Hari pertunangan sudah sangat dekat. Besok pagi pertunangan sang pangeran dan Ruka akan diadakan dengan mewah di istana. Semua Raja dan penjabat dari kerajaan seberang diundang tanpa terkecuali. Seluruh rakyat juga turut merayakan hari paling bahagia itu. Suasana seketika berubah di negeri vampir. Namun tak ada yang berbeda dari Hiro. Semuanya tampak biasa saja baginya. Ia tak merasakan perubahan itu. Walaupun istana sudah dihias sedemikian rupa, itu tak mengubah suasana di hatinya. "Pangeran, ada surat untuk anda." Kata salah seorang pelayan istana. Sesaat Hiro menghentikan aktifitasnya lalu meraih surat itu. Aroma parfum yang melekat pada kertas itu sangat khas, ia mengenali siapa penulisnya. Aroma parfum yang kalem dari tangan gadis itu menempel pada kertas yang telah ditulisnya.
"Malaikat menyanyikan lagu kehidupan. Kekasih mereka akan datang dari langit. 09:30 adalah waktu saat mereka bersatu. Jawabannya terletak pada sinar matahari." Aku hanya bisa terperangah saat membacanya. Apa maksudnya. Kertas itu hanya bertuliskan kalimat pendek itu. Lalu aku membalik kertas putih itu dan kulihat sebuah tulisan lagi disana. "Temui aku disana. Cepat!" Aku segera bangkit dari dudukku untuk menemuinya. Tetapi dimana? Tak ada petunjuk tentang itu. Ia tak menuliskan apapun tentang suatu tempat. Petunjuk? Tunggu, ia menuliskan sebuah kata 'malaikat' disuratnya. Dimanakah aku bisa menemukan malaikat? Segera aku berlari menuju tempat yang dulunya digunakan sebagai ritual pemujaan tuhan. Sesaat sampainya aku di bangunan itu, yang kulihat hanyalah sekumpulan lumut dan tanaman liar dimana-mana. Ia tak mungkin disini. Lalu kubaca lagi isi surat itu. "09:30 adalah waktu saat mereka bersatu. Jawabannya terletak pada sinar matahari." Sekarang telah menunjukkan waktu 09:30. Lalu apa selanjutnya? Sinar matahari? Segera pandangan mataku mengarah pada jendela kecil diatas sana, tempat dimana sinar matahari dapat menembusnya. Aku mengikuti arah jatuhnya cahaya itu. Lalu terlihatlah sebuah kertas putih dibawah sana. Kutersenyum menyadarinya. Gadis itu benar-benar kemari.
"Maaf, satu langkah lagi pangeran", tulisnya. Alisku mengkerut. Apa maksudnya? Satu langkah lagi? Satu tempat lagi? Benar, kuil yang kedua! Aku segera memacu lariku lagi menuju kuil yang terakhir. Ukuran bangunan ini lebih kecil dari yang sebelumnya. Pintunya terkunci dan aku tidak bisa memasukinya. Aku berjalan mengitari bangunan tua itu. Kemudian langkahku terhenti ketika melihat seorang perempuan berdiri disana. Ia membelakangiku sehingga aku tak dapat melihat wajahnya. Ia tengah menunduk memandangi gelang emas yang melingkar di pergelangan tangannya. Aku menghampirinya dengan langkah pelan. "Sepertinya sangat mudah bagi anda untuk menemukanku, pangeran." Ia berbalik lalu memandang kearahku dengan sebuah senyuman. Melihatnya, membuatku tercengang beberapa detik. Kedua mataku menyusuri setiap jengkal wajahnya. Kedua mata gadis itu, hidungnya, bibirnya, semua yang ada pada dirinya sangatlah mirip dengan Kina. Aku sempat membeku sejenak menyadarinya. Mendengar tidak ada respon dariku, ia mendesah pelan lalu berkata, "Sepertinya saya telah membuat anda marah." Kulihat ia menunduk dengan ekspresi sedihnya. "Aku tidak marah. Aku tidak akan pernah bisa marah padamu nona Ruka." aku melangkah mendekat padanya. Memandangnya dari dekat, sekali lagi, gadis yang ada di hadapanku ini sungguh mirip dengan Kina. Tak lama kemudian, ia tersenyum lalu menatap langsung kedua mataku. Senyuman itu membuatku membeku sesaat dan hatiku yang membeku telah meleleh secara perlahan-lahan. Bunga-bunga cinta bermekaran kembali. Taman bunga itu kurasakan kembali.
"Benarkah itu, pangeran? Anda tidak marah? Saya telah membuat anda berlari kesana dan kemari." Aku menggeleng lalu berkata, "Walaupun kau minta aku mendaki gunung dan menyelami lautan untuk menemuimu, aku akan melakukannya." Ruka tertawa mendengar leluconku. Detik ke detik dadaku terasa hangat dan kurasakan hal yang berbeda. Telah lama aku tak merasakannya. Senyumannya seakan-akan telah mencuri jiwaku pergi. Aku sangat menikmati setiap menit bersamanya. Waktu seakan-akan berjalan sangat lambat. "Tahukah anda? Sejak pertama kali saya mendengar tentang anda dari ayah, saya sudah tertarik pada anda. Tanpa sebuah foto dan tanpa bertemu, saya telah jatuh hati pada anda." Entah mengapa detik ke detik suaranya terdengar semakin manis di telingaku. "Lalu? Sekarang kita sudah bertemu kan?" "Ya. Kita sudah bertemu. Dan….. saya semakin menyukai anda. Setiap kali kita bertemu, dadaku berdebar-debar tak beraturan. Apa yang telah anda lakukan pada saya?" Aku tersenyum mendengarnya. "Aku juga merasakan hal yang sama." Mataku tak bisa lepas darinya. Aku ingin terus memandangnya. Aku ingin terus bersamanya. "Terima kasih, pangeran Hiro."
Terimakasih, ayah. Ayah telah membawanya padaku. Pilihan ayah memang selalu yang terbaik. Aku mencintainya, ayah. Aku sangat mencintainya. "Jadi besok kita akan bertunangan?" ucapku ditengah-tengah langkah kami. Kami berjalan menuju istana. Mendengarnya, seketika ia menunduk malu. "Atau menikah?" Aku menyibak helaian rambutnya lembut sehingga aku bisa melihat senyumnya yang malu-malu itu. "Anda tidak sabaran, pangeran." Aku tertawa mendengarnya. Kami berjalan beriringan diatas halaman luas ini. Kaki kami bergantian menyibak rerumputan hijau yang pendek ini. Sesekali kulirik gadis disampingku memastikan bahwa kebahagiaan ini adalah nyata. Senyumannya masih terlihat dan aku sangat menyukainya. "Prionnsa, seperti apakah dunia manusia itu?" Aku bergumam sejenak lalu berkata, "Dunia mereka sama seperti kita, ada pemerintahan, masyarakat, militer, perang, dan banyak lainnya. Tetapi tak sedikit yang berbeda. Seperti halnya bahasa yang mereka gunakan, kebiasaan mereka, budaya mereka, dan lain-lain." Kulihat ia mengangguk-angguk pelan. "Bagaimana bahasa mereka?"
Tatoe haruka tooku hanareba nare ni natte mo tsunagari au omoi
Itazura na unmei ga furi kakarou tomo koware ya shinai
Tatoe kono karada ga ikura moe tsukite mo ii sa kimi ni sasagu nara
Itsu ka umare kawaru sekai ga sono me ni todoku to ii na
Song by : L'arc en Ciel _Link
Ia memandangiku dengan tatapan takjubnya ketika aku mengenalkannya pada dunia baru itu. "Itu adalah salah satu lagu yang aku sukai. Artinya adalah meskipun terpisah jauh tak terkira, ingatan ini akan mengikat kita selalu. Meski dipermainkan oleh takdir, ikatan ini tiada pernah hancur. Meski tubuh ini terbakar, tak apa jika itu demi engkau. Semoga suatu hari nanti kau bisa melihat lahirnya dunia baru."
Di kejauhan dari balik jendela istana, tampak beberapa pelayan istana dan petinggi sedang memandangi pemandangan indah itu. Sepasang kekasih yang sedang merasakan gejolak cinta didada mereka masing-masing. "Lihatlah, sekarang pangeran seperti halnya pangeran kecil yang kita kenal dulu. Ia kembali tersenyum. Aku sangat merindukan senyuman itu. Senyuman yang telah hilang sejak ia ke dunia manusia." "Benar. Ia telah kembali. Rasa kehilangannya telah sembuh. Ia terlalu banyak menerima beban selama ini. Namun kini, pangeran akan baik-baik saja. Sekarang dan selamanya kita akan terus melihat senyuman dan jiwa yang hangat itu. Pangeran kecil kita telah kembali."
"Koki istana memasak makanan enak hari ini. Aku yakin kau akan sangat menyukainya. Maukah kau makan bersamaku?" ajakan manis Hiro pada Ruka. Gadis itu menunduk malu lalu berkata, "Sebelumnya saya tidak pernah makan bersama lelaki lain selain ayah. Mungkin ini akan sedikit canggung. Tetapi apapun yang anda suka, saya akan menyukainya." Mereka berdua berjalan menuju ruang makan. Suasana ketika itu berubah seratus persen. Dapat ia rasakan suasana ruangan yang menghangat, semua pelayan tersenyum, dan Hiro dapat merasakan kebahagiaan yang sedang mereka rasakan. Kebahagiaan yang sama yang dirasakan oleh Hiro. Musim semi datang lebih awal. Hiro menarik kursi untuk Ruka, kemudian ia duduk didepannya setelah gadis itu duduk. Beraneka makanan disajikan segera diatas meja. Semuanya terlihat enak. Pelayan juga tak lupa menuangkan segelas air putih untuk keduanya. "Makanan mana yang pangeran suka?" tanya Ruka. Hiro tersenyum menyadari kode tersirat darinya. Ia jarang sekali berkata-kata langsung pada maksudnya. Sesekali ia menggunakan kiasan untuk mewakili rasa malunya. Hiro dengan tanggap menyendokkan beberapa makanan yang disajikan keatas piring Ruka. Hiro pun melakukan hal yang sama pada hidangan yang sama keatas piringnya. Sedari tadi beberapa pelayan yang diam-diam memperhatikan sepasang kekasih itu dari balik dapur, mereka merasa gemas dan meremas lengan kawannya melihat sikap manis pangeran itu pada Ruka. "Mereka sangat romantis sekali." Bisik salah satu dari mereka.
Mereka berdua tampak elegan terlihat dari cara mereka makan ala bangsawan. Sang pangeran dan sang putri. Cara mereka menyendok makanan dan menyuapkannya, cara mereka minum, cara mereka duduk, semuanya terlihat indah dan sempurna. Seusai makan, pelayan dengan tanggap merapikan piring-piring dan meletakkan kembali ke dapur. Namun tak disangka-sangka Ruka berdiri dari kursinya dan membantu membawakan piring-piring itu. Semuanya terkejut termasuk Hiro. Beberapa pelayan menolak dengan sopan bantuan Ruka. Hiro pun menghentikan Ruka dan berkata, "Biarlah mereka melakukannya. Aku tak ingin tanganmu terluka." Mendengarnya, ia tersenyum lalu berkata, "Tak apa pangeran. Jika mereka bisa melakukannya, aku pun bisa. Tak perlu khawatir, aku biasa melakukannya dirumah." Hiro tak dapat berkata apa-apa lagi. Ia hanya terkesima akan tindakan Ruka itu. Para pelayan juga menunduk canggung ketika menerima piring-piring itu dari tangan Ruka. Ketika Hiro hendak membantunya, Ruka berkata, "Tidak perlu, pangeran. Nanti pangeran kecapekan. Lebih baik pangeran selesaikan urusan pemerintahan terlebih dahulu. Nanti saya akan menyusul ke ruangan anda. Saya yakin tadi ketika anda menerima surat itu, anda sedang mengerjakan sesuatu." Hiro tersenyum menyadarinya. Kemudian ia berdiri lalu menuju ke ruangan kerjanya.
Ruka bolak-balik menuju dapur dan meja makan untuk membawa piring-piring itu. Ia juga tak segan membantu pelayan istana menyuci piring dan gelas-gelas kotor. "Maaf nona, dapur kami sangat kotor." Ucap salah satu dari mereka dengan senyuman. "Tidak. Dapur ini terlihat jauh lebih bersih daripada dapur di rumah saya karena ayah saya selalu makan dan membuat piring-piring selalu kotor." Mereka semua tertawa mendengar lelucon Ruka. Itu membuat suasana canggung menjadi cair. Tak lama kemudian ia berkata lagi, "Saya yakin kalian sudah lama sekali bekerja untuk raja dan pangeran. Kalian pasti juga mengenal sangat dekat tentang permaisuri. Bagaimanakah beliau terhadap pangeran? Seperti apa bentuk kasih sayangnya? Saya harap setidaknya saya bisa mewakilkan sosok ibunya walau hanya beberapa persen ke dalam kehidupannya."
Di ruangan lain, di ruang kerja pangeran, ia terlihat sangat serius menulis sesuatu diatas lembaran-lembaran kertas putih. Ia bahkan lupa untuk berkedip. Beberapa buku tebal terbuka dengan halaman yang berbeda-beda. Beberapa waktu kemudian, Ruka mendorong pelan pintu itu dan memasuki ruangan hangat itu. Dilihatnya sosok pemuda yang menawan yang tengah duduk dengan tatapan serius diatas meja kerjanya. Melihatnya seperti ini, masih membuat jantungnya berdetak kencang. Entah sihir apa yang ia gunakan. Kharismanya tampak sempurna. Ia berjalan mendekati pangeran muda itu dan berdiri tepat disampingnya. Hiro sama sekali tak menyadarinya. Ia terpaku pada apa yang tengah dikerjakannya. Diperhatikannya tangan cepat Hiro yang menulis dan sesekali ia membalik lembaran buku tebal itu dan membaca paragraf itu lagi. "Membaca buku yang bacaannya berat, jangan tegang. Nanti yang disini juga ikut tegang." Ruka mengelus pelan kepala Hiro. Ia terkejut menyadari kehadirannya. Lalu pangeran muda itu tersenyum. "Sejak kapan nona Ruka ini datang?" Ia meletakkan bolpoinnya lalu memutar kursinya menghadap Ruka yang berdiri. "Anda sangat serius bahkan anda tidak menyadari kedatanganku." Terdengar nada manjanya. Hiro tertawa lalu berkata, "Aku menyadari kedatanganmu, hanya saja aku tengah menulis saat itu." Kemudian tak sengaja ia melirik kearah salah satu buku yang tergeletak diatas meja. "Apa ini, pangeran?" Seketika ekspresi wajah Hiro berubah menjadi serius. "Dengarkanlah aku, Ruka. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Mungkin ini adalah waktu yang tepat. Aku ingin memberitahumu bahwa sesungguhnya aku hanya mempercayai satu tuhan, Allah. Aku menyembahnya lima kali sehari. Aku juga mengimani nabi-Nya, Rasulullah. Dan aku juga mengikuti semua larangan dan perintah-Nya. Dengan ijin Allah, aku akan membuatmu bahagia selamanya dengan tuntunan yang diajarkan tuhanku. Jika kau mau, aku akan menuntunmu ke surga-Nya. Apakah kau mau mengikutiku?" Tatapan dan perkataannya membuatnya merinding. Bukanlah perasaan takut, bahkan ia tak mampu mendeskripsikan perasaan apa yang sedang dirasakannya saat itu. "Jika apa yang diajarkan tuhanmu itu benar dan Ialah satu-satunya tuhan, maka aku mau mengikutimu, pangeran."
TAMAT