Terlihat aura suram Kina disetiap langkahnya. Wajah lesunya terlihat disepanjang terotoar. Bisakah kau berhenti untuk bersikap ramah kepadaku? Aku sudah lelah denganmu. Sikap ramahmu itu membuat kesalahpahaman dimataku. Mengapa kau tetap tak memahaminya bahwa aku menyukaimu?" Ia menghela nafasnya untuk sejenak. Membuang rasa sesak didada.
Perlahan angin berhembus sedikit kencang. Menerpa pelupuk matanya yang terasa panas. Perlahan air mata Kina mengalir untuk kesekian kalinya. Pipinya terasa dingin oleh air matanya yang jatuh secara bergantian. Tanpa ia sadari, saat ini ia terduduk ditepi trotoar sambil mengusap-usap air matanya itu. "Kenapa aku melihatnya saat mereka melakukannya....? Dasar bodoh!", ia mengutuk dirinya sendiri. Beberapa waktu yang lalu, ia melihat Saki yang mencium Hiro saat Kina berjalan melintasi depan jendela perpustakaan. Dadanya saat itu terasa tercabik-cabik. Entah ia harus bersikap seperti apa pada saat itu. Berpura-pura tidak tau? Sesungguhnya, ia tidak mempunyai hak untuk cemburu. Ia juga tidak berhak untuk melarang mereka. Matanya kini tertutupi oleh butiran-butiran air mata membuat pandangannya semakin memburam. Membuatnya tak dapat melihat jelas jalan beraspal itu. Tak lama kemudian, ia merasakan seseorang yang merangkul pundaknya. Dengan cepat Kina menoleh untuk melihat seseorang itu. "Kalau kau menangis seperti itu, kau tak akan bisa melihat dengan jelas wajahku. Kau tau? Tidak baik bagi seorang gadis menangis tanpa sebab ditepi jalan seperti ini. Apa kata orang nanti."
Terlihat air mata Kina masih jatuh satu per satu secara bergantian. "Pemuda yang kulihat saat ini, mengapa tatapannya terasa begitu hangat? Kenapa.... yang datang bukan Hiro?" "Mengapa kau menangisi pemuda seperti Hiro...? Bodoh!" Sato berdecak lidah sambil memandang kearah jalan raya. "H-Hiro... Hi-Hiro..... tadi dia....", sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, tangisnya pecah dan air matanya kembali mengalir. Nafasnya tersendat-sendat oleh tangisnya. "Sudahlah... Nanti orang-orang berpikiran bahwa aku yang telah membuatmu menangis.", Sato tersenyum kecil. Beberapa menit telah berlalu. Sato membiarkan gadis itu menangis dipundaknya. Kendaraan-kendaraan itu melintas didepan mereka. Menambah keramaian di jalan raya. "Mengapa kau menangis untuknya, Kina.... Mengapa...", bisik kecil Sato ditengah tangisan gadis itu. Lalu Sato menghela nafas panjangnya. "Mengapa... Bukan aku."
Entah telah berapa liter air matanya yang keluar. Kini tangisnya perlahan terhenti. Tampaknya suasana hatinya mulai tenang saat ini. Lalu pemuda itu membantunya untuk berdiri. "Mau kutemani pulang?", terbesit perasaan ragu saat mengucapkannya. Tak lama kemudian, dilihatnya Kina mengangguk pelan mengiyakan.
"Bagaimana keadaan pangeran? Sudah membaik?", sambut J di ruang keluarga. Aku menggeleng dan meneruskan langkahku menuju sofa. Segera kuletakkan tasku diatas meja itu. Kupijat keningku untuk menghilangkan pusing dikepalaku.
Kedatangan L di ruangan membuatku menyadari sesuatu. "Tunggu. Sepertinya ada yang kurang", aku tengah mencoba berfikir keras. "A-ada apa pangeran?", terlihat ekspresi terkejut dari keduanya. Sepertinya ada sesuatu hal yang ganjil. "Ada sesuatu yang terlewatkan... Dimana Y? Sedari pagi sosoknya belum terlihat. Biasanya dialah yang paling rajin membersihkan guci-guci itu", aku menyusuri sekeliling ruangan untuk melihat keberadaan Y. Salah satu dari mereka belum ada yang bersuara untuk menjawabku. Membuatku semakin merasakan adanya suatu keanehan disini. Aku menegakkan punggungku yang semula bersandar di sofa. Ekspresiku yang semula santai, kini berubah menjadi serius.
Detakan jam dinding terdengar diantara kesunyian ruangan ini. "Sepertinya tak ada yang berniat untuk menjawab pertanyaanku. Bagaimana kalau kuputuskan untuk mencari tau sendiri?" "Sepertinya, ini saat yang tepat untuk kita menjelaskannya, J." Terlihat isyarat tatapan mata L pada J yang tidak kupahami. Permulaan L itu membuat kedua alisku berkerut. Sepertinya kalimat pembukaan L sebagai awal dari sesuatu yang besar. "Kita bertiga disini memang ditugaskan untuk menjaga anda, pangeran. Bukan sekedar penjaga biasa. Dalam arti ini, kita diumpamakan sebagai perisai anda. Pangeran sudah sangat memahami bahwa kemanapun anda pergi, kemanapun anda bersembunyi, keselamatan anda bisa terancam kapan saja dan dimana saja", J angkat bicara. "P-perisai? Apa maksudnya?", aku tak dapat menerka-nerka apapun saat ini. "Saya sebagai perisai rohani anda, L sebagai perisai jasmani anda, dan Y....", kini ia tampak ragu untuk meneruskan. Mereka berpandangan sejenak. Nampaknya terlalu miris untuk diutarakannya. "Dan Y...?", alisku naik secara bersamaan. "Dan Y, sebagai perisai mimpi anda." Kalimat terakhirnya membuat detak jantungku berhenti sejenak.
"Malam itu, ia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan anda. Saat itu juga ia menutup kembali tabir dunia mimpi anda. Dengan kata lain, para utusan Vampir Souka tak akan dapat menembus kedalam mimpi anda lagi." "Itu tidak mungkin....", bisikku kecil dalam lamunanku. "Aku tidak menyangka kalau ini akan menjadi hal yang sangat serius", kataku dengan nada pilu. "Lalu, a-apa yang harus kulakukan?", kegugupanku semakin terbayang oleh sesuatu yang besar sedang menantiku didepan sana. Aku masih tertegun didalam diamku. "Apakah pada akhirnya kalian akan meninggalkanku juga? Seperti Y?", kutatap pilu mata L dan J.
"Tadi Hiro minta diturunkan di kedai. Katanya masih ada beberapa urusan disana. Jadi itu menyingkat waktu perjalananku", keterangan Sato membuat Kina mengerti akan kehadirannya saat ini. Seseorang yang tepat untuk menemaninya disaat ia merasakan kehilangan. Saat ini kedua bola matanya masih berkaca-kaca. Entah apa yang tengah dipikirkannya, seketika ia menyandarkan kepalanya pada punggung Sato yang tengah menggoncengnya itu.
Sato dapat mengerti akan keadaan Kina. Mungkin ia memang pantas untuk hanya menjadi seorang teman yang selalu ada untuknya. Selalu ada disisinya sebagai seorang sahabat. Selalu ada disaat ia merasakan sedih ataupun bahagia. Karena ia telah menyadari bahwa hatinya hanya untuk Hiro seorang. Disamping itu, ada sebuah alasan yang mengharuskannya merubah perasaan sukanya pada Kina. "Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Apakah aku seharusnya menyatakan perasaanku padanya?", kebimbangan Kina tak langsung dijawab oleh Sato. Disisi lain, ia masih belum siap untuk melihat kedua sahabatnya ini bermesraan dihadapannya. Kenyataan yang telah ia ketahui adalah bahwa Hiro sebenarnya juga telah jatuh hati padanya tanpa Kina sadari. Sementara itu, ia juga tak mau ikut campur akan percintaan mereka. Ia ingin melihat apa rencana Hiro selanjutnya untuk memperjuangkan Kina yang tengah patah hati ini.
Sekarang, kedua insan itu telah sampai didepan gerbang rumah Kina. "Terimakasih... mau mampir dulu?", ajak Kina. Pemuda itu ragu untuk mengiyakan tawaran Kina. Namun kemudian, Sato mengangguk lalu menuntun sepedanya memasuki gerbang rumah itu. Ini kedua kalinya ia memasuki tempat kediaman gadis itu. Beberapa hari yang lalu, Sato kerumahnya untuk membahas tentang Hiro. Dan untuk kali ini, berbeda permasalahannya. Ia berharap tidak ada nama Hiro didalam perbincangan mereka. Untuk sesaat, Sato sempat berharap bahwa gadis itu tidak membicarakan tentang Hiro atau apapun yang bersangkutan dengannya. Ia ingin melepaskan diri sejenak didalam lingkaran asmara mereka.
Namun, bukan hanya masalah itu yang membuat Sato ragu untuk mengunjungi rumah Kina kali ini. Masalahnya adalah.... "Saat ini ayahku ada dirumah. Mungkin kau bisa bertemu dengannya. Aku ingin sekali mengenalkan teman laki-laki ku padanya." Ucapan Kina membuat kaki pemuda itu berhenti melangkah. "Ada apa?", Kina menunjukkan ekspresi keheranannya. Pemuda berkacamata itu segera mencari ide untuk melarikan diri dari sana. "Maaf Kina. Sepertinya aku harus pulang sekarang. Ada PR yang ingin segera kuselesaikan", kata Sato sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "PR? PR apa? Seingatku, minggu ini tidak ada PR", pernyataan Kina membuat Sato menyesal telah mengatakan hal semacam itu. "Oh ya, aku baru ingat. Aku disuruh pamanku untuk datang ke kedai kopinya. Dia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakannya padaku. Mungkin..... lain kali saja aku mampir ke rumahmu."
Saat Sato berbalik, terdengar lagi suara gadis itu. "Bukankah pamanmu sekarang ada di Hokkaido...?", menyadari hal itu, Sato memercingkan matanya tanda menyesal untuk kedua kalinya. Berulang kali ia mengutuk dirinya sendiri didalam kebodohannya itu. Ia berbalik menatap Kina dengan senyuman canggungnya. "Ada apa denganmu? Sikapmu aneh sekali", Kina menunjukkan ekspresi khawatirnya. "Kepalamu baik-baik saja kan?", terlihat senyuman nakal gadis itu. Sato melepaskan tangan Kina yang menyentuh kepalanya. Sato berdecak lidah. "Ayo masuk", Kina menarik tangan Sato memasuki rumahnya dan meninggalkan sepeda pemuda itu yang tergeletak di halaman. "Tunggu... Sepedaku belum ku kunci", pemuda itu melirik kearah sepedanya yang tergeletak direrumputan. "Tak apa…..", Kina menarik tuas pintu rumahnya.
Kekhawatiran didalam hatiku semakin besar. Takut pada sesuatu hal yang telah menantiku akan segera datang. Ingin rasanya kuhentikan waktu sejenak saja dan memutarnya kembali sehingga aku tak harus mengantarkan Kina pulang. Bukannya aku tak mau, hanya saja ada seseorang yang belum siap untuk kutemui saat ini. Kulihat ruang tamu ini masih sepi. Aku masih bisa bernafas lega untuk sesaat. Namun, keadaan itu hanya berlangsung sementara. Detak jantungku berpacu lebih cepat saat kudengar suara seorang laki-laki dari sisi dalam. Masih menduga, apakah benar lelaki itu adalah orang yang ada didalam pikiranku selama ini. Rasa curiga dan rasa penasaran bercampur menjadi satu. Suhu tubuhku serasa naik dan turun. Kepalaku kurasakan semakin berat. Ingin rasanya aku jatuh pingsan saat itu juga. Tetapi, siap atau tidak siap, harus kuhadapi dengan lapang dada.
Terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Udara yang kuhirup terasa semakin dingin sehingga membuat ruang dadaku ikut dingin. Akhirnya sebuah kebenaran telah membuktikan dugaanku. Ada dendam didalam hati ini. Kulihat sosok lelaki paruh baya yang memiliki postur tubuh jangkung dengan bulu tipis pada dagunya, serta warna mata yang sedikit kecoklat-coklatan. Mungkin itu yang telah membuat ibu tertarik padanya.
Wajahnya mengingatkanku disaat terakhir kalinya ia meninggalkanku. Tak berbeda jauh dengan gambaran sosoknya selama ini yang masih tersimpan rapi disudut-sudut ingatanku. Hanya saja, kulihat ada aura bahagia dipancaran matanya kini. Mungkin ia lebih bahagia dengan kehidupannya sekarang. Apapun namanya itu, inilah saatnya kuminta pertanggung jawaban darinya.
Pada pertemuan pertama ini, kita berdua menunjukkan ekspresi yang sama terkejutnya. Padahal aku sudah dapat menduga sebelumnya. Entah mengapa, suasananya berbeda saat kami bertemu secara langsung seperti sekarang. Kita masih bertatapan didalam kesunyian ini. Tengah menata pikiran masing-masing tentang apa yang dilihatnya saat ini. "Ayah, dia adalah teman Kina. Namanya Mitsuo Masato", gadis itu memperkenalkan kami berdua. Bagaimana jadinya jika seandainya Kina mengetahui bahwa aku adalah saudaranya, kakak tirinya. Bahkan mungkin sampai saat ini, Kina masih belum mengetahui apapun tentang hubunganku dengan ayahnya. Kulihat lelaki itu segera sadar dari lamunannya lalu ia mempersilahkanku untuk duduk, berusaha bersikap normal.
Kulihat adanya luka goresan, seperti bekas cakaran binatang buas pada lengan dan pipinya. Entah apa yang telah terjadi padanya. Entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. Kulihat ia masih memandangiku dengan tatapan nanar. "Kina, pergilah ke dapur dan buatkan minuman untuk temanmu", ia mulai angkat bicara. Suaranya terdengar masih sama seperti dulu, tak asing di telingaku. Kulihatnya tersenyum pada putri kesayangannya itu. Senyuman yang tak pernah kulihat selama bertahun-tahun lamanya. Begitu miris rasanya didada. Mungkin dikarenakan ada sesuatu yang kurindukan darinya. "Sato, bercakap-cakaplah sebentar dengan ayahku. Beliau orangnya baik kok", Kina berpamitan padaku. Aku mengangguk mengiyakan dengan senyuman yang kupaksakan. Terlalu masam untuk tersenyum didalam situasi seperti ini.
Setelah Kina meninggalkan kami berdua, lelaki itu mulai membuka percakapan terlebih dahulu. "Sudah lama tidak bertemu", ia memaksakan senyuman simpulnya padaku. Sepertinya ia juga terkejut melihat kemunculanku secara tiba-tiba dikehidupan barunya ini. Disamping itu, aku diperkenalkan oleh putrinya sendiri. Sangat lucu pikirku. Dunia ini sangat sempit ternyata. "Lama sekali........ tidak bertemu, Ayah", seketika ia terkejut mendengar kata terakhirku. Nada suaraku terkesan berbisik pada akhir kata diiringi dengan senyuman kecilku yang kesannya seperti mengejeknya. Semua itu keluar spontan adanya. Rasanya ingin sekali kupukul wajahnya saat kudengar bahasa formalnya padaku. Seakan-akan aku dipandang sebagai orang lain dimatanya.
Ia segera bangkit dari duduknya lalu menengok kearah belakang untuk memastikan Kina tidak mendengar kalimatku tadi. Aku mulai menikmati berlangsungnya permainan ini. Namun, ini masih sebuah permulaan. Belum tau siapa yang akan mendapatkan poin pertama. "Ayo ikut", ia segera memerintahkanku untuk mengikutinya menuju keluar rumah. Mungkin ia ingin berbicara empat mata denganku tanpa ada seorangpun mendengarnya, terutama Kina. Beberapa menit telah berlangsung, akhirnya kita sampai di dekat lapangan kasti yang telah sepi itu. Kita berdiri berhadapan dan masih bertatapan satu sama lain. Sinar matahari yang condong ke arah barat itu menyilaukan kedua mataku.
"Bagaimana…. kabar ibumu?", itu kalimat pertama yang kudengar darinya. Sangat tidak tau diri. Seakan-akan tidak menyadari kesalahannya yang telah diperbuat kala itu. Menggumpat rasa sesak didada, aku segera memukul wajahnya dengan keras. Kulihat ia terjatuh dengan darah disudut bibirnya. Tanpa adanya teori hubungan ayah dan anak, aku melayangkan pukulanku berkali-kali padanya. Ia tampak tidak melawan sedikitpun atas seranganku itu. Dialah yang telah merubahku menjadi anak yang kurang ajar. Namun aku semakin merasa bersalah saat kusadari ia menerima semua pukulanku dengan pasrah. Rasa dendamku terlalu dalam padanya. Sulit untuk menguburnya lebih dalam lagi. Namun, semakin keras aku memukulnya, semakin timbul rasa kasihanku padanya.
Diakhir penghabisan, aku meneteskan air mata. Aku mengutuk diriku sendiri. Sesaat kuberfikir, buat apa aku menangisi lelaki ini? Kusadari, ia tengah terkulai lemas diatas hijaunya rerumputan. Kepalan tanganku kurasakan gemetar. Terasa perih pada bagian-bagian jemariku. Air mataku masih terus mengalir secara perlahan. Kulihat dengan ekor mataku, sosoknya yang tengah berusaha berdiri dengan rasa sakit pada sekujur tubuhnya itu. Ia menghampiriku dengan langkah yang tertatih-tatih. Saat kuangkat pandanganku untuk melihatnya, ku sadari ia memelukku seketika. Aku terdiam menyadarinya. Kehangatan pelukannya yang telah lama tak kurasakan. Detakan jantungnya yang telah lama tak kudengar. Semuanya telah hilang sejak beberapa tahun silam. Hilang bagai diterjang ombak, dihembus badai, tanpa kabar terdengar. Namun, kudapati semua itu telah kembali saat ini. Mengingatkanku kembali akan memori indah yang pernah kita lakukan bersama. Sejujurnya bertemu dengannya secara tidak langsung ini mengobati hati yang sebenarnya sangat merindunya. Namun, nafsu amarah yang terlebih dahulu menguasaiku. Nafsu itu yang membuatku buta akan segala hal.
"Maaf. Maafkan ayah karena sudah meninggalkanmu. Maafkan ayah karena sudah meninggalkan ibumu. Maafkan ayah karena sudah melupakanmu selama bertahun-tahun ini. Ayah adalah laki-laki yang sangat jahat dan pantas menerima semua ini darimu", kurasakan tangannya yang mengelus-elus kepalaku. "Begitu mudahnya berkata maaf. Begitu sulitnya untuk memaafkan", aku melepaskan pelukannya lalu mendorong tubuhnya dengan keras. "Ingatkah anda, sudah berapa tahun aku tak mendapatkan kasih sayang seorang ayah. Sudah berapa tahun?! Bagiku saat ini, tidak ada arti seorang ayah lagi didalam hidupku. Maaf tuan, untuk saat ini aku belum bisa menerima permintaan maafmu." "Tak apa jika kau masih sulit untuk memaafkan ayah. Tapi pernyataanmu itu telah menyakiti hati ayah, Sato", ucapnya dengan tatapan bersalah. "Atas dasar apa aku menganggapmu sebagai ayah?", air mataku perlahan menetes.
Kulihat ia terdiam sejenak lalu berkata, "Ayah bisa terima semua alasanmu. Ayah bisa terima semua luapan amarahmu. Ayah bisa terima semua pukulanmu ini. Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Jika kau tidak bisa memaafkan ayah, apa yang akan kau lakukan pada ayahmu ini? Membunuh ayah sampai dendammu musnah?" Aku terdiam seribu bahasa mendengar setiap kalimatnya. Bingung akan berkata apa selanjutnya. Semua kata-katanya benar. Namun hatiku memerintahkanku untuk tak menerimanya. Dan aku serasa semakin terpojokkan. "Jangan terlalu naif, Sato. Jika kau terus mengikuti nafsumu, dendammu tak akan pernah hilang. Cobalah bersahabat pada suatu keadaan. Ayah sangat ingin mengatakan sesuatu padamu sedari dulu. Sesuatu yang tidak bisa ayah sampaikan saat itu….. bahwa ayah sangat bangga akan kehadiranmu didunia ini ", ia tersenyum kecil padaku lalu berjalan meninggalkanku. Kali ini aku merasa sangat tersentuh oleh kata-katanya itu.
Kuhembuskan nafas panjangku. Angin yang bertiup pelan mengeringkan air mataku. Masih terlihat sosoknya dari kejauhan diantara butiran air mata yang mengendap ini. Tak kusadari terlihat senyuman kecil disudut bibirku. Tak lama kemudian, kurasakan getaran Hpku pada saku kanan celana seragamku ini. Kulihat sebuah nama dilayarnya. Sejenak kurasakan keraguan untuk mengangkat panggilan masuk itu mengingat sesuatu hal yang baru saja terjadi padaku dengan ayahnya.
Aku masih tak percaya akibatnya akan separah ini. Satu per satu dari mereka akan musnah demi melindungiku. Walaupun hubunganku dengan mereka masih berlangsung selama beberapa minggu, namun pengabdian mereka begitu dalam dan berarti bagiku. Aku mengerti betul perasaan duka yang saat ini dirasakan dihati J dan L pada salah satu rekannya. Apa yang dapat kulakukan selanjutnya? Dimana kasih saying Tuhan? Ia telah mengambil banyak nyawa orang-orang yang kusayangi.
Tak lama kemudian, kebisingan yang dibuat olehku membuat salah satu penjaga menghampiri kami. Dari sisi luar, penjaga itu menendang keras pintu ini sebagai jawaban dari perbuatan kami. "Silahkan lakukan apa yang ingin kalian lakukan. Tetapi jangan harap aku akan membukakan pintu ini, pangeran", suaranya terdengar begitu familiar ditelingaku. Perlahan kudengar suara langkah kakinya yang mulai berjalan menjauh. Aku berusaha untuk menarik perhatian penjaga itu kembali sesegera mungkin. Tahap pertama adalah memikirkan cara untuk keluar dari ruangan ini terlebih dahulu. Secara bersamaan, pandanganku bertatapan dengan Dake. Terdiam sesaat antar kami. Serasa seperti adanya bahasa hati yang tengah berkomunikasi.
Dengan bersamaan, aku dan Dake memukul-mukul berulang kali pintu besi ini lagi. "Buka pintunya! Ada ular! Tolong! Ada ular! Ular! Siapapun tolong kami!", teriakan kami itu berhasil membuat penjaga tadi kembali dengan langkah yang tergesa-gesa. Seketika itu terdengar suara kunci yang tengah berusaha untuk membuka pintu ini. Setelah yakin bahwa pintu telah tak terkunci, kami dengan cepat menarik tuas pintu itu dengan kasar sehingga seorang penjaga itu terhentak jatuh kedepan. Tak ragu untuk berlari secepat mungkin sebelum ia bangkit berdiri. Tak diduga-duga, kaki kanan Dake dicengkram olehnya saat kami nyaris melewati pintu. Seketika Dake memanggil namaku. Tak pikir panjang, kutendang dengan keras wajah penjaga itu. Kulihat ia begitu kesakitan. Perlahan kaki Dake pun dilepaskannya.
Kini saatnya menjalankan tahap kedua. Aku dan Dake tengah kebingungan mencari jalan keluar. Kastil ini sama luasnya seperti kastil milik Vampir Chizu. Namun yang membuatnya berbeda adalah disini didominasi dengan persimpangan lorong dan adanya pilar-pilar besar disetiap sudut ruangan. Hal ini cukup membingungkan kami memilih jalan yang tepat untuk melarikan diri dari sini. Dilain sisi, kami merasa beruntung akan adanya pilar-pilar itu. Karena sesekali kita dapat bersembunyi dibaliknya saat ada prajurit yang tengah melintas didepan sana. Tak seorangpun dari bangsa Vampir Chizu berani memasuki wilayah ini. Terkecuali para prajurit-prajurit kerajaan yang dilengkapi dengan peralatan perang dan siap tempur. Perang dingin antar kerajaan ini sudah berlangsung lama. Mengingat jalinan hubungan yang baik itu telah dihancurkan oleh keserakahan dan keegoisan pada salah satu pihak. Bermula dari pihak Vampir Souka ingin menguasai wilayah kekuasaan Vampir Chizu yang terkenal dengan luas lahannya serta kesuburan tanahnya. Dari sanalah persahabatan mereka hancur dan telah melahirkan suatu peperangan yang tidak ada hentinya sampai sekarang.
Konon katanya, pernah ada seorang peramal kerajaan yang berkata bahwa suatu saat nanti jika ada ledakan besar, itulah tanda kemenangan atas kebenaran. Kemudian, pihak yang telah memulai peperangan itu akan tunduk padanya dan tidak mungkin jika seseorang itu adalah aku. Aku hanyalah anak kecil biasa. Mereka membutuhkan seseorang yang lebih daripada aku."Tunggu", kata hatiku berkata saat aku tersadar bahwa persimpangan yang kami ambil itu berujung buntu. "Bagaimana ini Hiro.....", kepanikan Dake setara dengan apa yang kurasakan saat ini.
Ditengah-tengah lamunanku, kudengar seseorang tengah berbicara padaku. "Hiro, seharusnya kau tak perlu masuk kerja dulu hari ini. Apakah keadaanmu sudah membaik? Manager memberitahukan padaku bahwa kau cuti untuk beberapa hari sampai keadaanmu sembuh", kata salah satu teman kerjaku. "Aku baik-baik saja", jawabku singkat sambil kutersenyum simpul padanya. "Kau memang pemuda yang pekerja keras, Hiro. Aku bangga menjadi teman kerjamu", katanya seraya meninggalkanku di dapur itu.
Kulihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul 4 sore. Pelanggan masih berdatangan ke kedai ini secara bergantian. Jumlah pesanan semakin banyak pula. Dari sekian banyaknya pelanggan sore itu, hanya satu orang yang berhasil menarik perhatianku. Dia memakai jaket jins dan topi hitam serta berkacamata. Terlihat sikapnya yang sesekali melirik kearah kasir. Menyadarinya aku segera memberi isyarat pada salah satu teman kerjaku. "Yuta, tolong awasi pelanggan dimeja nomor 4 itu. Jika terjadi sesuatu yang aneh, segera hubungi polisi. Beritahu pada pegawai yang lain untuk berhati-hati." Kulihat ia mengangguk tanda mengerti.
Beberapa menit kemudian, firasatku benar. Ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, lalu ditembakkannya kearah atas sehingga membuat semua pelanggan menunduk dan berlindung dibawah meja. Suara letusan pistol itu memekakkan telingaku. Kemudian, mulai tercium aroma khas akibat letusan pistol itu. "Jangan ada yang bergerak! Jangan ada yang menelepon polisi jika tak menginginkan nyawa melayang disini! Sekarang, serahkan semua uang yang kalian punya padaku!", ia melangkah cepat menuju meja kasir dan menembakkan pelurunya untuk kedua kali pada kaca didekat kasir. Alhasil, kaca itu pecah berantakan kebawah. Para pegawai tak ada yang berani untuk melawannya. Mereka terdiam membeku ditempat menyaksikan kejadian itu berlangsung. Yuta yang berada disisi dapur bersamaku itu, segera mengambil gagang telepon dengan hati-hati lalu menekan tombol-tombolnya. Begitu hati-hati. Karena jika terlihat satu gerakan yang mencurigakan, sesuatu yang fatal akan terjadi.
Kulihat ia tengah berjalan menuju meja kasir. Seseorang harus menghentikan semua ini secepatnya, pikirku. Kusegera keluar dari ruangan dapur lalu kuberjalan dengan santai kearahnya. Menyadari kedatanganku, ia segera mengarahkan pistolnya ke arahku. "Berhenti disana!", katanya. Aku sudah muak dengan semua ancaman kosongnya itu. Dimataku, ia hanyalah salah satu orang bodoh yang tengah memegang mainan berbahaya ditangannya. Tanpa pistol itu, ia tak dapat berbuat apa-apa. Kulihat ia menarik pelatuk pistol itu lalu menembakkannya kearah dadaku. Suara yang memekakkan telinga itu terdengar lagi. Terdengar pula suara teriakan dari beberapa pengunjung yang menyaksikan. Dapat kulihat dengan jelas lontaran peluru itu yang tengah melayang kearahku. Dengan gerakan cepat aku mengelak dan membiarkan peluru itu melewatiku. Alhasil peluru itu menghantam tembok. Kumasih meneruskan langkah santaiku kearahnya. Namun kulihat ia yang tengah melangkahkan mundur kaki kanannya, menyadari bahwa aku semakin dekat menghampirinya. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan. Tangannya mulai gemetaran seperti yang dilihatnya saat ini adalah bukan manusia biasa. "Tunggu, Hiro kun! Yamete!", kata salah seorang teman kerjaku.
*Yamete=Berhenti*
Kemudian kulihat ia menarik pelatuk pistolnya sebanyak tiga kali. "Semuanya akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku", bisikku kecil dengan nada yakin. Dapat kulihat ketiga peluru itu menuju ke arah lengan dan kepalaku. Kulakukan hal yang sama untuk menghindarinya. Lalu dengan cepat kuberlari kearahnya dan menjatuhkan pistol itu. Degan gerakan cepat kukunci kedua tangannya. "Penembak yang payah. Berlatihlah dulu jika kau ingin menembakku, bajingan", bisikku padanya. Kutersenyum masam.
Tak ambil pusing, kusegera menariknya keluar dari kedai ini. Ia mencoba melepaskan cengkraman tanganku mencoba melawan. Hingga akhirnya, kudorong badannya membentur tembok beton dibelakangnya. "Apa maumu?", tanyaku santai padanya sambil kumasukkan kedua tanganku kesaku celanaku. "Bodoh! Kau pasti sudah tahu apa keinginanku", jawabnya sambil membetulkan jaketnya. "Jika kau ingin uang, carilah sendiri. Berusahalah sendiri. Kau punya otak atau tidak?! Seharusnya itu dimanfaatkan untuk bekerja! Bukan merampok! Paham?!", kata-kata itu keluar dengan sendirinya dari mulutku tanpa kupikir terlebih dahulu. "Brengsek! Jangan mencoba untuk menasehatiku, bocah! Kau tak mengerti apa-apa tentang hidupku!", ia mengeluarkan sebuah pisau dari sisi samping ikat pinggangnya. Menyadari itu, kusegera mendorong tangannya sehingga pisau itu menusuk perutnya sendiri.
"Memang, aku tak tau sedikitpun tentang hidupmu itu. Memang benar, aku tak mengetahui apapun tentang dirimu. Tetapi negara ini akan hancur jika lebih banyak orang sepertimu", kataku seraya memandangnya. "S-siapa kau?!", katanya dengan ekspresi yang kesakitan. "Kau tak tau siapa aku? Sungguh?", kataku dengan seulas senyuman. Kulihat sosoknya yang terduduk dan menyandarkan punggungnya ke tembok dengan pisau yang masih tertancap diperutnya. "Walaupun kau seorang anak raja, anak penjabat, ataupun anak pemilik negeri ini sekalipun, aku tak akan takut padamu!", katanya seraya menahan rasa sakit itu. Kutersenyum kecil mendengarnya. "Aku memang anak raja, bodoh....." "Lain kali, kau harus berlatih menggunakan pisau dan pistol dengan lebih giat jika bertemu denganku", kuputar badanku untuk meninggalkannya. "Berhenti disana, sialan!", kudengar suaranya yang terputus-putus. Kuhentikan langkahku sejenak lalu menoleh untuk memandangnya. Tersirat senyuman kecil disudut bibirku dan terlihat kilauan warna merah tua pada kornea mataku. "I-iblis...", kulihat ekspresi terkejut darinya. Sesaat kemudian, kudengar sirine mobil polisi menuju lokasi kami.
Satu jam telah berlalu setelah kejadian itu. Semua pegawai telah pulang seusai membersihkan serpihan kaca akibat dari kekacauan di kedai hari ini. Hiro beraksi dengan mengagumkan. Ia bangga akan dirinya untuk saat ini. Terdengar langkah kakinya yang tengah menuruni tangga dengan buku ditangannya. Ia teringat akan tugas bahasa Inggrisnya yang akan dipresentasikan besok.
Entah mengapa seketika ingatan tentang Y kembali berputar di benaknya. Ingatan itu membuatnya teringat pada sosok Y yang kini telah tiada. Terasa waktu berjalan semakin cepat tanpa disadarinya. Ia memejamkan matanya bersamaan dengan menghirup nafasnya dalam-dalam. Tanpa diperintah seketika ia teringat kembali pada kejadian malam itu. Malam dimana Y menyelamatkan nyawanya dari serangan pasukan Tsukasa.
Sesaat kemudian, muncul L entah darimana. L berdiri tepat didepannya. "Bikkurishita!", pemuda berkulit pucat itu terkejut sambil mengelus-elus dadanya melihat kehadiran L secara tiba-tiba itu. Ekspresi L kali ini tidak seperti biasanya. "Pangeran..... ada kabar buruk", kalimat pertama yang diucapkannya membuat Hiro mengerutkan kedua alisnya. "Kerajaan Chizu.... sekarang tengah diserang. Pasukan andalan Souka dikerahkan semuanya tanpa sisa untuk menghancurkan pertahanan istana. Dan...", ia tampak ragu untuk melanjutkan. Ekspresi khawatir Hiro mulai menguat saat melihat L yang semakin ragu untuk menyampaikan berita itu. "Dan..?", kecemasan Hiro semakin tampak. "Dan.... Sang Paduka dalam keadaan kritis, pangeran. Beliau terkena panah beracun pada bagian dadanya." "Bagaimana itu bisa terjadi?!" "Kudengar, pemimpin pasukan itu yang telah memanah baginda raja dari jarak 300 meter jauhnya."
*Bikkurishita=Terkejut aku*
Jika kau bertanya apa yang kurasakan saat itu, yang kurasakan adalah semua amarahku bercampur menjadi satu. Rasanya aku ingin segera kesana dan melihat kondisi ayah, menghabisi mereka yang telah menghancurkan kedamaian rakyat dan istanaku, dan membunuh orang yang telah menempatkan anak panahnya pada tubuh ayahku yang sangat berharga itu. Disisi lain aku teringat akan titah beliau bahwa apapun yang terjadi nanti, jangan pernah kembali ke dunia vampir di dalam keadaan bahaya seperti sekarang. Itu lebih membahayakan jika mereka mengetahui akan kedatanganku. Beliau berkata bahwa itu hanyalah cara-cara mereka untuk memancingku keluar dari persembunyian. Beberapa pemikiran itu yang membuatku bimbang akan keputusan yang seharusnya kuambil saat ini. Diakhir kegalauanku, hanya satu hal yang kupilih sebagai pedoman. Bahwa aku tak mau lagi kehilangan orang-orang yang kusayangi. Rakyat, prajurit, istana, dan juga.... ayah.
"Jangan pergi, pangeran! Aku memohon dengan sangat padamu. Jangan pergi. Tetaplah disini. Semua akan baik-baik saja", kata L saat melihatku berlari kearah pintu. "Dimana J?", tanyaku sesaat teringat padanya. Untuk saat ini, dialah yang paling bijak dalam menentukan keputusan yang tepat untukku."J sekarang.... ada di sana untuk melindungi Raja", emosiku meningkat saat mendengar pernyataan itu darinya. "Lihat?! Bagaimana aku bisa tenang jika semuanya berjuang bertaruh nyawa hanya karena mereka ingin menyembunyikanku? Kau juga tahu bahwa yang Vampir Souka inginkan hanyalah aku, hanyalah nyawaku. Jika kalian berjuang untuk melindungiku, mengapa aku tidak diperbolehkan untuk berjuang bersama kalian?! Kita akan berjuang bersama dan saling melindungi satu sama lain. Apalah artinya aku. Aku hanya seorang pemuda biasa. Pangkat, jabatan, semua itu tak ada gunanya. Jadi, ayo bersama-sama kita lawan mereka. Apakah kau mau membantuku, L? Aku tak bisa melakukannya seorang diri." Sesaat kemudian, kulihat ia mengangguk takjub. "Mari kita hajar mereka, pangeran. Sekumpulan tikus yang telah mengganggu Vampir Chizu."
Aku telah menanti-nantikan saat-saat seperti ini untuk menunjukkan jati diriku yang sebenarnya. Menunjukkan bahwa gelar pangeran itu memang pantas untuk kudapatkannya. Pantas untuk melindungi segenap tanah airku, tanah kelahiranku. Aku tak mau terus menerus bersembunyi dibalik punggung ayahku. Nyawa dan ragaku kini akan kupertaruhkan untuk bangsa dan istana. Aku tak bisa terus menerus lari dari musuh-musuhku. Entah mengapa tiba-tiba ada kekuatan gaib yang memberiku secercah semangat. Kekuatan itu memberiku sebuah keyakinan dan suatu harapan.
Cuaca disenja itu sangat tidak mendukung. Perjalananku dan L ditemani oleh hujan yang tak kunjung reda. Petir dan kilat menyambar kemana-mana. Bahkan pohon besar didepanku tiba-tiba roboh akibat serangan petir yang dasyat. CTAR. Suaranya menggelegar kemanapun telinga mendengar lalu disertai gemuruh panjang seperti auman serigala liar. Sepertinya mereka juga berusaha untuk menghadangku pergi. Sekujur badanku saat ini basah kuyup. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk L yang berwujud sesosok roh. Butiran hujan itu menembus begitu saja melewati badannya. Setelah menemukan tempat yang aman, segera aku mengeluarkan prisma itu dari saku mantelku yang dibungkus rapi dengan kain hitam. "Lalu, untuk apa kita membawa karung in?" Tampaknya karung yang berukuran lumayan besar itu telah menarik perhatiannya. "Jika kau ingin tau, buka saja. Kita akan basmi tikus-tikus itu dengan ini", kutersenyum kecil memandangnya.
Jalan trotoar ini sedikit licin karena tersiram oleh air hujan. Membuat mereka berjalan pelan-pelan serta berhati-hati. Sangat jarang sekali hujan turun dimusim semi pada sore hari seperti sekarang. "Sato, apa yang kalian lakukan sore itu? Antara kau dan ayahku", suara gadis itu mulai terdengar lagi. "Apa yang telah terjadi?", tanya Kina dengan nada pilu. Beberapa menit Sato masih belum menjawab. Tak mungkin ia katakan bahwa sore itu ia telah menghajar ayahnya habis-habisan. "Sato?", Kina menatap keheranan pada pemuda itu yang tak kunjung menjawab pertanyaannya. Seketika, Sato menghentikan langkahnya. "Kina, sebenarnya ayahmu itu... ", kalimatnya terputus saat ia mengingat perkataan laki-laki paruh baya itu. "Sato, ayah memohon dengan sangat padamu, jangan katakan apapun kepada adikmu tentang hal ini." "Ayahku..... apa?", dilihatnya ekspresi penasaran Kina. "Ayahmu….. itu juga.... mengenal Hiro?", senyuman Sato yang dipaksakan terlihat begitu canggung. "Tentu. Aku sering menceritakan tentangnya ke ayah. Ngomong-ngomong, kau belum menjawab pertanyaanku Sato", nadanya terdengar begitu mendesak pemuda itu. "Apa yang harus kukatakan padamu, Kina? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan aku tak ingin membuatmu khawatir." Apa yang harus kukatakan padamu, Kina? Bahwa sesungguhnya kau adalah adikku dan... aku menyukaimu.
***
Prisma kristal itu berhasil membuka portal untuk kesekian kalinya. Cuaca di dunia vampir juga mengalami hal yang serupa. Saat itu tengah hujan lebat disana. Hiro dan L berada ditengah-tengah pepohonan yang rindang. Hanya sedikit dari cahaya malam yang menjadi sumber penerangannya. Perlahan ia merasakan gigi taringnya tumbuh kembali seperti semula. Terdengar samar-samar olehnya suara ledakan dari kejauhan. Diiringi dengan suara benturan pedang-pedang tajam yang saling beradu. Kericuhan itu berasal dari kastil kerajaan Vampir Chizu. "Sekarang bagaimana? Kita takkan bisa melewati mereka dengan mudah. Pasti mereka akan mengepung kita", tanya Hiro sambil memikirkan sebuah solusi. "Inilah gunanya aku ada disini, pangeran." Kalimat L membuat Hiro bingung.
Tanpa pikir panjang, L segera masuk kedalam tubuh Hiro. Seketika itu, Hiro merasakan sesuatu yang hangat memasuki tubuhnya. Dilihatnya butiran-butiran hujan menembus tubuhnya begitu saja. "Dengan seperti ini, mereka tak akan bisa melihatmu pangeran. Aku telah membuat tubuhmu transparan. Maka larilah secepat mungkin menuju istana. Selamatkan Sang Paduka, selamatkan kastil, dan selamatkan rakyat Vampir Chizu." Tak pikir panjang Hiro segera berlari menuju istana. Berlari secepat kilat atas bantuan L. "Apa rencana anda selanjutnya, pangeran? Pasti sekarang prajurit-prajurit kita telah banyak yang mati. Vampir Chizu kekurangan pasukan", tanya L ditengah-tengah larinya. "Kau lihat saja nanti. Kita akan berpesta dengan ini", senyuman simpulnya terlihat. Hiro melirik sekilas pada karung yang digenggamnya itu.
Aku, Dai Akihiro. Terlahir sebagai anak penguasa negeri. Gelar yang kumiliki membuat semua orang iri. Tak ada satupun didunia ini yang kutakuti. Badai dan ombak kuseberangi. Terkadang hatiku tersakiti oleh indahnya bunga yang berduri. Jangan dikira bahwa pangeran muda sepertiku tak pernah merasakan pedihnya hati. Terlalu banyak kisah-kisah pilu yang mengisi hidup ini. Tak mudah hidup sebagai bangsa vampir seperti kami. Bangsa yang hidup di era sistem kerajaan negeri.
Kehidupan di dunia ini sudah dituliskan sejak awal terbentuknya jagad raya oleh Sang Maha Kuasa. Namun, bangsa vampir tidak begitu percaya akan keberadaan-Nya. Karena kami merasa adanya suatu penghinaan didalam takdir bangsa kami. Istimewanya bangsa kami memiliki umur yang lebih panjang dibandingkan dengan umur bangsa manusia. Apa yang sebenarnya Tuhan pikirkan? Apakah Ia tidak kurang kerjaan untuk menciptakan kami untuk mengisi panggung sandiwara? Kehidupan ini sangat membingungkan. Terutama untuk anak kecil sepertiku.
Sekarang aku dan Dake terjebak didalam kastil Vampir Souka. Kami berdua tengah dibingungkan oleh jalan yang bercabang-cabang di dalam kastil ini. Kini aku dan sahabatku terpaksa berhenti di jalan yang berujung buntu. Kami harus berputar balik dan mencari persimpangan yang benar. Namun, saat kami keluar dari lorong itu, ada beberapa prajurit yang tengah menghadang kami. Tampaknya mereka sudah berhasil menemukan kami. "Hendak lari kemana lagi, pangeran muda? Kami sudah lelah untuk mengejar kalian berdua", kata pemimpin mereka.
"Pengecut sekali. Untuk menangkap dua anak kecil seperti kami, perlukah membawa pedang-pedang itu bersama kalian?", kataku sambil berusaha menyembunyikan ketakutanku. "Apa kau bilang?! Jaga ucapanmu itu, pangeran kecil. Karena perkataanmu itu bisa menghabisi nyawamu detik ini juga. Kau seorang diri disini, tidak ada pengawal, panglima perang, ataupun ayahmu. Jadi, jaga sikapmu itu", katanya. Kurasakan Dake memegang lengan kananku. "Tsukasa, kita tak punya waktu untuk melayani anak kecil ini. Sebaiknya, kita cepat tangkap dia", bisik salah satu prajurit disampingnya. Terdengar samar-samar olehku. Kulihat prajurit yang bernama Tsukasa itu menjatuhkan pedangnya lalu berjalan menuju kami. "Bukankah ini yang kau harapkan dariku, pangeran Hi-ro?", katanya. "Bagaimana ini? Sekarang kau telah membuatnya tersinggung. Bagaimana dengan nasib kita?", bisik Dake padaku. "Semua akan baik-baik saja", kataku berusaha menenangkannya. Kusadari bahwa aku begitu naif. Aku berusaha menenangkan perasaan orang lain, namun kenyataannya perasaanku sendiri juga sedang kacau saat ini.
"Apa katamu? Kau percaya diri sekali ternyata", sindir Tsukasa dengan senyuman mengejek. Ketakutan hati ini semakin memuncak saat kulihat Tsukasa langkah demi langkah menghampiri kami. Walaupun prajurit yang bernama Tsukasa itu telah menjatuhkan pedangnya namun ada sesuatu diantara tatapannya yang membuatku takut. Sejenak nama Tuhan melintas dibenakku. Entah apa yang membuatku terpikir oleh hal itu. Langkah demi langkah Tsukasa terus mendekat ke arah kami. Aku tak bisa memikirkan cara apapun untuk melarikan diri saat itu.
Saat kulihat tangannya mencoba untuk meraihku, seketika itu datang sebilah pisau lalu menancap pada lengan pucatnya. Ia terlihat begitu kesakitan dan berusaha untuk mencabut pisau itu. "Jangan coba-coba menyentuh pangeranku, keparat!" Kulihat panglima Vampir Chizu berdiri diambang lorong. "Lari, pangeran!", ucapnya sambil memberiku isyarat untuk berlari kearahnya. Panglima perang Vampir Chizu yang datang seorang diri itu berusaha sebisa mungkin untuk melawan prajurit-prajurit Vampir Souka yang berusaha menghadangku. Sesekali aku harus menghindar agar tidak tergores oleh tebasan pedang-pedang tajam mereka yang ditujukan kearah kami. Mata serta konsentrasi dan kelincahan tubuh sangat dibutuhkan dalam keadaan seperti ini. Salah sedikit saja, nyawa bisa melayang. Beberapa saat kemudian didalam perjuangan itu, aku berhasil lolos dari kerumunan prajurit-prajurit Vampir Souka. Namun, kulihat Dake masih berjuang ditengah-tengah mereka. Kulihat beberapa pedang yang nyaris mengenainya. Menyaksikannya membuat jantungku sesekali nyaris berhenti. Beberapa langkah lagi, ia berhasil meloloskan diri dari kerumunan itu. Dilain sisi, kulihat panglima perangku yang masih lincah bertarung dengan para prajurit itu.
Kuulurkan tanganku saat kulihat Dake berlari menghampiriku. Aku berhasil meraih jemarinya, namun seketika sebuah pedang melesat cepat diantara kami membuat kami mundur satu langkah kebelakang, terkejut. Pedang itu menancap ke tembok sisi samping kami. Tak lama setelah itu kulihat Tsukasa menarik tubuh Dake. Kulihat dengan mataku sendiri, Dake tengah berusaha membebaskan dirinya dari dekapan Tsukasa. Hanya ada sedikit harapan untuknya meloloskan diri. Aku mengutuk diriku sendiri saat itu yang hanya bisa mematung. Kakiku serasa membeku ditempat. Aku tak dapat berbuat lebih ketika itu. "Ayo, pangeran. Kita pergi dari sini", kata panglima itu saat berhasil melumpuhkan setengah jumlah dari pasukan Tsukasa. "Dake..... Dake bagaimana..?!", kataku saat kurasakan ia menggandeng tanganku. "Kita tak punya banyak waktu, pangeran. Sebentar lagi jumlah mereka yang datang akan bertambah. Kita akan semakin sulit keluar dari sini", ia mengangkat tubuhku lalu digendongnya dipundaknya.
Aku meronta-ronta memintanya untuk menyelamatkan Dake. Namun ia tetap saja tak mendengarkanku. Pandanganku pada Dake semakin buram oleh butiran-butiran air mata ini. Jarak kita kini semakin jauh dan jauh. Sosoknya tak dapat kulihat dengan jelas. Namun, tangan ini masih mengulur kearahnya. Suaranya yang memanggil namaku masih terdengar jelas olehku. Jeritan yang meminta pertolonganku. Jeritan yang tengah memohon untuk tidak meninggalkannya.
Kau hebat! Kalau begitu, aku juga ingin membangun istanaku sendiri. Tolong bantu aku ya Hiro_kun... Tolong bantu aku... Tolong aku ya.... Tolong.... Tolong aku..... Tolong aku, Hiro..... "Maaf….. Dake", rintihku saat pandanganku mulai terhalangi oleh dinding.
Beberapa detik kemudian, tibalah Hiro di arena pertempuran. Terbuktilah dugaan L. Prajurit-prajurit istana banyak yang gugur didalam penyerangan itu. Lapangan rumput itu telah menjadi saksi dari perjuangan mereka. Potongan-potongan kepala tersebar dimana-mana. Kini mereka yang masih hidup tengah membalaskan dendam kawannya yang telah gugur. Suara ledakan meriam terdengar lagi diantara gelapnya malam. Beberapa pedang yang menancap ditanah telah kehilangan pemiliknya. "Ayo pangeran! Tunggu apalagi?", gertakan L menyadarkan Hiro. Tak ragu ia segera berlari menuju istana yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri. Benar apa yang telah dikatakan L. Tak satupun dari mereka yang menyadari keberadaan Hiro. Tak ada yang bisa melihat sosok Hiro saat itu.
Dengan mudah ia dapat masuk kedalam istana dengan selamat. Terlihat kekacauan didalam istana. Beberapa petinggi dan panglima perang tengah mendiskusikan sketsa pola pertahanan dan membentuk serangan balik. Seketika L langsung keluar dari tubuh pemuda itu. Pihak istana terkejut akan kemunculan sosok Hiro yang secara tiba-tiba dan itu artinya ia mengorbankan nyawanya dengan cuma-cuma. "Pangeran! Seharusnya anda tidak berada disini sekarang!", kekhawatiran mereka terlihat. "Ijinkanlah aku untuk membantu kalian, untuk membantu menyelamatkan kerajaan kita!" Awalnya mereka menolak mentah-mentah permintaannya tetapi dengan setengah hati mereka akhirnya menyetujui perkataan pemuda yang bergelar pangeran itu. "Bagaimana keadaan sekarang?" "Sangat kacau, pangeran. Kita kehilangan jumlah banyak prajurit tim alpha. Separuh dari tim betha juga dilumpuhkan oleh musuh. Sekarang, rencana apa yang pangeran usulkan?", tanya seorang panglima perang padanya.
"Rencanaku ini tak akan berhasil jika hujan masih berlanjut", katanya. Semua terdiam mendengarkan setiap kata yang diucapkannya. "Jadi, ini menjadi tugas khusus untukmu L. Sebisa mungkin gunakan sihirmu untuk mengambat hujan ini selama beberapa menit. Sementara menunggu usaha L berhasil, kita kerahkan prajurit tim theta, tim delta, dan pasukan pemanah untuk menghambat pergerakan Vampir Souka memasuki wilayah istana. Jangan biarkan mereka menembus banteng istana. Jika hujan sudah berhenti, maka itu saatnya untuk kita berpesta menggunakan ini", Hiro menunjuk karung yang sedari tadi dibawanya dari dunia manusia itu. "Apa ini?", tanya salah satu menteri. "Jangan dibuka! Itu serbuk bawang. Kalian akan pusing jika menghirup aromanya. Kita akan menggunakan ini untuk melemahkan prajurit Vampir Souka yang berada di wilayah Vampir Chizu. Saat itu tiba, prajurit tim theta dan tim delta harus segera kembali secepatnya kedalam istana, sedangkan pasukan pemanah harus tetap mengamankan situasi."
"Tahap selanjutnya akan lebih mudah, kita akan menggunakan semua meriam yang kita miliki untuk menebarkan serbuk bawang ini keseluruh wilayah Vampir Chizu dan pasukan pemanah sudah harus siap berlindung dibawah perisai masing-masing karena benda ini sangat mematikan. Sebelum itu, bunyikan lonceng diatas menara sebanyak tiga kali sebagai tanda peringatan kepada seluruh warga agar masuk kedalam rumahnya masing-masing. Setelah itu, biarkan hujan yang menyapu udara dari sisa-sisa serbuk bawang. Sampai disini ada tanggapan?" "Kenapa kita tidak langsung taburkan serbuk bawang saja, pangeran? Bukankah itu lebih menyingkat waktu?", tanya seorang menteri padanya. "Jika kita melakukan hal itu, itu akan membunuh prajurit-prajurit kita yang masih berada diluar", jawab singkatnya.
"Itu tak akan menjadi masalah, pangeran. Kerajaan mampu untuk mencari prajurit tiga kali lipat dari jumlah mereka. Lagipula...", perkataan menteri itu terputus saat melihat tatapan tajam Hiro. "Akan kucatat itu, tuan Kazehaya. Sebelumnya, terima kasih atas sarannya", kata Hiro dengan nada menekan. Kalimat sindiran halusnya itu telah membuat menteri itu menundukkan kepala. "Ada yang memberi saran lagi?", tanya Hiro sekali lagi. "Kenapa kita tidak menggunakan prajurit tim alpha saja?", tanya sang panglima perang. "Itulah yang diinginkan oleh pihak lawan. Sekarang jumlah prajurit tim alpha lebih sedikit dari tim betha, theta, maupun delta. Jika tim alpha kita kerahkan, maka kita tidak mempunyai cadangan pasukan yang handal dan tidak ada lagi pertahanan terkuat didalam istana." Terdiam sesaat diantara mereka. "Jika tidak ada pertanyaan lagi, mari kita mulai serangan balik ini", kalimat terakhirnya menutup sidang besar malam itu.
"Siapa yang memimpin pasukan Souka? Apakah dia yang telah memanah ayah?" Aku bertanya pada panglima perang diantara langkah kita yang cepat keluar dari ruangan. "Benar, pangeran. Kami masih belum mengetahui siapa yang memimpin mereka. Setelah Baginda tumbang, sosoknya menghilang begitu saja dan memungkinkan juga jika ia telah punya rencana lain didalam misi penyerangan ini. Anda harus berhati-hati pangeran. Anda adalah target selanjutnya." Terdiam sesaat diantara kami. "Lalu bagaimana keadaan ayah saat ini?", sebuah pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan sedari tadi. Hal itulah yang membuat hatiku resah. "Sang Paduka tidak sadarkan diri, pangeran. Beberapa tabib istana telah berhasil menawarkan racun didalam tubuhnya dan J tengah menemani beliau dikamarnya sekarang." Aku sangat ingin menemuinya dan melihat secara langsung kondisinya. Namun, disaat seperti ini sangatlah tidak memungkinkan. Posisi kerajaan masih genting dan itulah yang membuatku untuk menahan sejenak keinginanku. "Tolong jaga beliau untukku, apapun yang terjadi", perintahku padanya. Dengan segera aku berlari bersama L menuju lantai teratas yang langsung berhadapan dengan halaman istana. Disana aku bisa melihat dengan leluasa keadaan wilayah Vampir Chizu.
Dari atas sini, dapat kulihat mayat-mayat yang bertebaran diatas rumput yang hijau itu. Terlalu menyedihkan, sampai-sampai bintang pun tak tega untuk menyaksikannya. Prajurit tim theta dan delta sudah siap untuk menghadang prajurit Vampir Souka yang satu per satu mulai memasuki halaman kerajaan. Mereka dikawal oleh pasukan pemanah yang handal beberapa meter dibelakangnya. "Apakah disini tempat yang tepat, L?", tanyaku saat kulihat L yang tengah mengamati sekelilingnya. "Ini tempat yang tepat sekali, pangeran. Tetapi aku harus menemukan titik dari pertemuan arah mata angin untuk menahan hujan secara bersamaan", katanya sambil memeriksa beberapa sudut di atap ini. Diatas sini, angin terkadang menyapu wajahku yang pucat. Kuusap kedua mataku yang tertutupi oleh butiran hujan. "Disini! Aku menemukannya!", aku membalikkan badanku saat mendengar suaranya. "Baguslah kalau begitu. Pertanda baik", jawabku ringan. Kulihat ia duduk bersila sambil meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua pahanya. Lalu ia memejamkan kedua matanya secara perlahan.
Jari-jemarinya yang sebelumnya mengepal itu satu per satu mulai ia lemaskan. Kudengar lirih darinya bahasa yang asing bagiku. Diujung kalimatnya, ia membuka matanya secara tiba-tiba. Seketika itu kurasakan semua arah angin menuju keatas. Membuat butiran-butiran hujan yang bersembunyi dihelaian rambutku ini menjadi terangkat. Helaian rambut hitamku pun ikut menari-nari mengikuti arah angin bertiup. Kulihat hujan yang semula deras, kini volume airnya mulai berkurang. Awan-awan itu semakin menghitam menutupi gelapnya malam. Seperti akan adanya badai besar. Sesaat aku berfikir, apakah ini adalah cara yang terbaik?
"L, i-ini sungguh akan baik-baik saja kan?", tanyaku padanya yang masih duduk bersila itu. Kulihat ia mengangguk lalu berkata, "Aku sedang menahan awan agar hujan berhenti. Itulah yang membuat mereka berubah warnanya menjadi sangat gelap."
Saat ini, volume hujan semakin berkurang. Aku tersenyum kecil melihat keberhasilan ini. Namun, angan-angan itu hanya sementara setelah kudengar seruan L. "Gawat, pangeran! Bagaimana ini?! Apa yang harus kita lakukan?!" Pandanganku langsung tertuju pada sekumpulan awan hitam diatas sana. Aku terkejut saat melihat perpecahan awan itu dan hujan perlahan kembali turun. Bagaimana ini bisa terjadi? Apa yang harus kita lakukan? Apa yang harus aku lakukan saat ini? Apakah sebaiknya aku meminta pertolongan Tuhan? Namun apakah aku pantas untuk mendapat pertolongan-Nya? Menyebut nama-Nya pun aku tak kuasa. Malu atas perilakuku selama ini. Tatapan pilu saat kupandangi prajurit-prajuritku yang tengah berjuang dibawah sana. Mereka menjelma menjadi benteng menghadapi pasukan Vampir Souka. Terdengar dengan jelas suara derap langkah kaki prajurit Vampir Souka dari kejauhan sana yang menebas siapa saja yang menghalangi langkah mereka. Kulihat di wilayah perbatasan Vampir Chizu telah dikuasai oleh pasukan musuh. Mereka tengah mempersiapkan tank-tank besi mereka untuk menghancurkan tembok istana. Hujan ini pun seolah-olah tengah menertawakan kegagalanku. Ribuan nyawa berada ditanganku malam ini. Menang atau menjadi budak. Dimanakah Tuhan? Apakah Ia berada dibalik mega-mega? Dimanakah singgasananya? Apakah Ia dapat mendengar keluh kesahku? Apakah Ia benar-benar ada? Dimanakah keajaibannya itu?
"Pangeran.... Pangeran menangis...?", kudengar lirih suara L. "Tidak. Aku tidak menangis. Ini hanyalah tetesan hujan", kuhapus air mataku dengan cepat. Aku menunduk lalu perlahan jatuh berlutut. Hanya inilah yang dapat kulakukan saat ini. Melepas semua keangkuhanku, melepas semua harga diriku, melepas gelar kebangsawananku. Masih kuingat pepatah tua mengatakan bahwa pusat dari keajaiban di muka bumi berada di ufuk barat bernama Ka'bah. Aku tak pernah melihatnya. Bagaimana bentuknya akupun tak pernah mengetahuinya. Tanpa sadar aku bersujud memohon datangnya keajaiban itu. Bersujud atas nama rakyatku, ayahku, kerajaan Vampir Chizu, dan atas nama.... diriku sendiri yang sangat hina ini. Dahiku menyentuh lantai beton tanda penyerahan diri sepenuhnya. Aku bersujud untuk memohon pertolongannya. Kurasakan air mataku jatuh untuk kesekian kalinya. Kudengar samar-samar suara disebelah telinga kananku dengan bahasa yang tak kumengerti. "Innallaha Ma'ana". Setelahnya kurasakan hentakan pada punggungku. Seolah-olah ada aliran listrik yang cepat menuju otakku.
"Allah….. Allah….. Ya Allah, yang maha pengampun serta maha penyayang. Aku telah menyadari bahwa nasib setiap makhluk ciptaanmu berada ditanganmu seutuhnya. Tiada siapapun yang mampu mengubahnya. Kau yang maha dari segala apapun yang ada dialam semesta ini. Ampuni hamba karena lupa akan kebesaranmu. Ampuni atas keangkuhanku. Ampuni segenap bangsaku karena telah mengabaikan setiap anugerah dan kasih sayangmu. Aku memohon dengan sangat pada-Mu. Bantulah kami yang tak berdaya ini. Bantulah kami bangsa yang hina ini. Engkau adalah maha dari segala maha." Ini adalah pertama kalinya didalam hidupku aku merasa sangat dekat dengan-Nya. Seolah-olah aku bertemu dengan-Nya. Berbicara langsung pada-Nya. Kurasakan singgasana-Nya sangat dekat, begitu dekat... Seolah-olah berada dibawah kulitku, dibawah urat nadiku.
Perlahan kurasakan tetesan hujan yang menjatuhi punggungku mulai berkurang. "Pangeran, lihat! Hal ajaib apa ini...?", pernyataan L semakin menguatkan firasatku. Aku segera bangun dari sujudku. "Para dewa telah menjawab doa kita, pangeran!", seru L dengan wajah gembiranya. "Bukan dewa yang melakukannya, L. Tetapi Allah, tuhan pencipta alam semesta. Tuhan kita semua", kataku seraya melihat sekumpulan awan hitam itu yang tertiup kearah utara. Tak lama kemudian, terlihatlah ramainya bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Hujan pun berhenti seketika. Seperti ada tangan ajaib yang menggiring awan itu menjauh lalu hilang sejauh mata memandang. Aku masih duduk berlutut menyaksikannya. Kagum. Keyakinanku pada Allah kini semakin bertambah. Allah benar-benar ada dan selalu memperhatikan mahkluk-mahkluknya. Sekarang kusadari bahwa Ia adalah maha atas segala-galanya. Kurasakan L meraih lenganku dan membantuku untuk berdiri. "Allah. Baginda Raja sedari dulu juga menyebut-nyebut nama itu", kulihat L tersenyum simpul.
"Ayo kita lakukan tahap selanjutnya." Tak lama setelah itu, kulihat panglima perang dan prajurit dibawah sana yang entah sejak kapan mempersiapkan ratusan meriam untuk menembakkan serbuk bawang keseluruh penjuru wilayah. "Mari kita beri sebuah kejutan untuk mereka." Kemudian terdengar dentuman bunyi lonceng yang dipukul sebanyak tiga kali di puncak menara. Terakhir kali kudengar dentuman lonceng itu saat aku masih berumur empat tahun. Situasi saat itu nyaris sama seperti sekarang. Namun, perang yang terjadi kala itu lebih mengerikan layaknya seperti perang dunia ke-dua. Kulihat dari atas sini, panglima perang mengkomando tembakan. Sepersekian detik kemudian ia mengangkat kepalan tangan kanannya keudara lalu serbuk bawang itu melesat cepat menuju kesegala arah seperti tombak yang tengah dilempar. Kulihat mereka jatuh bergulung-gulung kepanasan. Tak lama kemudian, bagian badan mereka yang tidak tertutupi oleh baju perang terkikis secara perlahan-lahan. Lalu dalam hitungan detik, tubuh mereka hancur menjadi abu. Terlihat begitu menyakitkan.
Kulihat pasukan pemanah telah berlindung dibawah perisai besi. Setelah melihat waktu yang tepat, meriam-meriam itu menembakkan kembali serbuk bawang itu untuk kedua kalinya secara serentak. Ini adalah senjata yang paling ampuh. Mungkin akulah satu-satunya vampir yang gila. Membawa benda mematikan ini ke duniaku. Serasa seperti bunuh diri. Tetapi setidaknya kita bisa berhati-hati bukan?