Sean yang baru saja memanggil manager divisi IT di ruangannya, kemudian dipanggil ke ruang kerja Bayu, merasa sedikit kesal karena semua yang ditanganinya kurang berhasil dengan baik.
Wanita nyinyir yang selalu merasa paling unggul di antara karyawan lainnya, menolak keras untuk meredam gosip dan perundungan kepada Sarah setelah peristiwa makan di kantin tadi siang.
Alasan yang diajukan atas penolakan itu adalah, untuk pembelajaran anak magang agar tidak sok akrab dan tidak sopan kepada atasannya.
"Bu Rima, sepertinya Anda tidak kompeten untuk menjadi seorang pemimpin. Bukankah seharusnya pemimpin mampu menjegal hal-hal yang tidak kondusif di ruang lingkup wilayah kerjanya? Bukankah seharusnya Anda tidak berpikir kalau antar karyawan diperbolehkan melalukan perundungan hanya demi mendidik karyawan lainnya?" Sean tercengang mendengar penuturan wanita di depannya.
"Pertama, dia hanya anak magang. Kami punya regulasi tidak tertulis bagaimana harus memberi pelajaran terhadap anak magang demi penilaian apakah dia pantas direkrut untuk menjadi karyawan tetap atau tidak," elak Rima.
"Anda pegang proyek inti saat ini, kalau begitu saya akan ajukan kalau proyek tersebut harus dialihkan dan Anda terpaksa turun dari jabatan Anda," tegas Sean.
Rima membelalakkan kedua bola matanya dengan sempurna, ia terkejut mendengar keputusan Sean. "Saya akan banding ke dewan direksi dan melaporkan hal ini pada presdir langsung," jawab Rima dengan penuh percaya diri.
"Itu lebih bagus. Berdoa saja supaya presdir tidak meminta surat pengunduran diri." Sean berdiri dari kursinya karena menerima pesan dari Tika bahwa Bayu mencarinya.
"Apa? Demi anak magang yang belum bisa apa-apa itu? Bagaimana dengan kontribusi saya selama bertahun-tahun di perusahaan ini?!" seru Rima tidak terima. Dadanya seketika terasa panas dan sesak.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Sean meninggalkan ruangannya sambil berkata dalam hati, 'Apapun, yang berlaku adalah omongan bos. Bukan prestasi kamu.'
Karir Rima di ambang kehancuran. Kursi direktur IT yang ingin dicapainya seolah mendadak menjauh dan sulit dijangkau. Semua karena ia menunjukkan sikap tidak profesional.
Ada alasan jelas kenapa dia melupakan profesionalisme-nya. Ia merasa terkalahkan oleh Sarah, anak magang yang masih sangat hijau itu justru menarik perhatian Bayu, ketimbang dia yang sudah jungkir balik mengabdikan dirinya pada perusahaan.
Di dalam perjalanan menuju kediaman Bayu, ia mempelajari sebentar apa yang terjadi di rumah megah itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Well, dalam hal ini pak Bayu benar, kedua wanita ini memang gila," gumam Sean seraya menatap lekat-lekat pada layar laptopnya.
Ia memandangi Viona yang seenaknya melempari pengawal dan keamanan dengan telur satu keranjang sambil berteriak-teriak meminta agar mereka mengizinkan masuk para pelayan baru dan mengusir seluruh pelayan lama.
Semuanya berawal ketika tidak ada satu pun pelayan yang mau disuruh membakar poto-poto Bayu bersama mendiang istri dan putranya.
Kini, poto-poto itu telah teronggok di tempat penampungan sampah dalam kondisi rusak parah. Kesalahan Viona sangat besar, entah bagaimana caranya menyadarkan perempuan itu bahwa apa yang diperbuatnya adalah kesalahan besar.
Sean merasa geram pada Viona, seandainya ada perintah untuk membunuhnya, dengan senang hati ia ingin membunuh wanita itu.
Memasuki gerbang kediaman Bayu, Sean turun dari mobil dan memerintahkan seluruh pelayan yang masih berada di depan pintu gerbang menempati kamas mess masing-masing. "Tidak ada pemecatan ya, kalian masih tetap bekerja untuk pak Bayu. Ingat ya, pak Bayu!" Sean menegaskan ucapannya.
Kemudian ia berbalik dan kini sedang berhadapan dengan rombongan pelayan yang diundang oleh Viona. "Untuk kalian, mohon maaf, belum ada lowongan saat ini. Kalau ada lowongan maka saya akan memanggil kalian untuk menjalani seleksi. Silakan pulang," ujar Sean dengan berwibawa. "Bukakan pintunya!" lanjutnya kepada keamanan.
Aura Sean saat itu benar-benar mengintimidasi. Ia telah ketularan Bayu, dengan kinerja yang luar biasa padat.
Wajah-wajah murung dan kecewa ke luar dari pintu gerbang secara rapi bergiliran. Sean segera beranjak menaiki mobilnya, melaju ke arah dalam, melewati rombongan pelayan yang berjalan kaki menuju mess mereka.
"Siapkan mobil pelayan untuk mengantar bu Lena dan Viona ke apartemen karyawan," titah Sean kepada supirnya sebelum melompat turun dari atas mobil.
Ia melangkah ke dalam rumah yang tampak sepi. Tampak bik Minah tergopoh-gopoh menghampiri Sean. "Pak, mereka di ruang keluarga lantai dua, sedang merencanakan membobol kamar nyonya almarhum," lapor bik Minah dengan wajah sedih serta panik.
"Suruh mereka turun, saya tunggu di sini," kata Bayu seraya menghempaskan bokongnya pada sofa.
"Baik, Pak." Bik Minah segera mengarah ke undakan tangga, naik ke lantai dua.
Ia menatap kedua wanita yang menghebohkan ketenangan rumah dengan perilakunya tanpa berkedip.
"Ibu Lena, Nona Viona, Kalian ditunggu pak Sean di bawah. Mari ikut saya," ujar bik Minah yang telah kehilangan respek pada kedua wanita itu.
"Eh, anak buah kok berani manggil atasannya? Suruh dia yang datang ke sini! Emang yang perlu siapa? Yang butuh siapa?" hardik Viona dengan kesal.
"Ma, mereka ini perlu dididik bagaimana harus bersikap pada majikannya, termasuk kamu, Bik!" tunjuk Viona, mengacungkan jari lentiknya pada bik Minah.
"Tolong, Nona dan Ibu turun ke bawah," ujar bik Minah bergeming.
"Kamu siapa sih? Kurang ajar banget ya! Mau dipecat juga? Vio, mana pelayan baru kita? Kok gak nongol-nongol?" Lena benar-benar tersinggung dengan sikap bik Minah.
"Sudah pulang semua, Bu. Karena di sini tidak ada lowongan kerja," sambar bik Minah dengan nada datar.
"Siapa yang suruh pulang ha?!" pekik Lena dengan sangat kesal.
"Pak Bayu yang perintahkan. Mari Bu, Nona, kita harus ke bawah segera," ujar bi Minah dengan santai sambil berbalik dan melangkah lalu berhenti di ujung tangga. "Silakan," ucapnya sambil mengayunkan tangan ke depan.
Viona melirik ibunya sambil memberi isyarat dengan kedua matanya. "Ayo, Bu biar cepat selesai. Kita bisa leluasa ngobrol lagi." Viona bangkit dari duduknya seraya membanting bantalan kursi.
Mau tidak mau, Lena pun segera bangkit berdiri dengan wajah kesal. "Ini tidak benar, Vio. Masa kita yang dipanggil dan diperintah sama bawahan sendiri? Kamu tuh Nyonya Bayu, ibu adalah mama mertuanya, harusnya mereka bungkuk-bungkuk sama kita," omel Lena seraya melangkah dengan enggan.
Lena dan Viona berdiri di depan Sean dengan sikap angkuh dan meremehkan. "Ada apa, Sean?" tanya Viona sambil membuang wajahnya ke samping.
"Ya, katakan cepat. Jangan mengganggu urusan kami. Lagi pula harusnya kamu sebagai bawahan yang meminta ijin untuk menemui kami, bukan kami yang disuruh-suruh seenaknya mendatangi kamu. Apa kamu tidak training dulu mengenai hal itu?" tegur Lena dengan nada marah.
"Bukankah seharusnya kalian mengurung diri di dalam kamar sesuai perintah pak Bayu dan Anda, bu Lena, sudah menyetujuinya?" tanya Sean tanpa berniat untuk mengangkat bokongnya dari atas kursi.
"Loh, pak Bayunya aja gak ada di sini, lagi pula ini rumahku, rumah anakku, ingat, Viona adalah istri sah Bayu. Suka-suka dia mau ngapain di sini," sergah Lena cepat.
Viona mencibir dengan sinis ke arah Sean. Memang sudah saatnya semua orang diberi tahu bahwa dia adalah istri sah Bayu Perdana yang memiliki hak dari setengah kekayaan Bayu menurut ketentuan harta gono gini agar semua orang melek dan menghormatinya.
Namun, pemikiran Viona itu tidak sepenuhnya benar. Dia tidak berhak atas harta bawaan Bayu apalagi hartanya Mariana, yang menjadi harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama dalam perkawinan, bukan sebelumnya.
Sean menatap mereka satu persatu sambil memiringkan kepalanya. Ia merasa dongkol melihat sikap mereka tapi tidak memperlihatkannya.
"Langsung ke pokok persoalan saja. Para pengawal dan keamanan telah melaporkan penyerangan terhadap mereka yang dilakukan oleh Nona Viona. Sebentar lagi polisi akan menangkap Nona Viona. Apakah kalian sudah siapkan pengacara? Karena pak Bayu menolak membantu sebuah pelanggaran hukum," ungkap Sean dengan tenang.
"APA?! Yang benar saja! Masa iya menghukum bawahan sendiri dilaporkan? Aku akan pecat semua!" teriak Viona dengan panik dan marah.
"Sebentar, mari saya luruskan. Para pengawal, keamanan, pelayan, tukang kebun, tekhnisi, para supir dan semua yang bekerja di rumah ini, bukan bawahan Nona Viona. Mereka menandatangani surat kontrak kerja dengan ibu Mariana dan yang menggaji mereka adalah pak Bayu. Dari mana juntrungannya mereka menjadi bawahan Anda, Nona?" tanya Sean sambil memicingkan kedua matanya.
"Ya karena saya istrinya! Masih juga kamu gak paham hal sesederhana itu?!" jerit Viona sambil menghentakkan kakinya ke lantai.
"Istri, heh. Bukankah suami istri itu harus melakukan segala hal dengan berunding? Kalau mengambil keputusan sendiri dengan menyakiti orang-orang, apa masih pantas disebut istri? Bukankah pernikahan kalian juga karena pak Bayu tidak tega menolak keinginan ibunya yang sedang sekarat? Karena kondisinya seperti itu, bukankah seharusnya Nona lebih bersikap tahu diri? Apakah dengan perilaku Nona akan membuat pak Bayu menerima Nona? Camkan itu." Sean berdiri sambil mengangguk-angguk.
"Baik, saya pergi dulu. Kalau kalian punya pengacara silakan panggil, kalau tidak punya, kalian harus bersembunyi di suatu tempat," ujar Sean sambil mulai mengayun langkah.
"E, eh, sebentar! Sean!" seru Lena seraya menarik tangan Sean. "Tapi, kami harus pergi ke mana? Ke hotel pun saya tidak pegang uang," rengek Lena.
Sean melirik kepada Viona yang sedang mematung dengan wajah pucat. "Bukankah kemarin baru menerima mahar?" tanya Sean dengan nada sinis.
Seketika Lena duduk di lantai dan memohon kepada Sean. "Sean tolonglah saya dan Viona. Kami tidak pegang uang sepeserpun saat ini, uang mahal kemarin sudah dibayarkan utang kami, mohon, bantulah kami." Air mata buaya pun turun deras di wajah Lena.
Ia berharap, Sean akan memberi mereka sejumlah uang, tapi apa yang dikatakan Sean kemudian, membuat Lena dan Viona sangat terkejut.