Chereads / TSUIN (ツイン) / Chapter 3 - Kesalahan

Chapter 3 - Kesalahan

Nara termenung di kursinya. Pemuda itu terus saja memikirkan dan mencocokkan ciri-ciri si pengirim surat yang disebut oleh gadis yang ditemuinya di gedung gymnasium lama dengan orang-orang yang ia ketahui atau bahkan yang tidak ia kenal. Oh, dia ingat. Nama gadis itu Mawar. Gadis di kelasnya yang selalu mencoba mendekatinya dan banyak memberi spam di media sosialnya. Dan tentang si pengirim surat, ia menemukan beberapa kandidat, namun tetap saja ia merasa tidak ada yang benar-benar cocok.

"Nara," panggil sebuah suara manis di sebelahnya, menyadarkan lamunannya yang panjang. Nara menoleh pelan tanpa menyahut "Bisa bicara sebentar?" Ucap gadis dengan name tag bertulis "Shafira Cintya" dengan pelan, menunduk malu dengan semburat merah di pipinya.

Nara melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Sudah jam empat sore, waktunya pulang. Kenapa gadis itu betah sekali berada lama di sekolah hanya untuk menunggunya?

"Bicara aja." Nara tersenyum lembut dan menatap Shafira. Gadis berkerudung itu semakin menundukkan kepalanya, juga semburat di pipinya semakin merah dan menyebar ke seluruh wajahnya.

Shafira menggeleng pelan, hampir tidak tertangkap oleh mata Nara. "Jangan di sini." Kemudian melirik Dimas yang menatapnya datar namun tetap terlihat sangat penasaran dan melirik siswa dan siswi yang masih berada di kelas. Sebagian menatap mereka berdua penasaran.

Nara paham situasinya. Shafira ingin mengatakan sesuatu yang memalukan bagi gadis itu. Ditambah ada Dimas akan semakin membuatnya malu. Siswi yang sekelas dengannya itu tidak mau pernyataannya membuat teman-teman sekelas mengejeknya. Memang, jam pulang sudah lewat beberapa menit yang lalu. Namun mereka merasa enggan untuk beranjak dari kelas itu dan lebih memilih untuk berbincang-bincang terlebih dahulu sebelum pada akhirnya pulang.

Pemuda tampan itu beranjak berdiri. Ia tahu apa yang akan dibicarakan Shafira. Tapi untuk menghargai perasaan gadis itu, ia akan menurut saja jika Shafira ingin berbicara empat mata.

"Mas, tunggu di sini, ya." Titah Nara, lalu melangkah pergi diikuti Shafira.

"Iya, Mbak." Jawabnya melucu.

***

Shafira benar-benar menyatakan perasaannya pada Nara. Dan dengan halus ia menolak perasaan gadis itu membuat semburat merah malu di pipinya berubah menjadi semburat merah menahan tangis. Shafira mencoba maklum. Namun hatinya tetap merasa sakit. Bayangannya yang menjadi gadis pertama yang dapat mencuri hati Nara gagal. Ekspetasi memang lebih indah dibanding realita.

Nara kembali ke kelasnya setelah Shafira melangkah pergi dengan lesu. Terlihat dari bahunya yang merosot dan kepalanya yang tertunduk dalam. Dan Nara hanya bisa mengucapkan kata maaf yang entah keberapa kalinya dengan pelan.

Saat ia hendak menuju ke kelasnya, di depan kantor guru, ia berpapasan dengan seseorang yang baru saja keluar dari ruangan itu. Seorang pemuda berkulit gelap. Dari tampilannya, orang ini seperti murid berandal. Terlihat dari seragamnya yang tidak rapi juga atribut yang tidak lengkap. Jangan lupakan tampangnya yang sangar.

Orang berkulit sawo matang itu pergi dan Nara hanya menatap kepergiannya dengan diam. Ia dapat menangkap ekspresi aneh siswa tersebut. Dan beberapa detik setelah kepergiannya, keluarlah seorang siswa tak dikenal yang menggunakan maskernya. Berdiam sejenak untuk menatap Nara dan menyipitkan matanya sehingga kedua matanya berbentuk seperti bulan sabit terbalik. Nara dapat menduga kalau siswa itu tersenyum ke arahnya. Dan lagi, siswa ini sepertinya sedang demam. Selain memakai masker, ia juga memakai topi rajut yang menutupi kepalanya dan seluruh rambutnya. Tapi jika matanya tidak salah, ia melihat beberapa helaian putih yang mencuat dari balik topinya.

Tunggu. Nara terdiam. Bukankah Mawar berkata bahwa si pengirim surat itu memakai masker?

***

Besok ada ujian harian dan malam ini Nara sudah siap di depan meja belajarnya dengan buku matematika. Di saat ia hendak membuka halaman depan buku itu, sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya, membuatnya mengurungkan niat untuk membuka buku di depannya.

Membuka kata sandi di ponselnya, kemudian menyentuh kolom notifikasi. Notifikasi itu terus-terusan berdatangan. Ia jadi penasaran dengan yang sedang dibicarakan oleh teman-teman sekelasnya. Begitu dibuka, sebuah gambar yang menampilkan susunan-susunan angka dan simbol yang bersatu menjadi sebuah rumus. Walaupun hanya sekilas terlihat, ia tahu bahwa itu kunci jawaban untuk ujian besok. Bagaimana mereka bisa mendapatkannya? Nara mulai membaca satu per satu obrolan teman-teman sekelasnya itu. Dan ia menyimpulkan bahwa seseorang dari kelasnya mendapatkan gambar itu dari orang lain dan mengancamnya jika tidak disebarkan ke teman-teman sekelasnya.

Sibuk dengan pemikirannya, pintu kamarnya terbuka dengan tiba-tiba. Nara terkejut dan hampir menjatuhkan ponselnya.

"Kenapa kamu malah main ponsel?" Andi berdiri di ambang pintu sambil menatapnya dingin. Semenjak ibunya tiada, tidak pernah sedikit pun ayahnya memberinya kehangatan. "Mau Ayah sita ponselnya?"

"Nggak, Yah. Tadi ada info dari sekolah." Kemudian menyimpan ponselnya di sebelah bukunya dan kembali fokus belajar. Setidaknya ia jadi tidak sempat membaca soal dan kunci jawaban untuk ujian harian besok. Ia tidak mau berbuat curang untuk nilainya. Bagaimana generasi selanjutnya jika hal tersebut tetap berlanjut sampai hari tua? Untuk hal tersebut, ia berterima kasih pada ayahnya.

***

Ujian tiba. Semua murid di kelas itu sudah siap di bangkunya bersama alat tulis di atas meja masing-masing. Tersenyum tidak seperti biasanya. Di ujian-ujian sebelumnya bahkan mereka sama sekali tidak menunjukkan antusiasme, malah seperti sedang mengajak perang dengan ekspresi yang kelewat serius seakan satu detik berikutnya akan terjadi perang dunia III. Namun hari ini, senyuman mengembang di bibir mereka. Sedikit menyeringai.

Guru matematika masuk. Wanita itu bernama Suryati, seorang wanita bertubuh gemuk dengan imej guru killer. Banyak yang tidak menyukainya karena sifatnya yang selalu memakai emosi pada hal-hal sepele sekali pun. Para murid di sekolah itu juga tidak menyukainya karena selalu saja mengadakan ujian harian minimal dua minggu sekali.

Bu Suryati berdiri di balik meja guru yang berada di pojok depan kelas. Jauh dari pintu masuk. Kemudian ia menatap satu per satu anak murid di kelas itu dengan tatapan tajam. Ia sedikit terheran karena tidak biasanya anak-anak didiknya sesemangat ini untuk melakukan ujian. Ia menyipitkan matanya curiga. Mungkin ia sudah tahu kenapa mereka tidak segugup pada ujian harian sebelumnya.

"Sebelumnya, saya ingin bertanya." Hening sebentar membuat para murid di sana merasa gugup tiba-tiba. "Kenapa kalian kelihatan senang? Biasanya kalian tidak sesenang ini sewaktu ada ujian."

Menelan ludah, seringaian mereka pun tertelan hingga mencapai perut mereka. Melilit dengan kencang di sana dan menciptakan rasa gugup. Namun tidak untuk siswa-siswi yang rajin dan berusaha berlaku jujur.

"Jawab!" tapi tidak ada satupun yang bersuara. "Saya curiga. Siapa di antara kalian yang mencuri kunci jawaban untuk ujian hari ini?" Tetap hening.

Nara ingin membantu teman-temannya. Namun ia tahu usahanya justru akan membuat keadaan semakin buruk. Dimas di sebelahnya pun hanya bisa diam membisu.

Sekali lagi wanita gempal itu menatap anak didiknya dengan tajam. Berusaha untuk mengancam lewat tatapan matanya. Walaupun begitu, tidak ada satupun dari siswa dan siswi di kelas tersebut yang mau mengaku.

Dan seseorang mengangkat tangannya membuat seisi kelas langsung saja menoleh menatap siswa tersebut dengan horor. Dimas, siswa yang mengangkat tangannya itu hanya menatap guru di depannya dengan datar.

"Sebelumnya maaf, Bu. Apa ibu yakin kalau pelakunya ada di kelas ini?" tanya Dimas sambil menurunkan tangannya. Sebenarnya ia sedikit gugup karena Bu Suryati mulai menatapnya dengan intens dan juga tajam. Mungkin wanita itu berpikir bahwa si pencuri itu adalah dirinya.

"Saya memang tidak tahu pelakunya ada di kelas ini atau bukan. Tapi dengan sangat kebetulan kunci jawaban itu hilang kemarin di saat besoknya ada ujian harian di kelas ini."

"Tapi itu tidak menjamin pelakunya ada di sini, Bu." Sela Dimas mengakhiri perdebatan tersebut.

Bu Suryati terdiam, ia tidak berpikir panjang dan malah menuduh orang lain sembarangan. Wanita itu menghela nafasnya pelan dan tatapannya melembut. "Ya 'udah, Ibu minta maaf karena sudah asal menuduh. Tapi Ibu yakin kalau kalian punya contekan untuk ujian hari ini!" Dan intonasinya kembali meninggi di kalimat terakhir. "Ujian hari ini ditunda sampai minggu depan. Ibu akan buat soal ujian yang baru. Pastikan kalian tidak menyontek!"

***

Bel tanda usainya sekolah hari ini sudah berdenting beberapa menit yang lalu. Langit juga sudah menunjukkan warna indahnya, senja. Dengan angin sore dan kicauan burung di sebuah dahan pohon di samping jendela yang bertepatan dengan meja Bu Suryati.

Nara dan Dimas berdiri di sana. Di depan meja wanita yang tengah menyeruput cappuchino-nya, sebelum menatap mereka.

"Jadi, apa kalian tahu sesuatu?" Tanya wanita itu langsung dan kedua siswa di depannya saling bertatapan. Memberitahu lewat tatapan mata apakah pembicaraan di grup chat kelas mereka harus diberitahu pada wanita ini.

Wanita gemuk itu memanggil mereka karena ingin meminta bantuan keduanya untuk mencari pelaku pencurian kunci jawaban. Karena ia percaya bahwa mereka dapat diandalkan dan ia pun tahu kedua siswa itu memiliki prestasi yang bagus pula. Dan ia juga sangat menyenangi mereka yang selalu berperilaku baik, sopan dan berkata jujur.

"Um, 'gini, Bu." Memberikan jeda sejenak untuk Nara mengambil nafas. "Ada yang menyebarkan kunci jawaban, sebenarnya." Jelas Nara.

Sebelumnya, ia mencari informasi dan bertanya pada teman-teman sekelasnya perihal foto soal ujian di grup chat-nya pagi tadi. Dan seorang siswa di kelasnya yang bernama Ari, yang mengirim foto soal ujian di grup kelasnya, berkata bahwa pemilik akun tersebut adalah seorang siswa dari kelas sebelah yang selama ini dikenal karena tampangnya yang garang dan terlihat seperti murid bermasalah. Selain menyebarkan kunci jawaban tersebut ke kelasnya, siswa tersebut pun menyebarkannya ke kelas lain. Tapi Nara maupun Dimas tidak memberitahukan informasi tersebut pada Bu Suryati. Ia tidak ingin asal menunjuk pelakunya sebelum itu benar-benar terbukti.

"Apa ada orang mencurigakan yang kemarin siang datang ke ruang guru?" tanya Dimas langsung, ia tidak ingin langsung memberitahu tersangkanya. Bu Suryati terdiam dan mengingat-ingat.

Orang yang menurutnya mencurigakan, sih adalah seorang murid berandalan dengan kulit sawo matang yang kemarin datang ke kantor guru untuk menemui Pak Suryo untuk menyerahkan tugas, namanya Wendi. Saat itu Bu Suryati hendak masuk ke kantor guru dan melalui jendela kecil di pintu ia melihat siswa tersebut terus menatap ke arah mejanya. Dengan sengaja ia memasuki ruangan itu tiba-tiba membuat si murid berandal terkejut dan segera menoleh. Wanita itu hanya diam dan melanjutkan langkahnya menuju mejanya yang di sana sudah ada seseorang menunggunya. Sekali lagi ia melirik si murid berandal yang juga menatap ke arahnya. Dan siswa tersebut terlihat sedikit cemas dan segera meninggalkan ruangan tersebut setelah berpamitan pada Pak Suryo.

Dan dengan itu ia dapat mengira siapa pelakunya.

***

Keadaan esok hari pun berubah drastis. Siswa berandal dengan kulit gelapnya mulai diintimidasi dan dicemooh oleh hampir semua murid di sekolah itu juga guru-guru di sana. Namun mereka tidak sadar bahwa mereka juga hampir melakukan kecurangan sewaktu ujian. 

Karena penasaran, banyak dari mereka yang mengintip ruang konseling yang di dalamnya terdapat guru konseling dan juga si siswa berandal. Beberapa anak yang menyebarkan kunci jawaban menunjuk Wendi sebagai dalang di balik penyebaran kunci jawaban itu. Dan itu memperkuat dugaan Bu Suryati. Di kanan pemuda itu berdiri ibunya yang menangisi perbuatan anaknya yang telah dianggap mencoreng nama baik keluarga, sedangkan di sebelah kirinya berdiri ayahnya dengan wajah galaknya. 

Nara yang tetap duduk di bangkunya dan membaca bukunya, mencoba untuk tidak peduli. Walaupun begitu, ada sedikit di hatinya yang merasa kalau ini tidak seharusnya terjadi. Walaupun ada kemungkinan juga kalau Wendi pelakunya karena Ari pun berkata bahwa akun yang menyebarkan kunci jawabannya memiliki username Wendi dengan fotonya sendiri sebagai foto profil. Kemudian Dimas, yang duduk di sebelahnya, dikejutkan dengan bantingan buku pada meja di sebelahnya.

"Gue inget! Selain cowok itu, ada satu lagi murid yang keluar dari kantor guru." Ujar Nara sambil mencengkram bahu Dimas dan menatap temannya itu. Setelah dipikirkan kembali oleh Nara, murid ber-masker yang keluar dari kantor guru di hari itu juga terasa mencurigakan.

Beranjak dari bangkunya, Nara segera menuju ruang konseling untuk memberikan pernyataan baru. Namun sudah terlambat. Ruangan itu kosong. Nara beralih menuju kantor guru. Mungkin Bu Suryati masih ada di sana. Semoga saja.

"Permisi!" Dengan tiba-tiba, Nara masuk ke dalam kantor guru dan langsung menuju meja Bu Suryati. Beliau tidak ada di sana dan hanya cangkir kopi favoritnya yang berada di atas meja wanita gempal itu. 

Ia menatap sekitar. Tidak ada siapapun di sana. Ruangan itu juga tidak disediakan CCTV. Wajar kalau Bu Suryati menuduh siswa tersebut tanpa bukti. Dan jantungnya seakan lepas begitu saja saat ada seseorang memasuki ruangan itu. Bu Suryati.

"Ada apa kamu di sini?" tanya wanita itu tajam. Ia mulai menuduh Nara yang tidak-tidak. Wanita itu mulai suka mencurigai satu per satu para muridnya.

"Saya mau bicara dengan Ibu." Ujarnya meyakinkan Bu Suryati bahwa ia tidak ada maksud buruk datang ke kantor guru.

Bu Suryati duduk di kursinya dan menatap cangkir kosong di mejanya. "Bicara apa?"

"Saya ingat waktu itu saya lihat Wendi yang keluar dari ruang guru. Mungkin itu saat Ibu lihat dia juga di ruang guru. Saya papasan dengan Wendi di depan pintu. Setelah itu, ada murid lain, 'kan yang keluar dari sini?"

"Oh, maksud kamu murid baru itu, ya?" Wanita itu berseru. "Mereka itu murid baru di sini. Mana mungkin mereka pelakunya. Mereka itu anak baik, ramah pula. Lagian mereka, 'kan baru di sini." Jelasnya terlihat senang. Bu Suryati memang menyukai murid baru tersebut karena tidak pernah membuatnya emosi. Mungkin.

Nara membisu. Ia tidak tahu lagi harus berbicara apa. Murid baru itu juga patut dicurigai. Tapi menurut info yang didapatnya, akun yang menyebarkan kunci jawaban jelas-jelas memiliki username dan foto profil Wendi.

"Hm, Bu?" Nara kembali memulai pembicaraan. "Murid baru itu mulai dari kapan masuk sekolah ini?" 

"Oh, belum resmi jadi murid di sini, sih. Mungkin akan masuk mulai semester baru nanti." Dengan itu pula mengakhiri pembicaraannya dengan Bu Suryati. Tanpa ia menyadari satu hal penting.

***

Nara sampai di kediaman Wendi. Ia datang bersama dengan Dimas, sahabatnya. Langit sudah mulai menggelap dan angin malam sudah mulai berhembus, membekukan suasana mereka. 

Di rumah itu, tepat di pagarnya yang berwarna hitam, ada sebuah papan yang terlihat baru, bertuliskan "DIJUAL" dengan spidol yang ditulis dengan asal. Kemudian datanglah seorang wanita tua menghampiri mereka dan mengatakan bahwa si pemilik rumah baru saja pindah beberapa waktu yang lalu. Nara dan Dimas pun pulang setelah mengucapkan terima kasih atas informasinya pada wanita itu.

Nara sampai di rumahnya saat jam dinding di sana menunjukkan pukul tujuh malam. Untung saja ayahnya sedang tidak ada di rumah hari ini hingga besok dan ia bebas melakukan apapun sekarang. Merasa tubuhnya lengket, pemuda itu melangkah menuju kamar mandi setelah melepas sepatu dan menyimpan tasnya di kamar. Membersihkan seluruh tubuhnya dari keringat yang menempelinya terus sejak siang tadi. Selesai mandi, ia keluar dan mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur.

Hari ini Andi tidak ada di rumah, jadi ia bisa dengan bebas menonton televisi yang selalu dijajah oleh ayahnya itu untuk menonton berita. Sebelum menuju ke ruang tengah, tempat TV disimpan dengan sofa coklat pudar di hadapan benda hitam persegi panjang itu, Nara melangkahkan kakinya ke dapur untuk mengambil cemilannya di refrigerator dan membawanya ke ruang tengah dengan ponsel dan charger di tangan satunya lagi.

Hanya beberapa langkah untuknya bisa sampai ke ruang tengah dari dapur. Hanya di pisahkan oleh ruang makan. Ia menyimpan sepisin kuenya di atas meja dan men-charge ponselnya yang mati sejak sore tadi. Setelah itu, ia pun duduk bersandar di sofa. Nara menekan tombol remote untuk menyalakan TV dan muncullah sebuah acara berita begitu layar itu baru menyala. Itu statiun televisi yang sering ditonton ayahnya, yang hampir seluruh program acaranya mengenai berita.

Saat akan memindahkan stasiun TV, ponselnya pun bergetar dan Nara pun lebih memilih memeriksa ponselnya. Dilihatnya ada beberapa notifikasi dari media sosial yang ia gunakan. Ia pun membuka notifikasi tersebut dan mendapati beberapa pesan di sana. Sekitar sepuluh lebih dari grup kelasnya dan enam dari akun bernama Wendi. Namun saat ia hendak mengklik pesan yang dikirim Wendi, terdengar kehebohan dari TV dan Nara refleks melirik benda persegi di depannya.

Berita saat itu menunjukkan sebuah video amatir memperlihatkan sebuah mobil yang benar-benar hancur. Ia tidak dapat mengenali tempat kecelakaan itu dan mobil siapa itu. Mata Nara masih terpaku pada adegan dalam berita tersebut ketika beberapa orang membopong seseorang dengan seragam putih-abu yang bercampur noda merah dari dalam mobil. Wajah korban tersebut pun bersimbah darah. Ia merasa harus melihat berita itu sampai tuntas. Entah kenapa. Dan matanya mulai membelalak saat si pembaca berita di latar menyebutkan bahwa korban dengan seragam SMA itu bernama Wendi Nugiantara dan juga SMA yang ditempatinya. Itu Wendi yang ia kenal. Ia semakin merasa bersalah begitu tahu Wendi dinyatakan meninggal. Segera Nara membuka pesan yang dikirimkan oleh Wendi dan membaca isinya.

"Maaf klo gw udh kejam sma lu dr dulu"

"Yg nyuri kunci jwban"

"Bkn gw pelakunya"

"Gw tw siapa pelakunya"

"Tp dia ngncem gw"

"Dia itbkurkf gstu"

Ia berpikir keras. Apa maksud dari pesan terakhir itu? Pesan itu terlihat terburu dan tidak teliti. Seperti Wendi sedang tidak fokus pada pesannya. Dan ia dapat menyimpulkan bahwa pada saat Wendi mengetik pesan untuknya tersebut, kecelakaan itu terjadi. Lalu beberapa menit setelah Nara sibuk memikirkan opininya, satu pesan masuk dari akun yang sama.

"Permainan dimulai."