Aku duduk sambil bertopang dagu, melihat deretan pohon pisang dan pohon mangga yang ada di seberang jendela kamarku. Memang, aku sengaja meminta kamar dengan jendela yang lebar, agar ketika pagi dan sore hari aku bisa membuka jendela lebar-lebar dan menikmati sejuknya alam. Apalagi ketika bintang dan rembulan sedang indah-indahnya, paling indah jika tidur sambil membuka jendela. Meski kadang-kadang, nyamuk-nyamuk yang nakal pun sekarang kerap datang mengganggu tidur untuk sekadar memberikan tanda merah di kulit.
Namun, sekarangyang mengganggu bukanlah nyamuk, bukan pula dengan semua hal yang berada di luar pikiranku. Sebab bagiku yang terpenting sekarang adalah Zainal.
Ya, kulihat banyak sekali surat yang telah kusiapkan untuk Zainal, bahkan surat tersebut sudah kutulisi hari di mana Bulik Amah atau Bulik Sari secara diam-diam mengirimkan surat itu ketika mereka hendak pergi ke pasar. Meski kadang-kadang aku juga membutuhkan bantuan dari Asih, tapi entah bagaimana semuanya selalu berakhir dengan sia-sia.
"Ndoro,"
Aku menoleh, melihat Asih yang sudah berdiri di balik jendela, sambil mengendap-endap dengan mimik wajah yang muramnya itu. Aku tahu kenapa dia memasang mimik wajah jelek itu, apalagi memang, kalau suratku tidak mendapatkan balasan.
"Saya sudah berada di rumah Kang Zainal, tadi. Namun dia ndhak mau sama sekali menerima surat dari Ndoro Rianti. Katanya, dia ndhak pantas sama sekali bersanding dengan Ndoro Rianti. Jadi, Ndoro Rianti disuruh berhenti untuk main-main, dan mencari pemuda lain yang Ndoro Rianti ajak untuk serius."
"Dia bilang seperti itu?" kutanya, Asih mengangguk kuat.
"Iya, Ndoro. Sebab usia Ndoro Rianti sudah ndhak muda lagi, Ndoro Rianti bahkan memilih untuk bersekolah tinggi. Padahal biasanya, seorang gadis di kampung meski kata sebagian orang zamannya sudah modern, tetap saja usia lima belas tahun adalah patokan tepat untuk gadis menikah. Namun Ndoro Rianti,"
"Jadi apakah dia berpikir jika aku telah melebihi waktuku untuk menikah? Sehingga dia menyuruhku berhenti bermain-main dengannya dan mencai suami? Ataukah, dia terlalu jijik denganku hingga dia menolakku dengan cara yang menyakitkan itu, Asih?" tanyaku yang sudah mulai kesal. Aku sama sekali tidak tahu, kenapa Zainal bisa sedingin itu kepadaku, kenapa dia bisa sekejam itu kepadaku. Padahal aku tidak menyakitinya. Aku hanya menawarkan cinta, yang mana pemuda lain pasti sangat mendamba apa yang akan kuberikan kepadanya. Tapi Zainal? Dia malah menolakku secara mentah-mentah dan berkala.
"Kurang lebih seperti itu, Ndoro. Zainal mengatakan jika berhenti untuk bermain-main dengannya, dan fokuslah kepada laki-laki yang lebih pantas untuk Ndoro Rianti."
Air mataku langsung menetes begitu saja di pipi, aku sama sekali tidak menyangka jika Zainal akan seperti ini. Dia telah menolakku dengan cara yang tidak manusiawi.
"Baiklah," putusku pada akhirnya, Asih tampak memandangku dengan tatapan bingungnya.
"Baiklah apa, Ndoro Rianti?"
"Jika dia menolakku sekali, maka aku akan menyatakan cintaku seratus kali. Jika dia menolakku berkali-kali, maka aku ndhak akan pernah menyerah untuk mendapatkannya," kupandang Asih yan tampak kaget mendengar ucapanku, lalu aku duduk dengan manis, sembari menyerahkan tumpukan surat yang telah kutata di atas meja. "Surat-surat ini, sudah kutulis harinya. Kirimkan setiap hari kepada Zainal. Jika dia ndhak suka, jangan memintamu untuk mengembalikan. Tapi suruh dia sendiri yang mengembalikan surat itu. Sebab sejatinya, laki-laki sejati itu menolak secara langsung, bukan lewat perantara dan ndhak jantan seperti ini. Aku sama sekali ndhak suka,"
Aku langsung pergi, meninggalkan Asih yang masih berada di luar jendela. Kulihat Biung dan Romo tampak sedang berbincang romantis. Gusti, aku sangat iri dengan mereka. Bisa jatuh cinta dengan begitu gilanya, meski mereka sudah memiliki aku juga Kangmas Arjuna. Tetap saja rasa cinta yang mereka tampilkan itu adalah cinta yang utuh dan nyata. Aku selalu ingin, dan selalu membayangkan jika suatu saat kelak aku bisa seperti itu bersama dengan Zainal.
Zainal? Ya ... Zainal, seberapa jauh kamu lari, aku akan mengejar. Seberapa kuat kamu bersembunyi aku akan selalu memiliki cara agar kamu bisa aku dapatkan. Ingat itu, Zainal. Aku adalah Rianti Hendarmoko, yang selalu mendapatkan apa pun yang akum au. Termasuk memperjuangkan cintaku. Itu adalah janjiku, Zainal, dan jangan pernah panggil aku Rianti kalau aku tidak bisa untuk mendapatkanmu.
"Apakah sekarang calon Dokter pekerjaannya melamun saja di ambang pintu?"
Aku terkesiap melihat Kangmas Arjuna sudah berdiri di sampingku, untuk kemudian kutundukkan wajahku. Aku tidak mau kalau sampai Kangmas tahu tentang apa yang aku rasakan, sebab bagaimanapun juga aku tahu bagaimana kangmasku ini.
"Kenapa, Juragan Muda? Apakah kamu ndhak punya pekerjaan lain selain menggodaku? Sepertinya, kawanku yang bernama Mani situ ndhak cukup membuatmu penasaran, sehingga kamu masih saja melalang buana mengencani para wanita. Oh ya, kabarnya kamu dekat dengan seorang wanita yang sudah bersuami. Apakah itu benar, Kangmas?" selidikku.
Benar, aku tadi tidak salah mendengar jika kangmasku dikabarkan sedang dekat dengan seorang perempuan penyaji kopi di salah satu warung yang ada di kebun teh. Jika memang benar seperti itu, apa yang dilakukan oleh Kangmas Arjuna adalah keliru, dan aku tidak akan pernah rela jika kangmasku melakukan hal yang keliru sama sekali.
"Ingat, ya, Kangmas. Kita itu siapa, kita itu adalah keturunan ningrat. Jangan sampai Kangmas mempermalukan keluarga seperti ini, jatuh hati kepada wanita yang sudah bersuami. Itu sama sekali ndhak pantas, dan kalau sampai Romo dan Biung tahu masalah ini, pasti mereka akan malu. Apa Kangmas tega melihat orangtua kita menanggung malu karena ulah dari Kangmas?" marahku.
Kangmas Arjuna tampak berdecak, kemudian dia memaksa kepalaku dan menaruh wajahku di ketiaknya. Salah satu kebiasaan dari Kangmas, bahkan tatkala aku kecil dulu, kebiasaan yang benar-benar menyebalkan yang aku benar-benar kesal dibuatnya. Dasa Kangmas ini, memangnya dia piki aku ini anak kecil apa yang diketekin seperti ini?
"Duh Gusti, ketek Kangmas itu bau kecut, mbok ya jangan ketekin terus, toh! Bisa-bisa kecantikanku yang paripurna ini luntur karena keteknya Kangmas yang bau kecut itu!"
"Biar sekalian luntur, dan otaknya yang jelek itu ikut luntur. Biar kalau bicara sama orang yang lebih tua itu sopan sedikit. Apa toh kamu ini, kalau sama Kangmas bicaranya ndhak pernah yang manis-manis. Selalu sepet dan menyebalkan, memangnya kamu pikir Kangmas ini siapa? Genderuwo apa, toh?!"
"Lho, Kangmas baru sadar kalau Kangmas ini jin iprit? Rajanya para genderuwo!"
"Dik,"
"Hm? Mengidolakan aku? Ya jelaslah, aku cantik, aku imut-imut, aku manis! Tapi mohon maaf, aku ndhak suka tuh sama Kangmas."
"Dik Rianti!"
Aku tertawa saat Kangmas mengejarku sampai masuk ke dalam kamar, menggelitiku sampai kami terjatuh di atas ranjang. Seperti mengulang saat-saat kami masih kecil dulu, untuk kemudian Kangmas memelukku sangat erat, membuatku membalas pelukannya. Kemudian kami sama-sama tertidur. Ya, tidur yang begitu nyenyak. Meski dalam hati sejujurnya aku begitu ingin bercerita kepada Kangmas tentang Zainal. Namun entah mengapa nyaliku ciut setiap kali memikirkan hal itu.