Pritam berdecak ringan kemudian. Kembali menyala pembicaraan mereka dengan menarik segelas bir yang ada di depannya. Menambahkan beberapa bongkahan es batu di dalam gelas, sensasinya akan jauh luar biasa menyenangkan. Itu juga akan menyegarkan tenggorokan.
"Mau gimana lagi?" tanyanya pada si teman. "Orang tuaku sudah terlanjur tahu tentang Mayya. Keluargaku juga sudah tahu tentangnya dan bagaimana latar belakangnya. Jujur saja kalau aku ingin menikahinya, tapi di sisi lain aku juga tidak ingin kehilangan semuanya. Jadi aku tidak bisa bertindak apapun."
"Memangnya Lova dari keluarga kaya?" tanyanya pada Pritam.
"Aku bisa membohongi orang tuaku dan keluargaku sebab mereka belum tahu siapa itu Lova. Jadi jangan khawatir dan tenang saja."
Dia tersenyum miring. "Kamu berniat untuk menikahinya?"
Pritam mengangguk mantap. "Hm, aku akan menikahinya."
... To be continued ...