"Terimakasih sudah kerja dengan baik, besok sore datang lebih awal, oke?"
Dia hanya tersenyum dan membungkukkan tubuhnya, pergi setelah tidak ada lagi kalimat yang terucap di antara mereka berdua. Gadis cantik itu melangkah keluar dari bangunan bar, meninggalkan segala kenangan yang dia buat selama beberapa jam terakhir.
Lova melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, pukul 02.00 pagi. Setidaknya dia benar-benar tidak tidur seharian penuh. Mungkin setelah ini dia akan terlelap di atas ranjang dan bangun siang nanti, kedua matanya sudah rasa begitu mengantuk. Hanya tinggal mencari tempat yang tepat dan membaringkan tubuhnya di atas sana.
"Hei ...." Seseorang tiba-tiba saja memanggilnya dari belakang, padahal tidak ada suara langkah kaki yang mengikutinya sejak tadi. Mungkin sebab Lova tidak bisa fokus dengan dunianya sekarang, kantuk dirasa sudah menenggelamkan segala kewarasannya dan fokusnya.
"Oh, kamu?" Lova menoleh. Ingin menyebutkan namanya tetapi dia lupa siapa namanya. Yang jelas bukan Ranu.
"Mahendra," tukasnya, berjalan menyusul Lova. Dia tahu kalau gadis itu pasti tidak bisa mengingat namanya hanya dalam satu malam saja, lagian dia adalah pelayan baru di tempatnya bekerja dan dia bertemu dengan banyak orang tadi.
"Ah, benar. Mahendra." Lova mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya kembali berjalan beriringan, setidaknya malam ini dia tidak pulang sendirian untuk menuju halte bus yang entah akan ada bus datang atau tidak. Jika tidak ada mungkin dia akan berjalan kaki untuk pulang ke rumahnya.
"Ngomong-ngomong rumah kamu masih jauh?" Mahendra memulai pembicaraan agar tidak terlalu sunyi di sini. Apapun yang kiranya pantas untuk dibicarakan akan dia katakan.
Lova mengangguk. "Lumayan. Aku berharap pada bus atau angkutan malam yang beroperasi jam segini, berjalan kaki sambil menerpa udara dingin itu adalah ide yang buruk."
Dia bodoh sebab tidak memikirkan hal sejauh ini, dia tidak memprediksi akan pulang jam segini dengan cara berjalan kaki.
"Mau aku antarkan?" Mahendra memberi penawaran yang cukup bagus untuknya. Namun, dia sendiri saja berjalan kaki.
"Aku berjalan kaki karena kosanku dekat dari sini, perempatan yang ada di depan belok kanan, selisih beberapa rumah lalu nanti ada gang kecil lagi tepat di sisi tiang lampu jalanan, tinggal masuk sana rumah kedua itu adalah kosku."
Lova membayangkan arahan abstrak yang diberikan, setidaknya dia bisa memprediksi jaraknya dari sini. Cukup dekat.
"Kalau nggak nginep aja di kosku," ucapnya tiba-tiba.
Lova terkejut dengan tawaran itu. Jam segini? Menginap di kos teman pria? Bodoh jika dia menganggukkan kepalanya.
"Ah, nggak perlu. Aku akan pulang saja."
"Aku antarkan kamu, tetapi malam minggu sebagai bayarannya Kita nongkrong. Ada film bagus di bioskop, bagaimana?" tanya Mahendra tiba-tiba saja meraih pundak gadis yang ada di sisinya lalu merangkulnya. Usaha untuk akrab dan dekat, mungkin.
Namun, tidak untuk Lova. Dia tidak terbiasa disentuh oleh pria asing seperti ini.
"Maaf, bukannya ..." Lova berusaha untuk melepaskan rangkulan itu. Berharap pria yang ada di sisinya itu menjauh dari dirinya sekarang. Namun, Mahendra masih saja kokoh pada pendiriannya. Dia terus merangkulnya dan berusaha untuk meraih tubuhnya agar mendekat. Bahkan sekarang ujung jari jemarinya mengusap pundak Lova.
Itu benar-benar menyebalkan.
"Aku tidak nyaman," ucap Lova tiba-tiba. Mendorong tubuh pria itu agar menjauh, dengan sedikit kasar setelah dia merasakan aroma alkohol menyentuh permukaan hidungnya. Aroma itu semakin kuat saja.
"Maafkan aku. Aku harus pulang." Dia berjalan, mempercepat langkah kakinya. Namun, Mahendra menarik Lova. Menghentikan langkah itu.
"Kenapa tiba-tiba?" tanyanya tertawa. "Aku bukan pria jahat dan aku nggak akan macam-macam sama kamu, kenapa kesannya begitu?" Mahendra menatap Lova. "Membantu kamu adalah tujuanku datang ke sini, menyapa kamu dan berbicara sama kamu sekarang."
"Aku gak perlu diantarkan. Aku akan pulang sendiri." Dia pada akhirnya memberanikan diri untuk menolak. "Terima kasih atas tawarannya dan aku duluan," imbuh Lova.
"Lova!" Pria itu juga tidak akan mau melepaskan 'makanannya' kali ini. Apalagi Lova sempurna dengan fisik yang enak dipandang mata. "Aku benar-benar akan mengantarkan kamu pulang."
"Aku nggak mau nginep di kos kamu!" Keduanya kini terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar. Padahal sebelumnya terkesan baik-baik saja, suasananya berubah ketika pria itu menyentuh Lova. Membuatnya benar-benar tidak nyaman.
"Oke, oke! Aku nggak akan memaksa kamu menginap malam ini, tetapi untuk minggu depan ...."
"Aku bilang aku nggak perlu diantar pulang ke rumah. Aku akan pulang sendiri seperti biasanya, jangan khawatirkan aku." Lova melepaskan genggaman tangan itu dengan begitu kuat, sedikit mendorong tubuh Mahendra agar menjauh darinya.
"Hei! Hei! Jangan jual mahal begini!" Mahendra mengejar Lova. Dia benar-benar ingin tidur dengannya kali ini. "Jujur saja, saat pertama kali melihat kamu tadi di tempat kerja ... aku langsung jatuh cinta sama kamu."
Lova mengerutkan keningnya. "Pengakuan cinta yang tiba-tiba di saat begini?" Dia tertawa menghina. "Itulah kenapa aku selalu menghindari pria mesum seperti kamu!" Dia melenggang pergi setelah menyelesaikan kalimatnya, meninggalkan Mahendra yang diam menatapnya dari jauh. Sebelum akhirnya dia kembali mengejarnya. Memaksa Lova untuk ikut dengannya.
"Aku bilang nggak mau! Jadi ...."
"Hei!" Suara seorang pria lantang menyerah dari kejauhan. Dia datang entah dari mana, tetapi yang jelas bukan dari atas langit.
"Lepaskan dia." Pria itu berjalan mendekati mereka, Lova dan Mahendra. Langkah kakinya terlihat begitu jelas dan kini lampu jalanan mulai menyorot perawakannya.
Semakin dekat, Lova semakin tahu siapa yang tiba-tiba datang layaknya superhero di dini hari begini. Karan.
"Aku bilang lepaskan dia kenapa malah diam saja?" Karan mengimbuhkan. Pandangan matanya tertuju pada genggaman jari jemari Mahendra yang mulai dipertegas, meninggalkan bekas merah di kulit tangan Lova.
"Kamu siapa ikut campur?" tanya Mahendra. Dia tidak mau lepas begitu saja. "Ini urusan kami dan jangan ikut campur, pergi saja, Pak!"
"Pak?" Karan menyahut. Baru saja dia disebut orang tua olehnya. Ah, mungkin karena penampilannya yang terkesan monoton dan tua. Dia adalah tipe pria yang suka menggunakan kemeja polos dengan celana panjang kain yang jatuh tepat di atas sepasang sepatu pantofel kemurahannya dia beli dua bulan lalu.
"Aku masih muda!"
Mahendra berdecak. "Mau masih muda atau sudah tua itu bukan urusanku. Pergi saja sebab kamu nggak ada urusannya dengan ini."
"Tentu saja aku punya urusan di sini," kata Karan dengan tegas. "Yang sedang kamu sentuh itu adalah calon istriku!"
Lova terkejut, membuka matanya sejenak. Menanggapi pertanyaan yang tiba-tiba. Jauh dari prediksinya. Mungkin akan lebih wajar kalau Karan bilang dia adalah sahabatnya. Itu sudah cukup.
"Aku bilang dia adalah calon istriku!" Karan mengulang. Mengeluarkan ponselnya. "Ada tiga pilihan, lepaskan dia dan kamu boleh pergi. Kedua, aku lapor polisi dan kamu akan ditangkap. Ketiga, kita bertarung sembari menunggu polisi datang untuk tahu siapa yg berhak membawanya."
Mahendra diam, begitu juga dengan Lova.
"Perlu kamu tahu, aku punya sabuk hitam di rumah. Itu prestasi terbaikku. Bagaimana?"
Mahendra berdecak. "Ck, sialan!"
... To be continued ...