Chereads / TSUIN (ツイン) / Chapter 2 - Pesan

Chapter 2 - Pesan

Nara. Tampan, berprestasi, dan populer. Namanya sudah dikenal oleh nyaris seluruh warga di sekolahnya. Banyak pula murid perempuan yang menyukainya. Selalu ada sekitar tiga siswi setiap harinya yang mencoba untuk dekat dengannya dan menyatakan perasaannya. Namun, Nara tidak pernah satu pun menerima perasaan dari siswi-siswi itu. Ia tidak tertarik pada dunia percintaan karena ia sudah tahu bahwa ayahnya pasti akan melarangnya.

Pemuda berparas menawan dengan surai kecoklatan yang terhembus angin dari jendela itu menopang dagunya di atas meja. Walaupun matanya menatap ke arah depan kelas dengan bosan, tempat gurunya sedang menjelaskan materi, namun pikirannya tidak pada hal yang dijelaskan oleh sang guru. Angin yang menyapu lembut wajahnya membuatnya merasa mengantuk dan kehilangan fokusnya sehingga pikirannya terbang ke mana-mana. Dan hal itu berakhir karena teman sebangkunya.

"Jangan melamun." Ucap pemuda dengan kulit sedikit kecoklatan itu dengan pelan sambil menyikut lengan teman sebangkunya, takut ketahuan guru di depan karena sudah mengobrol di jam pelajaran. 

Namanya Dimas. Sahabatnya juga teman sebangkunya. Mereka bisa berteman karena orangtua mereka saling mengenalkan mereka satu sama lain, dan juga mereka sama-sama mengikuti les di tempat yang sama sewaktu SMP. Andi __ayah Nara__ dan ayah Dimas adalah teman semasa SMA yang kini menjadi partner di perusahaannya.

Nara yang sebelumnya tengah melamun itu melirik teman sebangkunya. "Ganggu 'aja. Lagi mikirin doi, nih." Guraunya dan kembali memperhatikan guru yang sedang menerangkan.

Teman sebangkunya tersebut mendekatkan tubuhnya ke arah pemuda itu dan menundukkan kepalanya. "Eh? Tumben banget!" bisiknya lagi. Tapi ia tahu Nara hanya bercanda dengan ucapannya. Ia pun tahu sahabatnya itu sama sekali tidak akan memikirkan kisah romansa.

"Nggak apa-apa, dong." Dan setelah itu mereka mendengus dengan senyuman di bibir. Tapi itu hilang saat sebuah suara menegur mereka. Seketika tubuh keduanya menegang, dan mereka langsung menegakkan punggung mereka.

"Nara? Dimas? Kenapa kalian malah pacaran di pelajaran saya? Nempel-nempel 'gitu pula." Pria paruh baya dengan kacamatanya yang berbentuk persegi itu memergoki mereka dengan tuduhan yang membuat seisi kelas tertawa dan kemudian malah menggoda mereka.

Kedua tersangka yang dituduh itu pun menunduk malu. Bukan malu tersipu, tapi malu karena tuduhan palsu yang dilontarkan guru mereka. Imejnya hancur! Walaupun mereka sangat dekat, jelas mereka bukanlah sepasang kekasih. Keduanya berkelamin sama, dan tidak terpikirkan oleh mereka tentang hal yang seperti itu.

"Kami tidak pacaran, Pak!" Sangkal Nara membela dirinya sendiri dan teman sebangkunya. Kepalanya kini terangkat dan matanya menatap Pak Suryo yang sedang menatap mereka datar.

"Iya, deh, Bapak percaya." Katanya dengan datar dan berbalik untuk melanjutkan penjelasan materinya yang sempat tertunda.

Nara menekuk wajahnya. "Nggak yakin." Gumamnya namun tepat dapat didengar oleh pak Suryo.

"Apa kamu bilang?" Pria itu membetulkan kacamatanya yang merosot dan menatap Nara. Dan pemuda yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya keras sebagai jawabannya.

***

Mereka sampai di kantin. Dan seperti biasa, banyak pasang mata yang memperhatikan mereka mulai dari saat baru saja memasuki kantin hingga pesanan mereka datang. Entah apa yang sebenarnya orang-orang lihat dari mereka. Nara dan Dimas merasa biasa saja, bahkan ada yang lebih baik dibanding mereka berdua. Ya, Yang-Lebih-Baik itu pun juga senasib dengannya. Tapi jujur saja, Nara tidak pernah berharap mendapatkan kehidupan seperti ini. Ia hanya ingin hidup nyaman dan tenang tanpa ada yang membatasinya dan mengusiknya. Namun apa daya, ia terpaksa menjalani kehidupan seperti ini. Demi gengsi ayahnya.

Nara menatap nasi goreng di depannya tanpa minat. Nafsu makannya bisa hilang kalau terus-menerus diperhatikan seperti itu. Jujur saja, ia merasa risih dengan keadaannya sekarang. Ia bahkan selalu bertanya pada dirinya sendiri, kapan ia bisa mendapatkan waktu yang nyaman walau itu hanya sehari saja? Ia juga tidak bisa melarang mereka. Itu hak mereka sebenarnya jika ingin memperhatikannya. Lagipula, jika ia membuat masalah di sekolahnya, ayahnya bisa murka.

Jika ditanya kenapa hanya Andi yang berperan di kehidupan Nara, maka jawabannya adalah karena ibunya sudah meninggal saat umur Nara masih lima tahun. Andi menyalahkan Nara dan juga orang yang 'membunuh' istrinya. Ibu Nara meninggal karena kelalaian seorang pengendara mobil yang bahkan belum mempunyai SIM. Saat itu Nara yang memaksa ibunya untuk membelikannya kue kesukaannya, dan saat wanita itu sedang menyeberangi jalan raya untuk menuju ke toko kue di seberang, ada sebuah mobil yang menerobos lampu merah. Orang itu tidak peduli dengan peraturan lalu lintas dan terus saja mengebut di jalanan sehingga tidak dapat segera menghentikan mobilnya saat tahu ada seseorang yang menyeberang jalan di depannya. Andi marah dan menuntut orang tersebut juga menyalahkan Nara, karena jika anaknya itu tidak memaksa istrinya, wanita yang ia cintai itu tidak akan 'pergi'. Sejak itulah, ia selalu bersikap keras pada Nara dan memaksanya untuk menuruti kehendaknya. Selayaknya robot. Selain itu pun, Andi hanya peduli pada reputasinya tanpa memikirkan perasaan anaknya sendiri.

"Nasi gorengnya keburu dingin, Nara." Dimas menyadarkannya dari lamunannya. Akhir-akhir ini Nara memang selalu melamun tanpa sebab. Dimas hanya takut sahabatnya itu kerasukan, itu akan sangat merepotkan nanti. Nara hanya berdehem dan mulai memakan nasi gorengnya.

Begitu selesai menghabiskan makan siang masing-masing, mereka pun kembali ke kelas. Dan kembali berpapasan dengan beberapa siswi. Banyak dari mereka yang menyapanya, dan dibalas senyuman oleh Nara. Tidak dengan Dimas karena pemuda itu selalu memasang wajah datar dan dingin di depan orang lain selain Nara dan keluarganya.

Sibuk membalas sapaan mereka membuat Nara tidak memperhatikan jalanan sehingga tidak sengaja menabrak seseorang. Atau seseorang itu yang menabraknya?

"Eh, sorry." Ucap Nara namun orang yang ditabraknya sudah berbelok di tikungan sana. Tidak ingin terlalu peduli, ia dan Dimas pun kembali melanjutkan langkah mereka ke kelas.

Beruntungnya bagi mereka yang malas belajar, jam pelajaran di suatu kelas setelah jam istirahat kosong. Guru yang mengajar dikabarkan sedang melakukan perjalanan ke kampung halamannya untuk mengunjungi orangtuanya yang sakit dan hanya guru itulah yang bisa dimintai tolong untuk menjaganya selain keluarganya yang lain. Namun para murid di kelas itu tetap tidak diperbolehkan untuk pulang ataupun pergi keluar area sekolah.

Jam kosong seperti ini pun dimanfaatkan Nara untuk membaca surat-surat yang diberikan para siswi padanya. Surat-surat itu memiliki berbagai macam bentuk amplop. Ada yang sangat manis hingga yang biasa-biasa saja. Dan Nara pun memilih untuk membaca dari yang paling manis terlebih dahulu. Hingga tersisa satu lagi surat dengan amplop yang sangat biasa. Surat dengan amplop berwarna putih polos. Ia membukanya dan membaca isinya.

"Ingat aku?"

Hanya itu. Hanya satu kalimat. Dan si pengirim surat tidak menulisnya, namun menggunakan kertas-kertas tempelan yang terdiri dari huruf-huruf yang digunting dari majalah atau sejenisnya dan disusun menjadi sebuah kalimat.

Nara mengernyit heran. Surat ini berbeda dari surat lainnya. Dan ia mulai mengingat-ingat seseorang yang memberikan surat ini padanya. Namun tetap saja ia tidak bisa mengingatnya, banyak yang memberikan surat padanya dan ia tidak bisa memperhatikan mereka satu-persatu.

"Nggak usah dipeduliin. Paling itu dari teman SD atau SMP yang suka sama lu." Dengan cuek, Dimas memakan coklat dari penggemarnya sambil menyandarkan punggung pada bangkunya. Dimas benar, mungkin itu dari seseorang yang dulu pernah satu sekolah dengannya di SD atau SMP. Banyak murid dari sekolah SD dan SMP-nya yang kini satu sekolah dengannya.

"Ada kertas di saku kemeja lu." Lanjutnya setelah menemukan sesuatu yang mengintip dari balik saku kemeja sahabatnya itu. Ia hanya merasa tidak ada kertas itu sebelumnya. Tepatnya sebelum mereka keluar dari kantin.

Nara melirik sakunya. Dan benar, ada sebuah kertas yang dilipat di sana. Ia mengambilnya dan membukanya. Dan surat itu kembali terdiri dari susunan huruf-huruf yang ditempel seperti sebelumnya. Sebegitu tidak ingin ketahuankah? Atau hanya sok misterius?

"Ayo, main!

Datang ke gedung olahraga lama, ya"

Lagi. Hanya kurang dari sepuluh kata yang ada. Nara jadi penasaran dengan orang yang membuat surat seperti ini untuknya. Sedikit ia merasa khawatir, takut-takut yang mengirimnya adalah seorang penguntit yang iseng. Dan ia mulai mencari cara untuk menjauhkan penguntit itu.

Gedung olahraga lama yang terbengkalai. Ditinggalkan dan hanya dipakai para murid nakal untuk membolos ataupun nongkrong. Sekolah tidak menggunakan gedung itu lagi karena fasilitasnya yang kurang daripada gedung olahraga yang baru, dan posisinya pun tidak strategis. Dan juga beberapa bagian yang sudah keropos dapat mencelakai seseorang.

Nara dan Dimas masuk ke gedung tersebut dan mendapati ruangan luas itu dalam keadaan kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada suara angin yang mengisi ruang luas penuh kenangan.

Mata Dimas menangkap sesuatu yang tergeletak di tengah-tengah aula tepat di lantai berwarna coklat muda tersebut, di depan podium setinggi pinggang orang dewasa. Ia meraih tangan Nara yang masih mengedarkan pandangannya ke penjuru aula berharap bisa menemukan seseorang.

"Ada surat lagi." Kata Dimas setelah yakin dengan yang dilihatnya. Nara menoleh cepat dan juga melihat surat itu masih di tempatnya. Kemudian mereka berdua pun segera mendekati kertas yang tergeletak di lantai setelah menghela nafas berat.

Nara mengambilnya. Kini surat itu tanpa amplop seperti yang sebelumnya. Surat yang dilipat sebanyak dua kali itu pun dibuka oleh Nara yang semakin penasaran. Ia sempat berpikir, mungkinkah ini hari ulang tahunnya dan mereka membuat kejutan untuknya? Jelas bukan! Hari lahirnya sudah terlewat di satu bulan yang lalu. Nara ingat betul karena ia mendapat hadiah 'istimewa' dari ayahnya: Seharian mengikuti les private di rumahnya. Jika bukan itu, mungkin ini kerjaan orang-orang yang suka mengerjai orang dari salah satu statiun televisi? Mereka pasti punya jebakan yang lebih seru. Lalu apa? Nara kehabisan pemikiran positifnya.

Apapun alasan seseorang membuat hal seperti ini, Nara tidak akan memaafkan orang tersebut jika sampai merugikannya.

"Ingat aku?

Ayo, main!"

Untuk kedua kalinya, si pengirim surat menulis kalimat yang sama. Siapa orang ini sebenarnya? Bagaimana Nara bisa ingat kalau si pengirim surat tidak memberikan identitas atau clue?

Di surat tersebut terdapat plaster luka bergambar harimau yang tertempel di bagian bawah susunan kalimat itu. Ia tidak bisa mengingat apapun tentangnya. Bahkan Nara tidak merasa kalau plaster ini ada hubungan dengan dirinya dan si pengirim surat.

Nara mengernyitkan dahinya, sedangkan Dimas mulai merasa khawatir.

"Mungkin lu pernah kasih dia plaster ginian?" Ucapnya ragu dengan kalimatnya sendiri. Nara mengangguk pelan, sama tidak yakin dengan dirinya. 

Seketika sudut mata Dimas menangkap suatu siluet yang berdiri di balik tirai podium. Ia merasa yakin orang tersebut yang mengirim surat pada sahabatnya. Orang yang mengerjai Nara. 

Pemuda berkulit sedikit gelap itu pun mengambil nafas dalam-dalam dan menahannya sejenak. "Hei! Keluar kalau berani! Jangan bisanya sembunyi dan ngerjain orang! Kuper banget, sih! Kurang perhatian!" Dan terdengar suara rusuh dari ruang penyimpanan yang berada di sebelah kanan podium. Nara dan Dimas dengan cepat berlari mendekati ruangan kecil tersebut dan membuka pintu yang menutupinya.

Seorang gadis berambut pendek sebahu.

Dimas menyipitkan mata, mencurigai gadis tersebut yang kini tengah meringis merasa nyeri di pinggulnya karena tertimpa tumpukan sapu dan alat pel yang sudah rusak. Gadis tersebut mengangkat kepalanya setelah rasa nyerinya sedikit berkurang, menatap Dimas yang menatapnya curiga.

"Lu yang bikin surat ini?" tanya Dimas setelah mengambil surat di genggaman Nara. Gadis itu menatap surat tersebut dan mencoba mengingat sesuatu, namun berakhir dengan kernyitan di dahinya. Dimas semakin menyipitkan matanya saat ia menganggap bahwa gadis itu hanya pura-pura tidak tahu. Nara menyentuh bahu Dimas lalu berjongkok di depan gadis tersebut.

"Kamu yang kirim surat-surat ini?" Nara menunjukkan surat misterius yang pertama, lengkap dengan amplopnya, hingga surat yang terakhir. Gadis itu beralih menatap Nara lalu menatap surat beramplop putih di hadapannya. Dan ia mengingat sesuatu.

"Kalau yang ini mungkin memang aku yang kasih." Gadis itu menunjuk surat beramplop putih kemudian berpikir sejenak. "Tapi bukan aku yang buat. Aku disuruh orang untuk kasih surat ini ke Nara. Kalau sisanya aku nggak tahu."

Nara dan Dimas bertatapan. Kemudian Dimas kembali membuka mulut.

"Siapa yang suruh?"

Gadis itu merubah posisi duduknya, menyilangkan kaki, dan kembali berpikir. "Dia laki-laki, rambutnya hitam banget." Telunjuknya menyentuh dagunya, menunjukkan kalau ia sedang berpikir atau mencoba mengingat sesuatu. "Dan bulu matanya lentik! Tapi dia pakai masker, jadi nggak kelihatan mukanya."

Dimas maupun Nara mengangguk. Mereka pun memutuskan untuk pergi dari sana dan mencari tahu perihal surat misterius tersebut nanti. Yang penting mereka sudah tahu ciri-ciri dari si pengirim surat tersebut.

Gadis itu pun beranjak bangun dari duduknya dan meregangkan badannya lalu mengambil sesuatu dari saku kemeja sekolahnya. Sebuah foto yang ditemukannya di ruangan kecil tempatnya duduk saat ini. Laki-laki yang disebutkan olehnya tadi, si pengirim surat, membayarnya dengan sebuah foto yang sengaja disimpan di ruang penyimpanan aula lama untuk mengecoh Nara dan Dimas dengan memanfaatkan gadis itu. Foto masa kecil Nara.