"Andai saja teman-teman kelas kita juga melihat semua ini. Mereka pasti akan pingsan." Ucap Sato sambil tak henti-hentinya memandangi sekeliling. "Aku tidak mengharapkan itu. Ini bukanlah study tour, Sato." Hiro tertawa melihat sahabatnya yang terpana. Sato mengamati setiap detail ruangan luas itu. Tak berselang lama seseorang datang dari balik lorong. Ia menyambut kedatangan Hiro. Ia berpakaian sangat formal dan klasik. "Apakah ada tamu penting selama aku pergi?" tanya Hiro padanya. "Iya, pangeran. Beberapa delegasi datang ingin bertemu dengan anda dan saya telah menjadwalkan pertemuan anda besok lusa." Menteri itu terdiam sejenak, menunggu respon Hiro. Ia hendak menyampaikan satu hal lagi, tetapi ia ragu-ragu akan hal itu. "Baiklah. Besok lusa aku siap. Aku tidak ada keperluan lagi di dunia manusia untuk beberapa waktu kedepan." Ketika Hiro melangkahkan kaki, ia berkata lagi, "Pangeran, ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan." Pangeran muda itu menghentikan langkahnya dan mengangkat kedua alisnya bertanya-tanya. "Tuan Kazu dan puterinya juga kemari." Mendengarnya, Hiro tak dapat berkata apa-apa. Pandangannya menjadi kosong seketika. Seperti adanya bom atom yang menimpa dirinya. Ia tak tau harus bersikap bagaimana. Suasana hening tercipta menanti tanggapan dari Hiro. Bahkan detik jam pun terdengar. "Pangeran, apa pendapat anda?" Ia berkata dengan sangat hati-hati. Selama ini Hiro tak pernah mau membahas tentang hal ini.
"Tuan Kazu berpesan kepada saya kalau anda pulang, beliau meminta saya untuk menghubunginya." Aku memejamkan sejenak kedua mataku yang terasa berat. Kupijat pelan keningku. Ya Allah, aku harus bagaimana? Aku tidak bisa melakukan ini. Perjodohan ini tak pernah aku harapkan. Tetapi aku tidak memiliki jalan lain. Pikiranku buntu. Tolong tuntun aku, ya Allah. Kalau memang Ruka itu yang terbaik untukku, maka tolong condongkanlah aku padanya. Seperti engkau menyatukan hati Bunda Khadijah R.A dan Nabi Muhammad SAW. Engkaulah maha pemersatu hati. Itu sangat mudah bagi Engkau bak membalikkan telapak tangan. Tolong bantu aku, ya Allah. Kuhembuskan nafasku lalu kukatakan dengan mantap, "Hubungi Tuan Kazu sekarang juga." Terlihat senyumnya mengembang lalu ia dengan segera melakukan apa yang kuperintahkan. Ia terlihat sangat gembira melebihi dari siapapun. Hanya aku disini yang terlihat lesu.
Sato mendekat lalu mengelus punggungnya. "Hiro, apa yang terjadi? Apakah ada sesuatu yang buruk?" Hiro tak mampu berkata-kata untuk saat ini. Pikirannya sedang kacau. Hanya satu kata yang diucapkannya dan Sato langsung dapat memahaminya. Mereka seperti berkomunikasi menggunakan hati. Hiro berkata dengan tatapan kosong kedepan. "Ruka..."
"Hubungi Tuan Kazu sekarang juga." Seketika itu cuaca yang cerah berubah menjadi gelap dan hujan mulai turun begitu derasnya. Sangat deras bahkan awan tak mampu menompangnya. Tuhannya mendengar ucapannya. Ia adalah saksi terbaik dan melihat semuanya. Saat itu juga Allah merestuinya. Allah mengabulkan permintaannya. Hujan itu mewakili suara Tuhan pencipta alam. Hiro telah berganti baju dikamarnya. Ia kini terlihat seperti pangeran seutuhnya. Pakaian kebangsawanannya memancarkan aura tersendiri untuknya. Namun hanya satu hal yang membuatnya berbeda, ekspresinya tak berubah sedari tadi. Sato memandangnya dengan tatapan pilu. Lihatlah, pemuda itu memiliki segalanya di genggamannya, namun itu semua tak berarti baginya. Hatinya tak bisa dipaksa. Hatinya telah jatuh pada sosok manusia biasa bernama Kina.
Sato berjalan mendekati sahabatnya, "Apakah kau butuh pelukan?" Ia membentangkan kedua lengannya. Tindakan Sato mengingatkannya pada kejadian ketika mereka berdua bertemu dengan ayah Kina. Saat itu ayah Kina melirik kearah Sato. Namun Sato hanya membuang muka. Ruang tamu itu terasa lenggang dan canggung. Akhirnya Hiro dan Sato pamit pulang. Selama perjalanan pulang, mereka berdua tak mengatakan satu patah katapun. Dinginnya malam menambah suasana hening diantara mereka. Saling tak bersuara dan membiarkan angin malam yang dingin lewat dengan permisi. Hiro terdiam seperti halnya mengerti tentang apa yang ada dipikiran Sato dan apa yang ia rasakan. Kemudian Sato menghela nafasnya panjang lalu mendongakkan kepalanya keatas. Menatap gelapnya langit malam itu tanpa awan. "Kau butuh pelukan?" Sato menoleh mendengarnya. Terlihat senyuman tipisnya lalu mengangguk pelan. Mereka berpelukan dibawah sinar lampu yang menerangi jalan terotoar. Membiarkan semuanya mengalir begitu saja seperti air sungai.
"Apakah kau butuh pelukan?" Hiro masih bergeming mengingat kejadian itu. Sato seperti halnya Dake di masa lalunya. Seorang sahabat yang sangat dekat dan perhatian. Terlihat sebutir air mata disudut mata Hiro. Menyadarinya, Sato segera memeluk sahabatnya erat-erat. "Hiro….." ucap Sato dengan lembut. "Hiro…." Ia menepuk-nepuk pelan punggungnya. "Allah selalu bersamamu. Jangan pernah melupakan itu." Kemudian pangeran muda itu membalas pelukannya sambil berkata. "Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tak menangis lagi sejak ayahku tiada. Tetapi kau berhasil membuatku menangis kali ini."
Kereta kuda berwarna hitam masuk ke halaman istana. Suara tapal kaki kuda itu sudah terdengar olehnya dari kejauhan. Ia melirik keluar jendela sekilas. Terlihat seorang laki-laki paruh baya yang duduk disebelah seorang gadis. Ia tak bisa melihat mereka dengan jelas. Hiro bangkit dari duduknya. Sato juga bangkit dari kursinya. "Untuk sementara ini, aku akan menyuruh pelayan istana untuk menemanimu berkeliling, apakah itu tidak apa-apa?" Sato mengangguk mengiyakan. Lalu ia menyentuh pundak sahabatnya, "Hadapi, Hiro. Temuilah mereka dengan senyuman." Mereka berdua keluar dari kamar yang hangat itu. Seorang pelayan melintas ketika mereka berdua menuruni anak tangga. "Hito, tolong kau temani tamuku ini berkeliling melihat-lihat sekitar." Pelayan itu mengangguk patuh.
Jarak anak tangga dan pintu utama cukup jauh. Itu membantunya untuk mengatur perasaannya dan membantunya pula menyusun kata-kata yang tepat untuk menyambut tamunya. Ia sekarang merasa lebih tenang daripada beberapa waktu yang lalu. Hujan sudah berhenti beberapa menit yang lalu dan matahari bersinar kembali. Rumput hijau yang basah memberikan aroma khas di halaman kerajaan itu. Bunga-bunga yang segar pun semakin mengeluarkan aroma wanginya. Sepertinya kabar kedatangan Tuan Kazu atas permintaan Hiro sudah tersebar diseluruh istana. Mereka mengetahui apapun yang terjadi didalam istana. Beberapa pelayan yang berpapasan dengan Hiro, mereka tampak sangat bahagia. Hanya Hiro yang tampak biasa-biasa saja. Ketika ia sampai di pintu utama, pintu itu sudah terbuka dan dilihatnya Tuan Kazu yang sedang berbincang-bincang hangat dengan salah satu prajurit istana. Senyuman di wajah laki-laki itu terlihat sama persis ketika ia datang menemui ayahnya kala itu. Ia tidak menyadari kehadiran Hiro hingga ia menyapanya. "Selamat datang, Tuan Kazu." Terlihat senyuman khasnya di wajah Hiro. Senyuman yang tak terlihat selama beberapa minggu terakhir ini di dunia vampir. Istana sangat rindu untuk melihatnya. Kastil itu sangat merindukan senyuman pangeran mudanya.
"Prionnsa", lawan bicaranya sedikit terkejut ketika melihat kehadiran Hiro yang tiba-tiba. "Sudah lama menunggu?" sapa Hiro dengan ramah. "Tidak. Saya juga baru saja tiba. Apa kabar, pangeran?" Laki-laki itu memeluk Hiro. Ia membalas pelukan itu. Itu adalah tanda kekeluargaan dan tanda penerimaan Hiro atas perjodohan itu. Dirasakannya pelukan itu sama seperti ketika ia memeluk ayahnya. Pelukan yang hangat dan nyaman. Ia sangat merindukan sosok ayahnya. "Anda terlihat sangat lelah, pangeran. Saya sangat paham akan perasaan anda. Anda melalui hari-hari yang sangat berat. Tetapi jangan khawatir, saya akan selalu ada untuk anda. Anda tidak sendiri." Hiro tersenyum lalu mengucapkan terimakasih. Mereka berdua terlihat sangat akrab bagaikan ayah dan anak. Senyuman mereka terlihat hangat. "Kemarin saya datang kemari dengan Ruka, tetapi anda sedang berada di dunia manusia." Laki-laki itu menoleh ke putrinya. Gadis itu tengah memperhatikan bunga-bunga yang bermekaran di halaman istana. Ia membelakangi pangeran muda itu sehingga Hiro tak dapat melihat jelas wajahnya. Seorang pelayan istana berdiri disampingnya sambil menjelaskan jenis bunga-bunga baru itu. "Yang ini adalah jenis Lamiaceae yang tersusun atas 25-30 spesies." Gadis disebelahnya mengangguk-angguk takjub sambil mengamati bunga cantik yang berwarna jingga itu. "Lamiaceae adalah nama yang sekarang digunakan untuk menggantikan Labiatae kan?" tanya gadis itu. Pelayan itu mengangguk mengiyakan. Percakapan mereka terdengar samar-samar oleh Hiro.
Hiro hanya melirik sekilas lalu berkata pada Tuan Kazu. "Maafkan saya jika saya mengecawakan anda waktu itu. Ada beberapa urusan yang saya selesaikan di dunia manusia." Lawan bicaranya tersenyum ramah lalu berkata, "Tidak apa-apa. Saya tahu anda sangat sibuk." Kemudian ia menoleh ke putrinya, "Ruka, ayo masuk. Pangeran sudah datang." Mendengarnya, gadis itu seketika menoleh dan melihat seorang pemuda tampan yang berdiri tegap didepan ayahnya. Ruka tak berkedip melihat parasnya yang rupawan itu. Seketika dirasakannya bunga-bunga tumbuh bermerkaran dihatinya. Wajahnya tersipu malu. Musim semi datang merebak memenuhi hatinya.
"Saya mendengar tentang kisah heroik anda di peperangan itu. Itu sangat menakjubkan. Siapa yang melatih anda, pangeran?" tanya Tuan Kazu. Mereka bertiga menyusuri ruangan galeri kerajaan. Di ruangan luas itu terdapat bermacam-macam benda antik milik kerajaan dari turun- temurun. Tempat itu menyimpan banyak sejarah dan kenangan. Benda-benda dan foto-foto yang dipajang memiliki cerita tersendiri. Cerita indah maupun cerita sedih. Mereka terhenti pada sebuah foto yang dipajang di salah satu dinding putih itu. "Ayah, ayah yang telah melatihku." Hiro terdiam sejenak. Ia memandangi wajah di foto itu. Wajah yang tak pernah dipandangnya lagi. Pemilik wajah yang tak pernah memeluknya lagi. Tuan Kazu mengelus pundak Hiro dengan lembut lalu berkata, "Beliau sangat bangga pada anda, pangeran. Anda adalah putra terbaik di alam semesta ini." Ia tersenyum lalu berkata, "Saya harap juga begitu." Mereka melanjutkan langkah pada benda-benda antik berikutnya. Terdapat sebuah kotak kaca yang kesannya masih baru dan tersimpan rapi beberapa buah pedang di dalamnya. Dua diantaranya patah dan dua lainnya bengkok. Tiga pedang selanjutnya masih terlihat bagus. "Inikah pedang yang anda gunakan saat perang itu?" Hiro mengangguk mengiyakan. Mereka mengulang kembali kenangan pada hari berduka itu. Banyak nyawa yang melayang, pedang itu adalah saksinya. "Pedang ini adalah pedang kemenangan, pangeran." Tuan Kazu tersenyum pada pangeran muda itu.
Selama pertemuan itu, Hiro sama sekali tak memandang kearah putri Tuan Kazu. Kedua mata mereka tak pernah bertemu. Namun ia menyadari bahwa gadis itu sering memandang kearahnya. "Jadi, kapan pesta lamaran akan diadakan?" tanya Tuan Kazu. Hiro terdiam sejenak mendengarnya. "Prionnsa?" Hiro kemudian tersadarkan lalu menjawab, "Secepatnya, Tuan. Tolong anda tentukan harinya." Lawan bicaranya terlihat sangat bahagia. "Baik, pangeran." Kemudian ia memeluk pangeran muda itu sekali lagi.
"Bagaimana pertemuannya?" tanya Sato ketika ia melihat Hiro datang menghampirinya. Pemuda itu duduk disampingnya. "Menyenangkan." Jawab singkatnya. "Ayolah Hiro. Katakan padaku bagaimana gadis itu." Ia menyenggol lengan Hiro pelan. "Aku tak melihatnya." Dahi Sato berkerut mendengarnya. "Maksudmu dia tidak datang?" "Dia datang. Cuma aku tak melihatnya." Sahabatnya berdecak lidah kesal, "Kau membuatku bingung Hiro." Hiro tersenyum lalu berkata, "Lupakanlah. Tidak ada hal yang penting."
Mereka duduk di atas balkon istana sambil memandang jauh kedepan. Salah satu balkon yang berada di lantai tiga. "Darimana saja tadi?" tanya Hiro. "Aku menyusuri setiap sudut kerajaanmu. Foto-fotomu terlihat keren, Hiro. Aku juga melihat fotomu sewaktu kecil, mungkin umur tujuh tahun. Tetapi kenapa pangeran yang duduk disebelahku sekarang ini terlihat berbeda dengan foto-foto itu?" Goda Sato. Ia tersenyum lalu berkata, "Lalu kau kemana lagi?" "Lalu aku ke suatu tempat berbentuk seperti monumen dari batu tak jauh disisi barat taman. Monumen itu dikelilingi oleh pagar berwarna emas dan tertera suatu tulisan disana. Tempat apa itu Hiro? Aku bertanya pada pelayanmu menggunakan bahasa isyarat, tetapi aku sama sekali tak mengerti apa yang ia katakan." Hiro bergeming sejenak lalu bangkit berdiri. "Ayo, ikut aku."
Mereka berdua menuruni tangga lalu menuju monumen itu. Sesampainya disana, Hiro membuka pagar dan berlutut. Sato mengikuti apa yang pemuda itu lakukan. "Kenalkan Sato, beliau adalah ayahku. Ayahku dimakamkan disini." Sato tak dapat berkata-kata setelahnya. Ia hanya menunduk dan diam. "Kenalkan ayah, dia Sato. Sahabatku di dunia manusia." Ia berhenti sejenak. Memberi ruang pada dadanya yang terasa sesak, lalu berkata, "Ayah ingatkan ketika ayah mengirimku untuk pertama kalinya ke dunia manusia? Orang pertama kali yang kutemui adalah dia. Sato adalah keponakan dari seseorang yang ayah menitipkan rumah itu padanya. Entah bagaimana, mungkin ini hanya kebetulan sehingga aku bertemu dengan Sato." Hiro tersenyum tipis.
"Ayah, terasa sangat lama aku tak berbicara denganmu seperti ini. Tetapi jangan khawatir. Aku tidak sendirian disini. Ayah bisa melanjutkan perbincangan hangat ayah dengan Allah disana." Ia berhenti sejenak untuk menghela nafas panjangnya. "Ayah tahu? Tuan Kazu dan Ruka datang kemari dan aku menerima perjodohan itu. Entahlah ayah, aku masih bingung dengan perasaanku. Tetapi ini kan yang ayah inginkan?" Tak ada jawaban. Hening dan sunyi. Lalu ia menunduk dan tersenyum tipis. Kemudian ia menoleh ke arah Sato, "Ayah tak menjawabku." Sungguh miris yang dirasakan Sato melihat sahabatnya seperti itu. Pemuda itu memeluk sang pangeran. Sato memandang monumen batu itu dan berkata, "Yang Mulia Raja, Hiro telah menjadi putra yang hebat. Sayalah saksinya. Jangan khawatir Yang Mulia, anda bisa beristirahat dengan tenang. Ada kami disini yang menjaganya. Putra anda aman. Hiro tak akan merasa kehilangan lagi. Prionnsa."
Mereka kini duduk di kursi kayu yang terletak di tengah-tengah taman bunga itu. Mereka tak bersuara melainkan berkomunikasi melalui hati. Kedua pemuda itu terlihat tenang dan memandangi air mancur didepan mereka. Suara gemericik air itu merasuk kedalam jiwa mereka berdua, menenangkan syaraf-syaraf ditubuh. Sato berdehem lalu berkata, "Aku masih bisa mencium aroma parfum dari gadis itu di tubuhmu, Hiro." Hiro berdecak lidah mendengarnya. Sato tertawa lalu berkata, "Aku serius."
Terdengar suara langkah kaki diatas rerumputan itu. Ia berjalan mendekati Hiro dari arah belakang. "Prionnsa." Ia memberi hormat pada Hiro. "Ada apa?" ucap Hiro dengan tatapan masih memandang ke air mancur itu. "Waktu saya membersihkan ruangan galeri, saya menemukan gelang ini. Sepertinya ini milik nona Ruka." Hiro meliriknya lalu meraihnya. "Apa itu?" tanya Sato melihat gelang emas yang digenggam Hiro. "Ruka meninggalkannya dengan sengaja." Mendengarnya, Sato berdehem lalu berkata, "Kau harus mengembalikannya, Hiro. Kau seorang diri. Jangan menyuruh orang lain." "Kenapa harus aku?" tanggap enteng Hiro. "Dia ingin mengetahui seberapa seriusnya dirimu."
Matahari sudah hampir tenggelam. Hiro mengantarkan sahabatnya pulang. Portal sudah terbuka untuknya. Namun ketika Hiro hendak melangkah, Sato menghentikannya dan berkata, "Aku pulang sendiri saja, Hiro. Kau tetaplah disini." Hiro mengangguk mengerti. Sato menghela nafasnya lalu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. "Kita akan bertemu lagi kan?" Hiro tersenyum lalu memeluk sahabatnya. "Tentu, Sato. Apa yang ada di pikiranmu?" "Hanya saja tempatmu terasa sangat jauh karena adanya portal ini." Hiro tertawa mendengarnya.
Cuaca yang cerah dan hari yang indah. Hari-hari sudah berlalu tanpa kejadian yang berarti. Pangeran muda itu kini tengah duduk dengan tatapan serius di meja kerjanya. Matanya membaca dengan cermat, otaknya merekam dengan cepat dan bibirnya mengulangi poin-poin penting yang telah dibacanya. Ketika ia hendak membalik lembaran itu, ujung jemarinya tak sengaja menyenggol salah satu buku. Matanya sekilas melirik. Disampul buku itu bertuliskan AL-QUR'AN DAN TERJEMAH. Ia teringat bahwa ia sama sekali belum membukanya sejak ia meminjamnya dari perpustakaan. Kemudian ia menutup buku bacaannya itu lalu meraih kitab terjemahan itu. Al-Quran dan Terjemah. Ia membukanya dan memperhatikan huruf-huruf yang sangat asing baginya. Hiro mulai membacanya. Surah Al-Fatihah berhasil membuatnya merasakan hal yang sama persis ketika di perpustakaan beberapa hari yang lalu. Suhu tubuhnya naik dan turun secara beraturan. Kemudian ia melanjutkan pada Surah Al-Baqarah, surah terpanjang di kitab suci itu.
Alif Lam Mim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka. dan mereka yang beriman kepada (Al-Qur'an) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Air mata mengalir membasahi pipinya di penghujung surah. Ia mendongak keatas menatap langit-langit ruangan hangat itu dan ia menangis sesenggukan. Al-Qur'an ini tidak ada keraguan padanya. Buku ini pastilah dari Tuhan pencipta alam. Tidak mungkin manusia mampu menciptakan kata-kata semacam ini. Kalimat itu bahkan diletakkan di urutan pertama pada surah itu. Kalimat itu seperti ultimatum bagi siapa saja yang membacanya. Kurasakan seperti adanya tamparan yang sangat keras dikedua pipiku dan tubuhku serasa ditimpa oleh sebuah batu yang besar. Persepsiku yang dulu kupegang terbantahkan semuanya. Sebelum aku mengenal tuhan, aku sangat meragukan akan keberadaannya. Itu semua dikarenakan oleh hidupku yang sangat menyedihkan dan tuhan sama sekali tak membantuku.
Kitab ini adalah murni kata-kata dari Tuhan yang dikumandangkan kepada makhluk ciptaannya. Allah sedang berbicara pada kita. Ia telah menjamin dan membenarkan kitab sucinya bahwa tidak ada yang salah di kitab itu dan tidak ada keraguan pada kitab itu. Inilah pedoman hidup manusia. Inilah buku panduan manusia. Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir utusan Allah adalah nabi pelengkap dari nabi-nabi sebelum beliau dan Al-Qur'an adalah kitab suci yang paling lengkap dan patut untuk diikuti. Beliau adalah rahmat untuk seluruh alam dan kehadirannya menghapuskan aturan-aturan lama dari kitab suci terdahulunya. Kehadirannya di muka bumi ini pula menjadi tangan kanan Allah untuk melengkapi kitab-kitab terdahulu dan menggantinya dengan Al-Qur'an. Tidak ada keraguan pada Al-Qur'an. Bahkan para nabi sebelum beliau juga mengimani Nabi Muhammad SAW dan menanti akan kelahirannya. Menyadari itu semua, Hiro merasa sangat beruntung menjadi salah satunya yang mendapat petunjuk dan mengarahkannya pada agama itu. Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Sesaat kemudian, terdengar suara pintu yang diketuk pelan dari luar. Hiro cepat-cepat menghapus air matanya. "Masuk." Seseorang itupun membuka pintu itu. "Pangeran, semuanya sudah siap." Hiro kemudian bangkit dari duduknya dan merapikan baju kebangsawanannya. Kereta kuda itu berjalan kearah selatan. Tapal kaki kuda itu bergantian menghantam aspal jalan. Melihat rombongan kuda kerajaan itu, masyarakat langsung menyadari kehadiran pangeran mudanya. Dengan spontan mereka mengelu-elukan namanya. Hiro sesekali tersenyum pada mereka dan melambaikan tangan.
Ia kemudian meraih gelang milik Ruka dari sakunya. "Hati ini masih belum condong padamu, tetapi hari pertunangan kita semakin dekat. Kehadiranmu disisiku masih belum menciptakan getaran apapun di hatiku. Apakah itu salah?" ucap kata hatinya. Melihat Hiro yang tanpa ekspresi setiap hendak bertemu dengan gadis itu, salah satu prajurit yang mengawalnya berkata dengan sopan, "Ada apa pangeran? Apakah anda tidak menginginkan pertunangan itu?" Hiro tersenyum tipis lalu berkata, "Bukan begitu. Hanya saja….." ia tidak melanjutkan kalimatnya. "Pangeran, tahukah anda? Menurut saya pribadi, nona Ruka sangat cocok untuk anda. Terlebih lagi nona Ruka begitu manis dan cantik. Senyumannya sangat indah. Perilakunya sangat baik dan ramah. Tidak ada yang menandinginya. Bukankah anda juga merasakannya ketika memandangnya? Kami sangat senang Sang Paduka Raja menjodohkan anda dengannya. Itu adalah pilihan yang sangat tepat." Hiro hanya diam mendengarnya, tak merespon apa-apa.
Kereta kencana itu tiba di halaman rumah Tuan Kazu. Rumah itu seperti halnya rumah penjabat lainnya, terlihat mewah dan megah. Ia terdiri dari tiga lantai dan penjaga berpatroli dimana-mana. Mereka memberikan hormat ketika kereta kuda itu melintas. "Prionnsa." Sang empunya rumah terkejut dan tergesa-gesa menuju pintu menyambut pangeran muda itu. "Mengapa anda tidak memberi kabar dahulu?" Hiro menyambut pelukannya lalu berkata, "Ini hanyalah hal yang sepele. Tidak perlu terlalu formal seperti itu. Lagipula, kita akan menjadi keluarga bukan?" Tuan Kazu tersenyum menyadarinya. "Baiklah, pangeran. Apa yang membuat anda datang ke rumah saya yang sangat sederhana ini?" Hiro mengeluarkan gelang emas di sakunya lalu berkata, "Saya hanya ingin mengembalikan ini. Sepertinya ini milik Ruka." Lawan bicaranya tampak terkejut lalu meraih gelang itu, "Apakah Ruka tidak sengaja meninggalkannya? Anda seharusnya tidak perlu repot-repot kemari, pangeran. Anda bisa menyuruh pengawal untuk mengantarkannya." Hiro bergumam lalu berkata, "Saya hanya ingin mengantarkannya langsung kepada calon istriku, ayah." Mendengar sebutan itu, hatinya langsung berbunga-bunga. "Terimakasih, pangeran. Saya panggilkan Ruka sebentar. Dia sedang membaca buku di lantai atas."
"Ruka, pangeran Hiro datang untuk menemuimu." Hiro menghentikannya sambil berkata dengan sopan, "Lain kali saja saya datang lagi. Ada hal mendesak yang harus saya kerjakan. Sampaikan salam saya padanya, ayah." Ia memberi salam lalu keluar dari ruangan hangat itu. Tuan Kazu membalas salamnya. Ia masih tak percaya pangeran itu memanggilnya dengan sebutan ayah. Senyumannya tak hilang hingga Hiro melewati pintu itu.
Terdengar olehnya suara langkah yang cepat menuruni anak tangga. Ia tahu persis siapa itu. Namun ia sama sekali tak menoleh dan terus masuk kedalam kereta kencana. Langkah itu terdengar mengejarnya hingga depan pintu. Kuda-kuda itu mulai berlari ketika sang kusir mencambuknya. Nafas gadis itu berpacu sambil memandangi sang pangeran dari kejauhan. Terlihat senyuman menggembang dibibirnya. "Terimakasih, pangeran. Anda benar-benar mengembalikannya. Seorang diri."