Chereads / Vampir yang Kesepian / Chapter 8 - Ride with Me

Chapter 8 - Ride with Me

Saat ini adalah detik-detik paling menegangkan didalam hidupku. Ini adalah pertama kalinya aku memimpin perang. Antara yakin dan tidak. Namun saat memandang mayat-mayat prajuritku, hal itu memberiku sebuah semangat untuk maju dan segera mengambil alih kepemimpinan.

Tanpa pikir panjang kusegera menuruni tangga ketika mulai tercium aroma menyengat dari bawang putih itu. Disini aku mulai bisa menghirup udara dengan bebas. Lewat jendela aku dapat melihat keadaan diluar sana dengan jelas. Langit malam dunia vampir yang dipenuhi oleh putihnya serbuk bawang. Butiran putih itu jatuh menari-nari seperti salju. Pandanganku semakin lama semakin memburam. Dan aku hanya dapat mendengar detak jantungku yang berdetak begitu lambatnya. Cengkraman tanganku pada bingkai jendela ini mulai melemah. Kulihat samar-samar halaman istana yang semulanya hijau, kini telah tertutupi oleh serbuk putih. Warna putih dimana-mana. Beberapa detik kemudian, kepala ini semakin berat rasanya. Perlahan badanku melemah dan terjatuh di atas lantai yang terbuat dari kayu ini. Beberapa saat kemudian, kudengar suara air yang mengetuk atap ruangan ini. Semakin lama semakin deras. Kini pandanganku kembali normal seiring hilangnya aroma bawang itu.

Kulihat lewat jendela, tetesan demi tetesan air itu perlahan menghapus jejak serbuk putih. Menghilangkan semua warna putih yang hinggap di rumput-rumput istana. Segera kuberdiri menghampiri L diatas. Sepanjang mata memandang, hanya ada buih-buih putih yang mulai melenyap disetiap atap rumah-rumah. Disisi luar tembok beton istana, terlihat banyak sekali peralatan perang yang tergeletak tanpa tuan.

Benarkah ini? Nyatakah ini? Rencanaku berhasil? Kuhembuskan nafas legaku. Tak lama kemudian, hujan buatan L ini berhenti. Aku tak dapat berkata-kata saat itu. Kelopak mataku terasa semakin memanas. Aku nyaris tak dapat mempercayai semua ini. "Pangeran, anda berhasil!", kata L yang berdiri disampingku. "Tidak L. Kita berhasil", aku tersenyum kecil padanya.

Beberapa menit kemudian, aku disambut meriah oleh mereka yang berada di lantai bawah. Memberiku selamat dan pujian. "Apakah semua baik-baik saja?", tanyaku pada panglima. "Iya, pangeran. Semua rencana berjalan dengan mulus." Aku tersenyum lalu menepuk lengannya. "Terima kasih", kataku lirih. Namun sesaat kemudian, terdengar suara tangisan yang lirih. Aku mencari asal suara tersebut. "Ada apa, pangeran?" "Tidak ada apa-apa." Aku berusaha tidak membuat mereka khawatir setelah kemenangan yang dicapai ini. Aku terus menyusuri kerumunan orang-orang. Tanpa sepengetahuanku, sedari tadi panglima perang memperhatikan tingkah laku anehku dan mengikuti langkahku. "Ada apa, pangeran? Apakah anda merasakan sesuatu?" "Apakah semua baik-baik saja?", tanyaku dengan ekspresi khawatir mendengar suara tangis itu telah menghilang. "Semua baik-baik saja, pangeran. Pasukan kembali dalam kondisi selamat." Kemudian, terdengar samar-samar dilorong menuju tangga bawah tanah, tempat pasukan meletakkan senjata dan baju perangnya. "Tidak apa-apa. Dia akan baik-baik saja. Nanti aku akan membantumu mencarinya. Jangan khawatir. Lihatlah, pangeran telah menunjukkan bahwa kita mampu melawan mereka. Kita akan berhasil membawanya kembali. Kita akan menang menghadapi mereka sekali lagi." "Apa yang terjadi?", tanyaku dengan nada rendah. Wajah mereka berdua tampak panik. "Tidak ada apa-apa, pangeran. Bagaimana pangeran bisa ke tempat yang kumuh ini? Sebaiknya pangeran menemani baginda di ruangannya." "Aku mendengar kalian akan menyusul pasukan Vampir Souka? Ada apa?"

Terdiam sesaat diantara mereka, saling berpandangan. Suara sorak sorai bahagia masih terdengar di lantai atas membuat tembok bata ini menggema. Kemudian salah satu dari mereka mulai membuka suara. "Sewaktu kita berduel di medan perang, saya dan adik saya selalu bersandingan. Hingga saat saya terdesak mundur dan kehilangan sosok adik saya di tengah-tengah perang yang berkecamuk. Beberapa saat kemudian, saya mendengar derap langkah kaki kuda dan terlihat sosok adik saya dalam keadaan tak sadarkan diri tengah diikat dan dibawa keluar arena tempur lalu menghilang dibalik pepohonan." "Ayo kita jemput dia kembali." Mereka terkejut dan langsung menatap kedua mataku. "Tapi pangeran…" Aku mengangkat satu tangan mengisyaratkan panglima untuk diam. "Aku tidak mau kehilangan satu nyawa lagi malam ini."

"Ke arah mana mereka membawa adikmu pergi?" "Ke arah sana pangeran." Ia mengarahkan jari telunjuknya ke sisi utara pepohonan. "Pangeran, kastil Vampir Souka bukan terletak disana", panglima menanggapinya. "Jika mereka menuju kearah sana yang terletak sekitar 300 meter dari kastil utama, itu berarti mereka tidak menyekapnya di kastil. Yang kuingat 300 meter dari sana ada sebuah bangunan khusus penyimpanan benda-benda pusaka kerajaan."

"Mereka takkan bisa menggores satu senti kulitku." Aku meraih kendali kuda dan bersiap untuk memacunya. Pedang panjangku telah kuletakkan menyilang dipunggung dan kusisipkan bumerang bersisi tajam disebelah kudaku. "Baiklah, pangeran. Apapun keadaannya, anda jangan pernah jauh dari jangkauan saya." Keempat kuda yang kami tunganggi berlari bersamaan dengan panglima yang memimpin didepan. Beberapa detik kemudian kami memasuki pepohonan yang tinggi dan lebat ini. Kiri kananku hanyalah ranting-ranting pohon dan dedaunan yang berjatuhan terkena kibasan lajuan kuda kami. Seketika cahaya bulan yang perak tertelan oleh hutan dan menyisakan kegelapan. Hanya sedikit cahaya yang dapat masuk melalui sela-sela dedaunan diatas sana. Itu sudah sangatlah cukup untuk kita melihat jalan diujung sana. Udara malam semakin dingin. Terkadang terdengar suara kepakan sayap burung dan semacamnya. "Pangeran awas!", salah satu prajurit yang kudanya berlari tak jauh disampingku, ia menangkis sebuah panah dengan pedangnya yang mengarah tepat kearahku. Dengan pacuan kuda yang masih berlari, sedetik kemudian kita berempat dihujani oleh panah yang berasal dari arah depan. Segera kuraih pedangku dan menangkis dengan gesit semua panah yang mengarah kepadaku. Mereka bertiga melakukan hal yang sama. "Bagaimana ini? Kita kalah jumlah." Panglima segera menggiring kudanya agar berlari tepat didepan kudaku. Aku berusaha berpikir dengan cepat apa yang seharusnya dilakukan pada situasi seperti ini.

"Tidak, kita tidak kalah. Allah menyertai kita." Kuraih bumerangku yang disetiap sisinya bak setajam pisau, lalu kulemparnya sekuat tenaga kesisi kiriku. Ia melaju dengan kecepatan tinggi dan membelah dedaunan hijau lalu terbang menyerong kearah depan. "Jangan kecewakan aku." Panah yang menghujani kami inipun berhenti secara bertahap dan diiringi oleh suara rintihan kesakitan jauh didepan sana. Menyaksikan hal itu, panglima mengacungkan ibu jarinya padaku dengan senyuman khasnya.

Kami semakin mempercepat laju kuda dan menyambut rombongan pasukan musuh yang datang. Ketika jarak semakin tipis, seketika datang kabut putih secara tiba-tiba. Kabut putih dan pekat. Kurasakan dingin yang teramat sangat menyentuh kulit pucatku. "Harusnya anda mengajakku, pangeran." Terdengar suara L samar-samar. Aku tersenyum melihat kedatangannya. "Anda selalu mengambil resiko dan membahayakan nyawa anda. Berputarlah, pangeran. Carilah jalan lain." Aku memberi kode kepada panglima dan kedua prajurit itu untuk mengikuti aku dibelakang. Aku tau kita akan masuk lewat mana. "Jadi apa rencana anda selanjutnya?" kuda panglima perang berusaha mengejar laju kudaku.

Malam semakin larut dan suara burung hantu terkadang terdengar dibalik pepohonan rindang itu. Pantulan sinar bulan terlihat pada pedang dipunggungnya. Ia mengusap peluh yang mengalir pelan didahinya. Sang pangeran muda dan ketia orang lainnya berhasil menyelinap masuk ke kawasan Vampir Souka. Mereka mengendap-endap dan tetap waspada terhadap sekitar. Mereka mendobrak pintu-pintu kayu yang sekiranya tempat penyekapan salah seorang prajurit itu. Satu pintu, dua pintu, bahkan pintu keempat mereka masih belum berhasil menemukannya. Hingga akhirnya ada pintu kayu diujung sana yang masih tersisa. Dengan langkah pasti, sang pangeran maju dan mendobrak pintu kayu itu. Tak disangka ada lima penjaga yang telah menanti mereka. Dua orang dari mereka terlihat tengah menginterogasi tawanan dengan sesekali melayangkan tinju dan tendangan yang menyakitkan. "Lihat siapa yang datang. Sungguh sasaran yang empuk. Kami merasa sangat tersanjung atas kunjungan anda ke wilayah bangsa vampir yang hina ini, pangeran muda. Mungkin sebaiknya anda tak pernah datang karena anda akan pulang hanya tinggal nama." Terlihat mereka tampak merenggangkan otot-otot mereka bersiap-siap untuk duel.

"Berhenti basa-basinya!" Sang pangeran melesat maju diikuti oleh panglima perang dan kedua prajuritnya. Pedang panjang beradu dan menghantam satu dan yang lainnya menciptakan suara gesekan besi yang khas. Menyerang, menangkis, dan menghindar. Sang pangeran walaupun ia bukanlah prajurit khusus namun ia mampu manandingi kelihaian musuh. Keahliannya memainkan benda tajam itu sungguh memukau. Memanglah keahlian duel dan menggunakan senjata adalah keahlian yang wajib dimiliki oleh seorang pangeran sejak kecil. Beberapa menit kemudian mereka berhasil menaklukkan dan melepaskan rantai besi yang melingkari tawanan tersebut. Kondisinya sangatlah lemah dan setengah sadar. "Pangeran, apakah itu anda?", ucapnya dengan mata yang setengah terbuka.

Tak pernah sekalipun didalam hidupku aku memasuki kamar ayah. Ini adalah pertama kalinya aku mengetuk pintu ini. "Masuklah, pangeran", terdengar suara J dari dalam. Tak segan kusegera menarik tuas lalu mendorong pintu ini dengan pelan. Pemandangan yang kutangkap pertama kali adalah raut wajah pucat ayah dengan kedua matanya yang tertutup. Badannya yang kekar kini terselimuti oleh kain tebal. Kulangkahkan kaki ini memasuki ruangan yang memiliki aroma lavender itu. "Bagaimana keadaannya?", tanyaku lirih pada J yang duduk disamping tempat tidur ayah.

"Beliau masih tak sadarkan diri, pangeran. Para tabib telah berhasil menawarkan racun dari panah itu. Dan untungnya, panah itu meleset dari jantungnya." Seketika terlintas dibenakku. "Siapa pelakunya? Aku yakin kau pasti telah mengetahui tentang hal ini", aku menatap sosok J. Kulihat ia menunduk ragu. Satu detik.... Dua detik.... Tiga detik.... Empat detik.... Aku masih menantinya untuk bersuara. Keyakinanku semakin bulat bahwa sesungguhnya J sejak awal telah mengetahui siapakah pemanah itu. Kulihat ia semakin ragu untuk membuka mulutnya. "Ikut aku", perintahku pada J yang masih terdiam itu. Aku beranjak berdiri lalu keluar ruangan dan J mengikuti dibelakangku. Saat ini, aku dan J berdiri berhadap-hadapan. Masih kulihat sosoknya yang menunduk. "Siapa dia!!!"

***

Hujan mereda sudah satu jam yang lalu. Namun cuaca masih terasa dingin. Sedingin perasaanku pada sosok Hiro. Dia menghilang untuk kedua kalinya disaat seperti ini. Disaat tugas kelompok kita belum selesai. Kali ini aku muak padanya. Pada sikap egoisnya. Tidak bisakah ia berpamitan terlebih dahulu?! Memikirkannya saja membuatku semakin sebal padanya. Aku tak dapat menerima sikapnya ini. "Daijoubu?", kudengar suara Sato lirih. Aku menghentikan aktifitas menulisku. Dengan pasti aku mengangguk sebagai jawabannya. "Nande?", tanyaku dengan ekspresi datar. "Sedari tadi kudengar kau menggeratakkan gigimu." Aku tersenyum menyadari hal itu. Kugaruk belakang kepalaku yang tidak gatal.

"Aku khawatir kalau kau kecewa karena Hiro. Untuk saat ini cobalah untuk mengerti akan situasinya. Aku yakin dia pasti punya alasan dibalik semua ini yang belum bisa dijelaskannya." Aku hanya tersenyum pasi mendengar perkataan Sato itu. Sudah pasti kalau pemuda ini membela Hiro. Itu semakin membuatku kesal.

***

"Dia.... Dake, p-pangeran....", kudengar lirih darinya. Mendengar nama itu, serasa detak jantungku berhenti untuk sesaat. Seperti bom atom yang jatuh dikota Nagasaki dan Hiroshima. Kurasakan nafasku yang tercekat. "D-Dake........?", suaraku terdengar bergetar. Pandanganku jauh memandang kearah depan. Kakiku terasa semakin lemas dan lemas. Aku jatuh berlutut dihadapan J. "Pangeran, apakah pangeran baik-baik saja?", kudengar samar-samar suara J didalam lamunanku. Kedua mata ini kurasakan mulai memanas. Lalu kupejamkan kelopak mataku untuk sejenak. Menghadang ribuan air mata yang hendak keluar. Semakin kutahan, semakin sesak didalam dada ini. Aku berteriak sekeras-kerasnya untuk membuka ruang paru-paru ku yang terasa semakin menyempit ini. Teriakanku bergema di seluruh sudut ruangan. Kulihat oleh ekor mataku J yang duduk bersimpuh disampingku. Kurasakan tangannya yang mengelus punggungku.

"Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang melakukannya? Kenapa bukan orang lain saja?", kukepalkan tangan kananku lalu kupukulkan pada lantai ini. Kurasakan seluruh anggota badanku yang melemas. Sungguh menyakitkan didalam hati. Lebih menyakitkan lagi jika mengetahui bahwa orang itu adalah sahabatmu sendiri.

Beberapa menit kemudian, aku merebahkan badanku diatas tempat tidur. "Katakan padaku J, apa yang harus aku lakukan? Jalan manakah yang harus kutempuh? Tolong bantu aku menghadapi masalah ini", ucapku dengan nada lirih. Kedua mata ini masih belum sanggup untuk membuka. Terlalu pedih untuk menerima semua ini. "Maaf pangeran, untuk kali ini, anda harus mengambil keputusan sendiri. Inilah yang hamba khawatirkan jika anda mengetahuinya terlebih dahulu. Sekali lagi, maafkan hamba", kudengar itu darinya. Kurasakan sosoknya yang keluar dari ruangan kamarku.

Ruangan ini kembali sunyi seperti semula. Bahkan kesunyiannya terasa semakin menyudutkanku. Kumasih termenung didalam kesendirianku. Termenung memikirkan apa kesalahan yang telah kuperbuat pada pemuda itu sehingga ia tega melakukan penyerangan itu pada rajanya sendiri. Sambil memijat keningku, aku teringat kembali pada masa-masa kecilku bersamanya. Gambaran itu masih tersimpan rapi didalam ingatanku selama belasan tahun ini. Itu membuatku tak sanggup lagi membendung air mata untuk kesekian kalinya. Begitu sakit hati ini mengetahui sebuah penghianatan ini. Kulihat ia telah mengibarkan bendera berwarna merah tanda dimulainya perang denganku. Seorang sahabat yang kini telah menjadi musuh. Kenyataan yang begitu pahit untuk diterima. Rasanya aku hendak melarikan diri dari semua kenyataan dan meninggalkan dunia fana ini. Namun kusadari bahwa aku hanya sanggup berlari ditempat.

Aku pun duduk ditepi tempat tidurku. Menghentikan ribuan liter air mata yang telah keluar ini. Kuhirup nafas panjangku untuk menghilangkan rasa sesak didada. Kuusap butiran air mata terakhir yang membasahi pipi. Lalu kubangkit berdiri dan melihat bayanganku dicermin. "Apa yang harus kulakukan? Apa yang akan kau lakukan Hiro? Apa yang seharusnya kau lakukan disaat sahabatmu berusaha membunuh ayahmu? Apa yang selayaknya dilakukan saat kau telah mengetahui bahwa musuhmu itu adalah sahabatmu sendiri? Apa yang bisa kulakukan? Adakah yang bisa kulakukan?" Perlahan air mata ini menetes satu per satu untuk kesekian kalinya. Memandangi wajah sedihku dicermin, semakin membuatku merasa kasihan pada diriku sendiri. "Wajahmu..... Wajahmu terlihat jelek saat menangis, Hiro!!" Seketika itu kudengar suara pintu kamarku yang tengah diketuk dari sisi luar. Segera kuhapus butiran-butiran air mata ini.

"Ada apa?", aku mendahuluinya berbicara. Kutatap kedua matanya yang mempunyai kesan wibawa itu. Kepalaku sedikit mendongak keatas karena tinggi badannya yang melampaui tinggi badanku. "Pangeran, hamba yakin bahwa si pemanah itu masih berada disekitar area kekuasaan kita. Kabar terakhir yang didapatkan adalah bahwa saat ini ia tengah bersembunyi di hutan perbatasan. Untuk berjaga-jaga kita harus segera bertindak, pangeran. Dan hamba siap melakukan perintah anda selanjutnya." Aku mengetahui betul posisiku yang penting di istana ini. Namun pantaskan aku untuk mengambil keputusan itu? Kenapa mereka begitu percaya pada anak yang masih berusia tujuh belas tahun sepertiku? Tak lama kemudian aku memalingkan pandanganku kearah bawah.

"Pangeran, jangan pernah mengatakan bahwa anda putus asa ataupun menyerah. Karena anda adalah simbol kekuatan kami. Jika anda putus asa, bagaimana dengan kami yang kedudukannya berada jauh dibawah anda. Bagaimana dengan mereka yang kedudukannya hanyalah rakyat biasa. Berilah kami sebuah harapan. Berusahalah untuk menjadi seseorang yang telah lama kami impikan. Berusahalah untuk lebih kuat dan tegar", kata panglima dengan nada lembutnya. "Bagaimana aku bisa melakukannya?", kataku dengan suara yang parau. "Tentu anda bisa, pangeran. Karena anda adalah putra mahkota. Putra penguasa bangsa Vampir Chizu. Anda telah ditakdirkan untuk memimpin negeri ini. Kekuatan yang luar biasa telah tertanam didalam tubuh anda." "Kau tidak tau.... Kau belum mengetahui.... Kau belum mengetahui siapa dia..... Maaf, tetapi saat ini aku tak bisa memutuskan apa-apa", kataku sambil menahan air mata yang nyaris jatuh ini. "Apa yang tidak kuketahui, pangeran? Beritau aku sesuatu hal yang tidak kuketahui."

"Kau tidak mengetahui bahwa....!!", nadaku meninggi ketika mendengar perkataannya yang seolah-olah tengah mendesakku. "Kau.... kau tidak mengetahui bahwa....", kalimatku terhenti. "Apakah pangeran mengetahuinya?", tanyanya dengan ekspresi penasaran. Aku segera memutar otak untuk mencari alasan. "Dia adalah.....", tanggapku dengan sedikit ragu. "Pangeran, tolong kembalikan sosok pangeran yang selama ini kukenal. Kembalikan pangeranku yang dahulunya kulihat ada api semangat dibola matanya, pantang menyerah, dan optimis itu." Aku segera memutus kalimatnya, "Sosok itu... telah hilang sejak beberapa tahun yang silam. Bagaimana mungkin hal semacam itu bisa kudapatkan kembali?" "Sifat itu sebenarnya masih tersimpan rapi didalam diri anda, pangeran. Hanya saja, mereka enggan untuk keluar dikarenakan oleh mimpi-mimpi buruk itu yang telah mengambil alih jalan pikiran anda." "Mi-mimpi buruk?", aku bergeming sejenak didalam lamunanku.

"Mungkin anda masih membutuhkan waktu untuk mengambil keputusan ini. Tak dapat dipungkiri bahwa anda masih terlalu muda untuk memikul beban sebesar ini", kulihat ia tersenyum padaku sambil mengelus pelan kepalaku. Lalu ia ijin mengundurkan diri dan menutup kembali pintu kayu ini. Maaf.... Maaf.... Maafkan aku.... Aku telah bersikap pengecut kali ini. Tak sepantasnya aku mengatakan hal itu padamu. Bagaimana mungkin aku menunjukkan sikap lemah seperti itu? Kemanakah perginya sosok Dai Akihiro selama ini? Kemanakah perginya jiwa tangguh dan pantang menyerah itu? Lalu siapakah aku? Siapakah jiwa yang menempati raga ini? Ini bukanlah Dai Akihiro yang sesungguhnya...

Hari ini, pada jam ini, pada menit ini, ia telah merasakan dentuman besar yang mengenai tepat pada relung jantungnya. Membuat jantungnya berhenti memompa sejenak, membuat badannya kaku membeku, membuat pikirannya kacau berantakan saat didengarnya sebuah nama..... Nama yang pernah mengisi masa kecilnya..... Nama yang telah mengukir masa-masa indah.... Sang pemilik nama itulah yang kini telah mencoba membunuh ayahnya.

Terlihat sosoknya yang tak bergeming didepan pintu kayu itu. Meratapi semua perkataan panglimanya. Secepatnya ia harus bisa mengambil sebuah keputusan. Sudah jelas bahwa Dake kini telah menjadi musuhnya. Namun jauh didalam lubuk hatinya ia masih berusaha menyangkal tentang kenyataan itu. "Dake..... Bagaimana bisa kau melakukan hal ini padaku?", bisiknya kecil. Didalam lamunannya, ia merasakan rasa nyeri itu kembali muncul menyerang lengan kirinya. Diumpamakan seperti sebuah parasit yang tengah menggerogoti otot-otot lengannya secara perlahan. "Si-sialan...." Ia mengerang kesakitan dilantai. Sambil mencengkram lengan kirinya, ia berusaha berdiri dan mencari pertolongan. Namun sesaat ia hendak melangkahkan kakinya, serasa adanya gaya magnet yang kuat tengah menariknya terjatuh lagi diatas lantai. Dinginnya lantai memasuki setiap pori-pori kulit pucatnya. Membuat syarafnya semakin lemas. "Tolong....Tolong.... Siapapun tolong aku.....", rintihnya pelan. Saat ini hanyalah suaranya yang dapat diandalkannya. Namun itu sia-sia karena letak kamarnya dengan ruang utama jaraknya lumayan jauh. Jadi tidak mungkin ada siapapun yang bisa mendengar rintihannya itu.

Terlihat ia masih terkapar diatas lantai. Rasa sakit itu masih belum mereda. Membuatnya sangat ingin memutuskan lengannya itu. Cengkraman tangan kanannya semakin kuat pada lengan kirinya itu. Akhirnya iapun jatuh pingsan karena tak sanggup menahan rasa sakit yang teramat sangat. Detakan jam dinding yang semula dapat didengarnya, kini ia hanya dapat mendengar sebuah kesunyian. Hembusan angin malam yang semula meniup kulitnya pelan, kini hanyalah kehampaan yang dirasakannya. Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara.

"Hiro_kun, jika sudah dewasa nanti apa yang kau inginkan?", tanyanya padaku. "Entahlah. Itu masih terlalu jauh, Dake. Kenapa aku harus pusing-pusing memikirkannya? Tetapi mungkin untuk saat ini aku ingin menjadi sehebat ayah...", jawabku dengan pasti. "Sugoi....!", ucapnya dengan mata yang berbinar-binar. "Aku yakin kau pasti bisa sehebat Raja Keiji. Bahkan kau bisa melampauinya! Jauh lebih baik daripada beliau!", lanjutnya dengan bersemangat. "Benarkah? Dapatkah aku?", keraguanku muncul saat mengingat semua keajaiban yang telah ayah lakukan diselama hidupnya. "Tentu, Hiro_kun!", kulihat ia mengangguk dengan sebuah senyuman yang menghiasi bibirnya dan kedua tangannya yang menyentuh pundakku.

*Sugoi=Hebat*

"Daisuke, Hiro, ayo cepat masuk! Diluar sangatlah dingin", kudengar seruan ayah dari kejauhan. "Iyaaaaaaaa", kami menjawab dengan nada khas dari seorang anak kecil. Tak pikir panjang, kita langsung meninggalkan tumpukan salju putih itu. Dengan gaya lari khas anak kecil, kami berdua balapan menuju kastil terlebih dahulu. Sesekali aku melemparinya dengan bongkahan salju untuk menghambat larinya. Namun sekali lagi, itu tak mempengaruhinya sedikitpun. "Kenapa, Hiro_kun? Takut kalah olehku?", mendengar itu darinya aku segera memacu kecepatanku. Diujung penantian, kudengar ayah menyerukan namanya, "Daisuke_kun adalah pemenangnya." "Ayah, namanya sekarang bukanlah Daisuke lagi. Tetapi Dake", kataku saat melihat tangan ayah berada di pundak kanannya. "Sejak kapan kau punya hak untuk merubah namanya?", canda ayah sambil menyentuh lembut kepalaku. Kulihat secercah senyuman diparas pucat mereka. Tak ada perasaan cemburu sedikitpun dihatiku akan hal ini. Memang seperti itulah ayahku. Memang seperti itulah sosok Raja Keiji, Raja kami, Raja Vampir Chizu. Selalu ramah dan bersikap hangat pada siapa saja, termasuk Dake. "Lagipula bagaimana kalau suatu hari nanti kau melupakan nama aslinya jika kau terus memanggilnya dengan sebutan itu?", sanggah ayah padaku.

"Mana mungkin aku melupakannya, ayah. Aku mempunyai ingatan yang tajam. Benar kan Daisuke_kun?", sahutku sambil kutersenyum kecil memandangnya. "Benar sekali! Tajam setajam paruh elang!", serunya sambil merangkul pundakku. "Hei, apakah kau ini penggemarku....?", tanggapku saat menyadari sikap fanatiknya hari ini. Kulihat ia mengagguk. "Ayo kita masuk. Pelayan sudah menyiapkan makan siang untuk kita. Nanti hidangannya menjadi dingin kalau tidak segera dimakan. Dan untukmu Daisuke, kau telah memenangkan susu coklat hangat sebagai hadiahmu." Mendengarnya, kecemburuanku langsung kuutarakan. "Itu tidak adil, ayah", sahutku dengan wajah muram. "Siapa yang menyuruhmu untuk kalah? Sekarang nikmatilah kekalahanmu itu, Dai Akihiro_kun", kulihat sekilas senyuman ayah padaku. "Maafkan aku, Hiro_kun. Kalau kau sangat menginginkannya, kau boleh mendapatkannya." Saat aku hendak menjawabnya, ayah segera berkata, "Hentikan itu. Berhentilah mengalah untuknya. Nanti ia tak kunjung beranjak dewasa." Mendengar nada mengejek dari ayah, aku segera menanggapinya, "Benar. Itu benar. Kau tak perlu mengalah untukku, Dake. Dan janganlah merasa bersalah seperti itu. Karena sesungguhnya yang satu-satunya bersalah disini adalah ayahku." Aku berjalan mendahului mereka.

"Kenapa? Ayah hanya berusaha bersikap adil." Masih dapat kudengar tawa ayah dari sisi belakang punggungku. Selama ini aku tak pernah merasakan kecemburuan yang berarti. Tetapi kalau tentang susu coklat, akulah jagonya. Dimeja makan, aku hanya terdiam mendengarkan mereka berdua berbincang-bincang. Suatu pemandangan yang biasa bagiku. "Apakah pangeran kecil kita ini sedang tidak nafsu makan? Perlukah kita mengganti menu makanannya?", sindiran ayah yang ditujukan kepadaku. "Tidak. Menunya sangat enak hari ini", jawabku singkat. "Lalu kenapa makanannya belum kau sentuh sekalipun? Apakah kau masih marah?", kulihat ayah meletakkan sendok dan garpu yang semula digenggamnya itu. "A-aku.... Aku hanya....." Beberapa detik kemudian, kulihat ayah tersenyum simpul memandangku. Dan senyumannya itu membuatku canggung padanya. Inikah kharismanya? Inikah wibawanya? Inikah aura yang dimilikinya? "Dengar Hiro, kau tak akan bisa membohongi ayah sampai kapanpun juga. Karena kau adalah putra kecil ayah dan akan tetap seperti itu sampai kapanpun juga." Aku nyaris tak dapat berkata apapun saat mendengar setiap kalimatnya. Terasa begitu hangat didada ini.

"Besok ayah akan pergi ke negeri seberang untuk beberapa hari. Jaga diri kalian baik-baik. Terutama kau Hiro. Jangan nakal saat ayah tidak ada di kastil. Kasian para pelayan yang mengejarmu kesana kemari. Dan kau Daisuke, sering-seringlah datang kesini untuk menemani Hiro", katanya singkat. "Siap, paman! Tapi.... Bolehkah aku meminta oleh-oleh?", kudengar nada yang malu-malu dari Dake. "Tentu. Apapun yang kau minta, pasti paman berikan", kata ayah dengan senyuman khasnya. "Terima kasih.... Aku minta oleh-oleh seekor kuda poni? Kudengar di negeri seberang sana sangat terkenal dengan kuda poninya. Dapatkah aku memilikinya?", nadanya terdengar ragu-ragu. "Tentu kau akan mendapatkannya. Akan paman berikan kuda poni yang terbaik." "Terima kasih, paman! Paman sangat tampan!", kalimatnya kali ini membuatku tak dapat menahan tawaku. "Dan kau Hiro, minta oleh-oleh apa dari ayah?" "Aku hanya meminta ayah pulang dengan selamat." Terdiam sejenak diantara kami. Lalu kulihat ayah mulai membuka mulutnya, "Tentu, Hiro. Ayah pasti pulang dengan selamat, demi kau."

"Tenang, Hiro_kun. Paman pasti baik-baik saja dimanapun beliau berada. Karena dia tampan", lelucon Dake membuat senyumanku mengembang. "Apa hubungannya?", tanya ayah pada sahabatku ini. Kudengar ia bergumam sejenak lalu berkata, "Entahlah..." "Kalau aku? Tampan atau tidak?", pertanyaanku kulontarkan padanya. Tanpa pikir panjang, ia langsung menjawab, "Tentu! Tapi tidak setampan paman." Kudengar sekali lagi gelak tawa ayah yang menyaksikan candaan kita berdua.

"Ayah penasaran bagaimana jadinya saat kalian tumbuh dewasa nanti." "Tak akan ada yang berubah, paman. Benarkan Hiro_kun?", tanya Dake padaku. Aku hanya mengangguk mengiyakannya. Sedikit terbayangkan olehku akan sesuatu hal di masa depan nanti. Aku masih belum tau pasti akan hal itu. "Menjelang hari kemerdekaan nanti, maukah kau membantu mendekorasi setiap ruangan di istana? Terutama ruangan perjamuan untuk para tamu. Tentunya nanti juga akan ada banyak pelayan yang juga turut membantu mendekorasi dan menghias di setiap sudut ruang kastil ini", kata ayah pada anak laki-laki itu. "Dengan senang hati", jawab singkat Dake. Terlihat senyumannya yang tertuju pada ayahku. "Hiro_kun, saat hari itu tiba, tolong bantu aku ya! Seperti tahun lalu." Tolong bantu aku... Tolong aku ya.... Tolong.... Tolong aku..... Tolong aku, Hiro.....

"Dake....!!!!", aku terbangun dengan meneriakkan nama itu. Pemandangan yang pertama kali kulihat saat aku membuka mataku adalah warna teduh pada langit-langit kamarku. Kusadari bahwa tubuhku terbaring diatas tempat tidur tanpa kemeja yang semula kukenakan. Kurasakan sapuan angin sepoi-sepoi yang mengenai kulit pucatku. Sambil membayangkan mimpi yang baru saja ku alami, aku bangun dari posisi berbaringku lalu kududuk ditepian tempat tidurku. Beberapa detik setelah itu, kudengar suara pintu yang tengah dibuka. "Pangeran sudah sadarkan diri?", kudengar suaranya saat memasuki ruangan kamarku. Aku masih terdiam membiarkannya melanjutkan kalimatnya. Diletakkanlah beberapa ramuan herbal olehnya diatas meja. Aku hanya melirik sekilas kearah tabib itu yang tengah meracik ramuan untukku.

"Tadi pangeran jatuh pingsan. Untung saja waktu itu panglima memasuki kamar anda dan melihat kondisi anda, lalu ia segera memanggil hamba untuk menangani anda. Anda tidak sadarkan diri dalam kurun waktu yang cukup lama", katanya. Iapun memberikanku sebuah ramuan yang telah dituangkannya pada cangkir kecil berwarna perak. Tanpa pikir panjang, aku segera meminumnya dalam satu tegukan. Rasanya getir seperti biasanya. Tabib itu lalu membasuh lengan kiriku bagian atas dengan air hangat. "Tidak ada satupun yang mengetahui tentang hal ini kan?", tanyaku memastikan. Tampaknya ia sudah mengetahui topik yang sedang kubicarakan, iapun segera menjawab dengan senyuman, "Jangan khawatirkan itu, pangeran. Tak ada satupun yang mengetahuinya. Hanya hamba seorang yang mengetahui tentang ini." Setelahnya, kami terdiam sejenak.

Aku masih terbayang-bayang akan mimpi itu. Mimpi kenangan masa laluku bersama Dake. Kejadian itu telah mengingatkanku kembali padanya. "Kenapa pangeran tidak menghendaki siapapun untuk mengetahuinya?", tanyanya disela-sela lamunanku. "Hanya saja mereka tidak perlu tau tentang hal kecil semacam ini. Lagipula aku akan sembuh secepatnya. Ini hanya akan menjadi beban pikiran mereka nantinya", perkataan itu mengalir begitu saja dari bibirku. Tetapi itu memang benar adanya. Aku tak mau siapapun mengasihaniku. Terutama ayah yang masih terbaring koma. "Lalu siapakah Dake? Sedari tadi anda terus-menerus menyebut namanya didalam tidur anda. Siapakah dia?" Kali ini pernyataannya membuat mulutku bungkam seketika.

Dake.... Siapa Dake... Perlukah aku menjawabnya? Perlukah aku memberitaunya? Bibir ini masih bungkam dengan semua pertimbanganku itu. Saat hendak aku menjawabnya, terdengar oleh telingaku suara pintu yang sedang dibuka. Untuk sesaat aku merasa lega karena tak perlu susah-susah menjawab rasa penasarannya untuk sementara waktu. Saat ini aku hanya merasa beruntung disaat seseorang itu memasuki kamarku pada waktu yang sangat tepat. Tak lama kemudian, terdengar pula langkah sepatu kulitnya yang berjalan kearahku. Aku dapat mengenali siapakah pemilik sepatu kulit yang sekarang berdiri dibelakangku ini. "Sudah merasa lebih baik, pangeran?", tanyanya dengan suara khasnya.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas kekhawatirannya itu. Lalu kuputar badanku untuk melihat sosoknya. Kulihat ia yang tengah mengisyaratkan sang tabib itu untuk meninggalkan ruangan ini, meninggalkan kami berdua. Dengan patuh sang tabib pun segera beranjak keluar dari kamarku. Kulirik sekilas jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi hari. "Apakah pangeran baik-baik saja?", tanyanya sambil duduk disebelahku. Aku mengangguk untuk kedua kalinya. "Sungguh?" Aku tersenyum kecil. "Sungguh....", kupukul pelan lengannya. "Aku hanya butuh sedikit istirahat", kataku singkat. "Tersenyumlah seperti itu.... Senyum lebih enak dipandang daripada bersedih." "Bagaimana bisa aku tersenyum kalau keadaannya seperti sekarang ini", jawabku singkat. Ia terdiam sesaat. Entah apa yang ada dibenaknya saat ini.

Tiba-tiba kurasakan ia merangkul pundakku dan berkata, "Dari pengalaman kemenangan ataupun kekalahan, pangeran akan belajar sesuatu hal yang sangat berharga dan setelah itu anda akan menemukan jati diri anda. Menangislah.... Lalu Bangkitlah. Jangan biarkan orang lain tau akan kesusahan anda. Jangan biarkan mereka menertaiwai penderitaan anda. Jadilah pribadi yang kuat sekuat Raja Keiji, ayahanda pangeran. Hadapi semua masalah dengan senyuman. Itulah kunci awal dari sebuah keberhasilan." Kurasakan tangannya yang mengelus lembut kepalaku. Belum sempat aku menjawab, ia kemudian melanjutkan perkataannya lagi. "Itulah yang pernah ayahanda pangeran katakan padaku dulu. Dan sekarang, kukatakan pada anda." Aku masih terdiam menghayati setiap kalimatnya itu.

Menyadari bahwa aku masih terdiam seribu bahasa, lalu ia berkata lagi, "Aku masih ingat, saat itu aku masih berusia enam belas tahun saat mengikuti sayembara untuk menjadi prajurit kerajaan. Percaya atau tidak, saat itu akulah satu-satunya peserta termuda di arena pertandingan. Singkat cerita, akhirnya disaring lima belas orang untuk mengikuti tahap pengujian selanjutnya. Aku termasuk didalamnya. Seperti yang sudah anda ketahui, pada tahap ini para peserta masih tetap bertarung dengan menggunakan tangan kosong untuk diamati secara detail keahlian yang dimiliki oleh masing-masing peserta. Dengan beberapa teknik karate yang telah kukuasai, dengan mudahnya aku bisa lolos ketahap selanjutnya. Dikesempatan itulah kami bertemu langsung dengan Raja Vampir Chizu yang selama ini telah kami agung-agungkan sosoknya. Pada saat itu beliau menanyakan pertanyaan yang sama pada setiap orang dari kami.

"Apa yang membuatmu ingin menjadi Prajurit Vampir Chizu?", kata beliau dengan nada wibawanya. Rata-rata dari mereka menjawab bahwa mereka ingin mengabdi pada kerajaan dan membalaskan dendam mereka pada musuh-musuh yang telah merenggut nyawa orang-orang yang mereka sayangi. Alasan yang cukup egois, pikirku. Tibalah giliranku yang dilontarkan pertanyaan itu oleh beliau. Masih terukir jelas dibenakku setiap kata yang beliau ucapkan pada saat itu, "Wahai anak muda, apa yang membuatmu ingin menjadi Prajurit Vampir Chizu? Usiamu masih terlalu muda untuk itu, namun kemampuan yang kau miliki telah melampaui standard yang kami bayangkan. Disamping itu kau masih punya banyak peluang didalam hidupmu." Mendengar itu semua terucap darinya, aku bergeming lalu melirik ke kepalan tanganku yang telah lebam dikarenakan oleh pertandinganku sebelumnya.

Tak lama kemudian, akupun tersenyum lalu berkata, "Tujuan utama hamba mengikuti sayembara ini adalah untuk mengabdi pada anda, hanyalah kepada anda. Dengan kekuatan yang hamba miliki ini, hamba akan berlatih dengan keras agar nantinya mampu melindungi anda, bangsa ini, saudara, dan teman-teman hamba dengan sepenuh jiwa dan raga. Ini adalah sebagai bukti rasa terima kasih hamba kepada anda atas perlindungan dan keadilan yang telah anda berikan dengan penuh kebijaksanaan. Kesimpulan dari itu semua adalah bahwa ini merupakan wujud nyata dari kekaguman pada anda." Itu adalah pertama kalinya didalam hidupku menatap kedua matanya yang cerah. Kuakui, itu membuatku sedikit gugup.

Kulihat beliau yang masih terdiam sambil menatapku. Entah apa yang ada didalam benaknya saat itu. Aku sempat berpikir apakah aku telah mengatakan sesuatu yang salah. Namun sesaat kemudian kulihat senyumannya yang mengembang. Lalu ia mengatakan ini padaku, "Kau. Kau adalah calon pemenang, anak muda. Walaupun tangan kecilmu ini masih belum sanggup menghancurkan kerasnya tembok baja, namun ketulusan hatimu akan meruntuhkan sesuatu yang lebih keras dari baja itu." Mendengarnya, membuatku terharu sekaligus bangga mendapatkan pujian itu dari beliau. Senyuman kecil tersirat disudut bibirku. "Kuharap nanti Hiro akan tumbuh sepertimu", ia menyentuh kepalaku lalu berlalu meninggalkan kami semua di arena pertandingan. Dengan hormat aku membungkukkan badanku dengan senyuman yang masih mengembang. Beberapa bulan kemudian sejak hari itu, aku resmi menjadi tim inti prajurit kerajaan. Dan tiga tahun kemudian, aku telah berhasil menduduki jabatan Letnan Jenderal termuda disepanjang sejarah kerajaan. Lalu dengan keahlianku yang berkembang pesat, aku segera menggantikan kedudukan Jenderal/Panglima.

"Kau.... Kau sungguh hebat. Itu sangat mengesankan", kataku sambil memandangnya takjub. Kulihat ia tersenyum singkat lalu berkata, "Sekarang, apa perintah anda kepadaku, pangeran?" Kali ini aku tak bisa memalingkan pandanganku lagi darinya. Tatapannya saat ini seakan-akan mengunci kedua mataku. Aku bergeming sejenak. Kuhembuskan nafas panjangku lalu kuberanjak berdiri. Kulangkahkan kaki ini pelan menuju almari bajuku. Kuraih kemeja warna merah tua dari dalam lemariku dan kukenakan. "Tangkap dan bunuh dia", kuputar badanku dan menatap sosoknya yang masih terduduk ditepian tempat tidurku.

***

Jam dinding itu telah dilihatnya berulang kali. Saat ini telah menunjukkan jam dua pagi. Namun, tugas kelompoknya itu tak kunjung selesai. Ia masih berusaha terjaga dengan bolpoin yang tengah digenggamnya itu. Matanya yang telah memerah memerintahkannya untuk segera tidur. Tetapi gadis itu masih tetap memaksakannya untuk terus terbuka. Pandangannya kini mulai memburam akibat rasa kantuk yang telah berulang-kali menghinggapinya. Kini ia berjuang seorang diri di ruangan yang telah sunyi itu. Pemuda yang bernama Sato itu telah pulang beberapa jam yang lalu. Terangnya lampu semakin membuat kedua matanya terasa panas. Perlahan-lahan air matanya menjatuhi kertas putih dihadapannya. Semakin lama semakin deras air mata yang keluar dari kedua mata lelahnya. Semakin berat dirasakannya pada bagian kelopak matanya itu. Bayangan sosok Hiro yang menawan muncul dalam benaknya. Senyumannya, tatapan kedua matanya, suaranya, ia sangat merindukan pemuda itu.

Iapun meletakkan bolpoinnya lalu mengusap pelan air mata yang membasahi pipinya. Kedua matanya semakin terasa perih ketika ia mencoba untuk menghapus butiran-butiran air mata pada kelopak matanya. "Bagaimana ini? Bagaimana kalau belum selesai? Aku lelah... Aku mau tidur...", rengeknya. Keletihan serta rasa kantuk itu membuat matanya terlihat semakin memerah. Tak lama setelah itu, terdengar nada panggilan di ponselnya. Dilihatnya nama Sato pada layar ponselnya. Seakan-akan pemuda itu tahu tentang suasana hati Kina. Perlahan gadis itu meraih ponselnya lalu menjawab panggilan Sato.

"Masih belum tidur?", Sato membuka suaranya. Namun gadis itu masih belum bersuara. "Sudah lewat tengah malam, nanti kantung matamu membengkak lho", candaan Sato yang mencoba menghibur Kina. Masih terdengar sunyi diujung sana. "Kina? Moshi-moshi.....? Daijoubu?", kekhawatiran pemuda itu mulai tampak saat mendapati lawan bicaranya yang masih belum merespon. Pada detik itulah mulai terdengar isak tangis Kina yang tersedu-sedu, "Apa yang harus kulakukan?" Kini ganti Sato yang bergeming sejenak. Akhirnya pemuda itu hanya mengatakan dua buah kata lalu menutup teleponnya. "Tunggulah disana."

Benar yang telah diduganya. Sato benar-benar datang. "Ayo kita kerjakan bersama-sama", terlihat senyuman kecil Sato. Kedua mata gadis itu terlihat akan menangis lagi. Gambaran sosok hiro yang dilihatnya di kedua mata Kina yang lelah. "Sudah, sudah. Jangan menangis lagi. Menangis tak akan menyelesaikan masalah. Lagipula kan ada aku disini."

"Kenapa kau tidak membenciku? Bukankah aku telah menolakmu dan lebih memilih Hiro?", kata gadis itu dengan suara beratnya. "Karena aku menyukaimu, Kina. Karena aku menyukaimu. Aku rela melakukan apapun untukmu. Jadi, mulai saat ini, jangan berpikiran yang macam-macam. Aku tidak pernah merasa berada di tengah-tengah kalian berdua. Kau dan Hiro adalah sahabatku."

Jam dinding itu dirasakannya berputar semakin cepat. Mengingat waktu telah menunjukkan jam lima pagi, iapun bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya. Sejenak dilihatnya wajah Kina yang tengah tertidur lelap dengan bolpoin ditangannya. Iapun tersenyum kecil memandanginya. "Melihatmu seperti ini, kau memang lebih pantas untuk menjadi adikku, Kina." Pemuda itu lalu menata buku-buku Kina. Iapun bangkit berdiri dari posisi duduknya.

"Sato?", terdengar sebuah suara dari sudut tangga. Pemuda yang bernama Sato itupun segera memutar badannya untuk melihat seseorang itu. "Kedatanganku kesini hanya untuk membantu Kina mengerjakan tugas sekolahnya, paman. Dan sepertinya sekarang waktuku untuk pulang.", Sato membungkukkan badannya tanda memberi hormat lalu dengan segera ia meninggalkan ruangan itu. "Masih banyak yang mau ayah bicarakan denganmu", ucapnya dengan nada lembut. Sato tak menghentikan langkahnya dan meninggalkan laki-laki paruh baya itu sendiri di ruangan itu. Lelaki paruh baya itu menuruni anak tangga terakhir dan berjalan kearah putrinya yang tertidur pulas dengan posisi kepala diatas meja.

"Kina, pindahlah ke kamarmu. Masih ada waktu beberapa jam untukmu istirahat", lelaki itu mengelus pelan kepala putrinya. Perlahan Kina membuka kedua matanya. Menyadari sosok Sato yang menghilang, ia segera bertanya pada ayahnya, "Sato sudah pulang?" Tak lama kemudian, dilihatnya ayahnya mengangguk lalu berkata, "Pukul berapa Sato datang?" "Sekitar pukul dua", gadis itu mengusap-usap kedua matanya yang terasa sangat berat. Lalu ia segera beranjak berdiri dan menuju ke tangga. "Selamat pagi, ayah. Sampai jumpa nanti", katanya dengan suara paraunya.

***

"Bagaimana perkembangannya?", tanya Hiro dengan langkah cepatnya. "Kita tidak berhasil menemukan jejaknya, pangeran. Maafkan hamba. Kami masih terus melakukan pencarian", jawab singkat panglima perang. Hiro menepuk lengan panglima perangnya. "Bagus. Terus lakukan pencarian." Senyuman pangeran muda itu menutup perbincangannya dengan panglima dipagi itu.

"Selamat pagi, pangeran", beberapa pelayan mengucapkan salam padanya. Pemuda itu hanya merespon dengan senyuman manisnya dan berlalu dengan langkah cepatnya. "Mau sarapan dengan menu apa, pangeran?", kata dua orang pelayan wanita yang menghentikan langkahnya. "Nanti saja. Sekarang masih ada hal yang mau kulakukan", sekali lagi pangeran muda itu melontarkan senyuman ramahnya. "Ternyata kalau dipandang dari dekat, Pangeran Hiro terlihat sangat tampan. Andai saja aku terlahir sebagai putri, pasti akan kukejar Pangeran Hiro. Namun sayangnya, aku hanyalah seorang pelayan", kata salah satu dari mereka. Didengar samar-samar perbincangan kedua pelayan itu oleh Hiro. Ia tersenyum kecil lalu membalikkan badannya. "Nabe_san." Mendengar panggilan Hiro, kedua pelayan itu seketika menghentikan langkahnya. Satu detik.... Dua detik.... Tiga detik..... Mereka masih belum memutar badannya untuk menjawab panggilan Hiro, terkejut.

"Nabe_san", mendengar suara Hiro memanggil namanya untuk yang kedua kalinya, mereka langsung memutar badannya dengan cepat untuk memandang sosok pangeran muda itu. "A-an-anda me-nyebut nama saya?", kata salah satu pelayan itu keheranan. "Tentu. Memangnya siapa lagi? Tolong bawakan air hangat dan handuk ke kamar ayah", kata pemuda itu dengan ramah. "I-iya, pangeran. Tetapi, sejak kapan anda mengetahui nama saya?", tanya pelayan itu dengan ekspresi yang tak dapat disembunyikannya. "Aku hafal nama-nama pelayan disini. Termasuk kalian." Hiro melanjutkan langkah kakinya menuju kamar sang raja. "Pangeran tau namaku! Pangeran menyebut namaku!", bisiknya meluapkan kebahagiaannya. "Tiba-tiba dadaku sesak karenanya. Ini kenyataan kan? Bukan mimpi? Pangeran telah menyebut namaku?", ia terlihat tengah mengatur nafasnya.

"Jangan tinggalkan aku, ayah. Tolong tetaplah bersamaku", gumam Hiro sambil menggenggam erat tangan ayahnya. "Aku janji akan menemukan pelakunya dan membunuhnya untukmu", dipandangnya wajah pucat ayahnya yang masih memejamkan kedua mata. "Walaupun dia adalah Dake."

"Ini pangeran, air hangat dan handuknya", singkat kata dari pelayan yang bernama Nabe itu. "Terima kasih", seulas senyum Hiro padanya. "Kalau anda memerlukan sesuatu, jangan segan-segan untuk memanggil saya, pangeran." Pemuda itu hanya mengangguk pelan sebagai jawabannya. Kemudian, dilihatnya pelayan itu keluar dari ruangan yang beraroma lavender itu. Hiro meraih handuk kecil itu lalu dibenamkannya kedalam air hangat didalam baskom. Ia kemudian memerasnya lalu menyeka wajah ayahnya yang pucat. "Kapan ayah akan bangun?"

Tak lama kemudian, terdengar suara pintu diketuk dari sisi luar. "Pangeran, Tuan Kazu ingin bertemu dengan anda", kata seorang pelayan dibalik pintu itu. "Tuan Kazu? Ayahnya Ruka? Ada perlu apa dia denganku? Semoga tidak seperti yang kubayangkan." "Tunggu lima menit lagi", kata Hiro sambil beranjak dari duduknya. "Ayah tak akan meninggalkanmu, Hiro. Ayah masih belum bisa menjadi ayah yang baik dan belum mampu untuk menjagamu. Ayah telah kehilangan ibu dan adikmu. Kini saatnya ayah yang melindungimu. Ada beban dan tanggung jawab yang harus ayah jaga. Terutama janji ayah pada ibumu."

"Tuan Kazu menungguku dimana?", tanyaku ditengah-tengah langkahku yang cepat. "Beliau menunggu anda di ruang tamu, pangeran." Aku berjalan menuju ruang tamu sambil membayangkan suatu kemungkinan yang akan dikatakannya padaku. "Selamat pagi, pangeran", salamnya yang ditujukan kepadaku. "Selamat pagi, paman", aku membungkukkan badanku tanda memberi hormat padanya. Aku mempersilahkannya duduk kembali.

"Saya turut prihatin atas apa yang telah terjadi pada ayah pangeran. Saya dengar bahwa Baginda sedang koma saat ini. Benarkah itu?", tanyanya dengan raut muka yang khawatir. "Memang benar. Sampai saat ini ayah masih belum sadarkan diri. Itu disebabkan oleh panah beracun", jawabku singkat. "Kalau memang begitu adanya, saya tidak bisa membantu banyak. Tetapi mungkin ramuan ini bisa sedikit meringankan. Bakar daun ini bersama dengan bubuk ini didalam tungku. Lakukanlah setiap senja tiba", kulihat ia mengeluarkan sesuatu dibalik saku jasnya. "Terima kasih atas bantuannya." "Tidak perlu sungkan seperti itu. Saya dan Baginda sudah lama bersahabat. Sudah wajar jikalau saya datang untuk membantu." Aku hanya tersenyum kecil mendengarnya.

Kulihat seorang pelayan yang melintas lalu segera kumemanggilnya. "Tolong gantikan aku menyeka ayah." Kulihat ia mengangguk mengerti dan perintahku segera dilaksanakan olehnya. "Silahkan diminum", kataku pada lelaki paruh baya yang tengah duduk dihadapanku ini. Akupun juga mengambil secangkir teh yang ada diatas meja. "Pasti anda sudah menduga bahwa kedatanganku kemari bukan hanya membahas tentang hal ini", kulihat senyum kecil disudut bibirnya. Aku membenarkan posisi dudukku lalu berdehem pelan. "Lalu?", aku berusaha mengatur nafasku.

"Begini, beberapa waktu yang lalu, saya sudah mendiskusikan tentang hal ini pada Baginda. Saya yakin bahwa Baginda sudah menceritakan semuanya pada anda. Jadi tanpa basa-basi lagi saya akan langsung menuju ke topik pembicaraan kita. Mungkin sekaranglah waktu yang tepat untuk memastikan secara langsung pada anda. Saya harap anda bisa menyisihkan sedikit waktu untuk bertemu dengan Ruka. Saya yakin sang Baginda juga mengharapkan hal yang sama." Akhirnya semua hal yang berputar-putar didalam benakku, sudah kudengar secara langsung. Untungnya, aku sudah mempersiapkan jawaban yang kuanggap tepat dan bijak. "Sebelumnya saya minta maaf. Saya masih belum memikirkan tentang hal itu, paman. Banyak hal yang mengganggu pikiran saya beberapa hari terakhir ini. Mungkin lain kali saya akan mempertimbangkannya dan tentang Ruka, tolong sampaikan salamku padanya." Kata-kata terakhirku kututup dengan seulas senyuman.

"Baiklah kalau begitu. Saya dapat memahaminya dan saya harap anda segera memutuskannya. Jikalau terjadi sesuatu pada Baginda, jangan ragu-ragu untuk menghubungi saya. Saya siap membantu", kulihat ia bangkit dari duduknya. Aku pun berdiri mengikutinya. "Sampai jumpa lagi, pangeran", katanya sambil memelukku. Kudengar sebuah bisikan kecil ditelinga kananku, "Anda terlihat sangat tampan, pangeran. Tak berbeda jauh dengan ayah anda." Aku tersenyum seraya ia melepaskan pelukannya. "Saya sudah sering mendengarnya, paman."

"Dan saya harap anda tidak bosan mendengarnya", kudengar tawanya. Aku tidak akan pernah bosan mendengarnya. Sampai kapanpun juga. Itu adalah suatu kebanggaan tersendiri bagiku. Mereka mengatakan bahwa parasku mirip dengan ayah dan kuharapkan pula sikapku nantinya bisa mirip dengannya. Segera kuberbalik dan berjalan menuju ke kamar ayah.

"Sudah selesai?", tanyaku pada pelayan yang tengah menyeka ayah. Nada suaraku kurendahkan berharap tak mengganggu ayah. "Sudah, pangeran", jawabnya sambil merapikan kembali selimut yang menyelimuti tubuh ayah. Pelayan itu membawa keluar baskom dan handuk kecil. Kududuk disamping tempat tidur ayah. Ia terlihat tengah tertidur pulas didalam mimpi-mimpinya yang indah tanpa adanya masalah-masalah yang mewarnai hidupnya selama ini. Tanpa adanya Vampir Souka yang menjadi benalu dikehidupannya. Tanpa adanya aku yang telah menyebabkan masalah datang silih-berganti. Ya, mimpinya akan begitu indahnya tanpa ada aku.

Kugenggam erat tangannya yang berwarna putih pucat. Kupandangi kuku-kuku jarinya yang selalu pendek itu. Ia pernah mengatakan sesuatu padaku bahwa ia tak suka tidur terlalu lama. Itu membuat kepalanya pusing dan seluruh badannya menjadi pegal-pegal. Namun kenapa sekarang ayah tertidur begitu lamanya. Ayo bangun ayah. Bukalah matamu dan lihatlah aku disini. Perlahan kurasakan air mataku menetes satu per satu. Namun kucoba menghambat jatuhnya butiran air mata ini berharap jika ia bangun nanti tak melihatku yang tengah menangis. Perlahan kurasakan kedua mata ini semakin berat. Perlahan kuletakkan kepalaku disisi tempat tidur ayah. Sprei nya yang lembut berhasil membuatku terlelap dengan cepat. "Hiro, kau terlihat sangat jelek ketika menangis. Taukah kau itu?"

Aku masih ingat bahwa aku sama sekali belum pernah memasuki kamar ayah. Ayah jarang sekali berada di kamarnya. Aku bahkan tidak tahu bahwa kamarnya memiliki aroma lavender selembut ini. Aku mengamati setiap sudut ruangan luas ini. Pastilah sekarang aku berada di alam mimpi. Ya, mimpi. Aku harap mimpiku yang kali ini akan jauh lebih indah.

Aku tertegun saat kudengar suara ayah menyebut namaku. Kumencari asal suara itu. Ruangan ini tiba-tiba berubah menjadi teras di belakang istana. Kudapati aku yang berdiri didekat pilar. Kurasakan seseorang menyentuh lembut punggungku. Lalu kulihat ayah yang berdiri tepat disampingku. Kupandangi parasnya yang sepucat cahaya rembulan. Spontan kupeluk ia dan kutuangkan semua air mataku. "Lupakan semuanya, Hiro. Lupakan semuanya. Lupakan apa yang telah terjadi di masa lalu. Hanya ingatlah bahwa semuanya akan baik-baik saja ketika kau bangun nanti." "Jangan tinggalkan aku ayah. Jangan tinggalkan aku seorang diri." Kurasakan belaian tangannya menyentuh lembut rambutku. "Mengapa ayah harus meninggalkanmu?"

"Jangan tinggalkan aku, ayah. Jangan tinggalkan. Jangan tinggalkan aku. Jangan", kudengar samar-samar suaraku ditengah-tengah tidurku. Kudengar pula suara kicauan burung istana yang membuatku membuka mata. Pertama kali yang kulihat adalah pintu kamar itu. Cahaya matahari yang jingga memasuki ruangan luas ini melalui kaca jendela-jendela besar. Kuangkat kepalaku dan kupandang ayah yang masih belum sadarkan diri. Kurapikan helaian rambutnya yang tersapu oleh tiupan angin. Ku masih memikirkan ulang akan mimpiku tadi. Aku ingin mendengar suaramu lagi, ayah." Kurapikan kembali selimutnya. "Selamat sore, ayah."

"Dimana pangeran sejak tadi?", tanya penasehat istana yang kebetulan berpapasan denganku di lorong. "Di kamar ayah." Aku berhenti sejenak karena ingin mengatakan sesuatu padanya. "Mulai saat ini apapun yang terjadi pada ayah, tolong beritau aku. Jangan ada rahasia apapun di istana ini." Tak lama kemudian, kulihatnya mengangguk mengiyakan permintaanku.

Hanya satu hal yang kuinginkan dari kalian. Berhentilah melindungiku. Berhentilah menyembunyikanku. Sebaliknya, beri aku kesempatan untuk melindungi kalian. Semua hal yang kalian lakukan demi aku, itu akan membuatku semakin merasa bersalah. Jika aku memang ditakdirkan untuk mati, maka tidak ada siapapun yang dapat menghentikannya. Karena hanya Tuhanlah yang memiliki kuasa akan itu.