Chereads / RIANTI : Dendam Terindah / Chapter 9 - BAB 9

Chapter 9 - BAB 9

"Rianti, benar kalau kamu mau berangkat sendiri ke Universitas? Apakah kamu ndhak apa-apa pergi sendiri? Sekarang ini adalah tahun ajaran baru, pasti banyak sekali mahasiswa baru di Universitas. Apa kamu yakin kamu baik-baik saka?" tanya Asih kepadaku.

Aku tersenyum sambil membenahi kepang duaku, aku memang suka bergaya seperti ini. meski kawan-kawanku banyak yang bilang kalau penampilanku adalah kuno, tapi siapa peduli? Aku nyaman dengan penampilan ini, dan aku adalah seorang Ndoro Putri. Sama sekali tidak pantas bagi seorang Ndoro Putri untuk berpakaian yang tidak wajar sama sekali. misalkan rok-rok yang pendek dan ketat, memakai celana apalagi memakai celana pendek. Ya, itu bukan gayaku, bukan sesuai adat yang sudah diberikan oleh leluhurku untuk dilestarikan. Semuanya memiliki aturannya sendiri yang tidak bisa untuk diganggu gugat oleh siapa pun.

Aku memandangi lagi penampilan diriku di depan cermin, rok abu-abu bermotif bungaku yang lucu kini sudah melekat manis di tubuhku, kemudian kuambil tasku. Ya, tasku ini adalah tas yang terbuat dari kain batik, salah satu dari pengrajin di kampung yang membuatnya. Sekarang ini para pengrajin yang telah dibesarkan oleh Biung itu telah menghasilkan berbagai macam hasil tangan. Bukan hanya perkara kain batiknya saja, daster dan juga pakaian batik, melainkan pernak-pernik, tas, topi, dompet dan bahkan sandal pun telah mereka buat dengan sangat bagus.

Apalagi sekarang, pariwisata adalah sebutan baru untuk Kemuning dan sekitarnya. Selain kebun teh yang akan dibuat destinasi wisata oleh orang manca pun banyak benar yang lainnya, akan ada kolam renang, dan beberapa spot keseruan lainnya. Bahkan penginapan dan lain sebagainya juga. Aku yakin beberapa tahun ke depan Kemuning, atau bahkan dikenal dengan Karangayar tidak akan lagi menjadi salah satu tempat yang mungkin bisa disebut pelosok, terutama Ngargoyoso. Mereka akan menjadi destinasy wisata baru yang menampilan pesona alam yang sangat indah. Tentang megahnya Gunung Lawu, tentang hijaunya pemandangan yang membentang, nikmatnya menikmati keindahan kebun teh, serta beberapa taman bunga yang sangat indah meskipun tumbuh liar. Aku tahu kalau sejatinya Lawu dan kampung-kampung di sekitarnya bisa atau malah tidak bisa dikatakan dengan tempat yang tertinggal, sebab tidak jarang pula para pendaki memilih untuk sekadar singgah di sana ketika mereka hendak atau selepas pulang dari Gunung Lawu. Bahkan tidak jarang Candi Cetho dan Candi-Candi lainnya menjadi tempat pesinggahan atau destinasi wisata untuk mereka. sungguh mengagumkan bukan kampung halamanku. Sekarang aku tanya kepada kalian, bagaimana dengan kampung halaman kalian? Ada apa saja? Aku rasa setiap kampung halaman adalah tempat yang sangat menyenangkan, sebab tidak ada tempat ternyaman kecuali kampung halaman.

"Ya sudah, aku berangkat dulu ya. Dina dan Dian pasti sudah menungguku," kubilang. Dina dan Dian adalah saudara kembar, dan kebetulan keduanya adalah kawan baikku di kota ini. aku memang jarang berinteraksi dengan kawan yang lain, sebab aku tidak begitu pandai berinteraksi dengan mereka. selain karena gaya mereka yang sangat tidak sama denganku, apa yang mereka bahas juga tidak masuk akal di dalam otakku. Setiap hari yang mereka lakukan hanyalah kumpul bersama kawan-kawan laki-laki, saling rangkul, saling peluk atau bahkan cium. Sebuah interaksi yang benar-benar bila di kampung itu adalah hal yang tidak senonoh, yang sudah keterlaluan dan pasti akan dapat hukuman. Namun begitu aku tidak bisa menyalahkan mereka, ibarat kata di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung tinggi. Mungkin sudah menjadi tradisi bagi orang-orang kota berinteraksi dan berkawan dengan cara seperti itu, aku sama sekali tidak masalah. Hanya saja kalau untuk berkawan, dan ikut dengan gaya berkawan mereka, tentu saja aku tidak bisa melakukannya. Aku dengan diriku meski menghormati mereka, dan aku akan membiarkan mereka dengan dunia mereka selama tidak menyinggungku. Lagi pula kalau sudah urusan ke sana, pasti pada akhirnya mereka akan ke diskotik, minum minuman keras juga merokok. Sungguh hal yang amat dibenci oleh semua warga kampung ada di sini semuanya.

"Baiklah, Rianti. Kamu hati-hati, aku akan mencuci dulu."

"Ingat, jangan mengerjakan pekerjaan apa pun. meski banyak yang bilang kamu adalah abdiku, tapi di mataku kamu adalah kawanku. Kita kerjakan semuanya bersama. Kalau kamu mau mencuci, cuci saja pakaianmu, tinggalkan pakaianku. Urusan melipat baju juga memasak pun beberes rumah, nanti kita lakukan bersama. Jika kamu jenuh kamu bacalah beberapa buku yang aku punya, atau kamu tidur. Tidak akan membuatmu mati karena jenuh toh?" kubilang kepada Asih.

Asih pun tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya, mengangkat jempolnya tinggi membuatku tersenyum juga.

"Rianti! Kenapa kamu ini lama sekali sih! Buruan keluar!"

Aku menoleh saat suara Dian terdengar dengan sangat nyaring, kemudian aku bergegas keluar dari dalam rumah. Rok abu-abuku bergerak-gerak gelisah sesuai dengan gerakan tubuhku, di depan rumah sudah ada Dian dan Dina yang memandangku sambil menekuk wajah mereka. Lihatlah, pasti mereka kesal, karena berpikir jika waktunya yang berharga akan terbuang sia-sia karenaku.

"Maafkan aku," kubilang. Mereka tampak berdecak, melipat kedua tangan mereka di dada, lalu mereka kembali memandangiku dengan wajah kesal mereka itu.

"Dasar gadis kampung, memangnya apa sih yang kamu lakuin di dalam? Lama banget, kamu tahu nggak sekarang ini sudah sangat telat, penerimaan mahasiswa baru akan kita lewati. Padahal kan bisa melihat adik tingkat pasti bakal seru."

Aku tersenyum saja saat Dian marah-marah. Iya, Dian dan Dina adalah kembar laki-laki dan perempuan, dan sesuai pada umumnya sebagai seorang pemuda Dian tentunya memiliki naluri ingin mendapatkan kekasih. Padahal kenyataannya, setiap kali ada wanita yang mendekat, Dian selalu menolaknya. Aku sama sekali tidak tahu jika Dian akan serumit itu.

"Kenapa harus mencari adik tingkat? Bukankah aku dan Dina sudah cantik-cantik?" kubilang sambil kulebarkan rokku sembari sedikit membungkuk. Dian kembali berdecak, dia tampak memukul kepalaku. Untung dia kawanku, kalau tidak pasti akan kumarahi dia. Sebab bagaimanapun, aku adalah seorang Ndoro Putri, bagaimana bisa ada Ndoro Putri yang dipukul kepalanya. Kurang ajar!

"Jangan banyak bicara, sebentar lagi gerbang akan ditutup sama Pak Satpam. Untungnya hari pertama kita masuk kuliah belum ada Dosen yang mengajar, jadi hari ini kita akan bebas melakukan apa saja!" semangat Dian lagi.

Tidak terasa perjalanan kami pun sudah sampai, kami sudah berada di depan gerbang Universitas, aku pun berjalan dengan Dian dan Dina. Tapi Dian menghentikan langkahnya, melihat beberapa adik mahasiswi yang sedang mendapatkan hukuman karena sedang di OSPEK.

"Kita pisah di sini aja, ya. Kalau bareng sama kalian berdua terus, dikiranya aku udah punya istri dua lagi. Ogah banget! Salah satu yang ngebuat aku sial dan nggak laku ini kalian, kalian menempel padaku kemana-mana,"

Dian pun langsung pergi, aku dan Dina menjadi bingung sendiri. Bagaimana bisa, toh. kami yang disalahkan atas alasan kenapa dia tidak kunjung mendapatkan pacar.

"Dasar nggak tahu diri!" kesal Dina. Aku tersenyum saja.

Aku dan Dina pun berjalan menyusuri koridor kelas, ada banyak mahasiswa baru ada di mana-mana. Aku pun sedikit risih karenanya, kenapa tidak. Mata mereka semua nyaris tertuju kepadaku, dengan senyuman menggelitik yang membuatku menjadi tidak enak hati sendiri.

"Sudah aku bilang kan, kalau gaya penampilanmu ini bener-bener ketinggalan zaman, Rianti. Kamu itu kayak orang kampung yang dateng ke kota. Pakai rok di bawah lutut, rambut panjang dikepang dua. Memangnya enggak bisa apa kalau berpakaian seperti yang normal-normal saja? Nanti kamu bakal dihina-hina kampungan oleh semua orang, sama seperti yang kamu alami ketika kamu menjadi mahasiswa baru di sini."

"Aku tidak peduli," kubilang. Sebab sejatinya, aku sama sekali tidak terpengaruh dengan panggilan yang seperti itu. Silakan saja mereka mengataiku sebagai gadis kampungan. Memang benar aku berasal dari kampung, dan aku bangga dengan hal itu.

"Hey cewek kenalan dong, cewek yang rambutnya dikepang dua. Dapet salam nih dari Bima, salam sayang!" teriak salah satu pemuda.

Aku menoleh melihat sumber suara, rupanya di sana ada beberapa pemuda. Kurang lebih ada empat, para pemuda tersebut memakai gaya pakaian yang sama. Kaus kemudian dilapisi dengan kemeja bergaris yang tidak dikancingkan dengan sempurna, memakai celana levis juga sepatu berwarna hitam yang tingginya di atas tumit. Rambutnya tidak rapi, dibiarkan acak-acakan dan benar-benar terkesan seperti para kumpulan manusia urakan. Kutahan napasku karena kesal, bisa-bisanya mereka melecehkanku di tempat umum seperti ini. untuk kemudian salah satu di antara mereka, yang mengenakan kaus berwarna cokelat itu pun berjalan mendekat, aku tidak peduli, dan juga tidak mau tahu nama dia siapa. Hanya saja kenapa dia datang mendekat padaku? Itu adalah masalahnya.

"Hay," dia bilang. Aku masih diam, sepasang sepatu itu sudah berada tepat di depan sepatuku, celana levisnya tampak terkoyak di mana-mana, kaus cokelatnya meski tampak baru pun tapi terlihat kedodoran, pemuda di depanku ini benar-benar kepala preman yang sangat mengerikan. "Aku bima, aku mau menyampaikan surat ini. tantangan dari kakak senior utuk OSPEk," terangnya kemudian.

Aku melihat Dina tampak menyikut lenganku, kemudian matanya memandang pemuda yang bernama Bima tersebut. Seolah-olah dia mengatakan jika, sosok yang ada di depanku itu adalah sosok yang sangat sempurna. Tapi di mataku, tidak ada sempurnanya sama sekali.

"Kalau kamu nggak ambil surat ini, aku harus lari keliling lapangan. Ayolah bantuin, ngambil surat ini doang," bujuknya lagi. Kupalingkan wajahku, melihat kawan-kawannya yang sudah berusaha membuat keributan. Biang rusuh selamanya akan menjadi biang rusuh.

Tanpa kujawab, aku langsung menggandeng tangan Dina, aku berjalan pergi meninggalkannya. Namun sepertinya, apa yang aku lakukan membuatnya kesal. Dia langsung berlari menghampiriku, kemudian dia berjongkok dan membuka rokku.

Aku kaget bukan main, bahkan aku tidak bisa berkata apa-apa tentang pelecehan yang telah dilakukannya ini. sekarang dia kembali berdiri di depanku, dengan sebongkah senyuman yang mengerikan. Di depan banyak orang dia tampak sangat membanggakan apa yang telah dia lakukan. Kemudian dia berkata, "hey, perempuan bercelana dalam motif renda dan berwarna merah jambu. Lekas ambil suratku, kalau enggak aku akan katakan kepada semua orang yang ada di sini, apa warna celana dalammu."

Plak!!!