Nara berada di kamar rawat sore itu. Ia hanya berdua dengan Dimas, menatap sahabatnya yang masih belum sadar. Ayah Dimas bekerja, dan Ibunya pulang untuk mengambil pakaian ganti juga beberapa makanan. Jadi ia dipercaya untuk menemani Dimas di sana.
Ia menceritakan kejadian yang terjadi tadi siang di sekolah walaupun sahabatnya itu tetap tidak merespon sama sekali. Apa, ya, yang akan Dimas lakukan jika sahabatnya itu bersamanya kemarin dan melihat mayat Mawar? Juga apa yang akan ia lakukan saat tahu bahwa ternyata Alvin bukanlah si orang misterius itu?
Ya, Nara heran tentang hal tersebut. Jelas saja Alvin selalu bersamanya kemarin, dan pesan itu pun datang saat Alvin masih berada di jangkauan matanya. Dan ia tidak melihat Alvin menggenggam ponselnya. Jadi, siapa yang membunuh mereka? Siapa yang selalu mengiriminya surat dan pesan di media sosial melalui akun korbannya? Baiklah, persentase kecurigaan Nara pada Alvin berkurang.
Sesaat kemudian seseorang masuk ke dalam ruangan itu. Itu ayahnya. Andi. Ia menatap Nara seperti biasanya, tanpa kehangatan, dan beralih menatap Dimas yang masih terbaring di ranjangnya.
"Ayah dengar, ada lagi mayat di sekolahmu itu." Ucap ayahnya tanpa menjaga bahasanya. Nara diam. Tanpa menjawabnya pun Andi sudah tahu. "Kamu tetap nggak mau pindah ke sekolah yang lebih baik? Lama-lama kamu juga bisa jadi mayat di sana."
Nara menghela nafas. Jika saja Dimas sudah bangun, ia pasti akan membela Nara. "Nara ada keperluan, Yah. Dan itu harus dituntasin. Lagian Nara nggak mau pisah sekolah sama Dimas." Dan akhirnya ayahnya tidak menyahut.
Keheningan melanda. Keduanya menatap pada satu orang yang sama. Hanya terisi dengan suara nafas dan alat pendeteksi detak jantung.
"Ayah," Nara memanggil. Mengakhiri keheningan yang sebelumnya terjadi. "Ayah tahu pengusaha yang namanya Eiji?" Tanya Nara tanpa menatap ayahnya.
"Tahu." Jawabnya singkat.
"Tahu anaknya yang namanya Alvin Eiji?" Kemudian ia bisa melihat ayahnya itu menggeleng pelan melalui sudut matanya. "Kalau Alvin Andrea?" Dan ayahnya itu tidak menyahut. Nara menoleh menatap ayahnya, mencoba membaca ekspresi yang dikeluarkan ayahnya itu.
Kenapa beliau tidak ingin menjawabnya? Dan juga, alis ayahnya itu terlihat sedikit menukik.
"Jadi ayah kenal?" Tanya Nara lagi, memastikan. Namun ayahnya menatap Nara dengan tajam.
"Ayah nggak kenal dengan nama itu. Jangan tanya lagi." Ucapnya tajam, kemudian berlalu pergi dari sana. "Beri salam dari Ayah ke orangtua Dimas." Dan pintu pun tertutup.
Nara diam. Apakah ia pun bisa mencurigai ayahnya sendiri? Ia hanya merasa ada sesuatu yang ditutupi oleh pria itu. Tapi ia bisa dianggap durhaka jika mencurigai beliau. Pemuda itu kembali menatap Dimas dengan selang oksigen di hidungnya. Kapan sahabatnya itu akan bangun?
***
Pria tua dengan nama Andi itu berada di sebuah gedung rumah sakit esok siang, di jam istirahatnya. Bukan rumah sakit biasa, tapi Rumah Sakit Jiwa. Ia mendapatkan informasi dari temannya yang sering menangani pasien di rumah sakit tersebut bahwa ada seorang pasien bernama Gita Diana, seorang wanita dari sebuah desa tempatnya tinggal dulu.
Ia menunggu di sebuah ruangan bersama seorang pria dengan jas putih, Steve, temannya. Mengobrol basa-basi tentang pengalaman masing-masing dari mereka. Sesekali tertawa saat salah satu dari mereka menceritakan pengalaman lucu yang pernah dialami, juga sesekali mereka menyesap kopi di dalam cangkir.
"Bu Gita itu…" Sang dokter menyesap kopinya untuk menjeda kalimat selanjutnya. "Punya keluarga yang aneh, ya?" Ucapnya ingin mendengar pendapat dari Andi yang duduk di hadapannya.
Pria itu menaruh cangkir kopinya di atas meja, kemudian bersandar pada sofa. Tangannya pun ia taruh di depan dadanya, bersedekap. Merasa seketika mood-nya terjatuh. "Ya." Balasnya singkat. Kemudian ia merapikan pakaiannya dan beranjak. Ia kemari ingin bertemu dengan wanita itu, bukannya malah menggosip.
"Saya akan antar Bapak ke kamarnya." Tawar Steve, dan melangkah terlebih dahulu di depan sang pria paruh baya.
Mereka berjalan beriringan, dan berhenti pada sebuah pintu bercat putih dengan nama "Gita Diana" tertera di sampingnya. Andi menatap pintu itu lama. Ia merasa sedikit kesal sekarang. Bagaimana bisa anaknya mengingat nama anak dari wanita yang ada di dalam kamar ini?
Tangannya terulur, meraih gagang pintu untuknya bisa masuk dan melihat keadaan wanita itu. Namun pintu itu sudah terbuka oleh seseorang dari dalam, dan menampilkan sesosok pemuda dengan rambut hitam kelamnya.
Pemuda itu terdiam sambil menatap Andi. Sedikit terkejut karena ada seseorang menjulang di depan pintu, namun ekspresi pemuda itu tetap datar. Tanpa ekspresi apapun. Emotionless. Kekosongan yang menyeramkan.
"Kamu…" Geram, Andi mengepalkan tangannya. "Saya cuma akan bicara singkat sama kamu. Jangan dekati anak saya lagi, jangan pernah bertemu dengannya lagi, apalagi kalau ibu kamu masih ada di Rumah Sakit Jiwa. Saya tidak akan biarkan kamu dekati anak saya lagi. Permisi." Selesai. Andi langsung pergi dari sana, dan sang dokter kejiwaan masih terdiam di tempatnya. Bingung dengan tingkah temannya.
Steve tidak tahu harus melakukan apa pada situasi antara temannya itu dengan anak di depannya ini. Berkali-kali ia melirik keduanya, kemudian menghela nafas. Tangannya ia ulurkan pada kepala pemuda berambut malam yang masih terdiam di ambang pintu, mengelusnya sebentar.
"Kamu jagain ibu kamu baik-baik, ya." Kemudian pergi menyusul Andi yang sudah berjalan jauh.
Ia pun bingung pada si pemuda malam, anak dari pasiennya itu. Ia ingin sekali memeriksa kejiwaannya, melakukan beberapa tes untuk bisa benar-benar menentukan sesuatu yang terjadi pada psikologis anak itu. Ia bisa berasumsi satu hal setelah melihat kesehariannya bersama keluarganya dan kebiasaan yang dilakukannya, tapi ia tidak ingin mempercayai asumsinya sendiri. Ia butuh melakukan tes padanya. Mungkin suatu saat ia bisa melakukannya.
***
Malam itu, di meja belajarnya, seperti biasa Nara tengah berkutat pada buku pelajarannya. Mengerjakan beberapa soal latihan yang ada di buku tersebut untuk melatih otaknya. Namun, tidak dapat disangkal, ia pun heran mengapa ayahnya belum juga pulang. Ini sudah jam 10 lewat. Dan biasanya ayahnya sampai di rumah tepat pada jam 10. Jika pun beliau tidak akan pulang, pria itu akan mengabarinya.
Yeah, Nara hanya bisa berpikiran positif dengan menganggap bahwa ponsel ayahnya kehabisan baterai sehingga beliau tidak sempat mengabarinya.
Jadi, setelah ia selesai menjawab soal-soal pada buku pelajarannya, Nara memutuskan untuk segera tidur karena tidak terasa jam sudah menunjukkan pukul setengah 12.
***
Nara bersekolah seperti biasa. Melangkah perlahan memasuki gerbang sekolahnya. Beberapa orang menyapanya, dan tentu saja ia balas sapa dengan ramah. Hingga ia sudah sampai di pintu kelasnya, pemuda putih itu sudah berada di sana. Duduk di kursinya sambil menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Anak itu tengah melamun.
Ia menghampiri pemuda itu, menyentuh bahunya begitu sudah berada di sampingnya. Alvin menoleh kemudian tersenyum. Ia pun menyapa Nara yang duduk di sebelahnya. Lalu ia teringat sesuatu, dan mengeluarkan sepucuk surat dari dalam tasnya.
Surat dengan amplop putih.
Nara menatap amplop itu kemudian menatap Alvin bergantian. Jantungnya berdebar. Kenapa Alvin menyimpan surat seperti ini, dan dengan terang-terangan memberikan langsung padanya? Masih dengan jantungnya yang berdebar, tangannya meraih surat itu dan tetap menganalisis isi dari surat tersebut dan juga Alvin sendiri.
"Ada yang nitip." Ucap Alvin membuat Nara menatap ke arahnya.
Ia mengedipkan mata sekali, berusaha kembali sadar. "Siapa?" Tanyanya dengan suara bergetar. Dan ia melihat Alvin menggelengkan kepalanya pelan.
"Nggak tahu. Pakai masker." Alvin tersenyum menatap Nara yang sudah mulai tenang, dan nafasnya pun sudah mulai teratur.
Nara mengangguk perlahan, kemudian mengucapkan terima kasih. Disobeknya ujung amplop putih tersebut dan ia keluarkan sebuah kertas yang dilipat menjadi beberapa bagian. Ia membacanya.
"Sebentar lagi, kamu akan dapat panggilan dari rumah sakit :)"
Nara mengernyit setelah membaca surat itu. Dan beberapa detik kemudian, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Ia mengangkatnya dengan ragu. Lalu seseorang berbicara di dalam panggilan tersebut, mengkonfirmasi bahwa yang menerima panggilan tersebut adalah Nara. Setelah itu, informasi yang didapatkan Nara membuat pemuda itu membelalakkan matanya, terkejut. Ia mendapat informasi bahwa ayahnya ditemukan terluka akibat tusukan pisau di perut dan tangannya. Begitu panggilan terputus, Nara segera beranjak mengambil tasnya dan berlalu pergi. Meninggalkan Alvin yang terdiam menatapnya.
***
Pemuda berambut kecoklatan itu kini sudah berada di rumah sakit. Tepatnya berada di ruangan sang dokter. Dokter yang menangani ayahnya berkata bahwa ayahnya ditemukan terbaring di kursi halte pagi tadi dengan diselimuti jas milik ayahnya tersebut. Sebelumnya, petugas kebersihan yang datang pagi-pagi untuk membersihkan halte di depan gang perumahan tempat Nara tinggal mengira Andi hanya tertidur di sana, dan saat ia hendak membangunkan pria itu, ia menemukan bahwa Andi sedang terluka parah. Jadi setelahnya ia segera menelepon ambulans dan juga polisi. Keajaiban bahwa ayah Nara masih bisa bertahan setelah kehilangan banyak darah. Dan untungnya persediaan darah yang sesuai dengan darah Andi masih tersedia. Nara berpikir, pantas saja ayahnya kemarin malam tidak pulang dan tidak memberi kabar apapun.
Seseorang pun memasuki ruangan tersebut. Itu Rizky, orang yang menangani kasus pembunuhan Pak Guntur waktu itu. Ia menghampiri Nara yang menatapnya, kemudian ia meminta berbicara dengan Nara. Hanya berdua. Jadi, Nara pamit pada dokter, lalu mengikuti Rizky melangkah.
Mereka sampai di kantin rumah sakit. Duduk pada sebuah bangku yang menghadap taman rumah sakit. "Jadi," Nara memulai. Meminta Rizky untuk segera berbicara. Ia khawatir dengan kondisi ayahnya saat ini.
"Kamu sudah dengar, 'kan, sebagian detailnya tentang ayah kamu dari dokter?" Nara mengangguk, kemudian Rizky melanjutkan. "Jadi, kami menemukan video dari CCTV yang ada di halte." Rizky pun mengeluarkan tablet-nya dan menunjukkan sebuah video pada Nara.
CCTV yang tersimpan di atap-atap halte merekam Andi yang keluar dari sebuah taksi di depan halte. CCTV itu menunjukkan pukul 22.10, waktu biasanya Andi pulang.
Ayahnya itu pun mendapatkan panggilan telepon, namun entah kenapa beliau terlihat memarahi orang yang meneleponnya itu. Dan setelahnya, adegan menegangkan pun terjadi. Seseorang dengan pakaian serba hitam menghampiri Andi yang membelakanginya. Di tangan kanannya terlihat sebilah pisau yang ia genggam, sedangkan di tangan kirinya tengah menggenggam sebuah ponsel. Pisau itu diangkatnya tinggi-tinggi dan mulai menghujamkannya ke arah Andi. Namun Andi berbalik dan berhasil menahannya, sebagai gantinya tangannyalah yang tersayat dalam. Dan setelah itu mereka bergulat. Satunya ingin menyerang, dan yang satunya lagi berusaha bertahan. Lalu pada akhirnya, si pemuda dengan pakaian hitamnya melakukan suatu cara sehingga ia bisa menghujam pisaunya ke arah jantung Andi. Walaupun Andi bisa menghindar sedikit, pisau itu tetap menghujam perutnya.
Nafas Nara tercekat. Ia menyaksikan kejadian saat ayahnya dicelakai. Siapa itu? Perampok? Begal? Siapa? Tapi sepertinya Andi dan orang itu saling mengenal, karena mereka seperti saling terhubung dalam sebuah panggilan. Ia tidak dapat melihat wajah dari orang tersebut. Orang misterius itu membelakangi CCTV.
Matanya tidak lepas pada si orang dengan pakaian serba hitam. Jaket, celana, sepatu, bahkan rambutnya begitu hitam.
Tunggu. Jangan-jangan…?
Orang yang melukai ayahnya itu terlihat menatap ayahnya yang meringkuk kesakitan dengan memegangi bahunya yang bersimbah darah. Dan orang misterius itu terlihat tertawa setelah Andi pingsan. Ia menyimpan pisaunya ke dalam sarungnya di bagian sabuk. Lalu orang itu pun mengangkat tubuh Andi dan membuka jas yang dipakai pria paruh baya itu. Setelahnya, orang misterius itu membaringkan tubuh Andi di kursi halte dan menutup badannya dengan jas. Kemudian ia berbalik setelah mengambil ponsel dari pria itu, lalu pergi.
Ada sesuatu. Nara meminta Rizky untuk mengulang saat orang misterius itu berbalik. Rizky menurutinya. Dan pria yang bekerja untuk kepolisian itu pun dapat mengerti alasan Nara ingin memutar kembali video tersebut.
Oh, tidak. Nara kembali bimbang. Orang misterius itu, wajahnya mirip dengan Alvin.
***