"Aku berangkat dulu! Jangan lupa matiin airnya kalau habis mandi!" Nike berteriak di sela langkahnya yang semakin jauh dari gadis yang berdiri di ambang pintu. Sedangkan yang diteriaki hanya melambaikan tangannya seraya tersenyum simpul. Ini sudah menjadi kebiasaan yang setiap pagi kalau dia menginap di kamar Nike.
Sebenarnya mereka tidak perlu menyewa tempat yang berbeda, toh juga Lova lebih sering tidur di tempat Nike, ketimbang di tempatnya sendiri.
"Jakarta itu keras, Nak!"
Suara wanita menyela senyumnya. Dia terkejut. Tiba-tiba itu terdengar masuk ke dalam lubang telinga.
"Itulah yang banyak dikatakan orang-orang di luar sana." Wanita berambut keriting itu tersenyum tatkala pandangan Lova tertuju padanya.
Mereka saling mengenal, meskipun tidak akrab satu sama lain.
"Gak nginep di tempat bos lagi, Budhe?" --Lova memanggilnya begitu. Tidak pernah menyebut nama wanita ini. Padahal namanya begitu cantik, Delinda.
"Kemarin sudah dua hari. Anaknya masuk angin, tapi ibunya nggak bisa merawat." Dia berdecak seraya sibuk menata kantung plastik besar berisi sampah.
Lova tertawa. "Budhe bilang, kalau wanita karir biasanya begitu. Kaya uang tapi minim pengetahuan jadi ibu." Lova menyandarkan tubuhnya di sisi ambang pintu masuk. "Tapi nggak semua begitu. Aku kenal seseorang yang dia bisa mencari uang dan bisa mengurus anaknya dengan baik. Meskipun kami tidak akrab."
Delinda menoleh pada Lova. Menatap wajah cantik gadis awet muda itu. "Kamu sendiri kapan mau nikah?"
Dia selalu menanyakan hal yang sama, entah itu di awal pembicaraan atau di ujung kalimat penutup pembicaraan.
"Kamu akan terus-terusan tinggal bersama Nike? Menghantarkan dia berangkat kerja dan menunggu dia pulang kerja?" Delinda menggelengkan kepalanya. "Kalau orang salah paham, kalian dikira pasangan sesama jenis," tuturnya sembari tertawa.
Lova manggut-manggut. "Aku setuju!"
"Bocah sinting!" sahut Delinda. Menggelengkan kepalanya. "Lagian apalagi yang kamu tunggu? Coba aja kencan sama siapapun yang kamu temui di jalan, kenal bibit bebet bobotnya kalau cocok diajak dekat, dibawa pulang ke kampung dikenalkan bapak ibu di sana."
Dia menolak keras alur semudah itu. Tuhan tidak baik padanya kalau pasal jodoh.
"Yang aku kenal di Jakarta hanya pria ugal-ugalan, kalau yang minat sama tubuh aku banyak. Namun, yang minat ke rumah tangga dan serius dengan tulus itu carinya susah. Budhe sendiri yang bilang kalau Jakarta itu keras. Kalau kita salah pilih sekali saja, menghancurkan semua masa depan." Lova bangun dari posisinya. Mendekat ke arah wanita yang baru saja menutup tong sampah.
"Kalau Budhe punya kenalan, yang baik, bisa dong kenalin ke aku. Siapa tahu aku cocok dengan kenalan Budhe."
Kedua wanita itu saling menatap satu sama lain, sebelum akhirnya dia tertawa kemudian.
"Kalau aku kenal brondong yang tampan, baik, sopan santun, dan ramah. Apalagi dengan bonus kaya raya ... ya, jelas-jelas buat aku sendiri lah! Ya masa, aku lagi mementingkan orang lain di saat aku sendiri juga kesepian," godanya.
Lova tertawa terbahak-bahak. Wanita ini lucu dengan candaannya.
"Aku serius!" sahut Delinda. Mengehentikan tawa Lova.
"Budhe ini ...." Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara benda jatuh menghantam dinding yang ada di dekat tangga yang ada di sana, terdengar begitu keras. Membuat keduanya menoleh, menatap ke arah sumber suara. Dilihatnya seorang perempuan muda, berjalan tergopoh-gopoh, setengah sadar dengan mata yang sesekali dia kucek dengan kasar.
"Dia pulang dengan keadaan begitu lagi?" Delinda yang pertama kali membuka suara setelah melihat siapa yang berjalan mirip orang mabuk di bawah kadar alkohol yang sangat tinggi.
Lova hafal wajahnya tetapi dia tidak terlalu kenal akrab dengannya. Rusunawa ini berisi banyak orang, dia menghafal beberapa nama juga wajah, tetapi tidak punya cukup banyak waktu untuk akrab dengan puluhan orang yang tinggal di sini. Setidaknya dia tahu kalau gadis itu setara usia dengannya, pernah bertemu dengannya dan sesekali mengobrol jika ada waktu luang.
"Selalu pulang begitu?" Lova menyahut. Sesekali dia menoleh ke arah Delinda, sebelum akhirnya kembali tertuju padanya.
Delinda mendesis. "Biasanya dia pulang begitu larut malam. Biasanya pukul 12 malam lebih, kadang kala sampai jam 01.00 malam dia baru sampai ke rumah."
"Budhe tahu dari mana? Dia bukan tetangga kita," bisik Lova. Kembali menatap ke arah gadis itu, dia mulai beranjak naik lagi ke atas tangga, menapaki setiap anak tangga, dengan langkah mirip orang sekarat.
"Kalau malam aku selalu keluar kamar, merokok dan melihat pemandangan yang ada di luar menghirup udara segar juga. Kipas angin ku rusak dan aku belum sempat membenarkannya, kalau nggak hujan, kamar kita panasnya minta ampun."
Lova manggut-manggut mengiyakan. Apa yang dikatakan oleh wanita ini benar adanya.
Keduanya kembali menatap ke arah gadis itu, sesaat kemudian gadis itu ambruk dan berguling jatuh kembali ke dasar. Membuat Delinda dan Lova terkejut bukan main lantas berlari ke arahnya. Kalang kabut saling panik satu sama lain, kalau dilihat-lihat hanya ada mereka yang ada di luar rusunawa sepagi ini. Yang lain masih beraktivitas di dalam kamar sewanya.
Lova mendekatinya. Kaget kala melihat keadaannya dari dekat, begitu juga dengan Delinda.
"Dia habis diperkosa apa gimana?" bisik Delinda, dia wanita tua yang blak-blakan.
"Hush! Budhe simpen dulu kalimatnya." Lova menyenggol bahunya. Meskipun dia melihat keadaan gadis muda ini yang terkapar, tetapi dia yakin kalau dirinya masih separuh sadar. Bisa mendengar apapun yang dikatakan oleh mereka.
Lova berjongkok, menepuk kedua bahunya. "Mayya?" Dia memanggil-manggil. Berharap kalau tak salah nama. Mayya punya penampilan yang berbeda.
Acakadul, wajah dan penampilannya benar-benar berantakan.
"Mayya?" pekiknya semakin meninggi. Sekarang mendekatkan telinganya di depan dada Mayya. Memastikan gadis itu bernafas dengan baik.
"Sekarang bagaimana? Aku rasa dia terlalu banyak minum semalam," ucapnya.
Lova mengabaikannya. Dia masih fokus pada Mayya. Hingga tak sengaja kala gadis itu menoleh ke sisi lain, celah di lehernya terbuka, menampilkan sebuah luka memar, memerah yang mencuri perhatiannya.
Lova menyingkirkan beberapa helai rambut panjang gadis muda itu. Membuat pandangan matanya bebas memotret apapun yang ada di depannya.
"Mayya ...." Dia melirih.
"Dia disiksa?" Delinda yang panik sekarang setelah melihat bekas luka itu. "Sepertinya dicekik?" tanyanya pada Lova, berharap kalau gadis itu tahu. Namun, mereka bukan ahli medis. Sama-sama bodoh dalam situasi ini.
"Jadi gimana? Kita bawa dia baik ke lantai atas?" Delinda menatap tangga kotor di depannya. "Capek!" gerutunya.
Lova menggeleng dengan ringan. "Bawa saja ke kamar aku. Aku yang akan merawatnya," ucap Lova dengan mantap.
"Gak panggil dokter aja?" Delinda menawarkan. "Sepertinya bukan karena alkohol."
"Punya uang untuk membayar, Budhe?"
Delinda menggelengkan kepalanya. "Aku belum gajian," ucapnya, tersenyum kuda.
Dia melawak di situasi begini!
"Kalau begitu bawa saja!" Lova kesal. "Kenapa pakek saranin dokter segala!"
... To be continued ....