Chereads / Marriage Obsession / Chapter 18 - 18| Sebuah pilihan

Chapter 18 - 18| Sebuah pilihan

Rasa penasaran membawa dirinya datang kemari. Duduk tepat di depan seorang gadis, kenang-kenangan singkat semalam ya masih ada di dalam kepalanya. Dia tidak banyak tahu tentang Lova Tilotama Surendra, baginya Lova adalah gadis yang asing. Begitu juga dengan sebaliknya.

"Mungkin terdengar seperti alasan, tetapi tidak menyangka bertemu denganmu di sini, Lova." Dia mengatur senyum agar terlihat begitu mempesona untuk Lova. Nyatanya, Pritam selalu saja terjebak atas cinta pandangan pertama meskipun itu tidak akan bertahan lama. Daya tarik dan daya pikat wanita cantik seperti Lova ini selalu saja sukses meluluhkan hatinya.

Pritam adalah rajanya bar dan diskotik malam. Pantas jika dia menyukai wanita cantik seperti Lova ini.

Lova tersenyum tipis, menggelengkan kepalanya. Persetanan untuk Pakde yang pergi meninggalkan mereka setelah mendapat sebuah panggilan suara, Pritam yang baru datang ditinggal pergi bersama Lova yang juga tamu di sini.

"Ngomong-ngomong kenapa kamu datang kemari?" tanyanya. "Aku dengar kamu tidak bergabung di perusahaan ini, kamu hanya temannya Nike yang tak sengaja ditawari pekerjaan."

Lova diam dalam sebuah tanda tanya, pria ini banyak tahu tentang dirinya rupanya.

"Tentu saja aku tahu tentang dirimu," ucap Pritam lagi.

Tunggu, dia membaca pikiran Lova?

"Aku selalu menyelidiki gadis-gadis yang dikirim untuk berkencan palsu denganku, perlu kamu ketahui bahwa kamu bukanlah gadis yang pertama."

Lova manggut-manggut, ternyata begitu rutinitasnya.

"Ngomong-ngomong ... terimakasih untuk makan malamnya kemarin," timpal Lova dengan begitu lembut. Dia melirik tote bag yang ada di sudut meja. "Aku datang ke sini untuk mengembalikan gaunnya, lalu aku mau pergi lagi."

"Kamu mau ke mana?" tanyanya pada Lova, padahal jelas-jelas ini bukan urusannya.

Lova diam sejenak, kalau ditanya mau pergi ke mana dia pun tidak tahu. Dia akan berjalan tanpa tujuan untuk mencari lowongan pekerjaan yang menyediakan tempat untuk jasanya tetapi tidak menjual harga dirinya. Jakarta seakan kental dengan hal itu, apalagi mereka tinggal di sisi gelap padatnya kota.

"Mau cari kerjaan. Aku sedang menganggur sekarang," ucapnya pada Pritam. Tersenyum manis.

"Kamu mau bekerja di tempatku?" Pritam tiba-tiba menawari pekerjaan.

Lova mengerutkan keningnya. "Aku dengar kamu punya perusahaan tekstil, sepertinya aku tidak cocok untuk ...."

Hampir saja gadis itu menolak tawaran yang luar biasa, Pritam menghentikan kalimatnya dengan tawaringan seakan geli dengan jawaban perempuan di depannya itu. Lova terlalu cepat menyimpulkan.

"Kemarin aku bilang bahwa aku juga seorang pemilik bar dan diskotik bukan?"

Lova manggut-manggut.

"Kamu juga bilang bahwa kau dulunya bekerja di bar, jadi aku rasa kamu bisa meneruskannya. Aku tidak perlu memberikan dasar-dasar untuk bekerja di sana, bukan?" Dia tersenyum manis seraya mengeluarkan kartu nama di dalam jas yang dia kenakan.

"Datanglah ke sini, bilang kalau aku yang mengundang dirimu. Jika berminat kamu bisa langsung kerja malam ini," imbuh Pritam pada Lova. Tatapan matanya banyak berharap pada gadis itu.

"Namun aku tidak akan memaksa Jika kamu tidak mau, kamu boleh memutuskan sendiri."

Gadis itu menghela nafas. Menarik kartu nama di atas meja, memandangnya. Berpikir, matanya jelas-jelas mengisyaratkan kalau gadis itu sedang bimbang. Bekerja di bar seperti dulu? Itu pengalaman yang buruk.

"Aku juga dengar kalau Pakde membuka lowongan baru untuk gadis sepertimu," ucap Pritam kembali berbicara. "Itu sebagai wanita seks bukan?"

Lova terkejut, Pritam bisa mengatakan itu secara gamblang tanpa beban apapun. Padahal sebelumnya Lova berpikir kalau pria ini adalah pria yang baik, jauh dari kata dunia malam meskipun dia adalah pemilik tempat malam.

"Tidak harus memutuskan itu sekarang. Kamu punya banyak waktu untuk memikirkannya, Lova."

"Terima kasih untuk tawarannya. Kamu banyak membantu aku di sini." Lova mengakhiri kalimatnya dengan senyum tipis, menyimpan kartu nama yang diberikan oleh Pritam untuknya.

Hening kembali membentang di antara keduanya, hanya ada suara riuh samar-samar yang masuk lubang telinga, dari lalu lalang orang yang ada di sekitar mereka mengingat bahwa mereka sedang ada di kantin kantor.

"Aku ...."

"Lova ...."

Keduanya berbicara di saat yang sama, seakan sama-sama ingin memimpin pembicaraan.

"Kamu dulu," ucap Lova mempersilakan. "Sepertinya ada yang ingin kamu katakan," timpalnya seraya terkekeh.

"Kamu ada acara di akhir pekan?" tanyanya pada Lova. Dia menatap gadis itu dengan penuh harapan, berharap kalau dirinya tidak ditolak meskipun jelas-jelas dia sedikit terkesan terburu-buru di sini. Padahal ini pertemuan kedua mereka.

"Memangnya ... kenapa?" tanya gadis itu dengan ragu. Menatap paras tampan milik Pritam. "Jujur saja Jika ditanya seperti itu Aku tidak bisa menjawab dengan gamblang. Aku tidak tahu apakah aku punya jadwal atau tidak."

"Bagaimana jika aku menjemputmu setelah pukul 10.00?" Pritam mengabaikan jawaban yang terkesan tidak pasti. Dia fokus dengan tujuannya bertanya itu. "Di depan rusunawa," imbuhnya.

Lova diam, membeku. Tak ada yang ingin dia katakan.

"Jika kamu masih bingung, aku akan memperjelas di sini ...." Pritam menarik tubuhnya untuk condong ke depan, sedikit mendekat pada posisi Lova duduk. "Aku ingin mengajakmu berkencan, jalan-jalan ke tempat yang lumayan bagus."

Pritam manggut-manggut dengan kalimatnya sendiri. "Mungkin kebanyakan orang akan mengajak kencan di malam hari, tetapi itu akan membosankan jika hanya makan malam, bagaimana?"

Gadis itu tersenyum kikuk. "Memangnya mau ke mana akhir pekan?"

Bukan itu jawaban yang ditunggu oleh Pritam. Dia terlalu banyak basa-basi meksipun hanya sekadar pertanyaan yang singkat.

"Sebuah tempat yang mungkin bisa menyejukkan pikiran, kamu mau?"

Gadis itu tidak langsung memberi jawaban, cukup lama dia diam dan berpikir. Sepertinya itu terdengar seperti pertanyaan yang mudah untuk mendapatkan jawabannya. Cukup mengangguk atau menggelengkan kepalanya. Juga bisa berkata tidak atau iya.

"Bagaimana?" Pritam kembali berbicara. "Kamu mau Lova?"

••• Marriage Obsession •••

"Bagaimana apanya? Sudah aku katakan bahwa aku tidak akan membeli produkmu, Karan. Kita sudah sempat bekerja sama dan kamu bangkrut, sepertinya aku terlalu banyak membuang-buang waktuku dengan mempercayai itu padamu. Aku berpikir bahwa kamu juga cukup kompeten seperti ayahmu, Nak. Namun, dengan berat hati aku mengatakan bahwa aku tidak akan bekerja sama denganmu lagi. Itu cukup beresiko," ucapnya.

Dia ingin sakit hati, merasakan betapa perihnya mendengar penolakan yang berulang kali. Namun, Karan tahu benar jikalau semua penolakan itu wajar dilakukan sebab dia bangkrut habis-habisan di masa lalu.

"Aku mengerti, Pak." Dia tersenyum manis. Mengemasi semua pamflet yang diberikan untuk meyakinkan pria tua ini.

"Kenapa masih meneruskan bisnisnya?" tanyanya pada Karan. "Jelas-jelas Jakarta sudah menggiling dirimu kemarin, harusnya kamu kapok. Lebih baik kerja ikut orang, tidak berisiko."

Karan tersenyum tipis. "Memangnya ada yang mau punya suami tanpa jaminan hidup?" tanyanya kembali. "Jakarta membuat para wanita memilih, hanya laki-laki kompeten dan kaya juga mapan yang bisa menikah dan hidup bahagia, Pak. Aku ingin menjadi laki-laki seperti itu," imbuh Karan, tersenyum manis.

"Bisnisnya akan berhasil suatu saat nanti," pungkas Karan tersenyum manis. Dia adalah pria yang ambisius.

... To be continued ...