"Jadi," Dimas memulai pembicaraan. "Lu mau ngapain sekarang?" Lanjutnya. Ia kini berada di rumah Nara, duduk di sofa kecil di sudut kamar pemuda berambut coklat itu, sedangkan si empunya berbaring di kasur dan menatap langit-langit kamarnya.
Tatapannya tajam, serius. Nara mencoba mencari cara untuk dapat memasuki ruang laboratorium itu. Tapi mungkin saja saat ini polisi dan beberapa guru lainnya masih berada di sana. Menunggu malam tiba? Yang benar saja! Tapi jika waktu sudah banyak terbuang, ia tidak akan bisa menemukan barang bukti. Dan benda itu pasti sudah diamankan polisi.
Ia menghela nafas. Jika memaksakan diri untuk menerobos masuk, ia pasti akan dicurigai. Tapi satu-satunya cara adalah ia harus kembali ke sekolah dan berbicara pada polisi-polisi di sana. Atau cara terakhir, datang ke sekolah ketika malam.
Namun ia dapat memutuskan sesuatu saat sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya.
Sedangkan di sekolah, polisi masih sibuk mengurusi jenazah yang diidentifikasi sebagai Guntur Permana. Seorang guru kimia di sekolah tersebut. Mereka pun juga sibuk mencari barang bukti yang dapat membantu mereka mencari pelakunya. Itu bukan kasus bunuh diri, polisi sangat tahu karena mereka sudah berkali-kali menangani kasus seperti ini. Itu pembunuhan. Mungkin karena motif balas dendam.
Pria dengan kemeja putih dan celana bahan hitamnya itu mencoba memeriksa tempat sampah di sebelah pintu laboratorium. Di sana ada beberapa sampah seperti botol minuman dan kertas. Namun matanya menangkap beberapa tabung kaca di dalam sana. Ia memungutnya, dan memasukkannya ke dalam plastik bening. Mungkin ia bisa mendapat petunjuk dari benda tersebut seperti sidik jari.
"Pak Rizky, sudah menemukan barang bukti lainnya?" Tanya seorang pria berseragam polisi. Orang dengan nama Rizky itu pun berdiri dan membalikkan badannya. Tangannya mengangkat plastik berisi tabung-tabung bekas bahan kimia yang sepertinya masih baru digunakan.
Rizky bukanlah seorang polisi. Ia adalah detektif. Sudah banyak kasus ia tangani, termasuk kasus pembunuhan di gedung bar yang menewaskan seorang gadis muda. Walaupun ia adalah seorang detektif, namun ada beberapa hal yang tidak dapat ia temukan jawabannya ketika mencari pelaku pembunuhan gadis tersebut. Dan itu pertama kalinya, padahal sebelumnya ia dengan sangat mudah dapat mengetahui pelakunya. Namun kali ini, pelakunya sangat pintar untuk menghapus jejaknya sendiri.
Ia melangkah menuju sebuah meja panjang di sana. Menyimpan barang bukti yang ia pegang di sebelah barang bukti lainnya. Benda-benda itu berjajaran rapi. Puntung rokok, jepit rambut pita, beberapa helai rambut hitam panjang, sabuk, dan tabung-tabung kaca. Mungkin ada beberapa tersangka sementara dan saksi yang dapat ia interogasi nanti. Namun ada satu barang bukti yang ia rasa hilang, dan benda tersebut sangat penting. Ponsel korban. Ia sudah menanyakannya pada para guru, namun mereka bilang si pemilik ponsel selalu membawa benda persegi itu bersamanya. Tapi di sana tidak ditemukan barang itu. Jadi ada kemungkinan ponsel korban sudah dibawa oleh pelaku atau tertinggal di suatu tempat.
Rizky melangkah keluar dari ruangan itu. Terlihat banyak perwakilan dari media massa yang datang dan mengambil beberapa gambar. Mereka terus saja berdatangan sejak tadi. Membuat risih para polisi yang bekerja. Langkah kakinya membawanya menuju ruang UKS tempat saksi mata beristirahat. Seorang siswi yang sudah tenang dari tangisnya, namun masih terlihat shock, dan satu lainnya yang sudah siuman dari pingsannya. Orangtua masing-masing pun datang menemani mereka dan membantu menenangkan anaknya itu. Rizky inginnya menanyakan beberapa hal pada kedua gadis tersebut, namun melihat kondisi keduanya membuatnya menunda kalimat di bibirnya.
Beberapa kali ketukan terdengar di pintu. Rizky menoleh, menatap orang yang sedang berdiri di ambang pintu. Rekannya. Kemudian pria itu pun masuk selangkah ke ruang UKS dan mulai membuka suaranya.
"Pak, ada yang ingin bertemu. Katanya mereka ingin bilang sesuatu." Ucapnya. "Mereka memaksa." Rizky yang ditatapnya menghela nafas lelah. Kemudian ia melirik sebentar dua gadis yang terlihat masih lemas di ranjang UKS dan memutuskan untuk keluar dari ruangan itu, lalu menemui orang yang ingin bertemu dengannya.
Di luar ruang berbau obat-obatan itu, Rizky melihat dua pemuda yang masih berseragam. Ia sudah menduga mereka adalah murid sekolah ini walaupun tidak memakai jasnya.
"Ada apa?" Tanya Rizky langsung. Ia memasukkan tangannya ke saku celananya.
Nara dan Dimas menoleh, kemudian menatapnya serius. Setelah mereka saling bertatapan, mereka mengatakan sesuatu padanya. Mereka berkata ingin membantunya mencari pelaku, Rizky hanya tersenyum merendahkan. Bukan maksudnya merendahkan, tapi ia berpikir bahwa anak remaja seusia dua pemuda di depannya itu tidak akan bisa membantunya apa-apa. Pikiran mereka masih labil.
Rizky membawa mereka berdua ke sebuah ruangan kecil, ruang BK. Ia meminjamnya sebentar. Ia duduk di kursi di balik meja kayu coklat, dan kedua siswa yang mengikutinya duduk di hadapannya. Mereka pun berkenalan sebelum memulai pembahasan.
"Jadi, kalian bilang mau bantu saya cari pelakunya?" Ia memandangi satu per satu dari mereka berdua. Bibirnya masih melengkung tersenyum. Kedua siswa tersebut mengangguk sekali, yakin dengan keputusan yang sudah dibuat. Rizky tertawa pelan, "Gini, ya, Dek. Ini bukan permainan bocah. Kasus ini serius, bukan untuk main-main. Mengerti?"
Alis Nara menukik. Ia diremehkan, padahal ia benar-benar serius dengan keputusannya. Dari pada ia langsung menerobos TKP dan mencari masalah, lebih baik ia langsung menghampiri petugasnya.
"Saya serius, Pak. Dan…" Nara terdiam sejenak, ia harus memberi tahu pria di depannya ini tentang si orang misterius. Firasatnya masih kuat tentang hubungan kasus ini dengan si pengirim pesan. "Mungkin saja informasi dari saya bisa bantu Bapak."
Rizky mulai penasaran. Anak ini punya informasi? Informasi tentang apa? Ia diam dan menatap mata Nara. Pemuda ini benar-benar serius dengan ucapannya. Yah, ia berharap informasi yang anak ini miliki bisa menguntungkannya.
"Apa informasinya?" Tanya Rizky, menantang. "Kalau memang informasinya membantu, kamu bisa bantu saya lebih lanjut. Tapi kalau sama sekali tidak membantu, kamu lebih baik pulang."
Nara mengangguk, kemudian melirik Dimas di sebelahnya, dan mulai membuka mulutnya. Ia dan sahabatnya itu pun menceritakan kejadian kemarin pagi saat jam pelajaran pertama di mulai. Ketika Pak Guntur yang membicarakan hal buruk tentang seorang pemuda putih, kemudian beliau yang memberikan pelajaran padanya, Pak Wakepsek yang memperingatinya, dan terakhir saat ada seorang siswi yang menangis sehabis dari lantai tiga tempat Pak Guntur menghabiskan waktunya siang itu. Ia juga menceritakan tentang Alvin, dan peraturan larangan murid tidak boleh berada di lantai tiga khusus ruang praktik.
Rizky mencatat orang-orang yang disebutkan oleh Nara di otaknya. Tapi bukan berarti Nara pun bebas dari tuduhan. Kemungkinan pemuda itu juga ada hubungannya dengan kematian Guntur Permana. Tangannya merogoh saku celananya, mengambil notebook kecil dan pulpen di saku kemejanya. Kemudian ia menuliskan nama-nama yang disebutkan Nara beserta identitasnya.
Mata Nara dan Dimas menangkap tulisan-tulisan di halaman buku sebelumnya. Itu penyelidikan kasus kemarin, kasus pembunuhan Ratu. Jadi orang ini menyelidiki kasus itu, dan Nara berpikir kalau rencananya akan semakin lancar jika ia juga membahas kasus tersebut dengan pria yang sedang menyatat di depannya ini.
"Bapak nanganin kasus ini?" Nara bertanya, tangannya menunjuk halaman di sebelah tempat Rizky menyatat. Mata Rizky yang semula fokus pada bukunya melirik Nara, kemudian ia mengangguk.
Nara terdiam setelah itu. Kemudian mulutnya kembali terbuka. "Saya juga ada di sana waktu kejadian." Dan Rizky benar-benar berhenti mencatat kali ini. Matanya menatap Nara dengan serius.
Pria yang menjabat sebagai detektif itu mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan. Anak di depannya ini sepertinya memiliki informasi yang akan berguna untuknya. Jadi mungkin ia bisa mengizinkannya membantu dirinya untuk mencari pelaku pembunuhan di sekolah tersebut.
"Kasus pembunuhan Ratu Renata hari Sabtu kemarin karena tertimpa lampu led saat manggung. Lalu saksi mata bilang, lampu tiba-tiba mati dan ada suara keras benda jatuh. Dan…" Pria itu membaca kembali apa yang ia catat di sana. "Saksi mata juga bilang, sebelum kecelakaan terjadi, Ratu menyatakan perasaannya kepada seseorang. Namanya…" Dan ia menghela nafas lelah saat membaca satu nama yang terdiri dari empat huruf di sana. "Nara, 'kan?" Kemudian ia menatap Nara.
"Tapi bukan berarti dia yang bunuh Ratu, Pak." Kali ini Dimas bersuara untuk membela Nara. Rizky beralih menatap Dimas. Pemuda yang satu ini lebih banyak diam, pikirnya.
"Ya, saya juga beranggapan begitu. Tapi itu juga bukan berarti kamu bebas dari tuduhan." Sekali lagi ia menghela nafas. "Dua kasus berbeda yang mungkin saja memiliki hubungan dengan satu orang yang sama. Secara kebetulan."
***
Nara menceritakan semuanya. Mulai dari pertama kali si orang misterius mengirimkan surat padanya, hingga kejadian di hari Sabtu kemarin. Ia juga menunjukkan surat-surat dan pesan di sosial media miliknya, yang dikirim melalui akun Wendi, pada Rizky. Pria itu terlihat puas. Ia merasa sangat tertarik dengan beberapa kasus yang ia tangani saat ini. Siapa sangka itu berhubungan? Dan pemeran utamanya pun anak yang mengaku ingin membantunya mencari pelaku pembunuhan ini. Pantas saja, dua anak remaja itu seperti sudah dapat mengira pelaku di balik semua itu. Namun mereka masih tidak mengetahui identitasnya. Walaupun begitu, itu baru opini mereka saja.
Nara pun sebenarnya memanfaatkan Rizky untuk membantunya menemukan identitas dari si orang misterius itu, yang selalu mengiriminya surat aneh. Jadi bisa saja mereka saling memberikan bantuan satu sama lain. Nara akan mendapatkan identitas si orang misterius, dan Rizky bisa menangkap orang itu.
Para petugas polisi berkeliling sekolah. Mereka mencari barang bukti penting yang hilang. Mungkin itu terjatuh, dibuang, atau dikubur? Hal tersebut bisa terjadi untuk menghilangkan bukti. Beberapa relawan dari guru pun turut membantu, mereka juga ingin kasus tersebut selesai dan sekolah dapat berjalan normal kembali. Nara dan Dimas pun ikut membantu. Keduanya kini berada di kelasnya sendiri.
Satu per satu loker meja dilihat. Banyak murid yang meninggalkan barang bawaan mereka di sana. Hingga Nara sampai di bangku Alvin, murid baru di kelasnya.
Nara membungkukkan badannya untuk bisa melihat ke dalam laci meja si pemuda putih, dan matanya menangkap sebuah buku bersampul kulit coklat. Tangannya meraih buku tersebut dan menatapnya lekat. Memperhatikan detail cover buku tersebut. Benarkah ini milik Alvin? Seceroboh itukah pemuda itu meninggalkan barangnya sendiri?
Ia menghampiri Dimas yang tengah memeriksa ventilasi-ventilasi dengan menaiki meja, kemudian menunjukkan benda yang ia temukan. Dimas menatapnya, lalu turun dari tempatnya berdiri. Di tatapnya buku dengan sampul kulit berwarna coklat di tangan Nara. Ia melihat ada nama "Alvin" yang ditulis tangan dengan huruf sambung di pojok kanan bawah sampul depan.
Keduanya ingat. Si pengirim surat pernah menantangnya untuk mencari tahu tentang sosok aslinya dengan menunjukkan bentuk tulisannya. Mungkin dengan melihat tulisan Alvin, mereka berdua dapat memutuskan sesuatu. Tapi nama yang ditulis tangan ini sedikit berbeda dengan tulisan di dalam surat yang ditulis oleh si pengirim surat, tapi hanya dengan beberapa huruf belum bisa memuaskan rasa penasarannya.
Tangan Nara membuka cover buku tersebut, dan selanjutnya membuka satu halaman pertama yang kosong. Bersih tanpa bekas coretan apapun. Lalu di halaman selanjutnya, sebuah sketsa wajah seseorang terlihat. Seorang bocah dengan senyuman yang lebar. Sketsa tersebut begitu realistik, namun hanya diwarnai dengan dua warna monoton. Hitam dan abu. Dan di dalam sketsa tersebut, bocah tersebut digambarkan memiliki rambut yang sedikit terang. Walaupun itu diwarnai hanya dengan warna abu-abu gelap. Tapi ia merasa bocah tersebut mirip dengannya. Nara menatap Dimas, kemudian kembali menatap buku di tangannya. Ia pun membuka halaman selanjutnya.
Sketsa wajah seorang bocah lainnya.
Mungkin ini adalah orang yang berbeda. Kali ini bocah di halaman ini memiliki rambut yang begitu hitam. Terlihat pewarna tersebut begitu ditekan sehingga menimbulkan warna yang sangat gelap. Tidak seperti sebelumnya, anak ini hanya tersenyum tipis. Dan juga memakai sebuah kalung dengan batu hexagon berwarna hitam di lehernya.
Kepala Nara kembali merasa sakit. Sekelibat bayangan muncul di kepalanya. Menampilkan seorang bocah berambut malam. Dalam sudut pandangnya, ia melihat wajah bocah di depannya samar, tidak dapat terbayang jelas di kepalanya. Bayangan itu memperlihatkan tangan kecilnya yang memberikan sebuah kalung dengan batu hexagon hitam pada seorang bocah di hadapannya, dengan dirinya memegang kalung yang serupa dengan warna coklat. Nara mulai bertanya pada dirinya sendiri, siapa bocah tersebut? Siapa bocah yang muncul tiba-tiba di kepalanya?
Dimas melihatnya khawatir. Ini sudah kesekian kalinya. Ia memegang bahu Nara yang tengah bertumpu pada meja di sebelahnya, namun Nara menolak tangannya dengan pelan.
"Gue nggak apa-apa." Ucapnya terengah. Kemudian tangannya kembali membuka halaman selanjutnya. Menampilkan sebuah sketsa taman bermain yang terdapat sebuah patung kuda kecil di bagian samping taman. Ia merasa mengenali taman tersebut, tapi ingatannya benar-benar bermasalah.
Tangannya bergerak untuk membuka halaman selanjutnya, namun suara pintu kelas yang dibuka mengalihkan perhatiannya dari buku tersebut dan menatap sosok berambut putih di ambang pintu yang menatapnya.
Pemuda berambut putih itu melangkah mendekati Nara dan Dimas yang masih diam dengan buku di tangannya. Sedikit terkejut saat mengetahui bahwa bukunya tengah berada di genggaman pemuda itu.
"Itu buku punyaku yang tertinggal." Ucapnya sambil mengangkat tangannya ingin mengambil buku bersampul kulit itu. Bibirnya melengkung sedikit membentuk senyuman sebelum akhirnya menghilang. Nara menyerahkannya pada pemuda itu dengan rasa sedikit tidak rela. Ia masih ingin melihat-lihat.
Dengan perlahan, Alvin mengambil buku miliknya dari tangan Nara. Matanya menatap Nara, mengharapkan sesuatu darinya setelah ia tahu Nara sudah melihat isi bukunya.
"Gambaran lu bagus." Seseorang bersuara, namun yang ia tatap sama sekali belum membuka mulutnya. Hanya menatapnya datar.
Kepalanya menoleh, mendapati Dimas yang menatapnya dingin, mencoba mengintimidasi pemuda berambut putih itu. Bukannya ia ingin menindas Alvin, ia hanya tidak menyukai keanehan anak itu.
Alvin kembali tersenyum. Mengucapkan "Makasih." Kemudian melenggang pergi begitu saja. Kedua orang yang masih di tempatnya berdiri hanya diam sambil menatap kepergian anak itu. Matanya menangkap seorang pria berseragam polisi di luar kelas yang kemudian mengantar Alvin pergi dari sana. Sepertinya anak itu meminta izin dahulu pada seorang polisi untuk mengambil barangnya yang tertinggal di kelas.
Beberapa saat setelah itu, Nara memutuskan untuk mengikuti Alvin. Mencoba mencari tahu hal-hal yang dilakukan anak itu sekembalinya dari sekolah. Ia membetulkan posisi tasnya, kemudian mengajak Dimas pergi dari sana. Sebelum benar-benar mengikuti Alvin, Nara dan Dimas meminta izin terlebih dahulu kepada Rizky untuk segera pulang. Namun Rizky juga tahu mereka ingin membuntuti pemuda putih yang beberapa saat lalu lewat di depannya.
Para polisi yang berada di area sekolah sebelumnya merasa terkejut melihat Alvin karena rambutnya yang putih. Hingga ada salah satu di antara mereka yang menceramahi anak itu untuk tidak mewarnai rambut seperti itu. Tapi seperti biasa, Alvin hanya tersenyum dan menjelaskan faktanya. Walaupun masih sedikit tidak percaya, salah seorang pria berseragam polisi itu hanya diam. Ia sama sekali tidak tahu latar belakang anak itu. Mungkin yang diceritakannya memang benar. Rizky pun sama. Saat pemuda putih itu lewat di hadapannya, ia tidak menyangka rambutnya akan benar-benar putih. Ia mengira Nara hanya melebih-lebihkannya saat menjelaskan detail sosok Alvin.
Nara sudah berada di gerbang depan sekolah saat Alvin sedang melangkah menuju halte. Pemuda berambut putih yang berjalan beberapa meter di depannya itu tidak membawa apapun bersamanya. Hanya buku notes di tangannya. Mungkin dia teringat dengan bukunya yang tertinggal saat sudah sampai di rumahnya.
Alvin melewati halte, dan Nara terus mengikutinya bersama Dimas. Tatapannya terus saja tertuju pada pemuda berambut putih itu karena jika ia memalingkan pandangannya, ia merasa akan kehilangan Alvin. Halte di dekat sekolahnya itu kini tengah ramai. Karena sudah siang, banyak orang akan bepergian. Yang hanya nongkrong pun ada.
Nara dan Dimas mencoba melewati orang-orang di halte. Namun begitu berada di ujung halte, mereka berdua benar-benar kehilangan sosok putih itu. Trotoar benar-benar ramai hari ini dan di jam sekarang ini.
Nara menghela nafas lelah, rencananya gagal. Ia menatap Dimas untuk meminta usul yang akan mereka lakukan sekarang. Melalui tatapannya pun, Dimas memberitahu bahwa ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya mereka hanya berdiri di sana, di halte yang sedikit demi sedikit ditinggalkan orang-orang. Hingga hanya tinggal beberapa orang saja yang duduk di halte, termasuk Nara dan Dimas, seorang petugas kebersihan datang. Pria yang sudah berkeringat banyak itu mengambil sampah-sampah yang berserakan. Sesekali bergumam sesuatu tentang orang-orang di sana yang tidak mempedulikan kebersihan tempat milik bersama tersebut.
Pemuda berambut kecoklatan itu menatapnya. Merasa kasihan dan miris, sekaligus marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa mengingatkan orang-orang yang membuang sampah seenaknya di sana. Matanya terus menatap gerak-gerik pria itu saat hendak mengangkut sampah di tempat sampah di samping halte. Dan matanya menangkap sebuah benda persegi berwarna silver di dalam kantung sampah bening yang akan petugas kebersihan itu bawa. Ponsel berwarna silver dengan stiker bergambar kepala kucing. Sepertinya ia pernah melihatnya di suatu tempat.
Nara bergegas berdiri dan menghampiri petugas kebersihan yang tengah mengganti kantung sampah di tempat berbentuk tabung itu. Dimas yang melihat pergerakan Nara hanya diam memperhatikan dari tempatnya duduk.
"Mas," panggilnya. Pria itu menoleh dan menatap Nara yang berdiri di sebelahnya. "Ada barang saya yang nggak sengaja kebuang tadi pagi di sini." Dan lengkungan senyum muncul di bibirnya. Jarinya menunjuk kantung sampah di samping pria itu. Pria itu melirik kantung sampah tersebut dan membukanya, menanyakan benda yang terjatuh di sana. "HP saya yang ada stiker kucingnya. Yang itu." Jawabnya sambil menunjuk sebuah ponsel di dalam kantung tersebut.
Pria berkulit gelap itu memasukkan tangannya ke dalam kantung bening tersebut dan merogoh-rogoh mencari benda persegi yang dicari remaja di sebelahnya. Begitu ditemukan, ia membersihkannya menggunakan kain lap di sakunya lalu memberikannya pada Nara.
"Maaf, ya, HP-nya jadi kotor. Lain kali hati-hati, jangan sampai kebuang lagi ya, Dek." Ucapnya ramah. Ia hanya heran, bagaimana bisa benda penting seperti itu tidak sengaja terbuang ke tempat sampah? Salah buangkah?
"Makasih, Mas." Nara mengambil ponsel tersebut dari tangan pria di depannya, kemudian kembali duduk di sebelah Dimas. Pemuda berkulit tan itu bertanya-tanya.
Nara menatap benda persegi berwarna silver di tangannya, Dimas pun melakukan hal yang sama. Mereka diam dengan pemikiran yang berbeda. Jantung Nara berdegup. Ia berharap ponsel ini benar-benar milik guru mereka. Milik Pak Guntur. Kalau pun begitu, bukankah akan sangat ceroboh jika pelaku membuangnya sembarangan? Dimas pun masih bertanya-tanya, kenapa sahabatnya itu memungut rongsokan itu. Tapi diingat-ingat lagi, rasanya ia pernah melihat ponsel yang mirip seperti itu.
"Mirip punya Pak Guntur." Ujarnya masih mengunci tatapannya pada benda persegi itu. Nara menoleh dan menatapnya, kemudian mengangguk.
Ibu jarinya mencoba menyalakan ponsel tersebut, namun benda persegi itu tidak bisa menyala. Saat itu Nara tidak membawa powerbank, benda tersebut berada di dalam tasnya di rumah. Jadi ia tidak bisa menyalakan ponsel itu dengan segera. Dan setelah itu pun, Nara memutuskan kembali ke sekolah untuk memberikan benda persegi tersebut kepada Rizky.
***
Beberapa hari berlalu dan korban sudah diotopsi. Dokter yang menanganinya mengatakan bahwa sebelum dibunuh, korban dicekik menggunakan sabuk dan diracuni dengan bahan kimia. Setelah itu korban pun disiram menggunakan bahan kimia berbahaya lain di bagian wajah.
Beberapa orang yang diduga menjadi tersangka sudah Rizky interogasi bersama rekan-rekannya. Beberapa orang memang memiliki alibi yang masuk akal dan terbukti. Namun ada pula yang terlihat panik dan tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Wakepsek sekolah pun turut ia interogasi. Pria paruh baya itu tidak mempermasalahkannya, wajar saja ia juga dicurigai. Tapi alibinya sangat sempurna. Ia bilang bahwa saat pembunuhan itu terjadi, dirinya sedang rapat dengan kepala yayasan dan juga Pak Kepala Sekolah, dan kedua pria itu membetulkan ucapan Wakil Kepala Sekolah bersama bukti daftar jadwal dan juga hasil rapatnya.
Kemudian Rudi. Pria yang menjabat sebagai petugas piket itu juga dicurigai. Ia sedikit melawan saat diinterogasi oleh Rizky menyebabkan dirinya semakin dicurigai. Namun alibinya pun masuk akal. Istrinya benar-benar melahirkan di jam yang sama saat pembunuhan itu terjadi beserta bukti foto dirinya bersama sang istri. Dan esoknya pun ia harus membereskan bangkai tikus di belakang ruangan Kepala Sekolah. Entah kenapa ada benda itu di sana.
Setelah itu Tika. Siswi kelas tiga. Rizky menemukan kontaknya dari ponsel yang diberikan oleh Nara beberapa hari yang lalu. Dan itu benar-benar ponsel milik Guntur. Sebuah keberuntungan. Dan di dalam ponsel tersebut penuh dengan obrolan korban dengan beberapa gadis, termasuk Tika. Namanya berada di paling atas. Berarti korban terakhir kali chatting bersama dengan gadis itu. Siswi itu pun menjelaskan perilaku tidak senonoh yang dilakukan oleh Pak Guntur kepadanya saat sehari sebelum jasadnya ditemukan, dan tuduhan Rizky padanya dibantah terus-menerus olehnya. Tapi ia tidak mempunyai alasan untuknya membantah semua itu. Saat itu ia diperintahkan untuk menemui pria itu di ruang laboratorium IPA, dan sedikit melihat-lihat bahan-bahan kimia di sana. Sehabis itu, Pak Guntur mendekatinya dan mulai menyentuhnya dan melepas sabuk yang ia pakai. Ia berontak dan rambutnya pun sempat tersangkut di kancing kemejanya membuat jepit rambutnya terjatuh dan beberapa helai rambutnya rontok. Karena sudah tidak tahan, ia pergi begitu saja. Namun Rizky masih belum mempercayai bagian akhir cerita yang dikatakan oleh Tika.
Lalu Alvin. Anak itu begitu tenang saat diinterogasi oleh Rizky. Menatap langsung ke matanya, dan senyum terukir di bibirnya. Rizky memberitahunya mengenai informasi yang diberikan oleh Nara tentang masalah dirinya dan Pak Guntur. Alvin menjelaskannya mengenai korban yang mengetahui masalah keluarganya ialah karena korban sendiri adalah adik dari ibunya. Setelahnya, Rizky sempat mengkonfirmasi mengenai Alvin yang sempat berada di TKP menurut yang diberitahukan oleh Nara, dan Alvin hanya menjawab bahwa ia hanya sedang mencari temannya yang bernama Mawar itu dan kemudian tersesat. Ia memberitahu Rizky bahwa ia langsung pulang bersama temannya itu seusai bertemu dengannya. Rizky pun mendapatkan klarifikasi dari gadis yang bernama Mawar juga. Dan saat itu, pembunuhan itu belum terjadi.
Dan terakhir Nara. Rizky juga masih mencurigai anak itu. Dan kenapa pula anak itu dapat dengan mudah menemukan ponsel milik korban? Ia antara percaya dan tidak saat anak remaja itu berkata bahwa ia menemukan ponsel itu di tempat sampah samping halte. Di daerah itu ada satu CCTV, namun itu hanya menyorot perempatan jalan dan tidak sampai menyorot halte. Temannya Nara pun selalu membelanya hingga membuat Rizky benar-benar mempercayai anak itu. Dan pemuda itu pun memiliki bukti bahwa dirinya bukanlah pelaku pembunuhan. Karena saat hari dimana ditemukan jasad Pak Guntur, ia mendapat pesan dari nomor yang tak dikenal. Isi pesan tersebut ialah "Masih mau bermain?" Dan saat dicari pemilik nomer tersebut, tertuju pada siswi kelas tiga di sekolah yang sama dengan pemuda berambut coklat itu. Tika.
Rizky menghela nafas. Dengan bukti itu dan bantuan rekan-rekannya, Rizky dapat menentukankan si pelaku pembunuhan Guntur Permana. Dan dengan semua bukti yang ditemukannya ia dapat menuduh Tika sebagai pembunuh korban dengan tuduhan membalas dendam karena dilecehkan. Tika sedikit membela diri dengan berkata bahwa ponselnya hilang, namun pernyataan itu dianggap bohong karena petugas kepolisian menemukan ponselnya berada di area rumah si gadis.
Gadis itu hanya pasrah. Percuma ia membela diri. Ia sudah lelah berbicara jika tidak ada yang percaya padanya. Dan beberapa hari lagi sidang akan dilaksanakan. Kerabatnya datang ke kantor polisi dan meminta tuduhan tersebut dihilangkan juga berkata bahwa ia bukanlah gadis yang seperti itu. Tika adalah yatim-piatu, ia hanya tinggal dengan bibi dan pamannya. Dan gadis itu merasa sudah sangat merepotkan keluarganya yang tersisa.
Pria yang menjabat sebagai detektif itu berpikir. Tersangka sama sekali tidak ada yang mirip dengan ciri-ciri si pengirim surat atau si orang misterius berambut hitam kelam yang pernah diceritakan Nara. Entah anak itu yang mengada-ada, atau ia yang keliru. Atau bahkan Tika, yang dituduh sebagai tersangka, hanya bonekanya? Ia harus menyelidiki orang misterius itu lebih lanjut.
Dan tanpa mereka ketahui. Di sebuah ruang gelap, seseorang menyeringai di atas tempat tidurnya dengan sebuah kartu memori di tangannya.
***