Nara duduk di stasiun. Ia menunggu kereta yang akan membawanya menuju suatu tempat penuh kenangan. Sebuah kota tempatnya tinggal dulu sebelum akhirnya ia pindah ke kota ini. Tatapannya kosong. Ingatannya sudah kembali. Semuanya, tanpa ada yang terlewat. Tentang ia yang pernah memiliki hubungan persahabatan dengan Alvin, dan ia yang mengenal Ratu dan Wendi sewaktu dulu.
Kini Nara mengerti. Beberapa kasus pembunuhan yang terjadi kemarin adalah motif balas dendam. Ia juga masih belum yakin tentang orang yang membunuh Ratu dan Wendi. Mungkin itu Alvin, atau justru kembarannya, Tsuki.
Pemuda itu ingin mengetahui lebih banyak mengenai Alvin sewaktu dirinya sudah pindah dari tempatnya yang dulu. Makanya, sekarang ia berniat ingin mengunjungi tempat itu. Mungkin ia juga bisa mengetahui alasan rambut Alvin menjadi putih.
Nara meraih ponselnya yang ada di saku, kemudian mencoba mencari kontak milik Agus. Pemuda bernama Agus itu adalah murid kelas sebelah. Nara juga pernah menggantikannya menjadi photographer saat PENSI sekolah ketika Agus sedang tidak bisa melakukannya.
Si rambut kecoklatan itu segera menempelkan ponselnya ke telinga setelah menemukan kontak Agus. Terdengar beberapa bunyi tanda panggilan tersampaikan. Tak lama, seseorang mengangkat telepon darinya.
"Halo?"
"Halo, Gus. Gue Nara."
"Oh, Nara! Ada apa?"
Nara terdiam sebentar, kemudian ia kembali membuka mulut setelah mengambil nafas. "Waktu masuk, habis libur semester kemarin, ada murid baru di kelas lu, nggak?"
"Hmmm... Ada. Namanya apa gitu. Kayak orang Jepang. Cuma habis satu minggu masuk, dia nggak pernah masuk lagi deh sampe sekarang. Eh, pernah masuk tapi jarang banget. Kenapa?"
Tsuki tidak pernah masuk sekolah lagi setelah satu minggu menjadi murid baru. Pantas ia tidak pernah mendengar ada murid baru lain selain Alvin di sekolahnya.
Nara berdehem pelan. "Nggak kenapa-napa." Kemudian ia terdiam sebentar. "Oh, iya. Lu tahu nggak murid baru itu orangnya kayak gimana?"
"Gue nggak inget banyak, sih. Tapi yang paling bikin gue inget tentang dia tuh, dia suka pake masker gitu. Bilangnya, sih, lagi flu. Oh! Menurut gue, sih, ya... Gimana, ya? Dia orangnya rada aneh. Kalau nggak salah, temen gue, si Yaya, pernah lihatin scene gore dari film pembunuhan ke dia. Nah, anehnya, murid baru itu malah ketawa dan bilang videonya lucu. Aneh, kan?!"
Ya, jelas itu sangat aneh untuk orang normal. Tapi jika Tsuki adalah pembunuh, mungkin malah membuatnya mendapat inspirasi?
"Okay. 'Makasih, ya, infonya." Dan kemudian Nara menutup telepon tersebut.
Pemuda itu menghela nafas. Keretanya sudah datang. Ia siap untuk mencari tahu lebih banyak tentang Alvin. Jadi, ia beranjak dari duduknya dan menyampirkan tasnya di bahu, kemudian ia masuk ke salah satu peron kereta.
Setelah sekitar dua jam di perjalanan, akhirnya Nara sampai di kota tempatnya tinggal dulu. Dan di kota ini pula ibunya dimakamkan. Mungkin sekalian saja ia mengunjungi makam ibunya.
Nara berjalan keluar dari stasiun. Barulah ia menaiki angkutan umum menuju daerah rumahnya dulu. Ia memang beberapa kali ke kota ini untuk mengunjungi makam ibunya. Dan kali ini ia datang kemari untuk maksud yang lain.
Matanya menatap gang di depannya setelah turun dari angkutan umum. Itu gang menuju rumahnya yang dulu, dan sekolahnya sewaktu SD berada sekitar seperempat kilometer di sebelah kirinya. Kakinya melangkah memasuki gang yang cukup dilewati oleh satu atau dua mobil. Saat ia sudah keluar dari gang tersebut, dapat terlihat kompleks perumahan dan sebuah taman. Taman itulah yang sering menjadi tempatnya bermain bersama Alvin. Rusun tempat Alvin tinggal dulu berada di ujung jalan gang sebelah taman, sedangkan rumahnya harus masuk ke dalam gang di depan taman tersebut.
Langkah demi langkah membuatnya semakin mendekat ke arah taman yang penuh dengan kenangan. Taman bermain itu sudah banyak direnovasi. Ada pula beberapa bagian yang ditambahkan. Perlahan Nara duduk di ayunan di sana. Mengenang kembali masa kecilnya. Ia menghela nafas. Ia merasa menyesal.
Nara teringat. Ia segera beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah menuju sudut taman. Diambilnya apapun untuk menggali tanah tersebut. Ia ingat tempatnya mengubur kalungnya. Walaupun tempat itu sudah direnovasi, tapi bagian sudut taman tidak terlalu berubah banyak.
Tangannya dengan usaha menggali tanah itu hingga ia menemukan benda yang ia cari. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Ia menemukannya, kalung dengan batu hexagon coklat. Nara mengambil kalung tersebut dan menatapnya. Ia begitu merasa senang karena benda tersebut masih berada di sana.
Pemuda bersurai coklat itu bangkit berdiri, lalu memakai kalung tersebut setelah ia membersihkannya dengan air minum yang ia bawa. Setelah itu, ia berbalik untuk menuju ke tempat selanjutnya. Namun ia dikejutkan oleh seseorang.
"Nak Nara?" Ucap orang tersebut. Ia adalah seorang wanita tua yang masih terlihat cantik. "Geus gedé, nya? Makin kasep ayeuna mah. 'Gimana kabar kamu?" Dan itu adalah bibi yang pernah menolong Nara dan Alvin sewaktu dulu. Bi Ana.
Nara mencium tangan wanita tersebut dan tersenyum. Sebelum ingatannya kembali, ia pun sempat melupakan wanita ini. "Baik, Bi." Jawabnya ramah.
"Deuh, punya banyak pacar pasti ini mah." Goda bibi itu sambil mencolek tangan Nara, sedangkan Nara hanya tersenyum biasa untuk menanggapinya.
Pemuda bersurai kecoklatan itu membersihkan tenggorokannya terlebih dahulu sebelum kembali bertanya. "Um... Bi, tahu tempat Alvin dulu tinggal?"
Wanita itu kemudian menatapnya dan mengangguk. Lalu ia merangkul pemuda itu seperti anaknya sendiri dan mengajaknya untuk berjalan. "Alvin tinggal di rusun tea, pan, nya? Nah, bibi ge mau ke sana sekarang. Yuk, bareng aja."
Mereka berdua melangkah. Selama di perjalanan pun, wanita itu bertanya macam-macam pada Nara dan juga menceritakan hal apapun yang terjadi di desa itu selama Nara pindah rumah. Wanita itu pun berkata bahwa selama Nara tidak ada di sana, ia sering mendapati Alvin diganggu oleh beberapa anak. Tentu saja Bi Ana menolongnya. Namun ia kembali dibuat sedih saat ia sedang mengunjungi temannya di rusun yang sama dengan yang Alvin tinggali.
Waktu itu, ada dua orang pria berjas dan satu orang pria asing datang ke rusun tersebut. Sedikit yang ia dengar, bahwa pria tersebut adalah ayah dari Alvin yang datang untuk membawa Alvin bersamanya. Dan ia pun mendengar jeritan-jeritan histeris dari ibu Alvin dan berkata ingin membunuh anak itu juga pria yang sudah menghamilinya tersebut. Kemudian bibi itu pun mendengar pria itu berbicara bahasa asing pada dua orang berjas. Dan ia terkejut saat melihat Alvin keluar dari sebuah pintu tempatnya tinggal dengan rambut berwarna putih. Bibi itu sempat khawatir melihat Alvin yang terlihat sangat tertekan. Tapi Alvin sempat tersenyum padanya dan mengucapkan selamat tinggal. Anak itu juga berkata bahwa ia akan ikut dengan ayahnya.
"Bibi tahu kenapa rambut Alvin bisa jadi putih?" Tanya Nara setelah wanita di sebelahnya selesai bercerita.
Wanita itu mengangkat bahunya. "Teu teurang, Bibi ge. Tapi kayaknya temen bibi teh tahu."
Setelah beberapa menit terlewat, akhirnya mereka sampai di gedung bertingkat itu. Bibi itu pun mengajak Nara untuk menaiki tangga menuju lantai tiga untuk ke tempat temannya tinggal. Rusun yang disewanya pun bersebalahan dengan tempat Alvin tinggal.
"Punten. Assalamu'alaikum, Ceu Asri!" Ucap Bi Ana sambil mengetuk pintu bercat coklat gelap di depannya. Nara hanya diam menunggu.
"Wa'alaikumsalam!" Dan seseorang membuka pintu tersebut. "Eh, ceu! Masuk, masuk." Wanita yang terlihat seumuran dengan bibi itu pun mempersilahkan masuk. Begitu mereka sudah di dalam, wanita yang dipanggil dengan nama Ceu Asri bertanya pada Bi Ana sambil melirik Nara yang masih diam di luar.
"Eta saha, ceu?"
"Eta teh si Nara, rencangan si Alvin." Jawabnya pelan dengan logat Sunda-nya. "Nara, atuh kadieu."
Nara tersenyum dan mengucapkan salam ketika masuk ke ruangan tersebut. Ia menatap si pemilik rumah juga tersenyum padanya, kemudian mencium tangannya. Bi Ana pun menjelaskan kedatangan Nara ke rusun tersebut, dan ditanggapi oleh Asri dengan senang hati. Ia juga merasa senang ternyata Alvin, yang tinggal di sebelahnya, mempunyai teman yang peduli padanya.
"Si Alvin teh karunya pisan. Tiap poé abdi teh sok dangukeun emakna ngagebukan eta budak nyampe kaceurik si Alvin-na. Hayangna mah ngalaporkeun ka polisi, ngan bising viral ngke. Karunya si Alvin-na. Ngan syukur we bapakna datang ngajemput."
Okay. Nara seharusnya sudah tahu bahwa Alvin sering dipukuli oleh ibunya. Tapi mendengar kenyataan tersebut langsung dari tetangga Alvin, membuatnya semakin merasa menyesal meninggalkannya. Alvin tersiksa secara fisik dan mental. Anak itu sering dipukuli oleh ibunya sendiri, belum lagi ia juga sering diganggu oleh anak-anak lainnya.
Kemudian tiba-tiba wanita itu memberikan sebuah kunci pada Nara. Teman dari bibi yang pernah menolongnya dan Alvin itu berkata bahwa itu adalah kunci tempat tinggal Alvin yang dititipkan padanya. Nara sangat berterima kasih tentang hal itu. Lalu ia segera pamit pada keduanya dan segera keluar dari ruangan itu setalah diberi tahu di mana Alvin tinggal dulu. Dengan helaan nafas, kakinya menuntunnya menuju sebuah pintu menuju tempat Alvin tinggal.
Nara menghela nafas begitu sudah berada di depan pintu itu. Kemudian tangannya memasukkan kunci ke lubang kunci dan memutarnya. Lalu ia membuka pintu itu dengan perlahan.
Hal pertama yang ia temukan adalah tempat tersebut begitu berantakan, berdebu, dan banyak sarang laba-laba di setiap sudut. Hingga Nara pun bingung dengan pijakannya. Haruskah ia membereskan tempat ini terlebih dahulu? Tapi itu hanya akan memakan banyak waktu. Mungkin ia harus mulai dari kamar Alvin?
Ia melangkah dengan hati-hati. Penuh pecahan beling di lantai. Mungkin ini karena ibunya yang histeris dan menghancurkan barang apapun untuk meredakan amarahnya sewaktu ayah Alvin datang, seperti yang diceritakan oleh Bibi.
Oh, hanya ada satu kamar, dan sepertinya itu hanya ditempati oleh ibu Alvin karena ruangan tersebut penuh dengan pakaian wanita yang berserakan dan barang-barang lain. Jadi, di mana Alvin tidur? Mungkin di ruang depan? Nara mengamati. Tempat Alvin tinggal ini hanya terdapat satu ruang kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur, dan satu ruang lainnya untuk ruang tamu sekaligus ruang televisi. Jadi kemungkinan Alvin tidur di ruangan televisi.
Nara menyingkirkan pecahan beling yang berserakan menggunakan sapu yang ia temukan di belakang pintu. Kemudian ia melangkah pada sebuah lemari kecil di sudut ruangan. Lemari itu milik Alvin. Ada nama anak itu di pintu lemari.
Pemuda itu membuka lemari tersebut, dan mendapati beberapa pakaian yang masih tersusun rapi walaupun berdebu, juga buku-buku di rak bawahnya. Tangannya meraih satu buku milik Alvin dan membukanya. Terdapat beberapa coretan acak yang bermaksud untuk mengejek Alvin. Dan Nara melihat buku-buku yang lain. Di sana pun terdapat coretan dengan maksud yang sama. Padahal sebelum ia pindah, ia lihat buku Alvin masih bersih.
Kemudian Nara beralih mengambil sebuah kotak di sana. Itu adalah tempat pensil milik Alvin. Jadi ia membukanya, dan mendapati kalung yang pernah ia berikan pada Alvin ada di dalam kotak itu. Ia mengambilnya, lalu menatapnya. Mungkin Alvin tidak sempat membawa ini saat anak itu dijemput oleh ayahnya.
Si rambut kecoklatan itu bangkit. Ia memasukkan kalung milik Alvin ke dalam tasnya. Ia akan memberikannya pada Alvin nanti. Lalu ia kembali menjelajahi tempat tersebut. Oh, tidak. Apa itu darah?
Nara mendekat ke arah suatu sudut lantai di kamar ibu Alvin. Ada bercak merah di sana yang tentu saja sudah mengering. Pemuda itu memperhatikannya. Ia tidak tahu itu darah siapa. Tapi ia khawatir jika itu adalah darah Alvin. Anak yang baru berumur sembilan tahun itu tidak berhak disakiti, kan? Hati dan fisik mereka masih rapuh.
"Ya ampun! Berantakan amat ini teh!" Ucap seseorang dari luar. Nara melangkah untuk melihat orang tersebut yang adalah Bi Asri. "Nyaho kieu mah Bibi beresan ti baheula."
Bi Asri memang belum pernah membuka tempat tersebut semenjak Alvin dijemput oleh ayahnya. Dan saat ibu Alvin pun dibawa pergi oleh dua orang berjas, pemilik rusun menitipkan kuncinya kepada wanita itu. Pria paruh baya itu berkata bahwa biaya sewa tempat tinggal Alvin masih tetap berjalan dan masuk ke rekeningnya. Jadi ia menitipkan kunci tersebut pada Bi Asri untuk apabila Alvin atau ibunya pulang.
Bibi yang pernah menolong Nara dan Alvin masuk bersama Bi Asri. Mereka berkata bahwa akan membersihkan dan merapikan tempat tersebut. Nara berterima kasih pada mereka berdua. Kemudian ia memutuskan untuk pamit pulang karena terakhir ia melihat, jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Ia ingin segera menemani ayahnya di rumah sakit. Setelah mengunjungi makam ibunya tentu saja.
"Kahade di jalan. Titip salam ke bapak kamu, ya." Ucap kedua wanita tersebut sambil mengelus surai Nara. Pemuda bersurai kecoklatan itu tersenyum dan mencium tangan kedua wanita tersebut.
Nara melangkah menjauhi rusun tersebut. Ia cukup lelah hari ini. Pagi-pagi tadi ia meminta teman ayahnya, Steve, untuk mengembalikan ingatannya. Dan begitu selesai, setelah istirahat dan makan sebentar, ia langsung menuju tempat ini. Dan habis ini pun ia harus mengunjungi makam ibunya.
Ia menghela nafas. Tidak banyak yang ia temukan di tempat itu. Ia hanya menemukan kalung milik Alvin darinya. Tapi mungkin hanya dengan benda ini, ia dapat memperbaiki hubungannya dengan Alvin dan menghindari pembunuhan lainnya.
***
Nara mendengar kabar bahwa Dimas sudah siuman sewaktu ia tengah di perjalanan pulang dari Bogor, dan kini ia sudah berada di ruang kamar tempat Dimas dirawat. Temannya itu sudah terlihat lebih sehat. Pemuda tan itu pun berkata bahwa ia sudah tidak merasakan sakit lagi di bagian-bagian tubuhnya yang terluka.
Si rambut kecoklatan bersyukur. Dokter yang menangani Dimas berkata bahwa pemuda itu bisa sembuh dengan cepat, dan mungkin Senin nanti sudah bisa mulai masuk sekolah, walaupun harus tetap menjaga kondisinya dan tidak melakukan kegiatan berat dan yang butuh berpikir keras.
Ibunya sempat menangis terharu saat Dimas siuman. Wanita itu pun segera memanggil suaminya untuk datang ke rumah sakit dan melihat keadaan Dimas.
Dimas menatap sahabatnya yang terlihat murung sedari tadi, walaupun pemuda bersurai kecoklatan itu sudah menyembunyikannya dengan senyuman lebar. Tapi Dimas peka. Ada sesuatu yang terjadi selama ia belum siuman.
"Kenapa?" Tanya Dimas langsung. Nara tersentak, kemudian tertawa garing.
"Ahahaha... Nggak apa-apa."
"Bohong." Ucapnya lagi telak. Dan Nara langsung menghilangkan senyuman di wajahnya. "Cerita aja. Ada kejadian apa selama gue belum sadar?"
Nara menunduk. Di tangannya terdapat dua kalung dengan batu hexagon coklat dan hitam. Ia menatapnya. Memantapkan hatinya untuk berbicara pada Dimas mengenai Alvin dan kesalahpahaman mereka juga beberapa hal yang sudah terjadi.
"Mawar..." Nara menjeda, dan Dimas menunggu sambil menatapnya penasaran. "Meninggal karena dibunuh."
Dimas terkejut. Ada korban pembunuhan lagi di sekolah mereka. Dia, sih, sudah bisa menebak pelakunya.
"Tapi kali ini gue yakin bukan Alvin pembunuhnya." Dimas mengernyitkan dahinya. Nara menghela nafas dan meremas kalung di tangannya. "Karena seharian itu Alvin selalu bareng gue. Padahal paginya gue masih lihat Mawar."
Dimas diam mendengarkan dan menyimak. Di samping diamnya itu, ia berpikir mengenai si pembunuh yang sebenarnya. Namun ucapan Nara selanjutnya, membuatnya terkejut hingga menjatuhkan potongan apel yang hendak dimakannya.
***
Dimas benar-benar sudah bisa masuk sekolah di hari Senin, dan sekarang ia bersama Nara berjalan beriringan menuju sekolah. Pemuda tan itu sudah mengetahui beberapa hal selama ia belum siuman, termasuk kejadian yang ayah Nara alami. Ia pun sempat menjenguk pria paruh baya itu sebelum berangkat sekolah pagi tadi.
"Nara," Panggil seseorang dari arah belakang mereka. Nara bisa menebak si pemilik suara tersebut. Jadi ia menghentikan langkahnya dan menoleh. Dimas mengikuti.
Alvin terpaku. Ditatapnya Dimas yang sudah terlihat begitu sehat sedang berdiri di samping Nara. Sedikit merasa kecewa karena itu artinya waktu ia dan Nara akan kembali menghilang. Namun pemikirannya sirna, kedua pemuda di depannya itu tersenyum ke arahnya dan balas menyapanya. Ia jadi tidak bisa menahan senyumannya.
Mereka melangkah beriringan menuju kelas mereka. Tidak ada intimidasi seperti sebelumnya. Dimas sudah mulai bisa menerima keberadaan Alvin. Pemuda tan itu juga sudah mendengarnya dari Nara bahwa anak itu adalah sahabat lamanya. Ada sedikit rasa miris di hati Dimas saat tahu kisah mengenai Alvin, apalagi saat ia melihat Nara rela menjatuhkan air matanya saat bercerita mengenai pemuda putih itu. Walaupun begitu, Dimas masih tetap mencurigainya, namun tidak sebanyak sebelumnya, sampai pembunuh yang sebenarnya diketahui.
Kelas sudah ramai begitu ketiganya sampai. Mungkin karena ini hari Senin, jadi mereka datang lebih pagi karena tidak ingin terlambat dan menerima hukuman. Nara dan Dimas menaruh tas di meja masing-masing, maka Alvin pun kembali duduk di bangkunya sebelumnya karena Dimas sudah kembali. Beberapa teman sekelas mereka pun menghampiri Dimas untuk menanyai kabarnya.
Alvin menatap mereka. Ia sedikit merasa aneh dengan perubahan Nara dan Dimas yang menjadi lebih ramah padanya dari sebelumnya. Jika Nara, sih, Alvin tidak terlalu merasa aneh. Tapi si pemuda tan, yang sebelumnya bersikap dingin dan selalu mengintimidasinya, berubah ramah terhadapnya secara tiba-tiba. Mungkin jatuhnya pemuda itu dari tangga mempengaruhi sikapnya?
Tapi tidak masalah. Selama ia masih bisa berteman dengan Nara, ia bisa menerima perlakuan apapun.
***
Waktu istirahat terasa lebih cepat datang. Namun bukannya merasa senang, Nara merasa tegang. Seseorang kembali mengiriminya pesan yang dititipkan kepada salah satu teman sekelasnya, dan si pemuda putih mendadak hilang entah ke mana.
Dimas memperhatikan kertas di genggaman Nara. Orang misterius itu, yang kemungkinan adalah kembaran Alvin atau Alvin sendiri, kembali mengiriminya pesan. Dan isi dari pesan tersebut menunjukkan bahwa ia mengetahui tentang Nara yang sudah dapat mengingat masa lalunya dan juga sempat mengunjungi tempat tinggal Alvin yang dulu.
Nara berpikir tentang bagaimana orang misterius itu tahu? Apa dia membuntutinya atau diberitahu oleh seseorang?
Ponsel Nara bergetar. Lalu ia mengambilnya dari dalam saku celananya dan menerima panggilan tersebut. Itu dari Rizky. Sepertinya ada hal penting yang ingin pria itu sampaikan pada Nara.
"Nara, saya mau minta bantuan sama kamu." Ucap Rizky di seberang telepon. Nara terdiam sebentar dan menyahut seperlunya. "Tapi hal ini cuma kamu dan Dimas yang tahu selain petugas kepolisian."
Nara masih membisu, membiarkan pria itu yang berbicara. Dimas di sampingnya hanya diam mengamati.
"Kami sudah tahu dengan pasti pelaku serangkaian pembunuhan itu beserta bukti dan kesaksian yang kami temukan. Jadi kami mau bekerja sama dengan kamu." Setelah selesai membicarakan beberapa hal, sambungan telepon terputus dan Nara memasukkan ponselnya kembali ke dalam sakunya.
Memang, sebelumnya para polisi kesulitan untuk menangkap tersangka pelaku yang sebenarnya karena pelaku pun dapat menutupi jejak keberadaannya, ia selalu bisa melarikan diri dan bersembunyi entah di mana. Terduga pelaku sebelumnya pun dibebaskan oleh kepolisian setelah bukti-bukti kuat yang ada di tempat persembunyian pelaku yang sebenarnya ditemukan oleh polisi. Maka dari itu, Rizky berpikir bahwa Nara dapat membantunya untuk menahan pelaku hingga polisi datang dan siap untuk menangkapnya.
Tak lama kemudian, Alvin datang dengan mata sayunya seperti biasa dan menduduki bangkunya sendiri. Pemuda itu terlihat menghela nafas. Nara berinisiatif menghampirinya. Ia ingin bicara pada Alvin, jadi ia mengajak anak itu untuk ke rooftop. Ia ingin berbicara dengan Dimas dan pemuda putih itu di tempat yang sepi.
"Nara, gue ke toilet dulu." Dan Dimas langsung pergi, berpisah dengan Nara begitu di tikungan menuju tangga. Dan kedua orang lainnya kembali melangkah menuju lantai teratas gedung sekolahnya.
Sesampainya di tempat sepi tersebut, Nara mengambil nafas perlahan sebelum memulai pembicaraannya dengan Alvin. Ia melangkah menuju pagar pembatas dan melihat pemandangan dari atas sana. Pemuda putih itu pun mengikutinya dan menunduk menatap sebuah perkampungan di dekat sekolah tersebut.
"Alvin," Nara memulai. Ia menghadap Alvin dan menatapnya sendu. Alvin balas menatap, merasa aneh tiba-tiba karena Nara mendadak serius dan memasang ekspresi sedih seperti itu.
Tangan Nara meraih tangan Alvin dan menaruh sesuatu di sana setelah ia mengeluarkannya dari saku celananya. Alvin membelalak begitu melihat benda tersebut dan langsung menatap Nara yang tersenyum ke arahnya. Ia tidak menyangka dapat menyimpan kalung ini lagi.
"Gue minta maaf udah ninggalin lu waktu itu." Ucap Nara akhirnya. Alvin sendiri tidak bisa mengatakan apapun. Ia tahu ingatan Nara hilang dan juga pemuda itu melupakannya, jadi ia ingin membuat kenangan baru bersama sahabatnya masa kecilnya itu. Tapi mungkin sekarang ia tidak perlu khawatir lagi karena Nara sudah mengingatnya.
Alvin menatap kalung dengan batu hexagon hitam di tangannya. Walaupun benda tersebut adalah kalung murahan yang Nara beli dari penjual aksesoris di pinggir jalan, tapi itu sangat berharga untuknya. Itu adalah hadiah pertama yang ia dapatkan selama hidupnya.
"Gue inget semuanya sekarang. Lu sahabat gue, dan gue yang selalu jagain lu dari para pengganggu itu. Sekali lagi gue minta maaf."
Alvin menggeleng pelan dan tersenyum. "Nggak apa-apa. Asal kamu bisa inget aku, aku seneng kok." Kemudian ia tersenyum semakin lebar.
Mereka terdiam setelahnya. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun Nara teringat sesuatu, dan ia kembali menatap Alvin.
"Gue mau minta bantuan sama lu."
***
Footnotes!
"Geus gede, nya? Makin kasep ayeuna mah." — Udah besar, ya? Makin ganteng sekarang.
"Alvin tinggal di rusun tea, pan, nya?" — Alvin tinggal di rusun, 'kan, ya?
"Teu terang, Bibi ge." — Nggak tahu, Bibi juga.
"Punten. Assalamu'alaikum, Ceu Asri!" — Permisi. Assalamu'alaikum, Ceu Asri!
"Eta saha, ceu?" — Itu siapa, Ceu?
"Eta teh siNara, rencangan si Alvin." — Itu tuh Nara, temannya Alvin.
"Nara, atuh kadieu." — Nara, ke sini.
"Si Alvin teh karunya pisan. Tiap poé abdi teh sok dangukeun emakna ngagebukan eta budak nyampe kaceurik si Alvin-na. Hayangna mah ngalaporkeun ka polisi, ngan bising viral ngke. Karunya si Alvin-na. Ngan syukur we bapakna datang ngajemput." — Alvin tuh kasihan banget. Setiap hari saya tuh suka dengar ibunya mukulin anak itu sampai nangis Alvin-nya. Maunya sih dilaporkan ke polisi, cuma takut viral nanti. kasihan Alvin-nya. Cuma syukurlah ayahnya datang jemput.
"Nyaho kieu mah Bibi beresan ti baheula." — Tahu 'gini Bibi beresin dari dulu.
"Kahade di jalan." — Hati-hati di jalan.