"Ndoro Rianti,"
"Bukankah sudah kukatakan kepada kalian, jika bersamaku selama tidak di tempat umum dan tidak di depan orangtuaku kalian cukup memanggilku Rianti?" ucapku, aku tahu sejatinya mereka agaknya sungkan. Berkawan denganku yang merupakan anak Juragan tersohor itu. Namun kalau di depan kawan-kawanku seperti itu, rasanya benar-benar aneh, jika harus dipanggil dengan sebutan 'Ndoro' seolah aku ini paling tinggi saja derajatnya. Padahal semua manusia itu sama. Kecuali, jika itu bukan kawanku, maka semua aturan yang diberikan oleh Romo kepadu langsung kupraktikkan dengan sangat sempurna. Siapa peduli? Toh pada hakekatnya, memberi sebuah kehormatan untuk orang untuk memperjelas suatu kedudukan itu tidak salah sama sekali. Apalagi itu untuk orang-orang yang tidak tahu diri, tentu saja.
"Maafkan aku. Maksudku, Rianti. Kamu ndhak apa-apa ikut mandi bersama kami di telaga madrida ini? Telaga ini kan dibuat mandi banyak warga, takutnya kulitmu yang harum dan lembut itu akan kotor atau bersisik karena itu. Sebab aku yakin sekali, kalau kamu mandi pasti dengan air paling bersih, mengenakan kembang tujuh rupa, serta dengan wangi-wangian lainnya. Sebuah ritual khusus khas anak-anak Juragan yang berdarah biru. Iya, toh?" Nurlela bertanya, sebuah pertanyaan yang menurutku klise, antara dia ingin bertanya, atau memang hanya ingin meyakinkan dirinya sendiri. Jika memang seperti itu. Aku terdiam, sebab kurasa pertanyaan itu tidak membutuhkan sebuah jawaban. Jawaban atas hal yang susah untuk aku jelaskan sama sekali.
"Benar, Ndoro Rianti. Maksudku, Rianti kalau mandi harus dari air yang sudah didiamkan selama semalam. Air yang paling jernih dialirkan di tempat pemandian Rianti, bercampur dengan air embun dari daun-daun segar. Ditambah dengan beberapa wangi-wangian yang dibakar, beserta dengan beberapa bunga. Itu adalah ritual mandi Rianti, ndhak lupa juga sebelum mandi lulur rempah selalu ada, agar badan tetap wangi bersih juga harum, agar tampak lebih cerah bercahaya. Semua itu adalah ritual yang harus dilakukan, terkesan lama dan sedikit rumit, memang. Namun itu akan menjadi hal yang sangat menyenangkan, apalagi Rianti selalu mengajak kami—abdinya untuk ikut luluran dan mandi bersama. Jadi ndhak usah heran, kalau abdi dalem dari Rianti juga wangi dan kulitnya bercahaya semua," Asih mencoba menjelaskan, membuatku tersenyum juga.
Aku kemudian diam saja, tidak mau banyak bicara. Untuk apa? Aku tidak suka menerangkan sesuatu yang tidak perlu aku terangkan, yang begitu bertele-tele dan tidak tepat sasaran.
"Ya sudah ayo mandi, dari pada kita terus bercakap-cakap saja," ajak Ida pada akhirnya.
Kami pun langsung melepas kebaya kami, sehingga meninggalkan kemben beserta jarik yang menutup dada juga bagian bawah tubuh kami. Merendamkan diri di telaga madrida ternyata sangat menyenangkan sekali. Aku baru tahu jika telaga ini memiliki air yang sangat bersih, air yang sangat sempurna sebagai berendam atau bahkan cuci baju beberapa penduduk kampung yang datang.
"Dulu, di sini ini terkenal sekali sedikit angker. Kabarnya, ada barang pusaka milik pendekar dari orang-orang terdahulu yang ditenggelamkan di telaga ini. Dulu, konon ndhak ada satu orang pun yang berani untuk datang kesini. Sehingga telaga madrida menjadi tampak sangat ndhak terawat dengan tumbuhan yang sangat rimbun. Konon juga, pada waktu tahun enam puluhan, kabarnya ada seorang perempuan yang diasingkan di sini. Entah perempuan dari kampung mana. Kalau aku dengar dari emakku, perempuan itu melakukan kesalahan. Dia menjalin hubungan terlarang dengan seorang Juragan tersohor di Kecamatan ini. Dan waktu kisah aib itu terbongkar, dia disiksa oleh warga Kampung, digunduli, dan diasingkan di sini. Benar-benar cerita yang sangat mengerikan. Kabarnya juga, perempuan itu cantik, cantik sekali. Kembang Desa yang ndhak ada tandingannya. Kulitnya putih, wajahnya ndhak seperti perempuan Jawa pada umumnya. Kisah cinta itu dulu sangat melegenda, bahkan ndhak sedikit juga yang merasa iba kepadanya. Banyak yang mendukung dan mendambakan kisah cinta antara Juragan dan simpanan itu. Hingga akhirnya pun, simpanan itu dinikahi secara sah oleh Sang Juragan."
"Lantas bagaimana dengan istri-istri dari Juragan itu, apakah mereka ikhlas dengan pernikahan tersebut?" tanya Asih yang agaknya dia penasaran juga.
"Kabarnya, banyak hal yang terjadi selama masa itu. Sehingga simpanan ini menjadi sosok satu-satunya yang menjadi istri,"
"Bukankah hal tersebut benar-benar gila? Apa yang bagus dari hubungan menjijikkan tersebut? Ndhak ada yang patut untuk ditiru atau dikagumi sama sekali. Sebab sekalinya hubungan haram, selamanya hanya akan berakhir kelam. Apalagi hubungan antara simpanan, dan Juragan, ndhak ada yang bisa bahagia. Kecuali pada akhirnya, mereka akan menderita dan berpisah secara tragis dan menyakitkan. Ndhak peduli, jika mereka saling cinta, atau dengan dalih busuk lainnya. Sebab ndhak ada yang namanya benar dalam sebuah kesalahan, apalagi kepada sebuah hubungan terlarang," kubilang.
Iya, sejatinya aku sangat membenci apa yang namanya hubungan seperti itu. Simpanan, selingkuh, dan diselungkuhi adalah hal yang sangat menyebalkan. Tidak ada yang bagus, semuanya perbuatan adalah dosa yang akan mendapatkan hukuman berupa karma. Jadi, apa bagusnya? Toh pada akhirnya jika, semua yang mereka lakukan hanyalah berzina di mana-mana. Hanya sebatas nafsu, yang berlindung dari kata suka mau pun rindu. Benar-benar tidak bisa dibenarkan sama sekali.
"Rianti...," panggil Ida, aku pun langsung menoleh. Matanya memandang pada dadaku, dan hal itu membuatku malu sekali. Iya, kain kembenku ini tidak bisa menutup seluruh dadaku secara nyata. Memang agak risih, tapi bagaimana lagi, memang itulah bentuk tubuhku, dan aku sama sekali tidak merasa risih untuk itu. "Dadamu itu lho, besar tenan. Ukurannya ndhak seperti dada pada umumnya. Apa jangan-jangan kamu pergi ke kota untuk melakukan hal aneh kepada tubuhmu itu, iya? Seperti semangka kembar yang bahkan nyaris jatuh dengan begitu nyata,"
Mendengar hal itu, semua orang yang ada di sana pun tertawa. Aku benar-benar sangat malu sama sekali. Bagaimana bisa, Ida mengatakannya dengan sevulgar itu.
"Kamu itu apa, toh, risih aku, kenapa kamu bicara seperti itu."
"Lho, memang apa yang dikatakan Ida itu benar, toh. Dadamu itu ya, jika yang melihat laki-laki pasti langsung akan terpikat dengan sempurna,"
"Memangnya, bakal ada toh laki-laki yang datang kesini?" kutanya. Sebab jika iya, maka semuanya akan menjadi sangat mengerikan. Bagaimana bisa, aku seorang Ndoro Putri mandi di tempat terbuka seperti ini, dan tubuhku dilihat oleh laki-laki. Tentunya itu adalah hal yang tidak patut sama sekali. Aku langsung gugup, ingin rasanya aku segera keluar dari telaga ini. Namun ternyata, tanpa aku ketahui aku mendengar suara berisik-berisik aneh. Saat aku menoleh, betapa kaget aku melihat beberapa pemuda sudah ada di balik batu besar dan bersembunyi di sana.
Sejak kapan? Gusti, kurang ajar!
"Siapa itu? Ndhak tahu diuntung! Berani benar kalian mengintip di balik batu seperti itu? Apa kalian ndhak tahu siapa aku ini! Berani mengintip seorang Ndoro mandi maka hukumannya jelas sekali akan kalian tanggung sendiri!" marahku pada akhirnya.
Aku mencari di mana letak kebayaku, tapi tidak aku temui di mana pun. Sial benar, apa mungkin laki-laki itu telah mengambil pakaian kami.
"Duh Gusti, kebaya kita di mana toh?" tanya Ida, dengan mimik wajah ketakutan luar biasa.
"Kalian mencari ini, Cah Ayu?"
Dan benar saja, kebaya kami sudah berada di tangan mereka. Dengan kurang ajar mereka menciumi kebaya kami seolah penuh dengan nafsu, sungguh benar-benar menjijikan sekali.
"Ndoro Rianti yang paling ayu dari pada yang lainnya. Sudah, ndhak usah marah-marah seperti itu, toh. Kamu ini sangat manis, sayang benar jika wajah manismu harus berubah karena hal yang sangat di luar nalar. Apalagi karena peringaianmu yang ndhak baik itu. Suka marah, nanti kamu cepat tua, lho."
"Kurang ajar!" marahku lagi.
"Duh, malah semakin ingin aku. Dadanya duh Gusti, benar-benar membuatku ingin memegangnya, mencicipinya!"
Emosiku sudah berada di ubun-ubun. Aku hendak berdiri dan memberi pelajaran kepada mereka, tapi tiba-tiba ada satu sosok yang yang di belakangku. Dia memakaikan jarik untuk menutupi tubuhku. Aku menoleh, melihat siapa gerangan sosok itu. Aku tertegun saat tahu siapa sosok tersebut.
"Zainal?"