Ujian akhir semester yang diadakan selama lima hari di beberapa minggu yang lalu sudah selesai. Dan di hari senin pada semester baru, tepat saat upacara, pihak sekolah mengumumkan bahwa di hari Sabtu di minggu ini akan diadakan acara pentas seni untuk merayakan ulang tahun sekolah dan masing-masing kelas harus menampilkan sesuatu. Dan setelah upacara selesai, kebetulan kegiatan belajar-mengajar belum dimulai, para murid dari masing-masing kelas itu mendiskusikan siapa dan apa yang akan ditampilkan untuk acara pensi nanti.
Nara menatap teman-teman sekelasnya yang sedang berdiskusi untuk acara pensi nanti dengan jenuh. Tatapan matanya yang sayu dan terlihat dingin. Bosan dengan kepura-puraan mereka terhadap aura suram yang terjadi saat ada pengumuman bahwa Wendi meninggal dunia di sebuah kecelakaan mobil. Dan sekarang, orang-orang itu malah tersenyum lebar dan tertawa bahagia saling mengolok.
Pemuda itu pun memalingkan wajahnya. Menatap ke langit yang tengah mendung, namun sama sekali tidak mau menunjukkan air matanya. Ia merasa bersalah. Wendi dituduh sebagai pencuri dan hidupnya pun berakhir tragis. Andai setidaknya ia bisa memberitahu pemuda berkulit gelap itu bahwa ia percaya kalau bukan Wendi pelakunya.
Ia masih mengingat pesan yang dikirimkan oleh seseorang dengan memakai akun Wendi. Ia berpikir bahwa akun Wendi di-hack oleh seseorang atau bahkan ponselnya yang berada di tangan dalang yang sebenarnya.
"Hei," Panggil Dimas pelan sambil mendudukkan tubuhnya di sebelah Nara. Ia pun menaruh soft drink kemasan kaleng di hadapan sahabatnya itu. Itu minuman kesukaan sahabatnya. Ia harap minuman itu sekiranya bisa membuat pikiran Nara segar. "Jangan dipikirin lagi. Lu berdoa aja dia tenang di sana." Ia menepuk sekali bahu Nara. Mencoba untuk menyemangatinya. Tak diduga, Nara mengangguk dan mulai membuka minuman kalengnya, lalu meneguknya sekaligus. Sesaat kemudian, seorang siswi datang menghampiri mejanya.
"Nara, lu gantiin Agus dulu, ya! Jadi juru kamera buat acara pensi nanti. 'Kan teknik pengambilan gambar lu lumayan bagus 'tuh." Pinta siswi tersebut sambil memasang wajah memelas. Juru kamera kepercayaannya sedang tidak bisa melakukan pekerjaannya karena suatu alasan.
Nara tahu Agus. Pemuda itu adalah juru kamera di klub jurnalistik dan juga andalan mereka. Bahkan ia pernah beberapa kali menjuarai lomba fotografi. Pemuda itu tidak berada di kelas yang sama dengannya, namun ia mengenalnya karena pemuda itu pernah meminta untuk memotret dirinya dan juga Dimas untuk majalah sekolah. Ia tidak pernah melihat majalah tersebut. Namun Dimas yang melihatnya berkata bahwa penulis di klub jurnalistik terlalu berlebihan membicarakan mereka. Nara hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Pemuda itu terlihat menimbang-nimbang untuk mengiyakan atau tidak permintaan Santi, siswi dari klub jurnalistik tersebut sekaligus menjabat sebagai wakil ketua klub. Dan Dimas mengusulkan untuk menerima permintaannya. Toh, Nara nanti akan sendiri di acara tersebut, sedangkan Dimas ikut dalam kelompok band kelasnya. Walaupun sebenarnya Nara tetap akan ditemani oleh para siswi di kelasnya seperti biasa. Dan setelah berpikir panjang, Nara pun mengiyakan permintaan Santi. Setidaknya ia tidak ingin meladeni para siswi itu sendirian. Ia bisa memakai alasan pekerjaan photographer itu untuk menolak mereka.
***
Dimas sampai di rumahnya setelah menghabiskan waktu setengah jam perjalanan dari sekolah hingga ke rumahnya. Ia kemudian merebahkan diri di kasurnya tanpa melepas seragam dan sepatunya terlebih dahulu.
Ponsel yang berada di saku celananya pun bergetar. Ia mengambil ponselnya dan menatap layarnya. Ada sebuah pesan masuk. Ia berpikir, mungkin itu orangtuanya yang sedang di luar kota karena mereka tidak pernah memakai media sosial untuk menghubunginya. Namun saat dibuka, pesan tersebut berisi sebuah sapaan umum seperti "Hai." dan kemudian dibalas oleh si empunya ponsel. Balasan dari orang tersebut dengan cepat datang ke ponselnya. Namun isinya membuatnya kehilangan feeling untuk membalas pesan tersebut lebih lanjut.
"Aku suka kmu. Jd pcrku yah"
***
Pagi menjelang, menyemangati orang-orang yang bangun lebih awal di hari tersebut. Burung berkicau menenangkan pikiran. Bau udara pagi hari yang sehat juga menjadi sarapan orang-orang yang tengah melakukan olahraga pagi di jalanan, sedangkan pemuda tampan berkulit kecoklatan itu masih mengelana di alam mimpinya.
Dimas membuka matanya perlahan. Mencoba membiasakan matanya terhadap sinar matahari yang masuk dari sela gorden jendelanya. Lalu ia mengucek matanya. Diraihnya ponsel yang ada di atas meja nakas, kemudian memeriksanya. Sudah ada sekitar 30 lebih pesan yang masuk ke ponselnya.
Sebelumnya, hari-hari Dimas tidak pernah seberisik ini dan hidup di kehidupan yang damai dan sunyi. Namun kehidupan itu sirna begitu ada seseorang yang terus saja mengiriminya pesan teks.
Dan di sini, di kelasnya pada jam istirahat, Dimas duduk di bangkunya dengan suram dan memijat pelipisnya. Ponsel yang ada di hadapannya itu terus saja bergetar. Orang misterius itu masih terus mengiriminya pesan. Itu membuat proses pada ponselnya untuk bekerja menjadi lebih lambat. Dimas menghela nafas lelah. Padahal ia sudah mencoba mendiami maupun memblokirnya.
"Kenapa?" Tanya Nara yang baru saja datang ke kelas setelah membeli cemilan di kantin. Ia duduk di samping Dimas dan menatap temannya itu penasaran. Kemudian matanya beralih pada ponsel Dimas yang masih terus bergetar. Ia hendak meraihnya, namun getaran itu berhenti tiba-tiba. Dan Dimas menghela nafas lega.
Dimas hendak membuka mulutnya untuk bercerita, namun salah satu teman sekelasnya yang juga satu grup band dengannya menghampiri. Pemuda itu tersenyum, dengan mata sipit, dan akan semakin menyipit jika ia tersenyum lebih lebar lagi.
"Dimas, pulang sekolah kita latihan, ya!" Ujar pemuda bernama Adit tersebut. Ia mengambil posisi drummer, sedangkan Dimas berada di posisi Gitaris. "Kebetulan di rumah si Ujang ada studio band."
Dimas menatap Adit, kemudian mengangguk pelan. "Oke."
"Ya 'udah, sampai nanti." Dan Adit pun kembali ke bangkunya masih dengan senyuman di bibirnya.
Nara memperhatikan pemuda itu yang sudah kembali mengobrol dan merusuh di bangkunya sendiri bersama teman-temannya yang lain. Adit pun sedikit melirik ke arahnya sebelum kembali berbincang.
***
Pulang sekolah Dimas benar-benar latihan dengan grup band-nya dan meninggalkan Nara untuk pulang sendiri. Selama di perjalanan pulang, ia sempat bertemu beberapa gadis di sekolah yang sama dengannya dan mereka mengajaknya untuk bergabung karaokean. Tentu saja Nara menolaknya. Andi akan sangat marah jika ia keluyuran dengan bebas. Apalagi berkaraoke dengan beberapa gadis. Ayahnya hanya mengizinkannya untuk bergaul dengan Dimas karena pria itu sudah mempercayai Nara pada anak dari temannya.
Nara berhenti di depan kedai masakan Jepang. Kebetulan perutnya juga terasa sangat lapar karena tadi siang ia hanya mengemil makanan ringan. Ia pun memutuskan untuk masuk ke kedai tersebut dan memesan katsudon, semangkuk nasi dan telur juga katsu di atasnya. Dipilihnya tempat duduk yang menurutnya strategis. Dekat jendela.
Sambil menunggu pesanannya datang, ia menatap hiruk pikuk jalanan. Banyak orang-orang berlalu lalang di sana. Dan di tengah orang-orang itu, ia melihat seorang pemuda berdiri di seberang jalan. Menatapnya sambil menyeringai. Dengan rambut hitamnya yang legam dan poni yang hampir menutupi matanya. Nara juga terus menatap orang tersebut sehingga matanya terasa mulai perih karena ia takut jika ia berkedip, orang itu akan menghilang.
"Pesanannya datang. Silahkan dinikmati!" Ujar seseorang di sampingnya sambil menaruh semangkuk katsudon di hadapan Nara. Pemuda itu pun menoleh dan mengucapkan "Terima kasih". Begitu ia kembali menatap jalanan di seberang kedai yang ia tempati, pemuda misterius itu sudah menghilang.
Dengan cepat Nara menghabiskan makanannya dan segera pergi dari sana. Melangkah menuju tempat pemuda misterius itu berdiri, dan ia sama sekali tidak menemukan siapapun di sana dengan ciri-ciri yang dilihatnya tadi. Tidak ingin ambil pusing, Nara memutuskan untuk segera pulang, walaupun ia tidak sadar bahwa ia sedang diawasi oleh seseorang dari kejauhan.
***
Hari dimana ulang tahun sekolah yang akan dirayakan pada acara pentas seni pun tiba. Acara tersebut akan dimulai sekitar dua jam lagi. Itu akan dimulai dari sekitar jam sembilan hingga sore di gymnasium yang baru. Dan pagi-pagi sekali, sebagian penghuni sekolah sudah datang untuk menyiapkan kebutuhan acara tersebut. Para anggota OSIS yang menyiapkan panggung dan sound system, juga murid-murid lain yang berlatih dan melakukan gladiresik agar penampilannya nanti tidak menjadi kacau, dan sisanya yang menyiapkan bazzar.
Gladiresik dan persiapan selesai dua jam kemudian. Ketua pelaksana dan penanggung jawab acara dari OSIS meminta para performance untuk bersiap-siap karena beberapa menit lagi acara akan dimulai.
Dimas dan anggota grupnya pun pergi ke kelas mereka untuk bersiap-siap, sedangkan Nara berkumpul bersama para dokumenter lainnya di gedung itu. Sedikit mengambil beberapa foto di saat acara sudah dimulai, dan kini pembawa acara tengah menyambut orang-orang penting di sekolah juga para guru. Termasuk kepala sekolah yang mulai berjalan ke atas panggung dan berdiri tepat di belakang mikrofon. Membersihkan tenggorokannya, lalu mulai mengucapkan pidato yang sudah dihafalnya.
Nara dengan telaten memotret kepala sekolah dengan balutan jas mewahnya sehingga dapat menunjukkan kewibawaan beliau sebagai pemimpin sekolah. Dan begitu selesai, ia menghampiri Santi yang sedang mengambil video pidato kepala sekolah dengan kamera video milik klub jurnalistik. Itu bisa ia dapatkan berkat sekolahnya yang mau membiayai kebutuhan klubnya.
Sesampainya waktu istirahat, tepat jam dua belas, Nara kembali ke kelasnya untuk menyemangati Dimas yang tengah bersiap bersama anggota grup band-nya. Kelas Nara sudah didekorasi sedemikian rupa oleh teman-teman sekelasnya sejak kemarin. Ruangan itu menjadi terlihat lebih ceria dan ramai dengan hiasan kertas karton dan krap, juga masing-masing meja yang dipakaikan kain batik.
Dimas sudah siap dengan gitar di pangkuannya, dan anggota yang lain pun siap dengan alat musiknya kecuali drummer yang hanya memegang stik drumnya. Setelah Adit, bagian drum, memulai aba-abanya, Dimas mulai memetik gitarnya dan disusul oleh pemegang bass, Raka. Kemudian sang vokalis mulai menyanyikan lirik lagu yang dibawakan oleh band Jepang ternama. Dari bangkunya, Nara dengan iseng memotret Dimas bersama anggotanya yang duduk di bangku di bagian tengah kelas. Setelahnya ia meminum air mineralnya.
Santi menghampiri Nara di kelasnya sambil membawa sebuah kotak berisi makanan. Setelah gadis itu berucap terima kasih atas pekerjaan yang dilakukan Nara hari ini, ia menaruh kotak itu di hadapan Nara.
"Makasih, Nti" Ucap Nara sambil membuka kotak makanan berisi nasi dan lauk-pauk itu. Santi mengangguk dan berlalu setelah mengucapkan balasan. Begitu Santi sudah menghilang di balik pintu kelasnya, ia mulai melahap makanannya.
***
Tiba saatnya giliran kelas Nara yang diwakili oleh grup band Dimas. Di belakang panggung, Dimas dan kawan-kawan sudah bersiap dan berdoa untuk kelancaran penampilan mereka. Setelah itu, mereka pun dengan siap naik ke panggung dan berdiri di posisi masing-masing. Nara sudah siap dengan kameranya untuk memotret perwakilan kelasnya.
Lantunan lagu yang diciptakan oleh band dari Jepang itu pun membahana ke seisi gymnasium. Para penonton pun ikut bernyanyi dan bertepuk tangan. Nara tersenyum sambil memotret teman-teman sekelasnya itu.
Pentas seni pun selesai saat langit sudah berubah menjadi warna jingga. Warna yang indah dan menenangkan. Menghilangkan rasa lelah yang melanda Nara seharian ini.
Langkahnya menyamai langkah Dimas yang lebar karena temannya itu lebih tinggi darinya. Iseng, Nara memotret apapun di sekitarnya yang dianggapnya menarik. Kebetulan langit juga sedang menunjukkan keindahannya sehingga menimbulkan efek alami untuk objek yang dipotretnya. Kembali iseng, Nara memotret wajah Dimas dari dekat, dan kemudian tertawa pelan sambil melihat hasil gambar yang diambilnya. Lubang hidung temannya itu terlihat besar jika dipotret dari bawah.
Biasanya jika Dimas dijahili seperti itu, ia akan meresponnya dengan candaan juga seperti akan membalas dendam pada Nara atau mengancam Nara jika pemuda itu tidak berhenti melakukannya. Namun kali ini Dimas hanya diam dan fokus pada ponselnya.
"Udah punya gebetan?" Tanya Nara sambil sedikit mengintip ponsel Dimas. Namun layar benda persegi tersebut sudah mati. Dimas sudah me-lock-screen ponselnya dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Dimas menggeleng dan melanjutkan langkahnya bersama Nara. Namun baru saja tiga langkah, Dimas kembali mengambil ponselnya yang bergetar dan mengetik sesuatu di sana. Ada pesan lagi yang masuk ke dalam ponselnya.
Nara sedikit jengkel sebenarnya, ia jadi diabaikan hanya karena Dimas sudah mempunyai gebetan, menurutnya. Ia berjalan menjauh dari Dimas sekitar beberapa meter dan mulai memotret temannya itu dari tempatnya kini berdiri. Di kameranya, Dimas masih saja menunduk mengetik sesuatu di ponselnya, dan kemudian Nara memotretnya. Dengan latar gang selebar lima meter yang mereka lalui dan sebuah tiang listrik di sebelah kiri di belakang Dimas. Belum lagi langit sore yang berwarna oranye menambah efek natural pada kamera. Dan Nara berhasil memotret Dimas yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya dengan ekspresi datar. Orang-orang biasanya menyebutnya dengan foto candid.
"Yang lagi chatting sama gebetannya mah lupa dunia." Nara kembali iseng dengan menggoda Dimas. Namun, pemuda berkulit tan itu hanya menatapnya datar kemudian menghela nafas dan merangkul Nara untuk kembali melangkah. Dimas mengubah ponselnya ke mode silent, tanpa getar maupun nada.
Keheningan terjadi setelah itu. Nara yang lebih pendek dari Dimas pun merasa risih dengan lengan sahabatnya yang masih bertengger di bahunya. Ia merasa jadi semakin pendek.
"Nara," panggil Dimas pada orang di rangkulan lengannya. Nara hanya berdehem untuk menanggapinya. "Ke rumah gue dulu, ya." Itu perintah, bukan ajakan. Nara mengerti dan menganggukkan kepalanya. Ya, asalkan Dimas yang meminta izin pada ayahnya tidak akan jadi masalah.
***
Langit semakin menghitam menunjukkan sisi gelap dunia, waktu yang sering digunakan para kriminal untuk melakukan tindak kejahatan. Di satu sisi dunia, ada seseorang yang terobsesi untuk bersama dengan seorang lainnya dan ingin menjadikannya hanya untuk dirinya seorang. Dan kini orang itu, dengan tudung jaket di kepalanya, menatap sebuah rumah yang ia yakini Seseorang-Yang-Ingin-Ia-Dapatkan itu ada di dalam sana. Matanya tak lepas memandangi satu-satunya ruangan dengan lampu yang menyala. Melalui jendela ruangan itu, ia dapat melihat dua orang yang sedang berinteraksi di dalam sana. Tertawa sambil melupakannya. Senyum yang bertahan di bibirnya mulai luntur saat ia menyadari bahwa dua orang tersebut memiliki hubungan yang dekat. Kemudian ia bersembunyi di balik pohon di pinggir jalan saat seseorang mendekati jendela dan menutup tirai berwarna biru gelap tersebut, membuatnya tidak dapat mengamati pergerakan kedua orang itu.
Di sisi lain, pemuda berkulit sedikit kecoklatan, Dimas, tertawa saat Nara menunjukkan foto yang ia ambil di perjalanan pulang sore tadi. Nara meminjam komputer Dimas untuk melihat-lihat hasil foto yang ia ambil sejak pagi sebelum acara pentas seni di mulai. Dan mereka akan kembali tertawa saat menemukan foto dengan orang-orang yang berekspresi absurd. Tidak terkecuali kepala sekolah juga. Demi apapun, Nara tidak sengaja mendapatkan beberapa hasil potretan yang seperti itu. Hingga foto terakhir yang Nara ambil di perjalanan pulang tadi.
"Yang ini keren. Maksudnya gue yang keren." Ujar Dimas bercanda saat ia melihat foto candid-nya. Nara tertawa pelan dan meninju lengan Dimas sambil mengatai temannya itu.
"Dih, pede banget." Kemudian pemuda dengan rambut kecoklatan tersebut memandangi foto Dimas. Namun bukan Dimas yang ia pandangi, tapi sesuatu. Ia merasa ada sesuatu di dalam foto tersebut. Penampakan misalnya.
Dan dengan tiba-tiba Nara menepuk paha Dimas yang ada di sebelahnya dengan kencang, menimbulkan ringisan dari temannya itu. "Ada…!"
Dimas menatap heran ke arahnya dan fotonya secara bergantian. "Ada apa?"
"Penampakan." Nara menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah tiang listrik di belakang Dimas. Di sana, di balik tiang listrik tersebut, ada seseorang dengan rambut panjang yang melihat ke arah kamera. Seketika Nara menepuk dahinya sadar akan sesuatu. "Oh iya, gue lupa kalau maghrib nggak boleh foto-foto."
"Mitos." Ucap Dimas pelan. Kemudian ia menyipitkan matanya untuk melihat 'seseorang' itu supaya lebih jelas. "Zoom coba." Pintanya dan Nara menurutinya. Setelah foto diperbesar di tempat 'seseorang' itu, terlihat jelas bahwa orang itu adalah siswi yang berada di sekolah yang sama dengannya, terlihat dari seragam yang dipakainya.
Nara menatap serius pada sosok gadis tersebut. Ia merasa seperti pernah melihatnya. Dilihat-lihat kembali foto-foto yang ia ambil saat pentas seni tadi. Dan benar saja dugaannya bahwa siswi itu mengikuti mereka, atau mungkin hanya Dimas. Mulai saat gladiresik, gadis itu mengintip dari sisi panggung yang lain, sedangkan Nara memotret Dimas dari sisi yang satunya. Kemudian saat Dimas dan grupnya bersiap di kelas, sewaktu Nara mengambil foto Dimas dari arah bangkunya, dari arah pintu kelas gadis tersebut juga mengintip. Lalu saat giliran Dimas tampil bersama grupnya, gadis itu juga mengintip dari arah belakang panggung. Dan yang terakhir saat di perjalanan pulang.
Stalker?
"Oh iya," Dimas mulai berbicara. "Akhir-akhir ini ada orang yang SMS-in gue mulu. Dan itu bukan gebetan gue, please." Ia menatap tajam Nara yang hendak menyangkal pembicaraannya, kemudian melanjutkan. "Padahal gue udah blokir nomer dia. Tapi nggak tahu kenapa, dia bisa SMS gue lagi." Dimas pun mengambil ponselnya yang ada di sebelah komputer dan membuka pesan masuk. Entah apa maksudnya, padahal di zaman sekarang orang-orang sudah menggunakan aplikasi chatting, atau media sosial.
Nara mengambil ponsel Dimas dan melihat isi pesan yang ditunjukkan temannya itu. Dan Nara merasa pusing tiba-tiba setelah membacanya. Wajar saja kalau Dimas merasa terganggu. Jika ia berada di posisi Dimas, ia juga akan berusaha memblokir orang ini. Bahkan kalau dirinya orang yang kejam, ia akan melaporkannya ke polisi.
Dilihat dari pesan yang dikirimnya, gadis ini terlihat sangat terobsesi pada Dimas sehingga setiap waktu selalu mengirimi Dimas pesan. Ia heran. Entah gadis ini mempunyai banyak uang untuk membeli pulsa atau mempunyai banyak bonus gratis SMS sampai-sampai bisa mengirimi Dimas pesan setiap waktu.
***
Dua hari kemudian, hari Senin, hari yang paling banyak dibenci oleh kebanyakan pelajar karena tradisi upacara paginya. Belum lagi amanat dari pembina upacara yang selalu melupakan waktu membuat para pelajar merasa sangat lelah di bawah teriknya matahari. Belum lagi mereka pun harus mengikuti pelajaran nantinya.
Kedua pemuda populer itu pun melangkah menuju kelas mereka sambil meneguk minuman yang mereka beli di kantin seusai upacara, kemudian menemukan seseorang yang mereka berdua bicarakan sejak Sabtu kemarin.
Gadis stalker yang rajin mengirim pesan pada Dimas. Dan kini ia terlihat sedang mengintip ke dalam kelas Nara dan Dimas.
"Hei," Dimas menepuk bahu gadis tersebut dan menyebabkannya memekik karena terkejut. Kini para murid lain mulai beralih menatap mereka, namun dengan cepat mengabaikannya. Hanya beberapa orang, terutama para gadis, mulai bergosip.
"E-eh? Eh?" gadis tersebut mulai terlihat gugup dan tubuhnya terlihat gemetar. Dirinya sudah ketahuan dan mulai merasa gugup. Ia tidak takut, justru ia hanya gugup dan senang sampai-sampai tubuhnya gemetaran.
Nama gadis itu Ria, terlihat dari name tag yang ada di seragamnya. Rambutnya panjang dikepang dengan poni lurus yang jatuh terurai di dahinya. Pipinya pun merona dan matanya besar dengan bibir mungil dan merah. Cukup manis untuk ukuran seorang stalker dan gadis yang agresif.
"Ngapain ngintipin kelas? Lu bukan dari kelas ini, 'kan?" tanya Dimas langsung. Nara menyenggol lengan Dimas karena merasa sahabatnya itu sedikit kasar kepada seorang gadis.
Nara menghela nafas pelan dan gadis itu pun mulai menatapnya. "Kamu ada keperluan apa? Kenapa nggak masuk?" tanya Nara berusaha lembut.
Ria terpaku sesaat, masih menatap Nara yang tersenyum lembut. Pipinya mulai bertambah merah.
"Aku," ia memberi jeda sejenak untuk menelan kegugupannya. Dan saat ia sudah merasa yakin, ia mulai melanjutkan. "Aku mau bicara sama Nara."
Nara terdiam. Dimas pun terdiam.
Kenapa gadis ini malah ingin berbicara dengan Nara dan bukannya Dimas? Lagipula, gadis ini tidak seperti yang diceritakan oleh Dimas. Ada yang salah di sini.
Jika yang Dimas ceritakan tentang gadis yang selalu mengirim pesan kepadanya adalah gadis yang agresif, berbeda dengan Ria yang terlihat pemalu. Lihat saja, wajahnya sudah seperti kepiting rebus begitu. Tapi, ya... Jangan melihat seseorang dari tampilannya.
"Eh?" Nara dan Dimas baru merespon setelah beberapa detik terpaku. Ini tidak sesuai ekspetasi mereka tentang gadis ini. Padahal Dimas sudah menyiapkan dialog untuk menceramahinya.
"Aku… Aku mau… Aku mau kasih kamu ini!" Dengan tiba-tiba gadis itu menyodorkan sebuah ampol berwarna putih polos kepada Nara. Pemuda itu kembali terdiam dan menatap amplop tersebut. Perasaannya jadi tidak enak.
Ia mengambil amplop itu, dan gadis itu masih berdiri di sana. Menundukkan wajahnya dan menatap sepatunya. Ia terlalu gugup karena ini pertama kalinya ia berbicara dengan Nara, orang yang ia sukai sejak masa orientasi.
"Lu ngikutin kami cuma untuk ngasih itu? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?" Dimas kembali bersuara dan Nara kembali menyenggolnya untuk mengingatkannya untuk tidak berbicara keras pada perempuan.
"Ah, itu karena aku terlalu gugup, karena…" Gadis itu kembali memberikan jeda pada kalimatnya. Ia meremas ujung lengan kemejanya dan tetap menatap sepatunya. "Karena aku suka Nara!" Ungkapnya dengan pelan namun penuh penekanan.
"Heh?"
Mereka terdiam kembali. Telinganya jelas mendengar pernyataan itu. Namun kenapa rasanya ada yang janggal?
Dimas mengkerutkan dahinya. Kini alisnya terlihat menyatu.
"Nah, terus kenapa lu malah kirim SMS teror ke gue, hah?" tanya Dimas. Ia sudah mulai kesal karena merasa dipermainkan.
Ria mulai mengangkat kepalanya dan menatap Dimas heran. "SMS? Aku nggak pernah kirim SMS ke kamu. A-Aku malah pengennya SMS-an sama Nara." Dan gadis itu kembali tertunduk malu.
Dan tepat sekali, sebuah SMS masuk ke ponsel Dimas. Begitu Dimas memeriksa ponselnya, tertera nama "Stalker" di layarnya. Pemuda dingin tersebut menatap layar ponsel dan Ria bergantian. Dan yang ia temukan adalah bahwa Ria sama sekali tidak memegang ponselnya. Jadi kemungkinan bukanlah Ria pelakunya.
"Terus siapa?" Dimas terus menatap layar ponselnya heran. Nara pun mengintip layar ponsel Dimas dan menemukan pesan masuk di ponsel sahabatnya itu. Pemuda itu pun beralih menatap Ria yang curi-curi pandang ke arahnya. Dirinya dan Nara sudah salah mengira dan menuduh Ria.
Dimas berdehem. Membersihkan tenggorokannya. "Maaf, ya. Udah asal nuduh." Ucapnya pelan. Ria hanya mengangguk dan menatap Nara dari balik bulu matanya.
Setelah itu, Ria pamit untuk pergi ke kelasnya sendiri, dan Nara bersama Dimas memasuki kelasnya. Pikirannya tidak ada hentinya untuk memikirkan siapa yang mengiriminya pesan. Mereka berjalan ke arah bangkunya dan melewati beberapa orang yang berkumpul di satu meja. Salah satunya ialah Adit, drummer dari band-nya saat acara pentas seni kemarin.
Mereka tertawa. Menertawakan sesuatu. Berkumpul aneh seperti itu terlihat mencurigakan. Nara dan Dimas melewati mereka, dan Dimas mendengar namanya disebut oleh salah satu dari mereka. Penasaran, Dimas mendekat tanpa disadari oleh teman-teman sekelasnya itu dan melihat sesuatu yang dilakukan oleh mereka. Dan pemuda itu pun merasa geram.
"Hahaha. Asli ngakak!" Ucap salah seorang dari sekumpulan itu.
Di saat itulah, ponsel Dimas bergetar menandakan ada pesan yang masuk ke dalam ponselnya. Si empunya ponsel meremas ponselnya sedikit kuat untuk menahan emosinya yang mulai meluap di saat membaca isi pesan tersebut.
"Ngerjain Dimas seru juga." Dan Adit pun ikut berucap pelan sambil mengetikkan sesuatu lagi di ponsel jadulnya dan kemudian menekan tombol kirim. Dan tepat setelah itu, ponsel Dimas kembali bergetar.
Dimas menatap layar ponselnya dan membaca isi pesan yang dikirim oleh si penguntit itu setelah membaca pesan yang Adit ketik. Dan dugaannya benar.
"Hai bebs. Kmu udh sarapan blm? ;)"
Dimas pun bersiap mengetikkan pesan balasan kepada si penguntit untuk menjawab dugaannya.
"Udh kok, Aditya Denata ^_^ Perhatian bgt deh."
Dan setelah pesan terkirim, terlihat tubuh Adit dan lainnya membeku setelah membaca pesan balasan dari Dimas. Dengan gerakan perlahan dan kaku, orang-orang itu pun memutar kepala mereka untuk bisa melihat orang yang berdiri di belakang mereka. Dan terlihatlah Dimas yang sudah mengeluarkan aura hitamnya.
Nara yang melihat itu dari bangkunya hanya tersenyum dan sedikit tertawa. Ternyata Dimas hanya dikerjai oleh teman-teman sekelasnya? Yah, ia jadi merasa bersalah pada Ria yang sudah ia tuduh, dan nyatanya Dimas malah dikerjai teman-teman sekelasnya.
Pemuda tampan itu pun beralih menatap amplop di tangannya. Mengira-ngira isi dari amplop tersebut. Ingin menuruti rasa penasarannya, Nara segera membuka amplop putih polos itu. Namun di tengah pergerakannya, ia berhenti dan sesuatu terlintas di pikirannya.
Selama ini, yang memberikannya amplop berwarna putih polos adalah orang misterius yang akhir-akhir ini selalu mengganggu kehidupan Nara. Orang yang mulai pemuda itu waspadai. Dengan cepat ia melanjutkan pergerakannya dan melirik isi dari amplop tersebut dan kemudian mengeluarkan isinya.
Dua buah tiket konser dan sebuah surat.