Chereads / RIANTI : Dendam Terindah / Chapter 6 - BAB 6

Chapter 6 - BAB 6

"Apa maksudmu mengatakan hal itu?" tanyaku pada akhirnya. Zainal menuntunku untuk duduk di salah satu warung di pasar tersebut, kemudian dia mencoba melihat kakiku. Sungguh canggung, berinteraksi seperti ini dengan Zainal. Bagaimana tidak, disentuh oleh laki-laki yang bukan siapa-siapaku adalah kali pertama seperti ini.

Zainal yang kini duduk berjarak mungkin satu meter denganku itu pun tersenyum. Untungnya sekarang warung sedang sepi, hanya ada Simbah penjual yang tampak masih sibuk memasak di belakang.

"Ndoro, apakah kamu ndhak merasa jika apa yang ada sekarang adalah hal yang aneh? Ndoro Rianti ini, adalah seorang Ndoro yang seharusnya memiliki sikap dan tingkah laku layaknya seorang Ndoro. Namun entah mengapa apa yang Ndoro lakukan beberapa hari terakhir ini sangat kekanak-kanakan, mengirimiku surat, dan lain sebagainya. Apakah ketika Ndoro melakukan itu, Ndoro ndhak berpikir jika mungkin masalahnya akan merember kemana-mana? Hasil dari guyonan Ndoro bisa saja membuat hidupku akan susah, ndhak hanya hidupku. Namun hidup dari simbokku juga," aku terdiam, saat Zainal mengatakan hal panjang lebar tersebut. Aku sama sekali tidak tahu, kenapa begitu susah baginya untuk sekadar mengakui jika aku mencintainya itu nyata? Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan kepadanya jika aku benar-benar mencintainya? Apakah dia pikir, apa yang aku ucapkan dan usahaku sampai menyingkirkan harga diriku hanyalah sebuah guyonan semata? Sungguh, ini adalah hal yang sangat menyebalkan sekali. "Ndoro kamu ini tahu lebih baik dari pada aku, kamu adalah seorang Ndoro Putri. Kamu memiliki hak mewarisi semua yang ada di dalam keluargamu. Keluargamu bukanlah keluarga sembarangan. Sementara aku?"

"Keluargaku bukan yang seperti itu, Zainal," kesalku. Kupandang Zainal yang masih berusaha tersenyum, tapi aku benar-benar tidak peduli lagi. "Romoku, biungku, kangmasku, adalah orang-orang yang memiliki wawasan luas. Mereka bukanlah manusia picik yang akan memilih sesuatu dengan cara yang mengerikan seperti itu. Bahkan, kata Romo dulu, biungku adalah dari keluarga yang paling ndhak mampu di sini. Kamu ingat, Zainal. Manusia itu yang membedakan bukan kaya atau pun miskin. Namun yang membedakan mereka adalah bagaimana mereka mampu memiliki hati yang baik. Itulah harga yang paling beharga, kekayaan yang ndhak akan pernah memiliki ujung. Aku selalu diajari orangtuaku untuk selalu menghormati dan menghargai hal tersebut. Bukan pikiran picik seperti apa yang kau ucapkan tadi."

Zainal masih tersenyum, membuatku semakin terhina karenanya. Sudah ... aku rasa semuanya sudah cukup. Faktanya, mengejar bukanlah hal yang menyenangkan. Ada kalanya wanita ingin dikejar agar dia merasa dicintai dan juga dihargai.

Aku pun akhirnya berdiri, meski kakiku terasa sangat ngilu. Bahkan seolah berdiri saja seperti menginjak paku-paku yang cukup tajam. Untuk kemudian, aku memilih mencari di mana gerangan Manis dan juga Asih. Kurang ajar benar mereka. Bisa-bisanya mereka meninggalkanku seperti ini.

"Kakimu masih terluka, Ndoro. Seharusnya Ndoro duduk saja, biar aku panggil Paklik Junet untuk menjemput."

"Ndhak usah sok peduli jika kamu ndhak memiliki hati. Sepertinya aku pun sudah lelah mengatakan kepadamu, bagaimana perasaanku. Kadang kala wanita bisa menjadi pejuang sejati, tapi ketika perjuangannya ndhak lagi dihargai, mundur adalah hal yang harus dilakukan untuk menjaga hati agar ndhak tersakiti lagi."

Zainal pun diam, setelah aku mengatakan itu. Aku mencoba untuk berjalan keluar dari warung tersebut. Aku sangat ingat jika besok aku akan pergi kembali ke Jakarta. Menempuh pendidikanku menjadi manusia yang berbudi dan berpendidikan tinggi. Mungkin aku tidak akan langsung pulang, tidak ingin sering-sering pulang. Aku hanya ingin menikmati waktuku di Jakarta. Untuk apa aku harus bertahan di sini, nyatanya laki-laki yang aku cintai tidak pernah peduli sama sekali.

Aku pun mulai berjalan keluar, dan Zainal mengikutiku dengan begitu hati-hati. Aku benar-benar tidak paham sama sekali, semuanya menjadi seperti ini. Apa maksud dari Zainal sekarang? Aku bukanlah layang-layang, yang harus ditarik-ulur dengan cara yang sangat menyakitkan.

"Asih! Manis!" teriakku, tatkala kulihat dua kawan baikku itu mulai berjalan mendekat.

Manis tampak memandang Zainal, yang masih berdiri di belakangku dengan mimik wajah bingungnya itu.

"Zainal, ada apa toh? Kok kamu berada di sini sedari tadi? Kamu kenal dekat dan berkawan dengan Rianti?" tanyanya.

"Endhak!"

"Endhak,"

Jawabku dan Zainal secara bersamaan, kami saling pandang untuk beberapa saat. Kemudian aku berdehem, jelas aku tidak mau kalau sampai Manis tahu tentang semuanya sekarang ini.

"Kalian ini kompak sekali toh, ngegas jawabnya!" kesal Manis. Aku tersenyum melihat dia mulai marah-marah seperti seorang Biung itu. "Ti, ayo bali. Kamu ini besok mau ke Jawa Barat buat kembali kuliah kok ya sekarang masih santai-santai saja. Nanti Ndoro Larasati pasti akan memarahiku karena sikapmu ini, nakal itu lho!"

"Mau kembali ke Jawa Barat?" tanya Zainal tiba-tiba. Aku diam saja tidak menjawabi pertanyaan itu, Manis pun tampak mengangguk.

"Iya, Rianti besok selepas subuh akan berangkat ke Jawa Barat. Dan kabarnya juga dia akan lama pulangnya ke Kemuning. Jadi mumpung masih berada di sini, apa salahnya kami mengajak Rianti untuk pergi ke pasar. Iya toh?"

Zainal tampak mengangguk, kemudian dia memandangku. Aku pura-pura tidak melihatnya sama sekali, kemudian kupandang langit yang kini berwarna biru. Entah kenapa aku sangat suka eskpresi Zainal seperti itu, ekspresi kaget atau malah ... takut kehilanganku. Entah kenapa melihatnya seperti ini membuat harapanku kembali melambung tinggi. Membuatku ingin berharap sekali lagi untuk mungkin dia akan mencintaiku dan hanya membutuhkan waktu saja agar dia mau mengaku. Namun ada kalanya aku berpikir jika apa yang aku usahakan adalah sia-sia belaka. Gusti, tolong aku. Tolong aku untuk menentukan bagaimana jalan takdirku. Aku hanya ingin seperti Biung dan Romo. Menemukan sosok yang aku cintai kemudian menikah dengannya sampai tua atau bahkan tutup usia. Bisa kah kisah cintaku seperti Romo dan Biung? Sebab aku merasa selalu iri setiap kali melihat mereka berdua. Aku begitu ingin memiliki kisah cinta yang manis seperti mereka berdua.