Chereads / TSUIN (ツイン) / Chapter 1 - Prolog

TSUIN (ツイン)

🇮🇩Arien_seran
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 9.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

Kilauan cahaya oranye yang menyejukkan hati, membuat warna-warni di taman bermain dengan patung kuda kecil itu bercampur dengan warna yang sedang langit perlihatkan. Di bawah langit sore itu, dua anak laki-laki berusia sembilan tahun sedang menikmati waktunya yang menenangkan di tempat favorit mereka. Menikmati angin di sore hari yang menyapu pipi gemuk keduanya.

Mereka berdua bersamaan memandang langit yang membuat hati dari masing-masing terasa nyaman dan tenang. Sedikit menggerakkan ayunan yang mereka duduki masing-masing agar tidak terlalu bosan. Setidaknya, mereka pikir, bisa merasakan ketenangan walau sebentar di balik fakta yang menyakiti mereka secara fisik dan batin. Terlihat dari memar-memar di beberapa tempat di tubuh mereka. Mungkin karena merasa memiliki nasib yang sama itulah, mereka bisa menjalin hubungan persahabatan.

Sedang asyik menatap lukisan alam yang Tuhan ciptakan dengan sangat indah, segerombolan bocah seumuran mereka datang dan melempari mereka dengan sampah-sampah gelas plastik. Tujuan sebenarnya sih pada si bocah berambut hitam pekat. Namun angin menghembuskannya dan beberapa dari sampah yang melayang itu berakhir di kepala milik sang anak dengan surai kecoklatan.

"Anak aneh nggak boleh main di sini!" Ucap salah satu bocah dari gerombolan tadi dengan kulit sawo matangnya. 

Si rambut hitam menutup telinganya rapat-rapat. Ia tidak ingin mendengar cacian dan ejekan dari anak-anak itu. Memang apanya yang aneh dari dirinya? Ia hanya berbeda dari anak kebanyakan yang ceria dan mudah untuk berteman dengan siapapun.

"Nara," Si rambut hitam memanggil Nara pelan, hendak menangis. Air mata sudah berkumpul di pelupuk matanya dan menunggu si empunya untuk mengizinkannya terjun menuruni pipinya yang mulai memerah.

Nara, bocah dengan surai kecoklatan, berdiri di depan bocah bersurai hitam dan berharap bisa melindungi sahabatnya itu. Ia mulai berteriak membalas ucapan para bocah yang menjelek sahabatnya. Namun mereka hanya semakin mengolok-oloknya.

Merasa kesal, Nara meraih apapun di sekitarnya dan dilemparkannya pada bocah yang mengaku ketua dari gerombolannya, yang berkulit sawo matang. Kerikil yang dilempar Nara pun mengenai tangan si ketua dengan keras mengakibatkan bekas yang memerah dan hampir membiru. Sang ketua menangis dengan lengkungan bibirnya yang ke bawah. Kemudian ia berteriak menitah teman-temannya untuk balas menyerang. Namun di saat bocah-bocah berandal itu hendak membalas, seorang pria paruh baya datang dengan setelan jasnya yang rapi, membuat gerombolan bocah brandal itu mengurungkan niatnya untuk membalas, kemudian kabur dan menyalahkan Nara juga si rambut hitam.

Pria berjas itu menatap marah pada Nara, anaknya. Lalu ia mencengkram pergelangan tangan anak itu dan menariknya menjauhi bocah yang diakui sahabat oleh anaknya.

"Ayah sudah bilang, 'kan? Kamu nggak boleh main sama anak itu!" Pria itu berucap dengan intonasi yang tinggi, membentak anak satu-satunya, bermaksud untuk memperingati si rambut hitam juga agar tidak bermain lagi dengan anaknya.

Nara terseret akibat tarikan ayahnya yang memaksa. Ia menolehkan kepalanya pada sahabatnya yang termenung di sana. Menunduk dengan air mata yang terjun ke pipinya. Anak dengan rambut hitam itu sudah merasa wajar jika orang-orang selalu menjauhkannya dari kebahagiaan.

Dan esoknya, ia mendengar kabar bahwa keluarga Nara memutuskan untuk pindah  ke luar kota saat ia menunggu Nara di sebuah ayunan favorit mereka sore itu.