Aku kembali ke dunia vampir malam itu juga. "Aku pulang, ayah. Aku pulang", ucapku berkali-kali didalam hati. Namun itu semua tak ada gunanya. Kau telah pergi meninggalkanku. Mengapa semua ini terjadi padaku? Apa salahku pada-Mu? Aku sudah tidak kuat lagi, Allah. Tolong lapangkanlah hatiku atau cabutlah nyawaku sekarang juga. Ijinkanlah aku menyusul ayah. Berkali-kali air mata ini menetes tanpa kusadari. Sesekali J menepuk bahuku, berusaha menghiburku. Tak lama kemudian kita berdua telah sampai di kerajaan. Kudengar suara tangisan dimana-mana. Bangsa Vampir Chizu menangis mengiringi kepergian ayah. Aku berjalan dengan tatapan kosong kedepan. Saat kumemasuki kamarnya, kulihat ayah yang berbaring dengan damainya dan mulai detik ini kedua mata itu tak pernah akan terbuka untuk selama-lamanya. Kini layar kapalnya telah ditutup dan ia telah sampai di dermaga. Ia telah berada di depan gerbang istana megah Tuhannya. Aku melangkahkan kakiku pelan khawatir kalau ayah akan mendengar suara hentakan sepatuku dan membangunkannya dari mimpi indahnya. Lalu ia akan berkata dengan lembutnya, "Tak bisakah kau melangkah dengan pelan? Bahkan dindingpun bisa mendengarnya. Apakah seperti itu yang selama ini ayah ajarkan padamu?" Aku duduk disamping tempat tidurnya. "Kau mendengarnya, ayah? Ribuan mata menangis untukmu diluar sana. Kita semua telah kehilanganmu. Seorang Raja terbaik sepanjang masa." Lalu kuletakkan telapak tanganku tepat didadanya. Aku tersenyum pasi sambil air mata terus membanjiri pipi lalu berkata, "Benar kata mereka. Kau telah pergi meninggalkanku ayah, meninggalkan kita semua. Jangan khawatirkan aku disini. Aku akan baik-baik saja. Beristirahatlah dengan tenang. Sampaikanlah salam rinduku pada ibu dan Hana. Aku selalu merindukan kalian disetiap detikku. Disetiap hembusan nafas akan selalu ada bayangan kalian. Bahkan serasa seperti kemarin kita baru saja bertemu. Sampaikanlah salamku juga pada Allah, tuhan kita. Ayah adalah hadiah terindah di dalam hidupku yang pernah Allah berikan padaku. Walaupun sekarang Ia mengambilnya, aku berusaha untuk merelakan ayah. Karena aku menyadari bahwa ayah bukanlah milikku."
Sesaat kemudian kudengar pintu kamar ini diketuk dari luar. "Semua sudah siap, pangeran", katanya. Aku hanya mengangguk pelan memastikan aku telah siap untuk acara pemakaman ayah. Dengan segera mereka mengangkat tubuh ayah dan memasukkannya kedalam peti mati. Itu semakin meyakinkanku bahwa aku tak akan melihatnya lagi. Aku mengambil posisi untuk turut serta membantu mengangkat peti mati ayah. Aku hanya bisa tertunduk lesu menyadari hal itu.
Berminggu-minggu setelah hari itu, Hiro masih terlihat murung. Tidak pernah tersenyum dan tidak sekalipun berbicara pada siapapun. Walaupun beberapa pihak istana mencoba untuk menghiburnya. Namun sepertinya kotak tertawanya sudah rusak. Sehingga membuatnya lupa bagaimana caranya untuk tersenyum. Ia lebih sering berdiam diri dikamarnya. Bersimpuh di lantai dengan kedua lututnya. Tengah memohon pada Yang Maha Kuasa. Selama berhari-hari ini ia hanya bersedih hati dan sering menunduk kebawah. Namun ia harus kuat demi rakyatnya.
"Apa rencananya?", tanyanya pada salah seorang menteri. "Kita akan menyerang habis-habisan Vampir Souka, pangeran. Tetapi sayangnya kerajaan kita masih belum mampu mempersiapkan semuanya", keluhnya. "Kau lupa? Kita memiliki bantuan penuh dari kerajaan-kerajaan negeri seberang. Mereka akan berjuang bersama kita." "Tetapi, pangeran. Menghentikan Vampir Souka adalah hal yang mustahil. Kita tak pernah bisa melumpuhkan mereka sepanjang sejarah ini." "Mustahil? Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Tampaknya kau telah melupakan satu hal, bahwa aku telah mengalahkan seorang prajurit terhebat dari Vampir Souka. Kita pasti bisa menaklukan mereka", ucap Hiro. Terlihat kobaran bara api disorot matanya.
Benar, keberuntungan kali ini sepenuhnya telah memihak padanya. Memihak pada sebuah kebenaran yang sejati. Malamnya ia mengundang secara resmi para panglima perang dan menteri-menteri negeri seberang dan segera mengadakan rapat besar tanpa sepengetahuan Vampir Souka. Mereka membahas tentang perincian perang dunia ketiga itu. Setelah rapat paripurna selesai, semua kembali pada posisinya masing-masing. Menyiapkan semuanya yang ada. Tentu saja didalam perang ini, rakyat kecil tak akan menjadi korban. Kemudian datang L dari arah belakangnya. "Bagaimana keadaan Sato?", Hiro memulai pembicaraan terlebih dahulu. "Keadaannya mulai membaik."
"Saat ini adalah kesempatanku untuk menyelamatkan rakyat kita dari mimpi buruk." Pemuda itu kembali melanjutkan aktifitasnya. "Semoga Tuhan akan selalu menyertai kita semua, pangeran. Menyertai kita merebut kejayaan itu." Dini hari, tepatnya pada pukul 2 pagi, sepuluh ribu pasukan bersenjata lengkap menderapkan langkahnya ke arah barat. Mereka terdiri dari pasukan Vampir Chizu, Anderra, Shamus, Adalson, dan Roman. Mereka berangkat bersama-sama dengan mengenakan pakaian besi. Mereka yang terdiri dari ribuan prajurit itu telah mengadakan gerak cepat. Setiap mereka melangkah maju dan pasukan dari kerajaan lain yang ikut menggabungkan diri menambah jumlah dan menambah kekuatan pula. Mereka berangkat dengan kalbu yang penuh keyakinan bahwa mereka akan meraih kemenangan. Pasukan ini dipimpin langsung oleh Pangeran Muda Hiro. Sesaat sebelum pemberangkatan, Pangeran Dai Akihiro naik ke tempat yang lebih tinggi agar semua mata bisa melihatnya dan mendengar jelas pidatonya yang lantang dan gagah itu. Bahkan angin dan awan putih diatas menghentikan gerakannya sejenak untuk mendengarkan.
"Tentaraku, mari kita tembus benteng mereka dan mematahkan tombak-tombak mereka itu. Mari kita runtuhkan bendera musuh yang ditancapkan dengan penuh kesombongan dan ketamakan. Hari ini kita akan membuktikan bahwa kita tidak kalah hebatnya dengan nenek moyang kita terdahulu yang memiliki sejarah yang penuh dengan kejayaan. Mereka menaklukan banyak benteng dan prajurit-prajurit yang kuat. Mari kita bangunkan sang singa merah untuk mengaum kembali. Ia sudah lama sekbali tertidur dan ternina-bobokkan. Ingat! Kemenangan dicapai dengan keyakinan. Aku yakin kita akan menembus tembok mereka dengan keberanian kita. Kita tak akan mati sebelum kita membuat musuh bertekuk lutut." Pangeran Hiro kemudian mengeluarkan pedangnya dari sarungnya lalu ia mengacungkannya tinggi-tinggi ke langit. Ia mendongakkan pandangannya menatap langit gelap diatas sana lalu bertakbir "Allahu Akbar!" Sepuluh ribu pasukan itupun juga mengacungkan pedang mereka keatas. Suasana heroik dirasakan disetiap tubuh yang bernyawa. Api itu berkobar-kobar dengan hebatnya.
Jumlah anggota pasukan yang mencapai sepuluh ribu ini bergerak dengan sangat halus bahkan pihak Vampir Souka belum juga mendapat berita. Sungguhpun demikian pangeran muda itu tetap selalu waspada dan berhati-hati. Diperintahkannya pasukannya supaya dipecah menjadi empat bagian. Diperintahkan pula kepada mereka semua supaya jangan memulai pertempuran kecuali jika keadaan yang sangat mendesak sekali.
Pangeran Hiro mengatakan pada pasukannya untuk tidak membunuh penduduk Vampir Souka. Target mereka hanyalah bala tentara dan pusat pemerintahan. Ketika pasukan sudah memasuki kota, pihak Vampir Souka sangat terkejut dan tidak ada perlawanan, kecuali dari beberapa kelompok yang memutuskan untuk memerangi pasukan besar itu. Mereka ini terdiri dari kelompok-kelompok yang paling keras memusuhi Vampir Chizu.
Bahkan mereka telah menyiapkan diri hendak berperang, sementara yang lain dari golongan mereka ini juga telah bersiap-siap pula hendak melarikan diri. Bilamana pasukan Nickolay datang menyusuri setiap jalan Vampir Souka, Pasukan Vampir Souka menghujaninya dengan serangan anak panah. Tetapi secepat itu pula Komandan Perang Nickolay berhasil mencerai-beraikan mereka. Dilihatnya kota itu dengan segala isinya, dilihatnya pula kilatan pedang di bagian bawah kota serta pasukan Nickolay yang menyisir dari arah utara sedang mengejar-ngejar mereka yang menyerangnya itu. Sungguhpun begitu lima belas prajurit dari anak buahnya tewas, karena mereka ini ternyata terpisah dari induk pasukannya.
Pasukan itu tak tertahankan. Dari empat penjuru, pasukan Hiro berhasil menguasai wilayah kekuasaan Vampir Souka. Memang ada perlawanan dari Borganus yang berhasil menghadang pasukan Komandan Perang Mersinus. Namun, kekuatan mereka tak bisa menandingi keperkasaan prajurit sekutu Pangeran Hiro. Selama peperangan itu, Hiro menghabiskan empat pedang. Dua pedang pertamanya bengkok dan dua pedang selanjutnya patah. Tak terhitung berapa jumlah prajurit yang telah ia kalahkan dan betapa hebatnya perang kala itu.
Mereka lari tunggang langgang. Melihat malapetaka yang sekarang sedang menimpa mereka ini, beberapa petinggi Vampir Souka cepat-cepat angkat kaki melarikan diri dengan meninggalkan pasukan yang tadinya mereka kerahkan mengadakan perlawanan menghadapi pasukan yang heroik itu.
Saat mendekati pukul enam pagi waktu setempat, mereka tak kuat lagi dan menyerah tanpa syarat. Keadaan sudah kacau balau tak terkendali dan mereka semakin tersudut. Telah dikibarkannya bendera putih oleh Kerajaan Vampir Souka yang menunjukkan bahwa mereka menyerah. Disaat itulah diumumkannya kemenangan mutlak oleh Vampir Chizu dan sekutunya. Berita itu dengan cepat menyebar dan bergelora. Atas nama kedamaian, kedua belah pihak bertemu dan menandatangani sebuah perjanjian bersejarah. Gerbang itu terbuka lebar dan mempersilahkan Pangeran Hiro dan sekutunya masuk. Suara derap langkah kaki kuda mereka menggetarkan dada. Semuanya menunduk memberi jalan. Bendera Kerajaan Vampir Chizu berdiri tegak digenggaman panglima perang. Hiro menoleh kearah panglima perangnya lalu tersenyum. Tak ada kemenangan tanpa luka. Tak ada kemuliaan tanpa pengorbanan.
Para petinggi Kerajaan Vampir Souka yang memutuskan untuk bertahan, mereka bersujud pada Hiro, menyerah. "Berdirilah. Dimana rakyat Vampir Souka yang lainnya?" "Mereka berlindung di gedung peribadatan, pangeran. Mereka sangat ketakutan. Tolong bebaskanlah kami." Hiro dan pasukannya menghampiri tempat itu namun ia menghentikan langkah mereka ketika Hiro membuka pintu besar itu. Hiro masuk sendirian. Jumlah mereka sangat banyak memenuhi ruangan luas itu. Sebagian dari mereka adalah anak kecil dan perempuan, sebagiannya lagi adalah orang tua. Mereka sangat ketakutan dan tak berani memandang kearah Hiro. Dipikiran mereka hanyalah bahwa mereka semua akan mati tewas dibantai oleh pasukan besar itu. Ruangan itu tampak sunyi ketika hiro melangkahkan kakinya masuk. Bahkan mereka khawatir bahwa Hiro dapat mendengar riuhnya suara detak jantung mereka. Bayangan Hiro semakin mendekat dan mereka semakin menundukkan kepalanya hingga dagu mereka nyaris menyentuh dada. Terdengar suara gesekan pedang Hiro yang panjang terjuntai hingga menyentuh lantai. Mereka mundur selangkah demi selangkah.
"Jangan khawatir. Mulai sekarang hidup kalian, harta kalian, dan hak kalian adalah tanggung jawab kami." Wajah ketakutan mereka berubah menjadi senyuman seperti adanya sebuah harapan yang cerah. Mereka mulai memandang kearah sosok pangeran muda itu. Tatapan mereka penuh dengan kebahagiaan. Mata hitam hiro bertemu dengan mata anak perempuan yang tengah digendong oleh ibunya. Hiro tersenyum lalu mendekat. Anak kecil itu juga tersenyum padanya. Lalu ia mengangkat tangannya pada Hiro mengisyaratkan ingin digendongnya. Hiro menyambutnya lalu mendekapnya ke dadanya. Mata hitam anak kecil itu menyusuri setiap jengkal wajah Hiro. Jarak wajah mereka sangat dekat sehingga dapat dirasakannya nafas Hiro yang mengenai wajah kecilnya. Kemudian tangannya menyentuh lembut pipi pangeran itu yang terluka. Terdengar riuh suara anak kecil dari belakang. Bukan hanya dua atau tiga, tetapi puluhan anak kecil. Mereka bersorak gembira mengitari Hiro. "Hati-hati, ini berbahaya." Katanya ketika dilihatnya beberapa anak hendak menyentuh pedang panjangnya yang terjuntai menyentuh lantai. Kemudian, ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi menghindarkannya dari mereka.
Hiro tampil sebagai pemimpin baru dan siangnya ia menghadiri rapat perdamaian itu. Setelahnya, pihak Vampir Chizu membangun kembali kerusakan akibat perang. Semua rakyat berpesta. Merayakan terlepasnya teror perang yang selama beratus-ratus tahun telah terjadi itu dan juga merayakan keberhasilan dari pemimpin baru mereka, Pangeran Dai Akihiro. "Hey, mengapa aku belum dinobatkan sebagai Raja?", bisik Hiro pada panglima perangnya. "Anda masih terlalu muda untuk itu, pangeran." Mereka berdua tersenyum bersamaan. "Hanya bercanda."
Kabar kemenangan oleh Kerajaan Chizu itu dengan cepat menyebar luas. Akhirnya pemuda itu bisa membuktikan pada ayahnya dan sahabatnya, Dake, walau mereka sudah tak bersamanya lagi. Namun mereka akan tetap abadi didalam hatinya. Habis gelap, terbitlah terang. Kiasan itulah yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya. Dengan keberhasilannya, sosok Hiro semakin dikenal diseluruh penjuru dunia vampir. Kharismanya tak tertandingi. Namanya telah tercatat dengan tinta emas di dalam buku suci. Jika seseorang membahas tentang perang besar itu, maka nama Hiro yang paling sering disebutkan disana. Namanya benar-benar harum seharum nama ayahnya. Memanglah buah tak jauh jatuhnya dari sang pohon. Sang pangeran yang mereka lihat kini bagaikan jelmaan sosok Raja yang terdahulu. Saat kau melihatnya, pasti sungguhlah mirip ia dengan ayahnya. Mereka berdua bagaikan satu orang yang sama di dalam dua tubuh.
Hiro sekarang mengambil alih semua tugas ayahnya. Sesekali penasehat istana juga menyertainya. Kerajaan Vampir Chizu sekarang terasa aman dan damai. Mimpi-mimpi buruk itu tak akan datang lagi. Dirasakannya udara yang semakin segar dan langit yang semakin cerah dibawah pimpinan kekuasaan Pangeran Hiro. Ia dengan cepat mempelajari sistem roda pemerintahan. Tak sedikit buku-buku tebal yang ia baca. Sungguhlah itu bahan bacaan yang sangat berat. Ia sering mengunjungi ruangan tempat penyimpanan buku dimana ayahnya sering menyimpannya disana. Sesekali ia mencium buku itu untuk menelurusi aroma jejak ayahnya. Itu sedikit dapat mengurangi rasa rindunya. Ia sekarang tengah duduk dengan tatapan serius di meja kerjanya. Matanya membaca dengan cermat, otaknya merekam dengan cepat dan bibirnya mengulangi poin-poin penting yang telah dibacanya.
Ketika ia hendak membalik lembaran itu, ujung jemarinya tak sengaja menyenggol salah satu buku. Matanya sekilas melirik. Disampul buku itu bertuliskan AL-QUR'AN DAN TERJEMAH. Beberapa hari yang lalu ketika ia kembali ke dunia manusia untuk melihat keadaan Sato, sesuatu sempat terbesit dipikirannya. Ia sangat paham bahwa Sato adalah anak yang agamis walaupun tuhannya bukanlah Allah. Tetapi mungkin ia mengetahui tentang hal ini walaupun sedikit. Jadi ia memutuskan untuk bertanya padanya. Dengan ragu ia mulai membuka mulutnya, "Apakah kau tau tentang Allah?" "Allah? Iya, tuhanku."
"Bukan, bukan itu maksudku. Agama ini datang dari Arab." Sato tampak berpikir sejenak. "Kalau yang kau maksud itu Arab, disana agama terbesar yaitu agama Islam." Kedua mata Hiro tampak berbinar-binar. "Apakah kau tau sesuatu mengenai Islam?" Sato menggeleng pasrah. Hiro tak kehabisan jalan, "Apakah mungkin di perpustakaan ada buku yang membahas Islam?" Sato menatap mata Hiro. Seakan-akan menandakan bahwa itu ide yang brilian. Saat itu juga mereka pergi ke perpustakaan terbesar di kota itu. Perpustakaan itu terkenal dengan kelengkapan buku yang ia miliki. Bahkan kau bisa mencari buku yang membahas tentang apapun disana yang belum pernah sedikitpun terbesit dipikiranmu. Semua buku tersusuk rapi di rak-rak buku yang terlihat indah.
Aku dan Sato menuju ke komputer pencari buku. Aku mengetik disana, "Islam". Muncullah beberapa rekomendasi buku. Aku mengeklik buku pada urutan teratas yang bertuliskan "Konsep Islam dalam Al-Quran" didalam bahasa jepang. Dahiku mengernyit. Al-Quran itu apa. Didalam sinopsis buku "Konsep Islam dalam Al-Quran" itu bertuliskan "Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang maha pengasih dan maha penyayang. Pemilik hari kebangkitan. Semoga shalawat dan salam tercurah untuk imam para rasul, nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya...….." ketika membacanya, hatiku seketika terasa tenang dan damai. Butiran salju bak turun satu per satu ke hatiku. Begitu nyaman dan tentram. Aku merasa seperti di alam lain yang sangat damai dan aku dengan suka rela menghabiskan sisa umurku disana, seorang diri. Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang? Allah menyayangi kita? Kita semua tanpa terkecuali? Aku menghayati setiap kata-kata yang tertulis di layar monitor itu. Allah, Tuhan semesta alam. Tuhan yang perkasa dan maha besar selalu menyayangiku? Ia pemilik segala apapun yang ada di bumi dan apa yang ada di langit, Ia menyayangiku? Membayangkannya, seketika aku merasa sangat kecil. Tahta dan kemewahan itu seketika telepas dari diriku. Aku bukanlah apa-apa dibandingkan diri-Nya. Aku merasa sangat kecil seperti bayi yang tak berdaya dan tengah digendong oleh ayahnya. Ayah adalah sosok yang sangat mencintaiku dan melindungiku dengan seluruh jiwa raganya. Namun, Allah lebih hebat dibandingkan dengan hanya seorang ayah pada anaknya. Aku seketika merasa memiliki penjaga dan pemelihara yang sangat kuat dan hebat.
Kemudian aku menyusuri kata demi kata selanjutnya. Dahiku mengkerut lagi ketika melihat sebuah nama disana. Nabi Muhammad. Siapakah dia? Kenapa ia disandingkan dengan Allah? Ini semua adalah hal yang sangat baru bagiku. Aku mulai mempelajarinya dari nol. Ketika aku mengetik namanya di komputer pencari buku, aku melihat salah satu judul buku yang sangat menarik. "Peradaban Islam pada Masa Nabi Muhammad SAW" Aku membaca synopsis buku itu. "Pada Fase Madinah ada beberapa bidang yang dikembangkan sebagai wujud dari upaya Nabi untuk membentuk Negara Islam diantaranya yaitu pembentukan sistem sosial kemasyarakatan, militer, politik, dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan Negara. Pada fase ini Islam menjadi agama yang sangat berkembang dengan visi dan misi yang satu yaitu menjadi negara Islamiah dengan pedoman Al-qur'an dan Sunnah Nabi."
Berpedoman pada Al-qur'an dan sunnah nabi. Sel-sel diotakku membelah diri menjadi banyak cabang. Otakku mulai berpikir dan menyambungkan antara satu hal dengan hal lainnya. Pemikiranku bergerak dengan cepatnya. Aku berakhir pada suatu kesimpulan bahwa Allah sangat menyayangi kita dan Ia ingin kita tidak kehilangan arah selama hidup di bumi. Lalu diutus-Nya seorang nabi dari kalangan manusia untuk menyampaikan petunjuk-Nya. Petunjuk itu berupa buku yang bernama Al-Quran. Dengan kata lain, Al-Quran adalah petunjuk dan pedoman hidup manusia. Muncul sebuah pertanyaan dibenakku. Untuk apa Allah menciptakan kita? Apa tujuan penciptaan manusia? Aku memerlukan kitab itu. Aku ingin mempelajarinya lebih jauh lagi. Aku ingin mengetahui apa yang Allah katakan dan perintahkan padaku. Akhirnya aku meminjam tiga buku dari perpustakaan itu. Konsep Islam dalam Al-Quran, Peradaban Islam pada Masa Nabi Muhammad SAW, Al-Quran dan Terjemah. Mata Sato terbelalak ketika ia melihatku datang dengan buku-buku tebal itu. "Kau sangat antusias untuk mengetahuinya, Hiro." "Allah telah banyak menolongku. Maka ini saatnya untukku berterimakasih padanya dan mencari tau bagaimana cara aku berterimakasih pada-Nya."
"Aku ingin sekali melihat duniamu, Hiro." Hiro yang tengah serius membaca buku yang dipinjamnya itu mengangkat pandangannya ketika mendengar kalimat Sato. "Apakah kau tidak takut pada vampir?" tanggap enteng Hiro. "Ayolah, Hiro. Jangan bercanda. Jika kau akan menyelakaiku, aku tak akan hidup sampai detik ini. Lihatlah, sahabatku ini adalah pangeran kegelapan." Hiro tertawa mendengarnya. "Baiklah, akan aku ajak kau besok." Matanya membelalak lebar, "Hei, apakah itu tidak terlalu cepat?" "Apakah kau sekarang takut?" Hiro kembali membaca buku tebal yang dipegangnya itu. "Aku tidak takut. Hanya saja... Kau tau kan kalau aku ini makhluk berdarah merah yang lezat." Hiro tersenyum lalu berkata, "Sangat lezat."
Sisa hari itu tidak ada yang istimewa. Hiro menghabiskan sorenya membaca buku-buku tebal itu. Ia tak bisa berhenti untuk membacanya. Lembaran-lembaran itu seperti mengundangnya untuk terus membaca dan meresap nilai-nilai suci. Sato juga disibukkan oleh tugas sekolahnya yang harus dikumpulkan besok. Sejak perang itu berakhir dan beban kerajaan dilimpahkan padanya sebagai penerus tahta, Hiro keluar secara resmi dari sekolahnya dan ia mengemasi barang-barang dirumahnya. Tak ada alasan lagi untuknya tinggal di dunia manusia. Gadis yang dicintainya sudah tiada. Kini iapun mempunyai tugas baru sebagai pewaris tahta. Rumahnya pun ia serahkan ke tangan Sato. Seperti halnya ketika ayahnya dulu menyerahkan rumah itu kepada paman Sato hingga Hiro datang. Sato lebih sering menginap di rumah Hiro ketika ia kembali dari dunia vampir agar Hiro tak merasa sedih dan kesepian sepeninggalnya ayahnya, Dake, dan Kina. Sato sangat paham bahwa itu sangat berat baginya.
Hari sudah berganti dan matahari sudah bangun dari tidur nyenyaknya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sato telah mempersiapkan mentalnya untuk memasuki dunia lain. Dilihatnya Hiro mengacungkan tangannya kearah depan dan Hiro membacakan sebuah mantra dengan bahasa aneh. Perlahan sesuatu terjadi. Sebuah portal muncul di hadapan mereka berdua dan portal itu semakin membesar. Hiro menoleh kearah Sato dan menganggukkan kepala tanda bahwa sudah saatnya. Pemuda disampingnya itu menghela nafasnya panjang lalu melangkah mengikuti Hiro meninggalkan ruangan hangat itu.
Detak jantungnya semakin kencang sejauh kakinya melangkah. Hingga detik ini masih belum ada hal yang aneh terjadi. Namun hal-hal yang buruk sering kali terbesit di benaknya. Hiro sedari tadi belum berkata apa-apa. Ia terus menuntunnya hingga dilihatnya sebuah bangunan yang megah nan indah didepan matanya. Bangunan itu bernuansa gelap dengan dinding berwarna abu-abu seperti beton. Disekelilingnya dipenuhi oleh pepohonan hijau dan burung-burung hitam yang berterbangan diatasnya. Perlahan cuaca yang cerah itu menjadi gelap dan awan hitam memayungi kerajaan itu. Itu menambah suasana yang mengerikan bagi Sato. "Hiro….", Sato menyentuh lengan Hiro. Nada suaranya menandakan bahwa ia sangat ketakutan. Pemuda itu menoleh dengan tatapan kosong lalu berkata, "Tak apa-apa Sato. Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja." Melihat tatapan itu, bulu kuduk Sato seketika berdiri dan ia membeku di tempat. Ini bukanlah Hiro yang dikenalnya. Tatapannya sama persis ketika ia berubah di malam purnama itu. "Aku bilang tak apa-apa….." Suara Hiro nampak menggema di telinganya. Sepersekian detik setelahnya, burung-burung hitam datang dari arah belakang mereka dan Sato menutup kedua matanya karena terkena kepakan sayap mereka. Suaranya sangat berisik. Ketika Sato membuka matanya, terlihat sosok Hiro dan puluhan orang yang berdiri beberapa meter didepannya. Mata merah mereka menatap kearah Sato yang mematung di tempat. Mereka terlihat sangat lapar dan buas. Hiro yang berdiri memimpin mereka juga membuka mulutnya dan air liur keluar dari sana. Taring Hiro terlihat persis seperti malam itu. "Aromanya sangat lezat" "Aku ingin mencobanya" "Manusia itu terlihat sangat ketakutan" "Itu adalah mangsa yang sangat istimewa" "Wajah ketakutannya semakin menggairahkanku" "Anda membawakan hadiah yang luar biasa, pangeran." Suara-suara itu terus berdengung di telinganya secara bergantian nyaris seperti bisikan.
"Kriiiiiinggggg....." Suara alarm membangunkannya. Sato bangun dengan badan yang basah kuyup oleh keringat. Nafasnya terengah-engah. Ia baru menyadari bahwa itu semua hanyalah mimpi setelah detik ke sepuluh. Mimpi itu terlihat sangat nyata. Sinar mentari pagi perlahan memasuki kamarnya. Ia beranjak dari kasurnya dan berjalan mengendap-endap ke kamar Hiro. Dilihatnya pemuda itu masih tertidur lelap. Hiro terlihat tidak berubah seperti yang dilihatnya semalam sebelum ia tidur. Ia terlihat sangat normal. Kemudian Sato menutup pintu itu perlahan lalu ia menuruni tangga. Detak jantungnya masih tidak beraturan.
Beberapa menit telah berlalu. Sato kini telah siap dengan seragamnya. Ia juga menyisakan sarapan dan teh untuk Hiro. Pangeran muda itu belum bangun. Sore ini sepulang sekolah mereka akan ke dunia vampir. Sato sedikit ragu akan hal itu mengingat apa yang dimimpikannya semalam. Itu menghantuinya sepanjang hari itu.
Hiro terbangun dari tidurnya dan mendapati Sato yang sudah tak ada di kamarnya. Ia menengok ke arah jam dinding. Pagi itu sudah menunjukkan pukul delapan. Ia kemudian menuruni tangga menuju kearah sofa panjang. Pangeran muda itu kini tak terlihat seperti seorang pangeran. Ia terlihat seperti manusia pada normalnya dengan kulit pucatnya. Kaos biru mudanya yang terlihat kusut dan rambutnya yang berantakan, jika ayahnya masih ada pasti ia akan mendapatkan ceramah selama berjam-jam. Diraihnya sebuah buku yang dibacanya semalam. Ia membuka lembaran yang telah ditandainya. Terdapat lipatan diujung kertasnya. Kata demi kata yang dibaca perlahan menghantarkan jiwanya ke ribuan tahun yang lalu. Matanya terpaku pada tulisan-tulisan itu. Perlahan ia memasuki negeri asing ditengah-tengah padang gurun yang tandus.
"Para kafir Quraisy membuat rencana yang sangat tidak masuk akal untuk menyudutkan Nabi Muhammad. Salah satunya dengan menantang nabi untuk melakukan hal yang mustahil untuk membuktikan kebenaran kenabiannya. Suatu ketika para kafir Quraisy menantang nabi Muhammad di depan para pengikutnya sebagai bentuk kebenaran tentang ajarannya dan kenabiannya. 'Kalau memang engkau adalah seorang nabi, tunjukkanlah satu mukjizat kepada kami. Belahlah bulan purnama yang kini tengah temaram menjadi dua bagian. Letakan yang sebelah di atas bukit Abu Qubais, dan letakan yang sebelahnya lagi di atas bukit Qaiqa'an (Dua bukit di Makkah).'
Sontak Nabi Muhammad SAW menanggapi tantangan itu: 'Jika aku sanggup menjawab tantangan kalian, apakah kalian akan percaya jika aku memang diutus oleh Allah untuk menunjukan jalan kebenaran pada kalian?' Nabi Muhammad pun langsung berdoa memohon kepada Allah untuk menjawab tantangan dari para kafir Quraisy. Dengan izin Allah, Nabi Muhammad menunjukan kebenarannya. Bulan terbelah menjadi dua bagian dan diletakan oleh nabi tepat di atas kedua gunung yang ditantang oleh para kafir Quraisy."
Entah sejak kapan aku menahan nafasku ketika membaca paragraf itu. Mataku tak berkedip sedikitpun dan membuatnya terasa panas. Allah maha besar. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya. Dunia dan seisinya adalah milik-Nya. Bahkan jika Ia mau, bumi ini bisa hancur hanya dalam kedipan mata mengingat perbuatan manusia yang terlalu melampaui batas dan meragukan keagungan-Nya. Namun orang-orang yang beriman meredam amarah-Nya. Ia menahan tangannya untuk membalikkan gunung.
"Ayah sedang apa?", tanya Hiro kecil ketika ia memasuki ruang kerja ayahnya. Ayahnya sedang duduk dilantai dan beralaskan sesuatu. Terucap bahasa yang aneh dari bibir ayahnya. Laki-laki paruh baya itu memerintahkan anaknya untuk mendekat. Lalu ia mengelus kepala putranya lembut. "Ayah sedang memuja Allah, tuhan kita." Hiro tampak bingung dan mengamati sekitar. "Allah? Dimana dia?" Ayahnya tertawa mendengarnya lalu ia menyentuh dada putranya. "Allah itu tidak bisa dilihat dengan mata, tetapi dirasakan dengan hati." Hiro bergumam lalu ekpresi wajahnya berubah, "Allah sayang sama Hiro?" Mendengarnya, ayahnya mengangguk dengan rasa penuh cinta. "Ayah juga sayang sama Hiro, tetapi ayah tidak mau kan melihat Hiro bersedih. Kalau Allah sayang sama Hiro, kenapa Allah mengambil Ibu dan adik?" Ayahnya menghela nafasnya panjang. "Hiro, ayah harap suatu saat kau akan mengerti."
"Ayah, sekarang aku mengerti. Allah sangat sayang padaku. Terimakasih, Allah. Terimakasih, ayah." Hiro menerawang jauh ke depan. "Pangeran" muncul sebuah suara. Kedatangan L menyadarkan Hiro dari lamunannya. "Apakah pangeran akan bersunggung-sunggung membawa Sato ke dunia vampir?" Hiro mengangguk pasti. "Kenapa? Apa ada masalah?" "Pangeran, apakah anda lupa? Sato adalah manusia." "Lalu?"
Sesuai yang telah direncanakan oleh mereka berdua, sorenya Hiro dan Sato sudah bersiap-siap memasuki dunia vampir. Ini akan sangat canggung bagi Hiro membawa orang asing ke dunianya untuk yang pertama kali. Akan ada banyak vampir yang melihat Sato disana. Sedari tadi Sato tampak sangat gelisah dan menunda-nunda waktu. "Ini janjiku padamu." Ucap Hiro. Kemudian pemuda itu meletakkan sebuah benda berbentuk prisma di lantai. Perlahan namun pasti sebuah portal terbuka. Terlihat baik-baik saja dari sini. Tidak ada hal yang aneh. Namun pepohonan itu tampak menakutkan bagi Sato. Ia teringat akan mimpinya semalam. Gambaran itu sama persis seperti dimimpinya. "Hiro…." Ucap Sato dengan nada bergetar. "Tak apa-apa Sato. Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja." Mendengar itu, Sato tertegun dan memandang sosok Hiro yang berdiri disampingnya. Ucapannya sama persis seperti apa yang telah dimimpikannya semalam. Hiro menoleh pada pemuda di sampingnya lalu tersenyum. "Aku bilang tak apa-apa….." Sato pun ragu-ragu mengikuti langkah Hiro memasuki portal.
Detik ke detik terus berjalan dan Sato melangkahkan kaki sesuai tuntunan langkah Hiro. Ia tak tahu mengarah kemana. Mereka terus menyusuri hutan itu. "Hiro, mana para vampir lainnya?" tanya Sato dengan nada yang berbisik. Nadanya masih terdengar bergetar. Hiro tertawa mendengarnya. "Mereka jarang memasuki hutan. Di hutan hanya terdapat hewan-hewan liar." Mendengarnya, Sato berjalan lebih dekat disamping Hiro. Hiro tertawa menyadarinya. "Tenang saja. Mereka tak ada yang berani dengan vampir." "Itulah mengapa aku berjalan lebih dekat denganmu karena aku bukan vampir. Bisa saja mereka menyerangku dari arah belakang." Hiro menggeleng lalu berkata, "Lihatlah." Ia menunjuk jauh didepan sana. Terlihat dua ekor serigala yang tengah bersujud menunjukkan rasa hormatnya pada Hiro. "Kau sungguh hebat Hiro." Bibir Sato menganga melihatnya. "Bukan aku yang hebat. Mereka yang hebat. Mereka mengenaliku lebih dari siapapun."
Hiro dan Sato sesekali melangkah-langkahi ranting pepohonan yang berjatuhan dan menghalangi jalan mereka. "Apakah tak apa-apa jika aku datang?" Hiro tersenyum lalu berkata, "Mereka tak akan menyakitimu. Aku berjanji." Raut wajah Sato masih menunjukkan rasa ketakutannya. Lalu Hiro berkata lagi, "Apakah kau mempercayaiku?" Dilihatnya pemuda itu mengangguk. Lalu sesaat kemudian ia berkata, "Mengapa portal itu mengarahkan kita ke hutan ini? Bukankah lebih bagus jika langsung ke istanamu saja, Hiro?" tanya Sato penasaran. "Sebenarnya ini hanya untuk keamanan saja. Ini terjadi ketika masih ada serangan Vampir Souka yang tak henti-henti dan beberapa dari mereka yang ingin membunuhku. Tapi alhasil salah satu dari mereka berhasil mengikutiku dan masuk ke dalam portal itu." Sempat sesaat Hiro mengenang sosok Dake dan ekpresinya berubah. Namun seketika Sato menepuk bahunya mengajak lomba lari. Hiro pun melupakannya sejenak lalu menyusul Sato.
Mereka berlarian menembus pepohonan itu. Hiro sengaja tak memacu kecepatannya untuk membiarkan Sato memimpin didepan dan mengejeknya. Tawa mereka menggema di hutan lebat itu. Lalu lari Sato terhenti ketika melihat lawannya berhenti di belakang. Dilihatnya pepohonan di sekelilingnya telah sampai diujung batas pagar. Kemudian Sato melihat ke arah depan dan ia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, ia tak mempercayai apa yang sedang dilihatnya itu. Berdiri tegak disana bangunan besar dan mewah. Bangunan yang berdiri tegak diatas pilar-pilar yang tinggi. "Selamat datang ke rumahku, kawan." Hiro merangkul pundak sahabatnya dari belakang. Diatas bangunan itu terlihat sebuah bendera dengan lambang yang asing. Ia masih tak mempercayai bahwa seseorang disampingnya kini adalah seorang pangeran. Pemilik bangunan megah didepan sana. Dilihatnya gerbang besar yang tertutup itu dijaga oleh beberapa prajurit yang berbadan besar dan kekar. Kulit mereka pucat seperti Hiro. "Mereka adalah vampir?" Nada suaranya terdengar bergetar lagi. Hiro hanya mengangguk sambil memandang kearah mereka. "Aku mempercayaimu, Hiro. Aku mempercayaimu." Sato menghembuskan nafas panjangnya dan berusaha memikirkan hal yang positif. Tak akan ada yang terjadi hari ini. Ia akan baik-baik saja selama bersama Hiro, pikirnya. Ia berjalan di belakang Hiro dan mengawasi sekitar. Bulu kuduknya kembali berdiri.
Beberapa prajurit yang menyadari kedatangan Hiro, mereka langsung memberi hormat. Sekilas mereka melirik kepada pemuda asing di belakang Hiro. "Manusia? Apa yang dilakukannya kemari?" Bisik mereka pelan. Sato menelan ludah mendengarnya. Walaupun ia tak mengerti bahasa mereka, namun Sato dapat menduga bahwa mereka sedang membicarakannya. Ia hanya menunduk mengikuti langkah Hiro. Gerbang hitam itu seketika dibuka ketika melihat Hiro dari kejauhan. "Selamat datang, pangeran." Sapa mereka. Mata mereka tertuju pada pemuda yang bersembunyi dibalik punggung Hiro. "Seorang…. Manusia?" tanya mereka dengan sopan pada Hiro. Mereka hampir tak mempercayai bahwa Hiro membawa makhluk berdarah merah nan lezat itu ke tempat mereka. Mereka tampak menelan ludah dan menahan sesuatu yang ada di dalam diri mereka. "Seorang teman. Namanya Sato. Dia adalah tamu istimewaku disini. Layani dia seperti halnya kalian melayaniku." Mereka mengangguk dengan patuh. Kemudian Hiro mengajaknya masuk ke halaman istana. Sato melirik kearah belakang dan melihat prajurit-prajurit itu. Mereka masih menunduk hingga Hiro berjalan beberapa meter jauhnya.
"Tadi kau berbicara apa pada mereka?" "Hanya hal yang sederhana. Aku memerintahkan mereka agar mereka melayanimu seperti halnya mereka melayaniku." Sato tersenyum lalu berkata, "Melayaniku seperti pangeran?" Hiro menggeleng lalu tertawa, "Melayanimu seperti vampir. Kau lihat kan bagaimana susahnya mereka menahan jiwa buasnya ketika melihatmu? Kau memanglah lezat, Sato." Pemuda itu berdecak lidah, "Ayolah jangan bercanda. Aku adalah tamu disini." Mereka menyusuri taman berbunga itu. Suara gemericik air mancur menentramkan jiwa pendengarnya. "Tetapi pembunuhan di duniaku ini sangat dikecam. Kecuali dalam misi perang. Mereka tak akan menyelakaimu, Sato. Kau aman disini." "Tidak. Tetapi aku aman selama bersamamu." Hiro tertawa mendengarnya.
"Hiro, bagaimana mengucapkan pangeran di dalam bahasamu?" "Mereka menyebutku prionnsa." Sato mengangkat kedua alisnya, "Wooow prionnsa. Terdengar sangat klasik." Sato meletakkan tangan kanannya didada kirinya lalu membungkukkan punggungnya tanda memberi hormat khas Jepang. Hiro tertawa lalu memukul pelan punggung Sato. "Aku sangat suka bahasamu Hiro. Ajari aku lebih." "Hello, is e m 'ainm Sato, math coinneachadh riut. Latha math leat. Itu artinya nama saya Sato. senang bertemu denganmu. Semoga harimu menyenangkan." Sato mengeja kata itu satu per satu hingga lancar dan Hiro sesekali memperbaikinya.
"Jadi, pangeran, apakah keahlianmu? Apakah kau hanya duduk manis sambil menunggu perang usai?" Hiro menggeleng lalu berkata, "Aku pernah membawa tujuh pedang dan hanya tersisa tiga pedang. Pedang-pedang itu bengkok dan patah." Sato melongo mendengarnya. "Kau apakan mereka sampai membuat pedangmu bengkok dan patah?" Hiro tersenyum lalu mengangkat kedua bahunya, "Hanya sebuah seni dalam berperang." "Kau sungguh berbahaya Hiro. Tetapi bukankah itu membahayakan nyawa seorang pangeran? Kau tak seharusnya ikut berperang." Hiro bergumam lalu berkata, "Memang, semua melarangku. Tetapi kau tau kan kalau aku suka melanggar peraturan? Aku berkata pada mereka bahwa mereka telah melatihku dengan sangat baik dan aku siap untuk ikut berperang. Walaupun aku mati biarlah aku mati dengan tetap menggenggam nama baikku daripada aku bersembunyi di balik badan-badan prajuritku yang menjadi perisai. Dengan itu aku membuktikan bahwa aku bukan hanya pangeran yang manja tetapi juga prajurit yang handal. Siapapun tak akan bisa meremehkanku."
Terlihat beberapa prajurit berlalu-lalang. Mereka memandang kearah Sato. Tatapan terkejut dan penasaran. Kemudian ia memberanikan diri untuk menyapa mereka,"Hello, is e m 'ainm Sato, math coinneachadh riut. Latha math leat." Mereka mengangkat alisnya, tak percaya. Seorang manusia bisa berbicara dalam bahasa vampir. Lalu mereka membungkukkan badan dan menjawab, "Seadh, tha mi an dòchas gu bheil thu a 'faireachdainn aig an taigh an seo." Sato melirik kearah Hiro. "Mereka mengatakan bahwa mereka berharap kau merasa betah di sini." Sato membalas senyuman mereka. Senyuman yang bersahabat.
"Lalu kenapa mereka memberi hormat padaku?" "Sebenarnya kata-kata yang kuajarkan padamu itu adalah kata-kata kebangsawanan. Hanya para bangsawan yang menggunakan tananan kata seperti itu." Sato sungguh takjub ketika ia memijakkan kakinya di teras istana. Terlihat sangat nyata sampai-sampai ia lupa untuk mengedipkan mata. Hiro kemudian membuka pintu besar itu dan terlihatlah keindahan-keindahan surga didalamnya. Kemewahan itu memanjakan kedua matanya dan ia tak henti-hentinya memuji nama tuhannya.