"Nara, gue ke toilet dulu." Dimas langsung berpisah dengan Nara begitu di tikungan menuju tangga. Kemudian ia segera memasuki toilet di ujung koridor lantai itu, dan memasuki salah satu bilik di sana untuk menuntaskan urusannya. Begitu selesai, Dimas mencuci mukanya di washtafel agar merasa segar kembali.
"Masih hidup?"
Dimas berbalik secepatnya dan menemukan seorang pemuda berambut kelam berada di dalam salah satu bilik dengan pintu terbuka. Dimas mengubah ekspresinya menjadi serius. Ia sudah tahu bahwa Alvin mempunyai kembaran, dan orang di depannya ini pasti kembarannya itu.
"Yah... Sekarang percuma, sih, pakai masker. Kalian udah tahu kalau kami kembar, kan?" dan pemuda itu membuka surgical mask yang dipakainya.
Dimas sudah tidak terkejut lagi, wajah dari pemuda di hadapannya ini memang sangat mirip dengan Alvin. Begitu mirip sehingga apabila ia tidak tahu Alvin mempunyai kembaran, ia akan mengira pemuda di depannya ini adalah Alvin dengan rambut yang berbeda.
"Mau lu apa?" tanya Dimas langsung dengan dingin, dan pemuda kelam itu menyeringai.
"Menurut kamu, apa mau aku?"
Dimas melangkah mendekati pemuda itu dan mencengkram kerahnya setelah berada tepat di hadapannya. Dan pemuda bernama Tsuki itu hanya tetap mempertahankan seringaiannya.
"Jangan ganggu Nara lagi. Gue udah tahu lu siapa dan apa yang lu perbuat. Dan gue bisa laporin lu kapan aja." Geram si pemuda tan dengan tatapan tajamnya ke arah Tsuki. Namun pemuda yang memiliki arti nama "bulan" ini hanya tertawa untuk menanggapi ancaman Dimas.
"Ahahaha... Kowai." Dan ia menatap remeh Dimas. [Kowai — Takut]
Si pemuda tan semakin mengeratkan cengkramannya. Ia marah pada pemuda di depannya karena orang ini menganggap enteng semuanya. Orang itu bahkan tidak takut jika akan tertangkap nantinya.
Tawa Tsuki mereda. Ia menatap Dimas yang masih menatapnya tajam.
"Hei, kamu tahu rasanya diperlakukan buruk, lalu ditinggalkan oleh orang yang sangat kamu percaya?"
Dimas terdiam. Ia tahu kisah itu. Ia memang tidak tahu rasanya diperlakukan buruk seperti itu. Walaupun begitu, ia masih memiliki sedikit perasaan empati pada orang lain. Setidaknya.
Pemuda tan itu melepaskan cengkramannya pada kerah Tsuki. Anak bersurai gelap itu masih menatap Dimas dengan tatapan datar dan sayunya. Kemudian suasana yang sebelumnya terasa berat mulai sedikit menghilang.
Tsuki memperbaiki kerah kemejanya. Ia melangkah keluar dari bilik toilet itu dan menuju ke depan cermin. Dilihat wajahnya, lalu senyuman terukir di bibirnya.
"Mirip banget kan dengan Nii-san?" Ia menyentuh wajahnya. "Tapi sayang, rambut Nii-san putih. Andai dia nggak mengalami hal buruk." Dan ia kembali merubah ekspresinya menjadi dingin, kemudian melirik Dimas melalui cermin. [Nii-san — Kakak (laki-laki)]
Dimas membelalak. Tsuki kini menggenggam sebuah pensil dengan ujung runcing yang ia keluarkan dari saku kemejanya. Kemudian pemuda bersurai hitam itu menghadap si pemuda tan yang mulai mewaspadai setiap pergerakan darinya.
Kakinya melangkah mendekati Dimas yang semakin melangkah mundur menjauh darinya. Ia juga sudah memulai ancang-ancang untuk kabur dari sana. Namun, Tsuki menghalangi jalannya menuju pintu keluar.
"Nii-san selama ini selalu menderita karena ibunya dan orang-orang yang mengganggunya." Dan seringaian itu kembali muncul di bibirnya. "Dan aku udah bunuh semuanya! Ahahaha! Ah- Tapi masih ada tiga orang." Lalu ia mengangkat tangannya yang menggenggam pensil runcing itu dengan erat. Kemudian ia langsung menerjang Dimas yang sudah bersiaga untuk melindungi dirinya sendiri.
"Aku nggak akan biarkan Nii-san disakiti lagi! Ah! Nii-san yang malang!"
Sakit. Orang di hadapannya ini, yang hendak menghujamkan sebuah pensil runcing padanya, sudah pasti sakit. Sakit jiwa. Dimas dapat menyimpulkan bahwa pemuda bersurai malam di depannya ini terlalu posesif pada kakaknya sendiri, Alvin, atau bahkan orang ini terobsesi pada pemuda bersurai putih itu. Hingga ia rela melakukan apapun untuk melindunginya dan membalaskan dendamnya.
Dimas berhasil menghindar saat Tsuki menghujam pensilnya ke arah wajahnya. Hanya sebuah goresan yang mengenai pipinya dan mulai mengeluarkan sedikit cairan kental berwarna merah.
Orang ini benar-benar sakit jiwa. Psikopat. Lihat, bahkan ia terlihat begitu tertarik untuk menghujamkan pensilnya pada Dimas. Ia juga terlihat begitu senang dengan kegiatannya saat itu.
Dimas sudah terpojok. Ia mengambil sebuah ember di dekat kakinya dan melemparkannya pada Tsuki begitu anak itu semakin mendekat ke arahnya. Merasa memiliki kesempatan, Dimas berlari ke arah pintu keluar saat Tsuki melindungi dirinya sendiri dari ember yang terbang ke arahnya.
Pemuda tan itu terengah. Ia harus bertemu dengan Nara dan Alvin di rooftop secepatnya. Ia juga penasaran dengan yang akan dibicarakan oleh pemuda itu. Sebelum benar-benar pergi dari sana, Dimas memastikan bahwa Tsuki tidak mengejarnya. Jadi, begitu ia merasa sudah aman, kakinya melangkah menuju tempat pertemuannya dengan Nara juga Alvin. Namun, ia tidak tahu bahwa pemuda yang ia waspadai tengah mengintip mengawasinya.
***
Hari ini semuanya akan berakhir. Tidak ada lagi pembunuhan berantai yang berhubungan dengannya. Tidak akan ada lagi yang tersakiti. Mungkin.
Nara sudah siap secara fisik dan mental. Tangannya menggenggam sebuah ponsel pintar miliknya sore itu di rooftop. Mereka memutuskan untuk melakukannya saat semua murid sudah pulang agar tidak ada keributan yang terjadi sehingga menghambat pekerjaan mereka.
Siang tadi, orang misterius itu mengiriminya pesan kembali. Kali ini ia mengaku bahwa dirinya adalah Tsuki. Sudah tidak mengejutkan lagi bagi Nara. Dalam pesannya, pemuda itu berkata ingin bertemu dengannya di rooftop seusai waktu sekolah. Pas sekali dengan waktu untuk Rizky dan beberapa asistennya untuk melakukan pekerjaannya di sana.
Pemuda bersurai hitam kelam itu datang saat Nara asyik dengan pemandangan dari lantai teratas gedung sekolahnya itu. Seperti biasa, seringaian itu terukir di bibirnya. Ia melangkah mendekati Nara. Di tangannya sudah terdapat seuntai tali.
Nara berbalik sebelum Tsuki memulai aksinya untuk mencekik pemuda bersurai kecoklatan itu dengan tali di tangannya. Alhasil tujuannya itu ia hentikan. Padahal ia ingin membunuh pemuda itu dengan membuatnya terlihat seperti gantung diri.
"Hai," Nara berbasa-basi. Ia hanya tidak tahu harus memulainya dari mana. "Gue udah nunggu lama di sini."
Tsuki tertawa pelan. Tapi itu sama sekali tidak terlihat manis. Sebaliknya, itu justru terlihat menyeramkan. Ditambah dengan seringaian lebar di bibirnya.
"Nggak sabaran sekali, ya." Tsuki membuka mulutnya. Kemudian ia memainkan tali yang masih berada di tangannya. "Bahkan Nii-san selalu sabar nungguin kamu bertahun-tahun."
Nara tahu itu. Tapi mau bagaimana lagi? Ia kehilangan ingatannya. Dan ia pun merasa menyesal karena hal itu.
"Ne~ apa kamu benar-benar anggap Nii-san sebagai teman?"
Nara diam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia menatap Tsuki tanpa ada rasa takut maupun kemarahan sedikit pun. Ia harus tenang. Ia pun hanya harus menunggu beberapa saat lagi untuk mengakhiri permasalahan ini.
"Sahabat." Nara membuka mulut. "Gue anggap dia sebagai sahabat. Bukan cuma sekedar teman biasa."
"Wah... Yokatta. Akhirnya ada yang anggap Nii-san sahabat." Ini pertama kali bagi Nara melihat wajah bahagia dari seorang Tsuki di depannya ini. Ekspresi bahagia dari seorang adik terhadap kakaknya. Terasa pula perasaan sayang pemuda di depannya ini pada Alvin. Namun, pandangan itu hilang begitu saja begitu Tsuki kembali memasang seringainya. [Yokatta — Syukurlah]
"Kamu sahabatnya, kan?!" Seringaian itu semakin mengembang lebar. "Jadi, kamu harus rela mati demi sahabat kamu!" Dan ia mengeluarkan sebuah gunting yang ia curi dari lemari di kelasnya dan mulai menyerang Nara.
Pemuda bersurai kecoklatan itu membelalak dan segera menghindar. Namun keseimbangannya sedikit tergoyah, mengakibatkannya terjatuh duduk tidak jauh dari si pemuda bersurai malam itu berdiri. Dan sayangnya, pergelangan kakinya pun terkilir.
Tsuki berbalik dan menatap Nara merendahkan, masih setia dengan seringaiannya. Ia melangkah mendekat dengan gunting di tangannya. Nara menatapnya. Ia tidak boleh takut pada orang sakit jiwa di depannya ini. Jika ia tidak melakukan apapun, semua yang ia lakukan selama ini untuk menangkap pembunuh ini akan sia-sia.
"Coba hitung berapa orang yang udah aku bunuh." Ucap pemuda psikopat itu pelan sambil melangkah pelan. "Laki-laki brandal yang selalu ganggu Nii-san saat SD," Tsuki kini memainkan gunting digenggamannya. Melakukan gerakan-gerakan seakan sedang menggunting sesuatu. "Si penyanyi cantik yang nggak rela orang disukanya direbut oleh orang yang ditindasnya, si guru mesum yang kakaknya ada di Rumah Sakit Jiwa sekarang, dan gadis imut yang hampir bongkar semuanya sebelum waktunya. Ah! Si guru mesum itu sempat foto, sih. Hahaha."
Tsuki berhenti di depan Nara yang masih terduduk. "Dan beberapa orang di masa lalu." Lalu ia merendahkan tubuhnya untuk lebih dekat dengan Nara. "Tapi sayang. Ada dua orang yang gagal aku bunuh." Tangannya pun ia angkat tinggi-tinggi untuknya bisa menghujamkan gunting dengan dalam di tubuh Nara.
Pemuda bersurai kecoklatan itu menahan pergelangan tangan Tsuki yang menggenggam gunting. Menahannya menggunakan tangannya sekuat tenaga, karena anak bersurai malam itu begitu menekan niatan hujamannya pada Nara.
Nara kemudian menendang perut pemuda itu menggunakan kakinya yang tidak terkilir, membuat Tsuki menjauh darinya. Setelah itu Nara bangun dan berusaha memberikan jarak yang jauh dari tempat Tsuki, agar ia bisa mengambil sesuatu dari dalam sakunya.
Ia sudah menyiapkannya. Rizky memberikan benda tersebut padanya untuk berjaga-jaga apabila pembunuh itu melakukan penyerangan, atau saat Nara sudah terpojok. Dan ia pun diberikan izin apabila harus menyerang si pembunuh itu sendiri menggunakan benda tersebut. Awalnya Nara sempat terkejut karena pria yang bekerja untuk kepolisian itu memberikan benda itu pada siswa SMA begitu saja.
Tsuki kembali bangkit. Kemudian ia berlari dengan cepat ke arah Nara masih bersama guntingnya. Seringaiannya semakin lebar. Ia merasa begitu gembira karena bisa memiliki kesempatan untuk membunuh Nara.
Nara sendiri tidak bisa pergi dari sana sampai Rizky dan beberapa polisi datang untuk menangkap Tsuki. Tugasnya di sini adalah untuk menahan pemuda itu agar tidak pergi. Ia pun tidak boleh melepaskan tatapannya dari anak itu, sedangkan Dimas dimintai tolong oleh Rizky untuk mengikuti Tsuki selama jam sekolah dan menjaga satu-satunya pintu menuju rooftop. Sekarang pun pemuda tan itu sudah menetap di balik pintu itu.
Dan Alvin. Nara hanya meminta kerjasama dari pemuda putih itu untuk menangkap Tsuki, walaupun Tsuki adalah kembarannya. Di luar dugaan, Alvin pun menyetujuinya. Ia juga bisa menutupi rencana tersebut dari Tsuki.
Kakinya yang terkilir benar-benar menghambat pergerakannya. Ia terus mencoba berlari menjauh dari si surai hitam. Namun tiba-tiba, Tsuki menghentikan pengejarannya terhadap Nara.
"Ne, kenapa sejak tadi kamu cuma lari keliling tempat ini? Padahal kamu bisa kabur dengan mudah ke pintu keluar." Dan ia tertawa kencang. "Ah! Pasti kamu merencanakan sesuatu, kan?! Iya, kan?!" Ia berseru di sela tawanya. "Nah! Beritahu aku rencana kamu itu! Ayo! Beritahu aku! Ahahaha!"
Nara diam. Sial. Ia ketahuan. Dan kini ia harus mencari cara agar Tsuki tidak curiga kembali. Walaupun nantinya pemuda itu akan tetap curiga, ia harus tetap menahannya agar tidak kabur dari tempat itu.
Tsuki mulai melangkah menuju pintu rooftop dengan tenang. Gunting itu masih berada di genggaman tangannya.
"Aku tahu sejak siang tadi teman kamu yang hitam itu selalu buntuti aku." Dan ia terkekeh di depan pintu itu. Tangannya sudah hendak meraih gagang pintu tersebut, dan Nara mulai berlari ke arahnya untuk mencegahnya pergi dari tempat itu. "Aku juga tahu kalau dia ada di balik pintu ini. Gimana kalau aku bunuh dia sekarang?" Begitu Tsuki mulai memutar gagang pintu tersebut, Nara sudah menerjangnya. Menahan pergerakan pemuda itu dan menariknya menjauh dari sana.
Tsuki kembali melayangkan guntingnya agar bisa terlepas dari tangan Nara. Dan itu menggores dada Nara membuat seragamnya sobek disertai warna merah yang mulai mengotori kemejanya tersebut.
Nara meringis merasa perih di bagian dadanya. Kemudian ia melangkah mundur menjauhi Tsuki yang melangkah semakin mendekatinya.
"Kalau memang kamu masih mau main dengan aku, akan aku ladeni."
Tsuki kembali menghujamkan guntingnya. Namun pergerakannya terhenti saat matanya menangkap sebuah benda yang kini sudah digenggam Nara. Menodong ke arahnya.
"Eh~ Curang! Ahaha!" Dan dengan cepat Tsuki dapat merebut senjata api tersebut dari genggaman Nara setelah menjatuhkan guntingnya. Seteleh itu, gilirannya yang menodongkan benda tersebut ke arah Nara.
Jari telunjuknya sudah berada di pemicunya, siap untuk menembakkan peluru di dalamnya. Tubuh Nara tidak bisa bergerak. Ia terdiam kaku. Takut apabila ia bergerak satu senti pun peluru itu akan tertembak. Seharusnya ia lebih waspada dan menggenggam senjata api itu lebih erat lagi tadi.
"Sayonara." [Selamat tinggal (untuk waktu yang lama)]
Dan suara tembakan menggema. Nara memejamkan matanya begitu erat. Namun ia tidak merasakan apapun. Dibukanya perlahan kelopak matanya, dan mendapati Dimas di depannya tengah mencengkram pergelangan tangan Tsuki yang memegang pistol. Beruntung, pistol yang ada di tangan pemuda bersurai hitam diarahkan ke langit saat tangannya dicengkram oleh Dimas. Alhasil, peluru itu pun tertembak ke sana.
Dimas mengunci tangan pemuda psycho itu. Kemudian ia merampas pistol tersebut dan melemparkannya ke arah Nara yang berhasil menerimanya dengan baik. Untung saja pemuda tan itu datang. Jika tidak... Ia bahkan tidak ingin membayangkannya.
Dimas kemudian meringis nyeri. Tangan yang ia kalungkan di leher Tsuki untuk menahan pemuda itu digigit. Dan kekuatannya untuk menahan si surai hitam itu melemah. Tsuki berhasil lolos dari kuncian Dimas dan segera meraih gunting yang ia jatuhkan. Kemudian ia bergerak cepat ke arah belakang Dimas dan ganti mengunci pergerakan pemuda tan itu. Walaupun tubuhnya lebih pendek, tapi kekuatannya tidak bisa diremehkan.
Ujung runcing dari gunting tersebut menyentuh permukaan kulit leher Dimas. Siap untuk membuat sebuah luka di sana. Nara kembali menodongkan pistolnya ke arah Tsuki. Kini ia hanya bisa berharap bahwa pemuda bersurai malam itu tidak akan melukai sahabatnya itu.
"Ayo, bertaruh." Ucap Tsuki tanpa ada rasa terpojok sedikit pun. "Siapa yang paling cepat? Aku yang tertembak, atau dia yang tertusuk?"
Nara berdecih. Gunting itu sudah siap merobek kulit leher Dimas sejak tadi. Dan dapat dipastikan jika Nara menembakkan peluru tersebut ke arah Tsuki, sahabatnya pun akan ikut meregang nyawa. Ditambah ia tidak mahir dalam menembak. Peluru itu bisa saja meleset.
Dimas menatap matanya, mencoba memberi sebuah kode pada Nara yang sudah mengeluarkan keringat dingin. Kenapa para polisi lama sekali datangnya?
Tangannya bergetar dan berkeringat dingin. Bagaimana jika tembakannya meleset dan malah mengenai Dimas? Ia akan terus menyalahkan dirinya sendiri nanti. Dimas sendiri mulai menghitung aba-aba di dalam pikirannya untuk memulai aksi yang sudah ia rencanakan di kepalanya. Begitu sudah pada hitungan terakhir, Dimas mulai mencengkram tangan Tsuki dan membalikkan posisinya menjadi di belakang pemuda itu dan kembali mengunci pergerakannya. Walaupun lehernya sedikit tergores benda tajam itu.
"Tembak sekarang!"
Dan suara tembakan kembali terdengar. Nara memejamkan matanya erat untuk yang kedua kalinya. Ia hanya tidak mau tahu orang yang terkena tembakannya. Ia hanya berharap itu adalah sasarannya, Tsuki, dan bukan meleset mengenai sahabatnya.
Nyatanya, tembakannya meleset. Bukan meleset sebenarnya. Tembakan itu lurus tertuju pada perut Tsuki. Jika tidak ada seseorang yang menghalangi lajunya peluru itu.
Nara membelalak bersama kedua orang lainnya yang ada di sana. Mereka terdiam. Membeku. Merasa sangat terkejut dengan yang baru saja terjadi. Seseorang itu mulai bersimbah darah yang keluar dari bagian perutnya, kemudian tersungkur di hadapan mereka. Dan setelah itu, para polisi pun datang mendekat ke arah mereka dan mengambil alih Tsuki dari tangan Dimas.
"Nii-san!" Tsuki berteriak menyadarkan Nara yang sedari tadi berdiri kaku. Ia mulai memberontak saat polisi-polisi itu menangkapnya.
Nara yang sudah mulai sadar menjatuhkan pistol digenggamannya. Lalu ia menghampiri Alvin yang sudah terlihat pucat, namun masih dapat membuka matanya walau hanya sedikit.
"Alvin, maaf." Ucap Nara pelan. Air matanya sudah jatuh. Ia merasa bersalah. Ia sudah melukai sahabatnya sendiri. Setelah sekian lama dan akhirnya ingatannya kembali, namun hal seperti ini malah terjadi. "Tolong, bertahan."
Alvin tersenyum lemah di tengah keributan yang terjadi di sekitar mereka kala menahan Tsuki yang masih memberontak mencoba melepaskan diri untuk menuju ke kakak kembarnya sendiri. "Nggak apa-apa." Suaranya bahkan hampir tidak terdengar. "Kita bisa ketemu lagi lain kali."
"Jangan ngomong seakan lu bakal pergi!" Air mata itu masih saja terus merembes keluar dari matanya. Ia sedih dan terus menyalahkan dirinya sendiri karena kebodohannya. Harusnya ia lihat-lihat dulu sebelum menembakannya. "Kita ada tugas, kan? Berdua... ke tempat bersejarah. Jadi... Lu harus bertahan. Gue mohon."
Senyuman lemah itu masih bertahan di bibirnya. Ia juga ingin lebih lama bersama dengan Nara. Jalan-jalan bersama, saling bercanda gurau, atau kencan bersama dengan pasangan masing-masing. Ia pun ingin melakukan segala hal bersama Nara. Namun takdir rupanya sudah merencanakan sesuatu padanya.
Kemudian beberapa petugas mengambil alih Alvin dan memindahkannya ke atas tandu, lalu di bawa pergi dari sana. Tsuki sendiri sudah dilumpuhkan oleh beberapa polisi di sana dengan menyuntikkan obat penenang.
Dimas menghampiri Nara. Pemuda bersurai kecoklatan itu memandang kosong Alvin yang sudah di bawa oleh para polisi. Ini salahnya. Ini benar-benar salahnya. Ia hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri saat ini.
"Nara, sadar!" Dimas menyadarkannya. Ia menahan tangan Nara yang tanpa sadar sudah menggenggam pistol itu dan mengarahkannya ke arah dadanya sendiri. Nara berniat membunuh dirinya sendiri. Pemuda tan itu pun langsung merampas senjata api itu dan membuangnya jauh-jauh agar tidak bisa dijangkau oleh Nara.
"Tenang. Jangan lakuin hal-hal nekat! Sekarang kita cuma harus berdoa buat keselamatan Alvin." Dimas mencengkram bahu Nara dengan erat. "Nara!"
"Ini salah gue, Mas. Salah gue." Ujar Nara pelan masih menyalahkan dirinya sendiri. Ia menatap Dimas dengan tatapan kosongnya. "Gue harus apa?"
Nara tidak tahu harus bagaimana. Dimas sendiri terus saja menenangkan pemuda itu yang kembali menangis. Ayahnya pernah berkata bahwa ia yang membunuh ibunya sendiri, walaupun secara tidak langsung. Dan sekarang pun ia sudah melukai Alvin. Ia tidak tahu tentang keselamatan Alvin selanjutnya.
Ia hanya bisa berharap pemuda putih itu bisa diselamatkan. Kemudian mereka bertiga, Nara, Dimas, dan Alvin, bisa bersama dan melakukan segala hal dalam hubungan persahabatan mereka.
***
Beberapa hari kemudian. Di hari Senin yang cerah. Semua murid kini tengah melakukan kegiatan rutinnya di pagi hari itu. Upacara bendera. Dan saat ini sudah pada bagian amanat dari Kepala Sekolah.
Pria berwibawa itu pun memberikan sebuah penghargaan pada Nara dan Dimas yang sudah membantu pihak kepolisian untuk menangkap pelaku pembunuhan, Tsuki, yang ternyata adalah salah satu murid dari sekolah itu sendiri. Ia juga merasa kecewa pada salah satu anak didiknya tersebut.
Mereka berdua berdiri di hadapan para murid di sekolah itu. Tepat di sebelah Kepala Sekolah berdiri. Bukannya senang karena telah mendapat penghargaan dan dapat membanggakan ayah dan sekolahnya, tatapan Nara masih kosong, masih terpikirkan tentang Alvin.
Setelah mendapat penghargaan dari sekolah, Nara dan Dimas pun mendapat penghargaan dari pihak kepolisian. Di sana, ada Rizky dan asistennya dari kepolisian yang juga berbaris di barisan para guru di belakang Nara dan Kepala sekolah. Mereka berdua menjadi perwakilan dari pihak kepolisian setempat dan juga yang mengurus kasus tersebut.
Seusai upacara, di 15 menit waktu istirahat setelah kegiatan tersebut, Nara meminta untuk berbicara dengan Rizky. Pemuda itu ingin menanyai tentang keadaan Alvin saat ini. Pemuda putih itu masih hidup. Namun ia belum sadarkan diri semenjak tiba di rumah sakit saat itu. Ia terlalu banyak kehabisan darahnya.
"Gimana keadaan Alvin sekarang?" Tanya pemuda itu langsung. Rizky menatapnya sebentar sebelum menjawabnya. Kemudian pria itu menyandarkan punggungnya pada dinding di belakangnya.
"Belum ada kemajuan." Ujarnya, lalu menghela nafas. "Anak itu..." Ia menjeda kalimatnya, membuat Nara penasaran dengan kelanjutannya. Ia sungguh mengkhawatirkan keadaan sahabat putihnya itu. "Akan ikut ditangkap karena perbuatannya sendiri, saat sudah sadar dan sehat. Kami kerjasama dengan kepolisian di Jepang, tempat tinggal Alvin dan Tsuki dulu. Dan mereka memberikan pernyataan kalau dua anak itu pernah membunuh beberapa orang. Kepolisian juga baru menemukan jasad-jasad itu beberapa hari belakangan ini yang dikubur di kebun milik keluarga mereka. Mereka juga dibantu oleh beberapa saksi di sana. Kecuali ayahnya, jelas. Orang itu menutupinya. Tapi bangkai akan tercium juga, kan?"
Nara membelalak. Tidak mungkin. Ia tidak mau mempercayai itu. Alvin bukan pembunuh seperti adik kembarnya. Ia adalah anak yang baik. Nara sangat tahu itu.
"Bohong." Ucap Nara pelan. Ia masih tidak mau mempercayai ucapan pria itu.
"Terserah. Kebohongan akan berubah jadi fakta kalau ada buktinya." Dan pria itu beranjak dari sana dan melangkah pergi. Meninggalkan Nara sendiri di sana.
Nara tidak mau mempercayainya. Namun, apa pihak kepolisian bisa berbohong tentang hal-hal serius seperti ini?
***
Sepulang sekolah, Nara dan Dimas ditraktir makan oleh teman-teman sekelasnya. Kali ini ia diperbolehkan oleh ayahnya walaupun tanpa diminta oleh Dimas. Andi kini bisa mengerti dan membebaskannya melakukan apapun selama itu masih dalam hal yang positif.
Mereka bersenang-senang. Tertawa dan bercanda gurau. Namun Nara hanya menanggapinya dengan senyum tipis. Masih terlihat gurat sedih di wajahnya dan Dimas sangat menyadari hal tersebut. Tapi pemuda bersurai kecoklatan itu tetap ingin menghargai teman-temannya. Jadi ia berusaha untuk tetap terlihat menikmati acara traktir dari mereka.
Acara tersebut berlangsung hingga jam menunjukkan pukul tujuh malam. Untungnya besok tidak ada tugas dari sekolah untuk dikerjakannya. Jadi ia hanya akan pulang, lalu mengganti pakaiannya, dan mengambil seragam juga buku-buku pelajaran untuk besok. Kali ini ia akan kembali menginap di rumah sakit untuk menemani ayahnya.
Nara sampai di depan gerbang rumahnya bersama Dimas. Pemuda tan itu sendiri yang meminta untuk mengantar Nara. Ia hanya merasa sesuatu akan terjadi jika Nara sedang sendiri. Ia juga ingin mengawasi Nara agar tidak melakukan hal-hal yang nekat.
Namun ponselnya bergetar di dalam sakunya. Ibunya menelepon bahwa kerabat mereka sedang berkunjung ke rumahnya. Terpaksa, Dimas hanya bisa menemani Nara hingga depan gerbang rumah dari sahabatnya itu. Lalu ia pun melangkah pergi menuju rumahnya setelah menasihati Nara untuk tidak melakukan hal-hal aneh, dan pemuda itu hanya mengiyakan.
Nara masuk ke pekarangan rumahnya, kemudian membuka pintu kayu itu. Rumahnya masih terlihat gelap saat ini. Lampu-lampu belum dinyalakan. Rumahnya jadi terlihat menyeramkan.
Pemuda itu menutup pintu tersebut perlahan, lalu menekan saklar lampu di sebelah pintu. Namun, lampu tak juga kunjung menyala. Nara pikir sedang ada pemadaman listrik. Tapi lampu di rumah tetangga-tetangganya menyala. Mungkin hanya rumahnya yang mati listrik. Ia menghela nafas, lalu berbalik setelah mengunci pintu.
Dan seketika tubuhnya menjadi kaku, bersamaan dengan darah yang merembes dari pinggangnya. Lalu sebuah kekehan terdengar.
"Gimana rasanya? Enak, kan?" Dan ia mencabut sebilah pisau dapur itu dari pinggang si surai kecoklatan. "Ahaha."
***
"Ditemukan seorang anak remaja (16) terluka dalam di bagian pinggang di rumahnya di daerah X setelah ditemukan oleh teman korban (16) pada Rabu malam (20/2). Pelaku (16) diduga narapidana pembunuhan berantai yang melarikan diri ketika pemindahan dari lapas remaja di kota A ke lapas remaja di kota B dengan alasan balas dendam. Korban kini dalam penanganan intensif di Rumah Sakit X dan belum sadarkan diri hingga sekarang. Pelaku masih menjadi buronan polisi..."
***