Chereads / TSUIN (ツイン) / Chapter 11 - Memori yang Hilang

Chapter 11 - Memori yang Hilang

Beberapa tahun yang lalu, seorang anak laki-laki berambut kecoklatan yang mirip dengan almarhumah ibunya berjalan menyusuri trotoar menuju ke rumahnya sore itu. Ia baru saja pulang dari kegiatan lesnya di sebuah tempat les yang tidak jauh dari daerah perumahan tempatnya tinggal.

Kemudian langkahnya terhenti, dan matanya menatap ke arah anak-anak sebayanya yang tengah bermain. Menatap sendu mereka.

Ia lelah. Ia juga ingin bermain dengan mereka. Melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh anak-anak sebayanya. Namun ia tidak memiliki teman. Walaupun nilainya di sekolah adalah yang tertinggi, dan ia pun populer di kalangan gadis di kelasnya, tapi ia adalah seorang anak yang penyendiri. Bukan maksudnya ingin menjauhi pertemanan, tapi ayahnya yang membatasinya dalam berteman. Ayahnya hanya akan mengizinkannya untuk berteman dengan anak dari teman ayahnya itu atau anak dari orang-orang yang pria itu kenal dengan baik. Karena pria paruh baya itu percaya bahwa jika anaknya dibiarkan sembarang berteman, anaknya itu akan dipengaruhi dengan hal-hal yang buruk oleh mereka. Terkecuali jika itu adalah anak dari temannya, ia akan mempercayainya.

Nara kecil kembali melangkah. Berusaha melupakan hal yang ia lihat tadi. Percuma saja jika ia mengharapkan hal-hal seperti itu. Ia akan tetap dipaksa untuk menuruti keinginan ayahnya.

Di sekolahnya, Nara duduk bersama seorang gadis di bangkunya. Posisi tempat duduk di kelas itu memang sengaja dibuat seperti itu. Satu bangku diisi dengan siswa dan siswi. Maksudnya agar para murid itu dapat berteman dengan siapapun, tidak memandang dari apakah dia laki-laki atau perempuan.

"Nara," Panggil gadis kecil di sebelahnya. Ia menyodorkan sebungkus kue cubit pada Nara. "Kamu mau?"

Nara menoleh dan menatapnya. Kemudian ia tersenyum tipis dan menggeleng pelan. "Nggak, makasih." Padahal ia pun ingin mencicipinya. Tapi ayahnya melarangnya untuk sembarang memakan jajanan.

"Ratu! Sini, deh!" Dan gadis di sebelahnya pun beranjak pergi menghampiri temannya yang memanggil.

Nara menghela nafasnya, dan mengeluarkan buku pelajarannya. Sebentar lagi jam pelajaran akan dimulai.

Siangnya, setelah sekolah usai, Nara mengemasi buku-bukunya ke dalam tas. Namun, suara gaduh mengusiknya dan menghentikan kegiatannya itu. Kepalanya menoleh, melihat seorang anak di kelasnya tengah dikerumuni oleh beberapa murid laki-laki di depan kelas. Wali kelas yang mengajar di kelas mereka telah keluar dari ruangan itu beberapa saat sebelum kegaduhan itu terjadi. Jadi tidak ada yang bisa menghentikan murid-murid nakal itu.

Sebenarnya, hal itu sering terjadi setiap sekolah usai. Tapi Nara mengabaikannya. Tidak. Ia hanya berusaha untuk mengabaikannya. Tapi lama-lama, ia pun tidak bisa menahannya lagi.

Langkah kakinya menuntunnya menuju kerumunan itu. Terlihat beberapa murid yang sedang mengganggu seorang bocah di kelasnya.

"Kalian jangan ganggu dia!" Nara menghadang. Menghentikan aksi anak-anak itu yang hendak mengotori anak yang diganggu dengan penghapus papan tulis yang penuh dengan serbuk kapur. "Nanti aku laporin Bu guru, loh!"

"Nara ganggu aja, ah! Nggak seru!" Dan kerumunan itu membubarkan diri.

Bocah berumur sembilan tahun itu berbalik, menatap bocah yang tengah meringkuk di lantai dengan seragamnya yang kotor karena diinjak oleh anak-anak tadi. Nara mengulurkan tangannya dan membantu anak itu untuk berdiri.

"Makasih." Ucap bocah itu pelan sambil menunduk. Tidak berani untuk menatap Nara, karena ia takut jika anak di depannya ini akan mengganggunya sama seperti yang lain.

"Kamu nggak usah takut! Nanti aku tolongin kamu kalau kamu digangguin lagi, ya!" dan bocah itu tersenyum lebar, menunjukkan giginya. Berusaha untuk memberitahu bocah di depannya itu bahwa ia akan baik-baik saja mulai sekarang.

Akhirnya mereka pulang bersama. Tidak disangka, rumah Nara dan rusun tempat teman sekelasnya itu tinggal tidak berjarak terlalu jauh. Masih satu arah dari sekolah mereka. Jadi mereka bisa pulang bersama sepulang sekolah.

Langkah mereka beriringan. Mengobrol mengenai hobi dan cita-cita mereka kelak. Dan tanpa terasa mereka sudah berada di depan sebuah taman bermain. Terpaksa keduanya mengucapkan kata perpisahan, walaupun nyatanya mereka masih ingin mengobrol lebih banyak.

"Nara, nanti kita main, yuk!" Ajak bocah itu sebelum mereka melalui gang yang berbeda untuk menuju rumah masing-masing. Nara menatapnya, dan senyumannya hilang.

"Aku ada les habis ini. Dan ayahku nggak izinin aku buat main di luar." Nara menunduk. Menendang kerikil-kerikil yang mengelilingi kakinya dengan pelan. Lalu ia mengangkat kepalanya dengan cepat. "Tapi kalau ayahku nggak tahu, nggak apa-apa, deh! Pulang les sore nanti, kita ketemuan di sini, ya!"

"Um!" Dan bocah itu mengangguk mantap. Setelahnya, mereka saling melambai dan memasuki gang untuk menuju tempat tinggal mereka masing-masing.

***

Nara menepatinya. Setelah ia menaruh tasnya di kamar sepulang les, ia langsung bergegas menuju taman bermain tempat ia dan teman barunya membuat janji. 

"Kita mau main apa?" Tanya Nara pada bocah itu. Ia menoleh dan menatapnya. Namun yang ia tatap hanya diam membisu. Tak lama kemudian, ia menggeleng.

"Nggak tahu. Hehe." Dan ia tersenyum lebar sambil menatap Nara.

"Ehhhh... Kok gitu? Aku juga nggak bawa mainan."

"Nggak apa-apa."

Bocah itu mulai menggerakkan ayunan. Ke depan dan ke belakang. Nara mengikutinya.

Tidak terasa, langit sudah mulai menggelap. Kedua bocah itu pun memutuskan untuk mengakhiri permainan yang mereka buat sendiri dan pulang. Harap-harap cemas, Nara pulang ke rumahnya dengan perasaan yang tidak enak. Ia lupa waktu sewaktu bermain tadi, dan pasti sekarang ayahnya sudah pulang. Ayahnya pasti akan memarahinya.

"Dari mana kamu?" Tanya suara itu dingin. Nara yang baru saja masuk ke rumahnya membeku. Kemudian ia menolehkan kepalanya ke arah seorang pria yang duduk di sofa ruang tamu, yang tengah menatapnya dingin.

Nara menutup pintu, kemudian menunduk. Ia tidak berani menatap ayahnya saat itu. Ia tahu ayahnya sedang marah sekarang.

"Ha- habis main, Yah." Ucapnya jujur dengan pelan, hampir tidak terdengar.

Pria dewasa itu menggebrak meja dengan keras, mengejutkan Nara. Kemudian ia menggulung koran yang ia baca sebelumnya dan mendekati anaknya itu. Setelah itu, hanya terdengar rintihan kesakitan dari bocah berumur sembilan tahun tersebut.

***

Nara berangkat ke sekolah menggunakan jaketnya, padahal hari itu terlihat cerah. Ia berjalan menyusuri trotoar. Kepalanya menunduk dalam. Matanya pun terlihat sembab. Anak itu menangis semalaman. Ayahnya terus memukulinya menggunakan koran hingga sekitar satu jam terlewat. Pria itu pun tetap memaksanya untuk belajar di saat anaknya tengah tertekan dan kesakitan.

Kakinya sampai pada sebuah kelas tempatnya menimba ilmu. Di sana sudah ada beberapa murid yang datang selain dirinya, termasuk teman barunya.

Ia masuk dan bocah itu menyapanya. Senyum terukir di bibirnya, dan Nara balas menyapanya. Oh, lihat. Anak itu pun mendapat hadiah yang sama dengannya. Terakhir ia melihatnya kemarin sore memar-memar itu tidak ada. Dan kini ia dapat melihatnya, walaupun tertutup jaket sama sepertinya. Namun memar di sudut matanya tidak dapat disembunyikan.

Nara menatapnya kasihan. Ia tidak tahu jika temannya itu akan mendapatkan memar sepertinya. Andai ia tahu akan seperti itu jadinya, ia tidak akan bermain hingga lupa waktu. Ia tidak ingin temannya itu disakiti.

Hingga waktu pulang sekolah datang, Nara tidak mendapati teman barunya itu diganggu seperti kemarin. Nara segera melangkahkan kakinya menuju kelasnya dari toilet, dan mendapati beberapa murid kelasnya kembali mengganggu temannya.

Bocah yang memiliki surai coklat itu berteriak, memanggil siapapun yang menjabat sebagai guru di sekolah tersebut. Para murid penindas itu terkejut dan menatap Nara garang. Dan mereka berbondong pergi dari sana. Meninggalkan seorang bocah dengan tangisannya yang meringkuk di lantai, seperti kemarin.

Nara menghampiri, dan membantu anak itu untuk bangun dan membersihkan seragamnya dari debu.

"Kamu jangan nangis, ya." Ucap Nara menenangkan bocah itu. Tapi bocah itu tidak berhenti menangis. Ia terus saja menatap sobekan-sobekan kertas yang tersebar di lantai.

"Ta- tapi,..." Bocah itu sesenggukan. "Gambar yang aku buat- uh... disobek."

Nara menatapnya, kemudian beralih menatap sobekan-sobekan kertas di lantai. Lalu ia memungutnya.

"Kamu nggak usah khawatir. Nanti aku satuin lagi kertasnya, ya." Dan bocah itu mengangguk. "Ayo, kita pulang."

***

Hari ini Nara tidak ada les, jadi ia bebas melakukan apapun sampai ayahnya pulang. Oh, iya. Ia harus menyatukan kembali sobekan kertas itu. Nara mengeluarkannya dari dalam tasnya, kemudian menyiapkan gunting dan selotip. Setelah itu, ia berkutat untuk mengerjakannya.

Beberapa menit terlewat. Nara tersenyum puas dengan hasil pekerjaannya. Ia menatapnya kagum. Kagum dengan gambar yang dibuat oleh si pemilik asli kertas itu. Gambarannya begitu bagus. Setidaknya, untuk level anak yang duduk di Sekolah Dasar, gambar tersebut terbilang sangat bagus. Bukan gambar dua gunung bersama matahari dan sawah, tapi gambar dua wajah yang sedang tersenyum lebar. Itu diwarnai menggunakan pensil warna seadanya. Nara harus memberikannya pada pemiliknya.

Mereka berdua kembali membuat janji untuk bertemu di taman bermain saat berjalan pulang beriringan dari sekolah. Jadi, Nara cepat-cepat ke sana ingin bertemu dengan temannya itu.

Namun, ia terdiam. Di taman itu, temannya kembali diganggu oleh beberapa anak dari kelasnya. Ia tidak tahu jika mereka tinggal di dekat sini karena sebelumnya ia tidak pernah peduli.

Mereka menendangnya, dan Nara dapat mendengar suara rintihan dari temannya. Ia segera berlari mendekat dan mendorong salah satu dari mereka membuatnya terjungkal. Tidak sampai di situ, Nara kembali mendorong anak-anak lainnya menjauh.

"Apa-apaan sih kamu?!" Bocah yang Nara dorong pertama berteriak. Anak dengan kulit sawo matang itu mendekat ke arah Nara dan balas mendorong. Nara jatuh terduduk karena tidak bisa menahannya.

"Kamu nggak usah sok jadi pahlawan!" Ucap anak yang lain.

"Iya! Huh!" Dan yang lainnya ikut menimpali.

Nara bangkit. Tangannya cukup sakit karena ia bertumpu pada tangannya yang menyentuh kerikil ketika terjatuh tadi. Ia tidak boleh menangis. Ia harus menjadi anak yang berani dan pantang menyerah. Ia harus bisa membela temannya yang ditindas.

"Biarin aja! Daripada kamu, sok jagoan!" Timpal Nara.

Anak berkulit sawo matang itu geram. Ia pun mengambil beberapa kerikil yang kemudian dilemparkannya ke arah Nara dan bocah satunya. Nara melindungi temannya selama bocah-bocah sok jagoan itu melempar kerikil-kerikil itu ke arahnya.

Namun hal itu berhenti beberapa saat kemudian. Ada seorang bibi berdaster menghampiri mereka dengan sapu di tangannya. Itu bibi yang tinggal di dekat sana. Mungkin ia mendengar ada keributan yang terjadi di taman saat ia sedang berada di sekitar sana.

Anak-anak nakal itu kabur dan berkata bahwa mereka akan membalas Nara suatu saat nanti. Duh, ancamannya jadul sekali. Dan seharusnya Nara atau temannya itu yang membalas, bukannya malah mereka.

"Kalian nggak apa-apa?" Tanya bibi itu pada keduanya dan membantu mereka untuk duduk di kursi taman di sana. "Duh, budak degeul eta teh teu kaop pisan geus dicarekan ge." Gerutunya entah pada siapa. [Aduh, anak nakal itu tuh nggak bisa diatur banget sudah dimarahi juga.]

"Makasih, Bi." Ucap kedua bocah itu nyaris berbarengan. Wanita itu mengangguk, kemudian mengelus surai keduanya.

"Kalau ada yang jailin kalian lagi, bilang sama Bibi, ya!" Setelah wanita itu mendapatkan anggukan mantap dari dua bocah laki-laki di hadapannya, ia beranjak dan pergi. Tidak lupa ia melambaikan tangannya pada mereka.

Dua bocah itu terdiam beberapa saat. Kemudian Nara teringat. Ia mengambil kertas berukuran A4 di sakunya dan memberikannya pada bocah di hadapannya. Anak itu menatap kertas gambar yang Nara berikan, namun ia menggeleng. Menolaknya.

"Aku gambar itu buat kamu." Dan ia tersenyum. Nara berterima kasih dan kembali menyimpannya di sakunya. Jadi beginikah rasanya memiliki seorang teman?

Anak di sampingnya mengajaknya untuk duduk pada sebuah patung kuda kecil. Dengan menirukan seorang koboi, mereka tertawa gembira. Melupakan hal-hal yang menyakitinya.

Kemudian Nara berhenti, lalu menatap temannya itu. "Kamu kenapa suka digangguin terus? Memangnya kamu punya salah sama mereka?"

Anak itu berhenti tertawa, dan berganti menatap Nara sendu. Ia menunduk. Mengingat kembali alasannya selalu diganggu selama ini. Kemudian, bocah itu menggeleng pelan. Masih menunduk dan menatap bayangannya. "Orang bilang aku dilahirin Ibu pas Ibu belum nikah. Tapi aku nggak ngerti maksudnya apa." 

Dan mereka kembali terdiam. Menikmati kesunyian yang menyesakkan saat itu. Dan Nara hanya menatapnya polos. Sama tidak mengerti sepertinya.

"Nara," Bocah itu kembali berbicara. Memanggil Nara yang kemudian menoleh ke arahnya. "Aku anak aneh, ya?" Tanyanya.

Nara memperhatikan anak itu. Menatapnya dan menilainya. Menurutnya, bocah di sebelahnya tidak aneh. Ia memiliki rambut hitam yang begitu gelap. Sangat indah. Dan matanya yang sayu dengan warna yang sama dengan surainya. Tidak ada yang aneh dari bocah itu.

Ia menggeleng. "Kamu nggak aneh, kok! Rambut kamu bagus! Kalau rambut aku warnanya coklat sama kayak ibu aku."

Bocah berambut gelap itu kembali menatapnya. "Ibu aku rambutnya nggak sama kayak aku. Jadi Ibu bilang aku aneh karena mirip Ayah. Terus Ibu bilang benci Ayah, jadi Ibu benci aku juga." Dan setelah menyelesaikan kalimatnya itu, ia menangis. Menumpahkan segala kesakitannya saat itu juga. Tapi kali ini ia tidak sendiri. Ada Nara di sisinya yang siap menemaninya.

***

Nara tersenyum. Ia dengan telaten menyiapkan bekal untuknya sendiri dan satu lagi untuk temannya. Bekal tersebut dibuat oleh bibinya, adik dari almarhum ibunya, yang datang berkunjung, dan Nara berusaha membantu wanita lemah lembut itu.

Hari ini ada study tour yang diadakan oleh wali kelasnya khusus untuk kelasnya. Mereka akan mendatangi sebuah monumen dan museum Pembela Tanah Air atau disingkat menjadi PETA. Wali kelasnya itu berniat ingin memberi pengetahuan pada anak-anak didiknya tentang pengorbanan yang diberikan oleh para pahlawan Indonesia sehingga negara tempatnya tinggal itu merdeka.

Sebenarnya, ayah Nara tidak mengizinkan anaknya untuk ikut, dan ia pun tidak bersedia menandatangani formulir yang diberikan oleh wali kelas Nara. Namun wanita itu memaksanya dan berjanji pada pria itu untuk selalu menjaga anak-anak didiknya itu. Tidak ingin dicap posesif atau orangtua yang suka mengekang anak, walau pada kenyataannya memang seperti itu, akhirnya ayah Nara terpaksa mengizinkannya.

Nara berangkat ke sekolahnya dengan berjalan kaki. Hanya memerlukan beberapa menit perjalanan menuju ke sekolahnya. Seharusnya ia bisa bertemu dan berangkat bersama ke sekolah dengan temannya, yang berambut malam. Tapi seperti biasa, anak itu pasti sudah datang ke sekolah pagi-pagi.

Nara sampai di lapangan sekolah. Dan ada satu bis besar yang terparkir di tempat parkir di dalam sekolahnya. Bis itu nanti digunakan mereka untuk berangkat menuju museum itu. Lalu ia ikut bergabung dengan teman-teman sekelasnya yang berkumpul di pinggir lapangan. Sudah ada banyak orang yang datang, termasuk wali kelasnya dan bocah dengan surai malam.

Nara menghampiri wali kelasnya yang tengah mendata absensi dari anak-anak didiknya, kemudian mencium tangan wanita itu. Setelah itu, ia menghampiri bocah yang sedang duduk di koridor kelas.

"Pagi!" Sapanya, dan disahut balasan riang oleh bocah itu. "Oh iya! Aku bawain kamu bekal, loh!"

"Wah! Makasih, Nara!" Dan senyuman itu mengembang.

Tak lama kemudian, setelah wanita yang menjabat sebagai wali kelas Nara merasa seluruh murid sudah hadir, ia pun menitah anak-anak itu untuk segera memasuki bis dan memilih tempat duduk sesuka hati. Saat itu pun sudah sekitar jam sembilan, jadi mereka harus segera berangkat sebelum jalanan menjadi semakin macet.

Nara memasuki bis bersama bocah satunya. Ia berjalan di depan temannya itu dan memilih-milih tempat duduk yang dirasa enak. Lalu bocah di belakangnya menggenggam lengannya untuk menghentikannya. Kemudian bocah itu menunjuk tempat duduk di sebelah kiri di baris kedua.

"Di sini aja, yuk!" Tanya bocah itu meminta persetujuan pada Nara. Anak yang diajak bicara dengannya menganggukkan kepalanya tanda setuju. Namun niat mereka untuk duduk di sana dihentikan oleh satu anak laki-laki dengan kulit sawo matangnya yang langsung menempati kursi itu bersama seorang temannya.

"Heh!" Ia tersenyum miring, meremehkan.

Kedua bocah yang sebelumnya hendak duduk di sana terdiam, kemudian mencari tempat duduk lain di sebelah kiri untuk mereka berdua. Karena mereka hanya berdua, jadi mereka harus menempati kursi yang ada di sebelah kiri. Namun kursi di sisi itu sudah dipenuhi oleh para si pengganggu. Jadi mereka berdua pun memutuskan untuk duduk di sisi kanan.

Bocah berambut hitam kelam memutuskan untuk duduk di dekat jendela, sedangkan Nara duduk di kursi tengah di sebelah kiri bocah itu. Nara melirik teman di sebelahnya yang terlihat antusias dengan study tour ini. Ia tersenyum lebar dengan terus memandangi macam-macam melalui jendela.

"Nara, aku boleh duduk di sini? Soalnya nggak ada kursi kosong lagi." Nara menoleh dan mendapati seorang gadis kecil dengan dua kuncir rambut yang terlihat imut. Itu Ratu, teman sebangkunya, yang entah sudah berapa kali berusaha mendekatinya. Padahal ia tahu bahwa masih ada kursi kosong lainnya selain di sebelahnya.

Nara membisu. Ia ingin menolak, namun bis sudah berjalan di jalan raya. Jika gadis itu belum juga duduk, ia akan terjatuh. Jadi Nara hanya bisa mengangguk pelan dan mengizinkan gadis itu untuk duduk di sebelahnya.

Setengah jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di tempat tujuan, Monumen dan Museum PETA. Satu per satu mereka turun dari bis dengan hati-hati.

"Bu Guru! Wendi nakal!" Seorang gadis dengan potongan rambut sebahu mengadu pada wanita yang tengah menuntun anak didiknya untuk turun dari bis. Bukannya takut jika ia nanti akan dimarahi, Wendi, bocah sok jagoan dengan kulit sawo matang yang sering mengganggu bocah berambut kelam, malah menjulurkan lidahnya untuk mengejek gadis yang ia kerjai.

Nara yang berbaris di belakangnya hanya diam. Kesal sebenarnya, tapi ia malas untuk membela gadis kecil itu. 

Anak-anak itu berbaris terlebih dahulu di dekat bis mereka terparkir. Kemudian setelah memberikan amanat kepada anak didiknya, mereka pun siap untuk memasuki museum tersebut dengan riang dengan didampingi oleh pemandu dari museum itu sendiri.

Siang tiba. Kini mereka ada di sebuah taman di dalam Kebun Raya Bogor. Di taman tersebut ada sebuah danau, dan istana Bogor dapat dilihat dari taman itu.

Para siswa dan siswi Sekolah Dasar itu duduk di atas sebuah tikar yang digelar sedikit jauh di pinggir danau. Masing-masing dari anak-anak itu mengeluarkan bekal dan jajanan yang mereka bawa dari rumah. Ini sudah waktunya makan siang, dan mereka sudah merasa lapar.

Nara pun mengeluarkan dua kotak bekalnya, dan ia berikan satu kepada temannya. Bocah itu berterima kasih. Ia sangat senang dibawakan bekal oleh Nara, padahal ia tidak memintanya. Ia bersyukur karena ia tidak mungkin bisa membuat bekal untuk dibawanya. Melihat sikap ibunya pada dirinya dan keadaan keuangan mereka yang minim. Makan saja ia bisa sekali dalam sehari.

Mereka berdua memakan bekalnya masing-masing. Bekal dengan isi potongan sosis yang dibentuk menjadi seekor gurita, telur dadar, nasi dan beberapa potong apel yang dibentuk mirip dengan kelinci. Rasanya pun lezat.

"Makasih, ya, Nara." Ucap bocah berambut malam itu di tengah acara mengunyah makanannya. "Bekalnya enak."

Nara tersenyum dan menatap temannya itu. "Ini bibi aku loh yang bikin. Masakan bibi aku emang enak banget! Hehe."

"Nara! Aku boleh duduk di sini, ya?" Ucap sebuah suara dari seorang gadis. Nara bisa menebak pemilik suara tersebut. "Eh, ada kamu." Ucapnya setelah melirik si bocah berambut hitam malam.

Ratu tersenyum. Walaupun Nara belum mengiyakan, ia langsung duduk begitu saja di sebelah orang yang disukai olehnya. Kemudian ia mengeluarkan kotak bekalnya yang berbentuk tokoh Sanrio, Hello Kitty, dan memakan isinya. Sesekali ia melirik Nara dan bocah di sebelahnya.

"Ini buat kamu!" Ratu tersenyum, dan memberikan satu-dua nugget pada si bocah bersurai malam. Bocah itu terkejut sebentar, lalu tersenyum lebar.

"Makasih!"

Nara memperhatikan mereka. Yang ia harapkan sekarang adalah semoga saja tidak ada maksud buruk di balik kebaikan yang Ratu berikan pada temannya.

Acara makan siang selesai, kini mereka beralih pada acara bermain bebas. Anak-anak itu bebas untuk bermain apa saja dengan tempat terbatas.

Awalnya Nara hanya ingin bermain dengan si bocah bersurai malam saja, namun Ratu dan teman-temannya mengajaknya bermain rumah-rumahan dengan Nara yang menjadi "suami" Ratu. Ugh, Nara tidak mau ikut sebenarnya. Namun, mereka pun mengajak temannya untuk ikut bermain dengan menjadi ART-nya.

Ceritanya, si bocah berambut malam melakukan kesalahan di rumah Ratu. Dan Ratu memarahinya dengan menendang bocah tersebut dan menarik rambutnya. Memang terlihat seperti drama saja. Tapi, kalian tahu? Si bocah malam merasa sakit sungguhan. Ratu benar-benar menendangnya, dan tarikan pada rambutnya benar-benar kencang seakan helaian-helaian itu akan tercabut dari kepalanya. Ratu benar-benar serius menyiksanya.

"Papa, dia sudah melakukan kesalahan! Harus dihukum!" Ucap gadis kecil itu pada Nara yang menatap temannya iba.

Temannya itu mulai berkaca-kaca. Nara menghampirinya dan mencoba membantunya. "Aku nggak mau ikut main lagi sama kamu!" Bentak Nara akhirnya pada Ratu, membuat gadis itu pun menangis dan melaporkannya pada Bu Guru.

Si rambut malam sudah menangis sejak tadi. Ia kesakitan. Rambutnya pun beberapa ada yang rontok di tangan Ratu. Nara memeluknya, menenangkannya. Kemudian gurunya datang menghampiri dan menanyakan kejadian yang sebenarnya. Nara menjelaskannya bahwa Ratu menendang dan menarik rambut temannya itu hingga bocah tersebut menangis.

Wanita itu menghela nafas. Sudah resikonya untuk mengajarkan anak didiknya arti dari pertemanan. Jadi ia mengatakan kepada Nara, bocah satunya, juga Ratu, untuk tidak saling bertengkar dan saling memaafkan. Tapi Nara enggan melakukannya. Ia sudah muak pada Ratu sebenarnya, tapi ia terpaksa untuk berjabat tangan dengan Ratu karena dititah oleh gurunya itu. Walaupun bibirnya mengucapkan kata maaf, tapi hatinya tetap tidak menerima perlakuan gadis itu pada temannya. Tidak, tapi sahabatnya.

***

Nara sampai di rumahnya ketika menjelang sore. Di ruang tengah sudah ada ayahnya yang sedang menonton televisi sambil menyesap secangkir kopi. Bocah berambut kecoklatan itu mendekati pria itu dan salam. Ia ingin menceritakan tentang yang terjadi di Kebun Raya, namun ia yakin ayahnya tidak akan mau mendengarkannya. Jadi ia memutuskan untuk langsung ke kamarnya dan beristirahat.

Baru beberapa menit ia memejamkan matanya, ia dikejutkan oleh suara pintu kamarnya yang terbuka. Ia membuka mata dan melihat ayahnya tengah berdiri di ambang pintu kamarnya. Seperti biasa, ekspresi dingin yang ditunjukkan pria itu.

"Ayah dengar kamu suka main sama anak itu." Ucap ayahnya tajam. Nara mengernyit heran. Anak itu? Oh, apa maksudnya sahabatnya itu?

"Dia bukan anak aneh, Yah!" Nara tidak sadar bahwa ia sudah berteriak, dan itu membuat ayahnya menjadi marah padanya. Pria itu mendekatinya dan menampar pipinya. Ia pun mengambil sabuk anaknya dan mulai memukul anaknya itu hingga tubuh bocah itu penuh dengan memar.

Pria itu mendekat dan mengambil tas Nara yang dibawanya tadi setelahnya, kemudian mengeluarkan dua kotak bekal yang dibawanya.

"Ngapain kamu bawa dua bekal begini? Kamu udah temenan sama anak itu, hah?!" Bentaknya. Nara menjadi takut. Ia meringkuk di tempat tidurnya. "Ayah juga dengar dari tetangga kalau kamu berantem sama anak lain gara-gara bocah itu! Mulai sekarang kamu nggak usah main sama dia lagi. Bikin kamu jadi anak yang nggak bakal bener nanti!" Dan berakhir dengan bantingan pintu.

Nara terdiam. Ia tidak mau menjauhi bocah itu. Ia ingin melindungi sahabatnya itu. Tapi, bisakah ia sekali ini saja melanggar perintah dari ayahnya?

***

Sepulang sekolah Nara kembali membuat janji dengan si rambut malam untuk bermain di taman. Nara tidak memberitahu ayahnya. Toh, ayahnya sedang bekerja saat itu, dan pria itu akan pulang menjelang maghrib nanti. Jadi, Nara bisa bermain dengan sahabatnya tanpa sepengetahuan ayahnya.

Nara sudah berada di taman itu. Ia duduk di sebuah ayunan dan menunggu si bocah bersurai malam. Tak lama, bocah yang ditunggunya datang dan langsung memanggilnya. Nara menoleh dan mendapati bocah tersebut dengan memar-memar hampir di seluruh tubuhnya. Apalagi di bagian wajahnya.

Anak itu pun menangis. Nara tahu bahwa ia merasa sangat sakit. Bahkan sepertinya tadi Nara melihat ada sedikit bercak darah di sudut bibir dan kening anak itu. Bocah berambut kecoklatan itu mendekat dan memeluknya. Ia merasa sedih jika membayangkan tentang yang dilakukan ibu dari sahabatnya ini pada anaknya sendiri. Hati Nara juga menjadi sakit melihat kondisi darinya, dan mendengar isakan yang dikeluarkannya juga.

Nara mengajak anak itu untuk duduk di ayunan. Tangisan anak itu sudah sedikit mereda, walaupun masih ada sisa isakan di bibirnya. Nara mengeluarkan plaster luka bergambar harimau dari dalam sakunya. Ia selalu menyiapkan plaster tersebut setiap saat. Ibunya yang mengajarkannya untuk membawa benda tersebut ke mana saja. Jadi jika ada yang terluka, Nara bisa langsung menggunakannya. Bocah bersurai kecoklatan itu kemudian menempelkan plaster tersebut pada kening bocah di hadapannya yang terluka.

Si rambut malam menceritakan hal yang dilakukan oleh ibunya terhadapnya. Nara mendengarkannya dengan serius. Ia merasa kasihan dengan anak ini. Ia ingin membantunya. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh anak berusia sembilan tahun sepertinya?

"Nara juga-" Anak itu masih terisak kecil. "Kenapa tangan Nara juga biru-biru?"

Nara memperhatikan tangannya yang dipenuhi memar, kemudian kembali menatap bocah di sebelahnya. Ia menggeleng.

"Nggak apa-apa. Aku cuma jatoh aja di rumah. Hehe." Dan ia tersenyum. Menyembunyikan kebenarannya dengan menujukkan senyumannya. Bocah itu diam menatap Nara. Yah, Nara pun tahu sahabatnya itu pasti tahu jika ia sedang berbohong.

Kemudian Nara mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Itu kalung murah yang ia beli di penjual aksesoris di dekat gerbang masuk Kebun Raya Bogor. Terdapat batu palsu berbentuk hexagon yang menjadi liontin dari kalung tersebut. Nara memiliki dua kalung. Yang satu dengan hexagon berwarna hitam, dan yang satu lagi berwarna coklat. Nara memberikan satu pada sahabatnya itu, yang berwarna hitam.

"Ini buat kamu." Nara menyodorkannya pada bocah itu dan diterima dengan senang hati. Bocah itu langsung memakainya setelah berterima kasih. "Warnanya hitam, sama kayak rambut dan mata kamu." Lalu ia juga memakaikan kalung satunya di lehernya. "Yang ini warna coklat, sama kayak rambut aku!"

"Makasih, ya, Nara!" Ucapnya sekali lagi.

Langit sore jingga saat itu membuat keduanya merasa damai untuk sesaat. Walaupun hanya sebentar, tapi mereka berusaha untuk menikmatinya. Mereka tidak ingin waktu saat itu berjalan cepat. Mereka ingin menghentikan waktu untuk bisa merasakan kedamaian seperti itu untuk waktu yang lama.

Namun kedamaian itu dirampas begitu saja. Segerombolan bocah sok jagoan datang ke taman tersebut dan melemparinya dengan sampah-sampah yang mereka ambil dari tempat sampah taman. Itu teman-teman sekelasnya yang sering mengganggu sahabatnya. Kedua bocah itu turun dari ayunan dan berdiri menghadap bocah-bocah pengganggu itu.

"Anak aneh nggak boleh main di sini!" Ucap Wendi yang menjadi pemimpin dari gerombolan itu. Ia membawa sebatang ranting pendek di tangannya.

Si rambut hitam menutup telinganya. Ia tidak ingin mendengarnya! "Nara," Ia mulai kembali terisak.

Nara berdiri di hadapan bocah itu untuk melindunginya. "Kamu nggak boleh ngomong gitu! Dia bukan anak aneh!" Balasnya dengan berteriak. Namun bocah-bocah itu malah semakin mengoloknya dan sahabatnya. Mengucapkan kata-kata yang sangat menyakiti anak itu.

Nara kesal. Kemudian ia meraih apapun yang ada di sekitarnya dan melemparkannya pada Wendi dan bocah-bocah lainnya. Kerikil yang dilemparkannya mengenai tangan Wendi dan membuatnya memerah, hampir membiru. Bocah sok itu menangis, lalu ia menitah teman-temannya untuk memukul Nara dan bocah satunya. Namun gerakan mereka terhenti saat seorang pria dengan jasnya datang menghampiri. Bocah-bocah itu pergi begitu saja dengan takut. 

Ayah Nara marah. Wajahnya sudah terlihat merah. Ia melihat semuanya. Melihat kelakuan anaknya yang melempar kerikil pada seorang anak lain hingga menangis. Nara mencoba menjelaskan, namun pria itu tidak ingin mendengarkannya.

Pria itu mencengkram pergelangan tangan anaknya dengan kencang. Ia menariknya menjauhi si bocah berambut hitam yang tidak disukainya.

"Ayah sudah bilang, kan? Kamu nggak boleh main sama anak itu lagi! Kamu nggak boleh temenan sama anak itu!" Teriaknya. Si rambut malam mendengarnya, membuat tangisannya semakin kencang.

Nara diseret oleh ayahnya untuk pulang, walaupun Nara sudah mencoba melepaskan diri. Bocah itu menoleh ke belakang. Menatap sahabatnya yang masih berdiri di taman dengan tangisannya.

"Alvin! Alvin!" Panggil Nara pada sahabatnya, masih mencoba melepaskan diri dari ayahnya. Ia ingin menghampiri Alvin dan menenangkannya. "Alvin!"

***

Nara datang siang itu ke sebuah taman. Padahal saat itu masih jam sekolah, namun mulai sekarang Nara tidak akan sekolah di tempatnya kemarin. Ayahnya memutuskan untuk pindah rumah dan sekolahnya. Sebelumnya Nara tidak ingin pindah, namun ayahnya tetap memaksanya.

Di tangannya ada sebuah kalung dengan batu berbentuk hexagon coklat. Ia memutuskan untuk meninggalkannya di sini, di taman yang selalu menjadi tempatnya bermain dengan Alvin. Ia ingin menguburnya di tempat itu agar kenangannya tetap bertahan. Jika ia membawanya bersamanya, ayahnya akan tahu dan membuangnya. Ia tidak ingin benda yang menjadi tanda persahabatannya dibuang begitu saja.

Nara meraih batang kayu untuk dijadikan alat penggali. Ia membuat sebuah lubang dengan diameter kecil dan dalam di sudut taman, lalu ia mengubur kalungnya di sana. Kemudian ia menangis. Air matanya menetes di tanah tempatnya mengubur kalungnya. Jujur saja, ia tidak ingin meninggalkan tempat ini dan Alvin. Ia ingin tetap melindungi sahabatnya itu. Jika ia pergi meninggalkannya, Alvin akan terus diganggu oleh teman-teman sekelasnya.

"Alvin, maafin aku."

***