Chereads / TSUIN (ツイン) / Chapter 6 - Putih

Chapter 6 - Putih

Angin di pagi hari saat itu menggoyangkan ribuan helai rambut putih milik seorang pemuda di depan kelas. Semua murid di sana sontak menatap aneh padanya sejak pemuda itu baru saja memasuki ruang kelas yang akan menjadi kelas barunya. Ia tersenyum. Sudah dapat mengira akan reaksi dari teman-teman barunya. Toh, rambutnya memang berwarna putih. Bukan hasil dari hair bleaching seperti orang-orang pada zaman sekarang. Ia juga tidak peduli kalau nanti akan mendapatkan bullying. Pemuda itu hanya ingin mempertahankan rambut alaminya yang menurutnya memiliki kenangan tersendiri baginya.

Murid-murid di kelas itu mulai bertanya macam-macam. Namun untungnya sang guru dengan bijaksana menghentikan sesi tanya tersebut karena ingin segera memulai pelajarannya.

"Bangku kamu yang ada di belakang sana." Sang guru menunjuk bangku kosong yang ada di paling belakang, dekat dengan jendela. Bangku itu sudah ditambahkan pagi tadi oleh petugas piket sekolah ke dalam kelas tersebut.

Si murid baru, yang mengaku bernama Alvin Eiji, melirik bangku kosong tersebut dan tanpa sengaja ekor matanya menangkap seorang pemuda yang tengah menatapnya tajam. Seakan-akan mencoba untuk mengorek informasi tentangnya hanya dengan menatapnya. Pemuda berambut putih itu pun memalingkan wajahnya kepada pria paruh baya yang juga menatapnya, kemudian mengangguk sebelum akhirnya kakinya melangkah membawanya ke bangku yang akan ia tempati.

Sembari melangkah menuju bangkunya, matanya melirik kembali pemuda berambut coklat itu yang terus menatapnya tajam. Ia tersenyum untuk menanggapi tatapan pemuda itu, dan berlalu begitu saja. 

***

"Alvin, kamu orang Jepang, ya?" Tanya seorang gadis dengan rambut sebahunya yang diselipkan ke belakang telinga. Setelah ia pernah ditolak Nara, gebetannya yang dulu, ia ingin mencoba mendekati Alvin. Walaupun pemuda itu terlihat aneh, setidaknya wajahnya begitu manis dengan kulit putih pucat dan bibir peach-nya. Jangan lupakan matanya yang sayu itu.

Alvin, yang semula melamunkan sesuatu, menoleh ke arah gadis tersebut kemudian tersenyum. "Aku blasteran. Ayahku dari Jepang." Jawabnya ramah.

Gadis itu mengangguk untuk menanggapinya. Ia merasa Alvin adalah orang yang menarik. "Oh, ya. Namaku Mawar. Salam kenal, ya!" Ia mengulurkan tangannya untuk bisa menjabat tangan Alvin. Dan pemuda itu membalas jabatan tangannya.

Mawar duduk di kursi di sebelah Alvin dan terus tersenyum pada pemuda itu. Alvin tidak merasa risih sama sekali jika gadis itu ingin mendekatinya. Namun, sebenarnya ia tertarik pada seseorang yang ada di kelas yang sama dengannya saat ini. Dan sepertinya Mawar akan sedikit mengganggu.

Ekor matanya menangkap pergerakan Nara bersama teman sebangkunya. Ia sudah mengenal pemuda itu dan ia juga sering mendengar kisahnya dari guru-guru yang membantunya mengurusi berkas kepindahannya. Sebelumnya pun, ia beberapa kali berpapasan dengan pemuda itu.

Di sisi Nara, ia sudah bisa merasakan kalau murid baru itu terus menatapnya dari arah belakang bangkunya. Bangkunya sendiri berada di tengah-tengah kelas. Ia pun bangkit dari duduknya bersama Dimas karena pemuda tersebut sudah merasa lapar. Kemudian mereka berangkat menuju kantin beberapa detik setelahnya.

Ia berjalan berdampingan dengan Dimas yang lebih tinggi darinya. Mereka berdua masih membisu dan sibuk dengan pikirannya masing-masing namun masih dengan topik yang sama. Karena sibuk dengan pemikirannya, hingga mereka tidak merasa sudah berada di depan pintu kantin yang sudah penuh dengan murid-murid yang ingin mengisi perut mereka.

Mata Dimas menemukan satu meja kosong, lebih dari cukup hanya untuk mereka berdua. Dengan cepat, keduanya pun melangkah menuju meja itu sebelum ditempati orang lain.

Dimas duduk di kursinya dan Nara yang akan memesan makanan serta minuman mereka. Setelah Nara sudah berada di antrian, seorang gadis datang menghampiri Dimas di mejanya. Gadis itu bersama dengan si penghuni baru kelas mereka.

"Dimas, boleh duduk di sini, ya? Soalnya nggak ada meja kosong lagi." Ucap Mawar yang berdiri di sebelahnya. Sebelum menjawabnya, Dimas menatap Mawar dan Alvin terus bergantian. Namun yang lebih menarik perhatiannya adalah cara pemuda berambut putih itu tersenyum, dan orang-orang yang mulai menatap ke arahnya.

Ngomong-ngomong, Dimas ingat pernah bertemu dengan Mawar sebelumnya di gedung olahraga yang lama. Ia masih sedikit mencurigai gadis tersebut. Dimas akhirnya mengangguk. Toh, kasihan juga. Mereka kesini untuk makan dan bukan untuk mencari masalah dengannya.

"Yay! Alvin tunggu di sini, ya. Aku yang pesenin." Ujar gadis itu, kemudian berlalu pergi memesan makanan.

Tak lama setelah Mawar pergi, Alvin duduk di sebelah Dimas yang terus menatapnya melalui sudut matanya. Alvin tahu orang berkulit sedikit gelap itu mencoba mencari tahu tentangnya, sama seperti yang Nara lakukan. Alvin tidak mau seseorang yang bukan pilihannya mengetahui latar belakangnya. Tapi biarlah mereka mencari tahu sendiri tentangnya. Dan pemuda berkulit pucat itu melihat tangan yang terulur padanya.

"Dimas." Dimas memperkenalkan diri. Alvin menatapnya dan membalas jabatan tangan Dimas tanpa kembali menyebutkan namanya. Ia sudah cukup memberitahu namanya di kelas tadi pagi. Dan setelah itu mereka terperangkap di dalam kesunyian lagi.

Beberapa menit kemudian, Nara kembali dengan membawa dua piring nasi goreng dan dua air mineral di atas baki yang dibawanya. Kemudian disusul Mawar di belakangnya yang membawa dua mangkuk baso dan jus jeruk. Setelah mereka berdua sampai di mejanya, Nara duduk di hadapan Dimas, dan Mawar ikut duduk di sebelahnya tepat di hadapan Alvin.

Dari awal ia dapat melihat Mawar bersama si rambut putih menghampiri mejanya dan Dimas. Ia melihatnya dari tempatnya mengantri. 

Orang yang bernama Alvin itu terlihat misterius. Bagaimana rambutnya bisa seputih itu? Albino? Atau ada faktor lain seperti sindrom Marie Antoinette yang dapat mengubah seluruh rambut seseorang menjadi putih secara tiba-tiba?

Kini ia berada di satu meja dengan Alvin. Walaupun ia mengobrol dengan Dimas dan matanya fokus pada sahabatnya itu, ia tetap dapat merasakan kalau murid baru itu terus saja menatapnya. Entah karena apa. Ia mulai merasa risih.

"Hei, Alvin. Kok rambut kamu bisa putih 'gitu? Dicat, ya?" Tanya Mawar sambil sedikit meminum jusnya dan memakan baksonya.

Nara dan Dimas yang mulai tertarik pun melirik Alvin yang juga masih menatap Nara dengan senyumannya. Nara mengernyit heran. Apa ada sesuatu di wajahnya sehingga anak itu terus saja menatapnya?

Alvin diam sejenak untuk memikirkan penjelasan dari pertanyaan gadis di depannya. Entah ia harus berbohong atau jujur saja pada gadis tersebut. "Dari kecil sudah begini." Jawabnya pada akhirnya. Nara mulai menatapnya dengan serius. Alvin rasa ia ingin membuat pemuda itu lebih penasaran tentangnya.

"Oh. Bawaan lahir dong. Keren!" Dan Mawar bertepuk tangan pelan menunjukkan ketertarikannya tentang Alvin. "Nggak nyoba dicat warna lain?" Alvin menggeleng pelan.

"Aku nggak mau menghilangkan kenangan tentang rambutku ini."

Kenangan. Nara mulai mengira-ngira kenangan yang dimiliki Alvin, yang berhubungan dengan warna rambutnya itu. Toh, kalau Alvin memang terkena sindrom Marie Antoinette, berarti anak itu pernah merasakan penderitaan dan siksaan yang begitu menyakiti batinnya sehingga mengubah warna rambutnya menjadi begitu putih. Kalaupun bukan begitu, bagaimana rambut anak itu menjadi putih? Albino? Tapi mata dan hal lainnya terlihat seperti kebanyakan orang lainnya. Bulu matanya pun terlihat hitam kelam dan lentik. Dan ia bilang kenangan. Berarti ada kisah di balik putihnya rambut pemuda itu.

"Nara, kok nggak dimakan nasi gorengnya?" Tanya sebuah suara di sebelahnya. Padahal ia sedang sibuk menganalisa si murid baru yang masih saja menatapnya. Nara tersenyum pada gadis itu dan mulai memakan makanannya. Ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu istirahatnya juga.

Gadis itu mulai sok perhatian pada Alvin, dan pemuda yang diberi perhatian olehnya itu hanya membalasnya dengan ramah seperti biasa, sedangkan Nara dan Dimas mengabaikannya. Namun Mawar mulai beralih pada Nara karena gadis itu berpikir bahwa Nara mungkin merasa cemburu. Apanya? Dari gelagatnya saja tidak ada yang menunjukkan kalau Nara cemburu.

"Nara, itu ada noda di pipi." Dan dengan sangat perhatiannya ia mengambil tisu dan membersihkan pipi Nara.

"Makasih." Nara tersenyum dan menatap Mawar. Bagaimana, ya? Ia hanya tidak ingin menyakiti seorang gadis dengan mengusirnya, tapi ia merasa tidak nyaman kalau ada orang lain yang ikut bergabung dengannya dan Dimas. Ia jadi tidak bisa membahas sesuatu dengan sahabatnya itu.

Tanpa disadari oleh ketiga orang lainnya, ada satu orang yang kehilangan senyumnya sejak gadis itu mulai memperhatikan Nara.

***

Sejak jam istirahat tadi, Mawar selalu menempel pada Alvin dan mulai ber-modus ria pada pemuda berkulit pucat tersebut. Alvin tidak keberatan sebenarnya asal gadis itu tidak mengganggu kegiatannya. Dan mereka berdua pun sudah saling bertukar nomer ponsel. Inginnya, sih, Mawar mendapatkan akun sosial media pemuda incaran barunya itu, tapi Alvin bilang bahwa ia tidak memiliki akun sosial media apapun. Bohong sebenarnya. Yah, Mawar jadi harus menyiapkan pulsa yang banyak untuk mengirim pesan pada pemuda itu. Butuh perjuangan juga untuk suatu pendekatan.

Kini Alvin sudah mengemasi buku-bukunya ke dalam tasnya, hendak pulang. Bukan pulang ke rumah sebenarnya, ia harus pergi ke suatu tempat. Namun gadis yang sejak siang tadi selalu menempel padanya mengajaknya pulang bersama. Alvin menolaknya dengan lembut. Namun gadis itu tetap memaksanya.

"Cuma sampai halte aja, kok!" Paksanya sambil memegang lengan Alvin. Pemuda berambut putih itu hanya diam dan menatapnya sebelum akhirnya mengangguk pelan. Sehabis dari halte, ia harus segera pergi ke tempat tujuannya.

Alvin menyampirkan tasnya di bahunya dan melangkah keluar bersama Mawar di sampingnya. Nara yang melihat mereka baru saja keluar kelas segera menyampirkan tasnya juga dan mengikutinya. 

Berusaha untuk terlihat natural, Nara dan Dimas berjalan perlahan dengan santai. Namun, matanya tidak pernah ia alihkan dari kedua siswa dan siswi di depannya. Ini masih di area sekolah, ia akan berusaha untuk tidak terlihat mencurigakan. Jangan sampai pemuda putih itu tahu bahwa ia mengikutinya.

Hingga mereka melangkah keluar gerbang sekolah dan melangkah menuju halte, Mawar meminta Alvin untuk menemaninya sampai bis yang menuju ke arah rumah gadis itu datang. Alvin hanya mengangguk dan diam-diam menghela nafas lelah. Jadilah mereka berdua pun hanya duduk di kursi yang disediakan di halte, dan Mawar kembali berbicara pada Alvin tentang dirinya sendiri. Jujur saja, Alvin tidak peduli.

Kedua penguntit itu masih menatap mereka dari kejauhan. Ia berpura-pura memainkan ponselnya sambil bersandar pada pagar pembatas sebuah gedung yang tidak jauh dari halte. Untuk sekarang, Alvin tidak terlihat mencurigakan. Anak itu terus menanggapi obrolan Mawar dengan ramah. Anak itu juga mengabaikan tatapan aneh orang-orang yang juga duduk di halte maupun berlalu-lalang. Telinga pemuda tampan itu tidak dapat mendengar pembicaraan dari keduanya karena memang jarak mereka yang berjauhan dan suara jalanan yang bising. Tapi ia masih bisa melihat gelagat si rambut putih.

Bis datang, dan Mawar pun beranjak untuk menaiki bis tersebut. Gadis itu melambai ke arah Alvin dan dibalas pula oleh si pemuda berambut putih. Setelah itu pun, Alvin menghilangkan senyumannya dan beranjak dari sana. Melangkah menjauhi halte menuju suatu tempat. Nara ikut beranjak dari tempatnya untuk membuntuti Alvin.

Setelah sekitar setengah jam mengikuti, Alvin pun berhenti di depan gerbang sebuah gedung, kemudian masuk ke dalamnya. Nara dan Dimas yang masih mengikutinya pun mulai penasaran dan berhenti di depan gerbang tersebut. Ada banyak orang berpakaian putih di dalam sana. Seperti seorang perawat. Didongakkan kepalanya untuk dapat melihat tanda nama yang tertera di atas gerbang masuk gedung tersebut.

"Rumah Sakit Jiwa?" Gumam Nara dan beralih menatap ke dalam RSJ tersebut. Ia bertanya-tanya, untuk apa Alvin memasuki rumah sakit ini? Mereka memutuskan untuk membuntuti Alvin lagi dan mencoba untuk memasuki RSJ tersebut.

Alvin seperti memasuki gerbang RSJ tersebut sambil tersenyum pada satpam yang menjaga gerbang. Terlihat seperti mereka sudah saling akrab. Nara dan Dimas pun menghampiri satpam berkumis tebal itu dan memberikan beberapa pertanyaan mengenai alasan Alvin datang ke tempat itu juga untuk meminta izin memasuki area rumah sakit. Namun pria berusia 40 tahunan itu enggan untuk memberitahu mereka karena merasa hal tersebut melanggar privasi. Kedua pemuda remaja itu bersitatap dan akhirnya menyerah. Memang mereka tidak seharusnya mencampuri urusan orang lain. Mereka harus menghargai privasi seseorang. Tapi, hei, mereka ke tempat itu juga untuk mencari tahu siapa Alvin sebenarnya, dan Nara merasa mencari tahu alasan Alvin ke RSJ adalah hal yang sangat penting.

***

Pagi nan cerah untuk mengawali sekolah hari itu. Nara menopang dagunya dan menatap ke arah luar jendela. Terlihat langit biru dan dahan pohon yang bergoyang tertiup angin.

"Alvin!" Telinganya menangkap suatu suara seorang gadis. Kemudian gadis itu melangkah mendekati sosok yang tengah berjalan menuju bangkunya, yang selama ini dicurigai oleh Nara dan sahabatnya.

Mata Nara kini beralih menatap dua orang yang tengah melangkah menuju belakang kelas, ke bangku pemuda putih itu. Otaknya masih bertanya-tanya, urusan apa yang Alvin miliki di Rumah Sakit Jiwa? 

Alvin duduk di bangkunya, telinganya masih mendengarkan cerita Mawar sejak dirinya baru saja datang ke kelas tersebut. Jujur saja ia merasa bosan. Tidak ada yang menarik dari diri Mawar maupun kisahnya. Sudah pernah dikatakan, bukan? Kalau ia tertarik pada seseorang di kelasnya saat ini. Bukan ketertarikan seperti dalam hubungan romansa. Ada hal lain yang membuatnya tertarik pada orang tersebut.

Bel berdering tiga kali menandakan jam pelajaran sudah dimulai. Seluruh siswa maupun siswi yang berada di luar kelas pun segera memasuki kelasnya masing-masing dan duduk dibangkunya. Dan beberapa detik selanjutnya, seorang pria berumur tiga puluhan memasuki kelas tersebut. Kacamata yang bertengger di hidungnya ia benarkan karena sedikit melorot. Ditatapnya satu per satu murid-murid di kelas tersebut dari depan kelas, dan yang ditatap pun hanya diam tanpa kata. Terlalu takut untuk bersuara karena mereka sangat mengenal pria yang kini tengah berdiri di depan kelas dengan seringaiannya.

Namanya Guntur. Seorang pria berumur tiga puluh tahunan dan masih single. Dan kebanyakan murid membencinya. Bukan karena ia seorang guru killer. Beliau memang baik dalam memberi nilai, tapi ia selalu memberikan satu atau lebih syarat jika ada murid yang ingin mendapatkan nilai yang bagus.

Harus rela ia 'apa-apakan'.

Seorang murid pernah melaporkannya pada guru-guru lain di sekolah. Namun mereka tidak akan percaya jika tidak ada bukti. Mereka hanya tahu Pak Guntur adalah orang baik dan ramah. Seorang murid juga pernah mengambil video saat pria itu tengah melakukan hal yang 'tidak-tidak' pada seorang siswi di mata pelajarannya, untuk bukti. Namun Pak Guntur dengan cepat dapat melihatnya dan langsung menyita ponsel murid tersebut kemudian ia laporkan pada guru BK atas pelanggaran "Memainkan Ponsel di Jam Pelajaran". Alhasil orangtua murid tersebut dipanggil ke sekolah untuk mengambil ponsel anaknya serta menegur murid tersebut keras. Tentu saja, video yang terekam sudah dihapus.

Mata Pak Guntur diedarkan ke penjuru kelas, menatap satu per satu murid-murid di kelas tersebut. Dan matanya berhenti pada seseorang berambut putih di pojok belakang yang menatapnya dingin.

"Oh, ada murid baru, ya!" Ucapnya. Dan yang dibicarakan tidak menunjukkan balasan yang berarti. "Alvin, 'kan?" Dan ia tersenyum miring. "Alvin Eiji, yang bapaknya itu pengusaha di Jepang. Dan ibu kamu itu ada di RSJ sekarang karena depresi dan gila. Nama kamu sebelum akhirnya dibawa bapak kamu itu…" Pak Guntur semakin menyeringai, senang melihat Alvin tertunduk suram. Ia ingin melihat anak itu semakin emosi. Sebelum ia melanjutkan kalimatnya.

"Alvin Andrea, 'kan?"

BRAK!

Dan terdengar gebrakan meja yang keras. Semua terkejut saat mendengar suara keras tersebut dan melirik sumber suara yang berasal dari tengah-tengah barisan meja. Bukan berasal dari meja pemuda berambut putih tersebut, yang kini pun sama terkejutnya dengan yang lain.

Alvin menatap Nara yang berdiri sambil menundukkan kepalanya. Wajah pemuda bermata sayu itu tidak segelap sebelumnya. Mata pemuda itu lebih terlihat penuh harapan yang ia berikan pada Nara. Perasaan Alvin pun lebih baik dari sebelumnya.

Si pelaku penggebrakan meja itu adalah Nara. Terlihat nafasnya yang tidak teratur dari cara bahunya yang naik-turun. Entah kenapa ia merasa sangat marah pada Pak Guntur karena pria itu membicarakan hal buruk tentang Alvin. Ada sesuatu di dalam dirinya untuk membela anak itu.

"Ada apa, hah?" Tanya Pak Guntur dengan intonasi yang rendah untuk mengintimidasi Nara, namun pemuda itu sama sekali tidak merasa terintimidasi. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Dimas yang berada di sebelahnya menatap khawatir sahabatnya itu. Ia pun menyentuh bahu Nara dan meremasnya pelan. "Nara, lu kenapa?" Tanya pemuda berkulit tan itu. Namun Nara masih membisu dan nafasnya masih tidak teratur. "Na-"

"Bapak nggak seharusnya bicarain hal buruk tentang orang lain!" Seru Nara tiba-tiba.

Dimas tersentak. Nara benar-benar membela Alvin. Padahal yang Pak Guntur bicarakan juga termasuk informasi, 'kan? Walaupun pemberitahuannya bukan dengan cara yang baik.

Pak Guntur sendiri pun saat ini terkejut. Ia tidak menyangka ada muridnya yang berani melawannya. Tangannya mengepal kencang. Marah karena ia merasa sedang diceramahi oleh orang yang jauh lebih muda darinya. Yang jauh lebih 'rendah' darinya. Ia merasa direndahkan.

"Kamu berani melawan saya?!" Teriaknya marah. "Saya ini guru kamu, lho!"

Dan suasana kelas itu pun terus menyuram. Para murid di kelas itu mulai merasa khawatir kalau Nara akan diperlakukan buruk oleh Pak Guntur.

Pria yang menjabat sebagai guru Kimia itu mulai menghampiri Nara, kemudian mencengkram kerah kemeja pemuda populer tersebut. Ia melototi mata Nara yang tertutupi poninya yang jatuh menghalangi matanya. Namun ia tahu, Nara pun balas menatapnya tajam. Lalu ia mulai kembali tersenyum miring saat sebuah ide muncul di otaknya.

"Kamu mau nilai kamu di rapor kosong?" Ancam Pak Guntur sambil mengeratkan cengkraman tangannya pada kerah Nara. Ia percaya bahwa dengan mengancam nilai para muridnya, ia bisa mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Dan selama ini selalu berjalan seperti itu dengan lancar. Menurutnya.

Nara tetap membisu dan masih  menatap Pak Guntur tajam. Nafasnya mulai stabil. Namun tatapannya masih gelap. Kepalanya terasa sangat sakit, dan entah kenapa seperti ada bayangan-bayangan yang muncul di pikirannya. Seperti klise foto yang tidak berurutan.

Pak Guntur tetap mengancamnya dan Nara pun masih menatap tajam ke arahnya. Pria itu sudah muak. Ia mengangkat tangannya tinggi dan menampar Nara menciptakan suara yang begitu menyakitkan. Namun Nara tetap diam, walaupun Pak Guntur kembali menamparnya.

Dimas mulai beranjak, ingin menolong sahabatnya itu. Namun saat Pak Guntur sekali lagi menampar Nara dengan keras, tiba-tiba saja pintu kelas terbuka. Memunculkan seorang siswa dan seorang pria tua bertubuh gempal. Wakil Kepala Sekolah.

"Apa yang Pak Guntur lakukan?!" Tanya Pak Wakepsek keras. Ia tidak menyangka ada seorang guru di sekolahnya yang melakukan kekerasan pada muridnya. Beliau mendekati Pak Guntur yang terkejut karena kedatangan pria tersebut dan melepas cengekeraman tangannya pada kerah Nara. Kemudian ia menatap tajam pada siswa yang berdiri di belakang Pak Wakepsek. Dirinya berjanji akan membalas perbuatan siswa tersebut.

"Saya mendapat laporan tentang perbuatan buruk Bapak terhadap murid, dan sekarang saya melihat sendiri buktinya!" Pria beruban itu menunjuk-nunjuk wajah Pak Guntur. Sedikit merasa emosi dan juga bersalah pada murid-murid di kelas itu karena dibuat tidak nyaman atas tindakan seorang guru di sekolahnya.

Pak Guntur berkeringat dingin. Ia sudah tertangkap basah. Tapi ia juga merasa harus membela diri. Jelas saja. Ia tidak mau disalahkan. Selama ini ia bisa hidup bersenang-senang dengan mempermainkan para muridnya, seperti ia yang mengendalikan nasib para murid tersebut. Mendekati beberapa siswi dan berkencan dengan mereka dengan iming-iming akan memberikan nilai yang bagus di ujian maupun di rapor. Namun sekarang, ia tidak bisa melakukan kebiasaan buruknya itu. Bahkan untuk memikirkannya saja tidak sempat. Yang ada di pikirannya saat ini adalah cara membela diri untuk terhindar dari masalah yang ia perbuat sendiri. Tidak, ia tidak mengakui bahwa itu adalah kesalahannya. Itu kesalahan Nara.

"Saya hanya membela diri, Pak! Anak ini sudah melawan saya!" Katanya sambil menunjuk Nara yang masih berdiri dan menatapnya.

Pak Wakepsek menggelengkan kepalanya pelan. Ia juga sudah mendapatkan banyak laporan dari murid-murid sekolah itu bahwa Pak Guntur sudah melakukan perbuatan yang tidak baik terhadap murid-muridnya. Ia sekaligus merasa senang karena para murid dapat mengandalkannya. Dapat berpikiran terbuka padanya.

"Saya sudah mendapat banyak laporan tentang perbuatan buruk Bapak. Sekarang ikut saya ke kantor." Dan dengan itu Pak Wakepsek berlalu meninggalkan kelas tersebut.

Pria berumur tiga puluh tahunan itu mencengkram tangannya kuat. Giginya bergemelatuk karena menahan amarahnya yang besar. Kemudian ia menatap Nara, melototinya. Mencoba memberinya ancaman dengan tatapan mata dan berusaha memberitahu Nara bahwa ia akan membalasnya. Dan tanpa kata ia meninggalkan ruang kelas itu, mengikuti Pak Wakepsek ke ruangannya.

Terdengar helaan nafas lega dari murid-murid di sana. Mereka bersyukur dan berterima kasih pada Ketua Kelas yang sudah diam-diam kabur dari kelasnya dan mendatangi Wakil Kepala Sekolah ke kelas mereka di saat yang tepat. Dan mereka pun merasa khawatir pada Nara, takut-takut siswa populer itu akan lebih diperlakukan buruk di kemudian hari oleh Pak Guntur. Lalu mereka mulai teringat pada si murid baru.

Bisik-bisik mereka membicarakan Alvin. Mereka tidak menyangka latar belakang Alvin yang seperti itu. Merasa miris juga. Namun beberapa dari mereka tersenyum meremehkan. Toh, Alvin sudah dicap sebagai murid aneh dengan rambut putihnya. Sekarang ia semakin dicap aneh karena omongan dari Pak Guntur tentang ibunya.

"Kalian percaya sama yang diomongin Pak Guntur?" Tanya Nara pelan, namun mengintimidasi. Seketika mereka berhenti berbisik dan mulai menatap Nara. "Kalian tahu sendiri kalau Pak Guntur sering ngomong yang nggak-nggak buat ngejatuhin kita, 'kan? Kenapa sekarang kalian percaya sama dia dengan gampangnya?"

Dimas kembali merasa khawatir pada Nara. Sahabatnya itu berbeda dari biasanya. Tapi ia tidak ingin menyalahkan siapa-siapa walaupun hatinya sebenarnya menyalahkan Alvin. Karena sejak Pak Guntur membicarakan Alvin, sahabatnya itu mulai bersikap berbeda dari biasanya.

"Ugh!" Dan Dimas semakin khawatir saat Nara terduduk di bangkunya sambil memegangi kepalanya. Ini terjadi kedua kalinya setelah kejadian di konser Quinn's Blood Sabtu kemarin.

Mereka yang ada di kelas itu pun mulai merasa bersalah. Benar yang diucapkan Nara. Tidak seharusnya mereka mempercayai omongan Pak Guntur. Jika mereka mempercayai ucapan pria itu, sama saja mereka mendukungnya. Mereka tidak mau mendukung setiap tindakan dan omongan dari Pak Guntur.

Alvin yang sedari tadi terdiam, menatap Nara. Ia merasa berterima kasih pada pemuda itu karena sudah membelanya. Dan ia pun tersenyum dengan tulus.

***

Sekolah usai. Para murid pun mengemasi buku-buku mereka ke dalam tas dengan semangat. Waktu sekolah usai adalah waktu yang paling dinanti-nantikan oleh mayoritas anak sekolahan.

Nara pun demikian. Ia ingin cepat-cepat pulang, kemudian mengistirahatkan kepalanya. Hari ini kepalanya terus terasa nyeri, seiring dengan bayangan-bayangan yang muncul di otaknya. Entah bayangan tentang apa itu. Taman bermain, ayunan, langit jingga, dan seorang bocah berambut hitam kelam membelakanginya. Siapa anak itu? Ia merasa sangat dekat dengan bocah tersebut, namun ia sama sekali tidak ingat tentangnya. Ia merasa aneh. Diingat-ingat lagi, sebagian kenangan masa kecilnya, terutama saat dirinya berumur tujuh hingga sembilan tahun, seperti menghilang. 

Dimas memperhatikan Nara. Sahabatnya itu terlihat lesu hari ini, wajahnya pun pucat. Sebelumnya mereka sempat ke UKS sekolah untuk meminta obat sakit kepala pada guru yang menjaga ruangan itu. Namun itu hanya berefek sedikit dan masih menyisakan banyak rasa sakit. Mungkin Nara harus ke rumah sakit?

Sekolah mulai sepi, namun masih ada beberapa murid yang berada di sana. Seperti orang-orang yang sedang bermain basket di lapangan yang ada di tengah-tengah gedung sekolah itu. Tepat di hadapan Nara dan Dimas.

Pemuda berambut kecoklatan itu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi di koridor, lalu menutup matanya dan mengambil nafas terus-menerus dengan teratur. Mungkin dengan itu bisa mengurangi rasa sakit kepalanya. 

Ketika sakit di kepalanya sudah mulai reda, ia membuka matanya dan menatap gedung di seberang lapangan. Entah matanya yang salah lihat, matanya menangkap sekelibat siswa dengan surai putih di lantai tiga. Nara mengernyitkan dahinya. Di lantai tiga hanya ada laboratorium IPA, komputer, juga ada ruangan memasak dan seni. Dan ruangan-ruangan itu tidak diizinkan untuk dipakai para murid di luar jadwal kelas maupun setelah sekolah usai.

Jelas ia tahu seseorang yang ia lihat. Siswa dengan rambut putih hanya ada satu di sekolah ini. Nara berdiri dari duduknya dan melangkah cepat menuju gedung di seberangnya, walaupun kepalanya masih terasa sedikit sakit. Ia menaiki tangga menuju lantai atas, dan terus menapaki anak tangga sampai ia dihentikan oleh suara Dimas yang memanggilnya. Pemuda itu berhenti melangkah saat dirinya sudah berada di lantai dua, hendak naik ke lantai tiga. Ia menoleh ke belakang dan melihat Dimas menghampirinya.

"Ada apa?" Tanya Dimas, menatap Nara. Yang ditanya tidak langsung menjawab dan malah mendongak. Sebelum akhirnya ia kembali menatap Dimas.

"Gue lihat murid baru itu di lantai tiga." Ujarnya pelan. Dimas terdiam. Ia tahu peraturan sekolahnya bahwa para murid dilarang berada di lantai tiga setelah sekolah usai. Namun ia berpikir kalau Alvin hanya belum tahu tentang peraturan tersebut. Tapi ia juga penasaran tentang yang dilakukan pemuda berambut putih itu di lantai tiga.

Dimas mengangguk dan mulai melangkah mengikuti Nara yang sudah terlebih dulu menaiki tangga menuju lantai tiga. Begitu mereka sudah berada di anak tangga terakhir, seseorang memergoki mereka.

"Ngapain kalian?" Seorang pria dengan kacamatanya mendekati mereka. Nara dan Dimas menoleh ke belakang, mendapati seorang pria yang pagi tadi menamparnya. Itu Pak Guntur.

Mereka heran kenapa Pak Wakepsek membiarkan pria dengan kepribadian buruk itu masih ada di sekolah ini. Kedua siswa itu pikir bahwa Pak Guntur akan diberhentikan. Namun nyatanya orang itu masih terlihat di sekolah ini.

"Oh, Nara." Bibirnya pun tertarik membuat sebuah senyum meremehkan. Pak Guntur menaikkan dagunya dan menatap Nara rendah. Inginnya ia melakukan pembalasan dendam kepada Nara. Tapi itu bisa dilakukan nanti. Saat ini, ia ada keperluan dengan salah satu murid kesayangannya dan gadis itu sedang menunggu di laboratorium IPA. Gadis itu bisa masuk ke lab. IPA pun karena seizin guru kimia tersebut yang membayar petugas piket sekolah untuk tutup mulut. 

Di tengah-tengah suasana mengintimidasi tersebut, Alvin muncul dari lantai tiga dan hendak menuju lantai bawah. Mereka berpapasan dan saling menatap, dan Alvin tersenyum ke arah Nara. Kemudian ia beralih menatap Pak Guntur dan menghilangkan senyumannya.

Pak Guntur berdecak dan kembali melangkah dengan sengaja menyenggol bahu Alvin. "Ingat baik-baik. Saya masih punya urusan sama kamu!" Ancamnya, kemudian berlalu pergi.

Ketiga siswa kelas pertama itu terdiam dan menatap punggung Pak Guntur yang mulai memasuki sebuah ruangan di paling ujung koridor. Di situlah ia melihat siswa baru ini, berjalan memasuki ruangan itu.

Alvin berlalu. Nara dan Dimas saling bertatapan dan memikirkan tentang langkah selanjutnya. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang saja. Toh, kepala Nara juga masih sedikit terasa nyeri. Jadi ia harus kembali ke rumah secepatnya dan mengistirahatkan kepalanya. Biar saja ia mencari tahu besok.

Namun seorang siswi tiba-tiba menuruni tangga dengan tergesa membuat Nara kembali dilanda penasaran. Ia dan sahabatnya masih berada di lantai dua, hendak turun ke lantai satu, dan gadis itu baru saja turun dari lantai tiga. Wajah gadis itu pun terlihat memerah dan seperti hendak menangis dengan penampilan yang sedikit berantakan. Dan Nara mulai dapat berasumsi bahwa Pak Guntur-lah yang membuat siswi tersebut seperti itu dan melakukan hal-hal yang bahkan ia saja merasa jijik untuk membayangkannya. Pria itu sudah keterlaluan. Ia bahkan heran kenapa Pak petugas piket bisa bertingkah biasa saja dan membiarkannya.

Dengan berbagai pemikiran di kepala, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Tapi entah kenapa Dimas merasa aneh pada Nara, karena sebelumnya pemuda itu dengan keras membela si rambut putih hingga berani melawan seorang guru. Sekarang? Dimas menautkan alisnya heran. Kenapa anak itu tidak membela siswi yang barusan melewati mereka sambil menangis? Padahal sumber masalahnya berada di orang yang sama.

***

Esoknya, hari terlihat mendung. Matahari pun enggan menunjukkan diri dan bersembunyi di balik awan-awan kelabu di langit sana. Menyembunyikan diri dari kemunafikan bumi.

Nara membuka matanya yang terlihat sayu. Khas orang yang baru saja terbangun dari alam mimpinya. Alarmnya berbunyi sejak tadi. Dan dengan pelan ia mengangkat tangannya untuk meraih ponselnya di meja nakas, kemudian mematikan suara bising tersebut.

Matanya melirik. Menatap langit yang dipenuhi awan kelabu. Tanda-tanda akan turun hujan. Hanya prediksi, tapi setidaknya harus bersiap-siap kalau kemungkinan tersebut akan terjadi nanti.

Ia memasuki kamar mandi di sebelah ruang dapur, kemudian berdiri di depan cermin setelah menutup dan mengunci pintu. Ia hanya sendiri di sana, dan ayahnya sudah berangkat sejak pagi-pagi sekali. 

Pemuda itu terdiam, menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya sangat mirip dengan mendiang ibunya. Ah, ia jadi merindukan beliau. Apa beliau bangga padanya saat ini? Apa yang akan wanita cantik itu lakukan saat ia menceritakan kisahnya di sekolah? Nara tersenyum, miris. Ia sungguh merindukan ibunya. Dan terakhir ia ke makam beliau adalah saat beberapa bulan yang lalu. Tapi ia tidak tahu seberapa sering ayahnya pergi ke sana.

Ia tidak ingin menjadi lemah. Walaupun ibu tersayangnya sudah tiada, beliau masih tetap berada di sisinya. Bukan benar-benar di sisinya. Beliau ada di hati Nara.

Dengan cepat Nara menyelesaikan kegiatan membersihkan dirinya. Ia tidak ingin terlambat sekolah, namun ia juga merasa enggan untuk berangkat. Firasatnya tidak enak. Dan ia teringat dengan tragedi konser Quinn's Blood waktu itu. Ia memiliki firasat yang sama.

Sekitar 30 menit kurang Nara sudah siap untuk berangkat sekolah. Tasnya sudah ia sampirkan di bahu, jas sekolah pun sudah melekat di tubuhnya. Giginya yang mengapit selapis roti dan sekotak susu di saku jasnya. Tangannya dengan cekatan mengikat tali sepatunya. Dan dengan begitu, ia pun siap untuk menuntut ilmu hari itu. Termasuk siap dengan suatu hal yang akan terjadi nanti, karena firasat buruknya masih belum lenyap hingga sekarang.

Ia menutup pintu, kemudian menguncinya. Masing-masing dirinya dan ayahnya memiliki kunci rumah, jadi mereka bisa membawanya ke manapun. Melangkah meninggalkan rumah sederhana dengan cat putih dan kelabu itu sambil menghabiskan roti di mulutnya, kemudian beralih menyeruput susu kotak coklatnya.

Kepalanya mendongak, awan kelabu itu masih setia menyembunyikan matahari. Nara hanya bisa berdoa dalam hati untuk kelancaran sekolahnya hari ini. Bagaimana pun, ia hanya ingin sekolahnya lancar dan lulus dengan nilai bagus. Sehingga ia bisa bersekolah di universitas impiannya.

Sibuk dengan pikirannya, tak terasa kakinya sudah mengantarnya ke depan pintu gerbang. Ia menatap gedung sekolah di depannya dengan sendu. Kakinya berhenti tepat di depan gerbang yang terbuka lebar. Langit yang mendung membuat bangunan itu tampak menyeramkan.

"Hm, Nara?" panggil seseorang di saat dirinya sedang sibuk memandangi gedung sekolahnya. Kepalanya menoleh, dan mendapati pemuda berambut putih di sampingnya. Bukannya menyahut, Nara hanya memandangi Alvin dengan datar. Membisu.

Aura pemuda itu aneh. Entah hanya perasaannya saja atau memang begitu. Alvin memang terlihat ramah, namun anak itu begitu misterius di matanya. Nara masih diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Matanya hanya berfokus menatap mata Alvin, mencoba membaca sesuatu yang ada di pikirannya.

Alvin sendiri pun hanya diam di sana, berdiri sambil menatap Nara. Kemudian ia memiringkan kepalanya sedikit, dan tersenyum. "Selamat pagi." Dan Nara pun tersadar. Ia hanya mengangguk sebagai balasan. Namun itu sama sekali tidak melunturkan senyuman Alvin.

Ia mendekat ke arah Nara yang masih menatapnya dan mengajak teman sekelasnya itu untuk ke kelas bersama. Pemuda berambut coklat itu hanya diam, namun ia  menurut. Dan kini keduanya berjalan beriringan menuju kelas mereka. Tidak mengetahui bahwa di belakang mereka si pemuda tan tengah menatap lekat.

"Nara," Panggilnya lagi, pelan. Nara berdehem sebagai sahutan, tanpa menoleh sedikit pun kepada Alvin. Matanya menatap lurus ke depan. "Makasih 'udah ngebelain aku kemarin."

Nara terdiam. Ia hanya tidak tahu alasannya membela Alvin kemarin. Rasanya sesuatu seakan mengingatkannya kembali ke masa lalunya yang terlupakan. Ia masih belum ingat apa-apa tentang kisah semasa SD-nya hingga kelas tiga. Yang ia ingat hanyalah perasaannya saat itu. Memang otaknya tidak dapat mengingatnya, tapi hatinya bisa.

Pemuda itu melirik Alvin di sebelahnya, kemudian membuka suara. "Bukan berarti gue ngebela lu kemarin. Gue cuma nggak suka sama cara Pak Guntur yang ngejelekin orang lain. Jadi jangan salah paham."

Alvin  menggeleng pelan, menunduk menatap lantai. Ia pikir itu saja sudah cukup membuatnya tenang. Ini seperti yang ada di masa lalunya, ketika seseorang membelanya dari kejahatan dunia luar hanya karena ibunya. Ia menyayangi wanita itu, walaupun orang-orang selalu berkata buruk tentangnya.

Mereka berdua sampai di kelas mereka. Sudah banyak orang yang datang dan menempati bangkunya masing-masing, saling mengobrol dan bercanda. Namun firasat Nara semakin kuat. Seperti sesuatu yang buruk akan terjadi di sekolahnya dengan segera.

Selangkah Nara dan Alvin memasuki kelasnya, melewati ambang pintu yang terbuka. Sebelum seorang gadis berteriak ngeri dari suatu tempat.

Nara dengan cepat menoleh, sumber teriakan itu berada sedikit jauh dari kelasnya, dari tempatnya berdiri saat itu. Menatap sekitarnya dan menemukan Dimas yang berdiri tidak jauh darinya, sama dengannya yang mencari sumber suara. Siswa-siswi lain pun tak kalah terkejut dengan teriakan barusan, kemudian berasumsi macam-macam.

Tak lama seorang siswi berlari. Menangis dengan wajah yang begitu pucat. Seorang teman dari gadis itu pun mendekatinya dan memeluknya, mencoba menenangkan gadis yang tengah menangis ketakutan tersebut. Nara menatap mereka. Firasatnya pun semakin memburuk.

"Kenapa? Ada apa?" Tanya teman si gadis itu, namun ia hanya menangis terus-menerus. Tubuhnya bergetar. Ia masih takut. Dan semua orang penasaran dengan yang terjadi padanya.

Masih dengan senggukan, gadis itu mencoba untuk berbicara dengan suaranya yang serak. Saking ketakutan dirinya hingga tidak mampu berbicara.

"Lab- Lab. IPA." Ucapnya pelan, terbata. Senggukannya juga meredam suaranya hingga hanya seperti gumaman. "Guru... Guntur... mukanya..." Dan saat ia kembali mengingat pemandangan yang ia lihat, tangisannya kembali pecah.

Sebelumnya, gadis itu bersama seorang siswi lainnya hendak memeriksa lab. IPA untuk pelajaran pertama. Ia sudah izin pada petugas piket, namun pria itu bilang bahwa ia kehilangan kuncinya dan mengizinkan dua siswi tersebut untuk langsung ke ruangan itu karena ia pikir ruangan itu sama sekali belum dikunci oleh siapapun. Hari ini ia belum sempat ke sana karena ada beberapa hal yang harus ia lakukan, dan kemarin pun ia langsung pulang karena istrinya akan melahirkan. Jadi ia tidak sempat memeriksa lab. IPA. Dan begitu pintu lab. terbuka, salah satu siswi berteriak histeris, dan satu lainnya langsung tidak sadarkan diri di tempat karena pemandangan yang mereka lihat di dalam ruangan penuh bahan kimia tersebut.

Seorang pria dengan posisi duduk di sebuah kursi dan wajah hingga dadanya yang begitu rusak hingga menampilkan daging tanpa kulit, bahkan ada sedikit bagian tengkorak yang terlihat.

"Kamu tenang dulu. Baru bicara." Temannya mengintruksi. Walaupun gadis itu tidak mengatakannya lebih lanjut, Nara dapat mengira tentang hal yang sedang terjadi.

Ia tidak sadar bahwa kakinya sudah membawanya ke suatu tempat. Telinganya mendengar bahwa Dimas memanggilnya, dan sepertinya sahabatnya itu mulai mengikutinya. Nara hanya penasaran. Bukan tentang sesuatu yang terjadi di lab. IPA, tapi cara hal itu bisa terjadi. Dan ia pun ingin menemukan semua bukti-bukti untuknya mencari petunjuk. Firasatnya mengatakan bahwa itu ada hubungannya dengan orang misterius yang sebelum-sebelumnya selalu berhubungan dengan kasus seperti ini di sekitarnya. Orang yang mengirim pesan aneh padanya dan yang membunuh Wendi juga Ratu.

Ia sampai di gedung berlantai tiga itu. Sudah banyak orang di bawah sini, menatap ngeri ke arah lantai tiga, tepat ke ruang lab. IPA. Para guru pun berbondong mendatangi ruang tersebut untuk melihat sesuatu yang terjadi di sana. Dan beberapa menit kemudian, beberapa orang polisi datang ke sana dan langsung menuju lantai tiga gedung tersebut.

Nara semakin penasaran. Kakinya melangkah menaiki satu per satu anak tangga di depannya. Tangga-tangga itu sudah terhalang oleh beberapa murid yang juga penasaran sama sepertinya. Namun tujuannya benar-benar terhalang begitu seorang guru menutupi jalan menuju lantai tiga.

"Jangan ada yang ke lantai tiga! Semuanya masuk kelas!" Perintahnya. Namun para siswa dan siswi di sana tidak menurutinya. Mereka terus saja berdiri di sana dan menanyakan sesuatu yang terjadi di lantai atas, dan mencoba menerobos sang guru untuk dapat menuju tempat kejadian perkara.

Setelah itu, seorang guru pun menggendong seorang siswi yang tidak sadarkan diri. Itu teman dari siswi yang menangis tadi. Guru itu pun membawanya ke lantai bawah dan langsung menuju UKS.

Nara mulai memikirkan caranya untuk dapat menuju lantai atas. Ia tidak mungkin langsung menerobos pertahanan guru itu begitu saja. Ia akan mendapatkan masalah jika ia memakai cara itu. Pura-pura jadi staff sekolah? Tidak mungkin. Mereka sudah mengenalnya, mengingat wajahnya dan seperti apa dirinya. Dengan banyaknya orang seperti ini pun dapat menyulitkannya.

Speaker sekolah bersuara. Benda itu ditempatkan di setiap sudut koridor dan juga di dalam kelas sehingga seluruh penghuni sekolah dapat mendengarnya. Nara mendengar. Telinganya menangkap pengumuman dari ruang radio sekolah bahwa sekolah hari ini dipulangkan lebih awal dan beberapa hari ke depan sekolah akan diliburkan sampai kasus selesai. Beberapa murid bersorak, dan sebagian masih bingung dengan apa yang terjadi sebenarnya.

***